Gak boleh dekat-dekat dia bilang? Memangnya Gia itu kuman?! Genta terlalu overthinking. Padahal Gia tidak punya niat buruk.
'Tapi memang benar, sih' batin Gia pilu. Genta mengenalnya sejak remaja. Meski laki-laki itu selalu dingin kepadanya, Gia sadar Genta teramat memahaminya.Gia kadang suka lupa. Iya, dia lupa kalau Genta yang sekarang sudah jadi suami orang. Laki-laki itu sudah beristri. Gia tidak bisa sebebas dulu buat pdkt sama Genta.Lagipula, mana mungkin Gia mau jadi pelakor? Selain karir nya, otak Gia juga memikirkan perasaan istri Genta. Gia tidak ingin menjadi penyebab hancurnya rumah tangga orang lain.'Tapi kan aku cuma mau jalin silahturahmi!' sekali lagi, dia hanya ingin menjalin silahturahmi.Berangkat dari pemikirannya itu, Gia beranjak ke dapur. Niatnya pagi ini dia ingin memberikan bekal makanan untuk San. Karena sepenglihatan Gia kemarin, San termasuk jenis anak yang doyan makan.Sebelum memasak, seperti biasa Gia memotret dirinya di cermin dengan tampilannya yang memakai dress panjang bewarna biru langit. Lantas menguploadnya di i*******m dan menyapa seluruh penggemarnya."Cantik banget kak Gia.""Ya ampun bare face aja cantik banget!""Kak, cantik banget sih? Spill skincare nya dong!"Gia cekikikan membaca kolom komentar yang memenuhi postingan barunya. Ia memang senang dipuji. Maka tidak heran, tingkat kenarsisannya lumayan tinggi.Hampir 10 menit berkutat di dapur, Gia keluar rumah dengan membawa kotak bekal berisi dua potong sadwinch. Dugaannya benar kalau San sedang bersiap-siap untuk pergi sekolah."San!" panggil Gia seraya berlari kecil menghampiri San yang tengah memandangi kebun kecilnya."Tante Gia!" San berseru senang melihat kedatangan Gia. "Tante bawa apa?" mata polosnya melirik penuh minat kotak bekal yang dibawa Gia."Tante bikinin sandwich buat kamu. San suka sandwich, gak?" tanya Gia.San cepat-cepat mengangguk. "Suka banget, Tan! Tapi.." wajah anak laki-laki itu berubah murung. "Ibu sudah masakin aku nasi goreng buat bekal aku."'Ibu?'Gia berusaha mengatur mimik wajahnya yang mencelos. Mikir apa, sih, dia? 'Jelas-jelas ibu nya San pasti sudah bikin masakan yang enak untuk keluarga kecilnya'."Tante, jangan sedih," San menggenggam pergelangan tangan Gia. "Nanti aku makan kok, sandwich dari tante Gia."Gia tersenyum kecil melihat upaya San menghiburnya. Diusapnya kepala San dengan lembut."Makasih, ya, San. Belajar nya yang rajin, ya. Tante Gia pamit dulu.""Siap, Tan! Dadah, tante Gia!"Sepeninggal Gia, San buru-buru masuk ke dalam rumahnya. Dihampirinya Genta yang masih sibuk membetulkan dasi kerjanya."Papa, hari ini aku gak mau makan nasi goreng," ujar San.Sadar nasi goreng yang dimaksud adalah bekal makan siang anaknya, alis Genta mengkerut bingung. 'Tumben banget San gak mau makan masakan ibu.'"Kenapa emangnya, Nak?" tanya Genta bingung."Soalnya aku mau makan sandwich yang dikasih tante Gia." San menunjukan kotak bekal dari Gia.Genta terperangah. "Tante Gia kasih ini?" ia menunjuk kotak bekal itu.San mengangguk senang."Iya, Pa. Aku mau cobain masakan tante Gia. Biasanya, kan, aku cuma lihat dari youtube nya tante Gia aja. Sekarang aku bisa ngerasain langsung." anak laki-laki itu menyengir.Genta meneguk ludah. 'Nagia apa-apaan, sih? Apa maksudnya bikinin sandwich buat San?' batin Genta tidak habis pikir. Gia benar-benar bebal.'Sabar, Genta. Sabar.'Pria berusia 29 tahun itu menarik nafas panjang. "San, memangnya kamu gak kasihan sama ibu? Ibu bangun pagi banget, lho, siapin makanan buat San."San menggeleng tegas. Genta terbelalak. 'Kenapa San jadi keras kepala gini?'"Papa tenang aja, ibu gak akan marah kok. Aku akan jelasin ke ibu. Papa tunggu sini, ya. Aku mau samperin ibu dulu." San berlari menuju dapur.Masih di ruang tamu, Genta hanya bisa terpaku. Ia memijat keningnya yang pusing. Apa yang harus dia lakukan untuk menjauhkan San dari Gia?