Gia bangun di pagi hari dengan mata sembab dan hidung merah. Ia menatap pantulan kaca yang memperlihatkan betapa acak-acakannya dia.
Rambut panjangnya yang berwarna caramel berantakan seperti Singa. Gia menyisir dengan pandangan kosong.Ingatannya memutar kembali kejadian kemarin ketika dia bertemu dengan Genta, juga ketika dia bercerita pada sahabatnya–Moren, perihal Genta dan anak laki-lakinya.Moren bilang dia harus menghapus semua rasa cintanya kepada Genta. Semuanya. Gia mendengus.Apakah mudah menghilangkan perasaan yang sudah tertanam lebih dari 10 tahun?Tapi sepertinya, Moren punya firasat kalau sahabatnya sejak SMA itu akan melakukan segala cara untuk merebut Genta dari istrinya."Jodoh itu sudah ada yang atur, Gi. Mungkin ini memang saatnya kamu lupain Genta. Masih banyak laki-laki di luar sana yang jauh lebih sempurna dari Genta. Kamu berhak untuk dicintai."Tapi bagaimana kalau yang Gia inginkan hanya Genta?! Moren tidak pernah tahu, tidak pernah.Gia menghabiskan banyak malam untuk berdoa. Cintanya masih sama. Tetapi sejak dulu Gia hanya berdiri sendiri. Genta tidak pernah bersamanya.Mengingat hal itu Gia kembali menangis. Seluruh hatinya menolak kenyataan bahwa sudah tertutup semua pintu kesempatan untuk bersama Genta."Lagipula, kamu juga harus pikirin karir kamu. Apa kata orang kalau Nagia Pricilla ngerebut suami orang? Bisa hancur kamu dalam sekejap, Gi."Moren benar. Di satu sisi, ada citra yang harus Gia pertahankan. Di era pelakor yang merajalela dan dihujat oleh semua netizen, Gia tidak boleh menjadi salah satunya.Kepala Gia semakin pening.Gia bangun dan meninggalkan meja rias. Langkah kakinya menyusuri dapur yang masih kosong melompong.“Oh, iya. Aku belum makan dari semalam,” ucapan Gia bersamaan dengan suara perutnya yang menggema.Dan kini tidak ada bahan masakan apa pun di dapur. Sementara Moren bilang asisten rumah tangga yang dipekerjakannya untuk Gia baru akan datang sore nanti.“Tukang sayur udah lewat belum, sih?”Akhirnya, Gia memutuskan untuk keluar rumah. Siapa tau ada tukang sayur di komplek perumahan barunya.Gia memang baru pindah rumah dua hari yang lalu. Hasil kerja kerasnya sebagai Influencer digunakan Gia untuk membeli rumah di kawasan metropolitan.Kaki jenjangnya membuka gembok pagar. Mata cokelatnya yang belo menoleh ke kanan kiri melihat apakah ada gerobak sayur yang bisa dia stop. Naas tidak ada satupun gerobak sayur yang lewat.Harusnya Gia sadar di perumahan elit seperti ini, akan sulit menemukan tukang sayur gerobakan. Mungkin nanti sore dia bisa pergi ke supermarket untuk berbelanja sayuran dan perlengkapan rumah lainnya."Ck." wanita itu berdecak, lantas masuk kembali membuka pagar."Tante Gia?!"Langkah Gia yang baru memasuki pekarangan rumah berhenti. Seperti ada yang memanggilnya. Pertanyaannya adalah siapa?Gia tidak memiliki kerabat atau kenalan siapa pun di sini. Rasanya cukup aneh mendengar suara anak kecil memanggil namanya. Ia mulai merasa was-was."Tante Gia!"Panggilan itu bertambah kencang. Bulu kuduk Gia berdiri. Tidak mungkin kan penghuni pohon rambutan milik tetangga samping rumahnya langsung mengajak Gia kenalan sepagi ini?