👠👠Genta menerima telepon dari mertuanya tadi siang, yang mengatakan hari ini San tidak kesana. Tidak hanya itu, laporan dari mbak Indri—pengasuh San, juga bilang kalau anak laki-lakinya itu meminta bermain di rumah tetangga baru.Pria bertubuh tegap itu membuka pintu kamar San yang terhubung oleh kamarnya. Anak laki-lakinya sedang menggambar sesuatu di atas kasur. Kehadiran Genta membuat San menoleh."Papa," sapa San sejenak, lalu kembali fokus menggambar."Itu tugas dari bu Guru, Nak?" tanya Genta.San menggeleng tanpa menoleh. "Dari tante Gia.""Kamu main ke rumah tante Gia?" Genta pura-pura terkejut.San berhenti menggambar. Ditatapnya Papa nya yang sedang duduk dipinggir ranjang. Anak itu menautkan jari-jarinya, takut Genta akan marah."Iya, Papa jangan marah, ya. Tadi siang aku main ke rumah tante Gia. Aku bosan, Pa, main ke rumah Eyang terus," rajuk bocah kecil itu.Lidah Genta kelu mendengarnya. Selama ini San tidak pernah mengeluh. Anaknya selalu bercerita dengan riang bahwa dia bahagia bermain bersama Eyang nya.Genta menghela nafas panjang. "Kenapa gak izin dulu sama Papa?"San menunduk. "Aku takut Papa gak ngebolehin aku main ke rumah tante Gia."'Astaga.' Apakah San menyadari aura kebencian yang ia tebar untuk Gia?"Nak, Papa gak akan marah. Kalau Papa ngelarang kamu, itu juga ada alasannya. San gak boleh takut ngomong sama Papa, ya, Nak.""Maafin aku, ya, Pa." San berucap lirih.Genta merengkuh San dalam pelukannya. "Shut, gak apa-apa. Tapi lain kali jangan diulangi, ya." tangannya mengusap pucuk kepala San."Jadi aku gak boleh main ke rumah tante Gia lagi?" San mendongak menatap wajah Papa nya.Genta tersenyum kecil. "Boleh, tapi harus izin dulu sama Papa.""Yes!" San bersorak senang. "Papa, Papa mau tau, gak?""Kenapa, Nak?""Tante Gia itu kayak Superwoman! Kalau Papa, kan, Superman. Nah, tante Gia Superwoman!" cerita San menggebu-gebu.Alis tebal Genta naik sebelah. "Kenapa Superwoman?""Iya, Pa. Soalnya tante Gia bisa ngelakuin apa aja! Dia jago masak, bisa gambar, bisa nyanyi, terus bisa main piano juga!"Genta hanya tersenyum simpul mendengarnya. 'Kamu ngapain anak aku sampai dia kagum banget sama kamu, Gi?' benak Genta.Namun, cerita San belum usai rupanya. Kalimat selanjutnya yang keluar dari bibir San membuat Genta tersedak."Kalau jadi anaknya tante Gia pasti seru banget, deh. Tante Gia itu, sudah menikah belum, sih, Pa?"Wajah berseri-seri yang dilengkapi dengan senyum manis itu menyapa siapa saja yang ditemuinya di lokasi syuting. Walau hari menjelang malam, aura kebahagiaan terpancar jelas dari mata coklat terang milik Gia hingga setiap orang yang melihatnya sepakat wanita itu sedang bahagia. "Pagi semua!" Gia merentangkan tangan sambil tersenyum lepas. "Pagi kak Gia!" seorang aktris muda yang Gia ketahui bernama Ellen— balas menyapanya dengan senyum ramah. Di ruang istirahat tempat para pemain webseries berjudul 'Mengapa Kau Pilih Dia'— Gia membawakan hampers kecil berisi cookies yang lalu dibagikan oleh Ken dan seorang office boy. Terdapat 5 aktris dan 3 aktor juga beberapa asisten mereka, dan kru webseries yang mendapat hampers dari Gia. Karena ia membawa cukup banyak, Gia menyuruh office boy untuk turut membagikannya ke kru-kru lain di luar ruangan. Selesai dengan tugasnya, Ken beralih ke sebuah sofa untuk mengecek jadwal Gia. Decak kagum saling bersahutan melihat isi hampers Gia
Bunyi denting garpu menjadi satu-satunya suara yang mengisi keheningan di meja makan itu. Kedua orang dewasa yang duduk berhadapan sama sekali tidak menunjukan keinginan untuk berbicara, atau sekedar berbasa-basi menanyakan kabar selayaknya anak dan ibu. Genta meneguk segelas air, sebelum menyingkirkan bekas peralatan makan malamnya ke sisi kiri. Hal yang sama dilakukan tidak lama kemudian oleh seorang wanita cantik berusia 50 tahun— Evelyne Pramudya. Evelyne mengangkat sebelah alisnya melihat gelagat Genta yang gugup. Pria berusia 29 tahun itu adalah putra bungsunya yang paling mirip dengannya. Hanya bedanya, Evelyne memiliki sisi angkuh yang teramat jelas, bahkan jika hanya melihat dari ujung dagunya. “Mami pikir kamu sudah lupa dengan alamat rumah ini," sindir wanita tua berambut merah terang itu. Genta mengangkat wajahnya. Mata tajamnya menelisik penampilan Mami nya yang makin eksentrik. Sudah hampir enam bulan Genta tidak datang menemui Evelyne, dan lihat, gaya Mami nya itu s
“Raf, aku boleh minta tolong? Tolong bawa San masuk dulu,” pinta Gia yang langsung dituruti Rafael detik itu juga. “Ayo, San, ikut Om. Di dalam banyak makanan, lho,” ajak Rafael dengan nada bersahabat. San menerima uluran tangan Rafael yang ingin menggandengnya sambil tersenyum lebar. Anak laki-laki itu menoleh pada Genta untuk meminta persetujuan. Genta mengangguk sambil mengusap lembut kepala San. Selepas kepergian Rafael dan San, Gia mempersilakan Genta untuk duduk di kursi teras depan rumahnya. “Ada apa, mas Genta?” tanya Gia penuh perhatian. Genta tidak langsung menjawab. Perasaan aneh menyelimuti hatinya, dan Genta merasa risih. Padahal ia hanya ingin meminta tolong. Sebagai tetangga yang baik, Gia pasti akan membantunya. Namun lidah Genta terasa kelu. ‘Ck! Tinggal bicara saja’. Rutuk Genta dalam hati. Keterdiaman Pria itu membuat kening Gia mengkerut. “Mas Genta?” panggil Gia sambil menyentuh punggung tangan Pria itu. “Hah? Iya, kenapa?” Genta tersentak. Matanya kemudi
Sudah tiga hari berlalu sejak mereka pulang bersama, dan hampir setiap hari Genta harus memberikan tumpangan pada Gia yang beralasan bahwa mobilnya sedang di bengkel. Meski lokasi syuting terpaut jarak yang lumayan jauh dengan Praz Company, Genta—yang entah sedang kerasukan apa, selalu mengantar wanita itu walau terkadang sambil menggerutu. Genta merasa aneh pada dirinya sendiri. Dia selalu membentangkan jarak selebar mungkin agar Gia tidak mendekati San. Akan tetapi, justru kini ia berada di radius yang sangat dekat dengan wanita itu. "Papa, ada tamu." Genta mengerjap dari lamunannya. San—yang sedang memegang robot transformer miliknya, menunjuk ruang tamu. "Makasih ya, Nak," ucap Genta. Karena dia sama sekali tidak mendengar bel rumah yang berbunyi. "Halo, mas Genta!" sebentuk senyum manis perempuan menyambutnya kala pintu dibuka. Pagi itu Gia memakai croptop putih yang memperlihatkan sebagian perut langsingnya, dengan dilapisi blazer tipis bewarna peach. Melihat penampilan
Sejak semalam, Genta mulai merasa bahwa kesalahan terbesarnya adalah mengenal Nagia Pricilla. Perkenalan di masa remaja yang justru mengubah semuanya. Mengubah kepribadian Gia, dan mengubah masa depan Genta. Andai saja mereka tidak pernah kenal, Gia pasti tidak akan terobsesi dengannya seperti ini. Astaga, Genta mulai pening. Bayangkan saja, wanita itu berani menciumnya! Sekali lagi, Nagia Pricilla berani menciumnya di depan Putra nya sendiri! Apalagi namanya kalau bukan gila, obsesi, dan nekat?! Lalu sekarang, sebuah kotak makan berukuran besar diletakan di meja kerjanya, lengkap dengan sebuah catatan kecil di atasnya. Dimakan ya, mas Genta^^ —Gia :) Genta memejamkan mata, merasa lelah dengan semua yang terjadi di hidupnya. 'Nagia itu tau dari mana, sih, kalau aku duda?!' batinnya kesal. Karena kalau saja Gia tidak pernah tau, maka Genta akan terbebas dari rayuan gila wanita itu. "Wow, sejak kapan kamu bawa bekal, Ta?" Genta membuka mata melihat siapa yang datang ke ruangan
Rencana makan malam yang ditakuti Gia akhirnya tidak terlaksana. Tepat setelah makanan dihidangkan di meja mereka, Rafael menerima telepon dari Papi nya. Seraya undur diri menerima telepon, Gia sudah menebak kalau sebentar lagi Rafael pasti akan pergi. Dan nanti, Pria itu akan mengajaknya untuk ikut pulang bersama. 'Gak apa-apa, deh. Yang penting dinnernya batal'. Benak Gia. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Rafael mendatangi meja mereka dengan wajah penuh rasa bersalah. "Papi ada perlu sama aku. Penting katanya. Maaf banget aku gak bisa gabung sama kalian," ujar Rafael. Dari nada suaranya, jelas sekali Rafael sebenarnya enggan meninggalkan dinner mereka. "Om mau pergi?" tanya San. Mata kecil San beralih menatap Gia dengan puppy eyes andalannya. "Tante Gia juga mau ikut pergi?" Gia tergugu. 'Bagaimana ini?' benak Gia gelisah. Dia bukannya tidak ingin makan malam bersama Genta dan San, ini adalah salah satu impiannya. Ia memang memiliki seribu rencana untuk pdkt dengan Gen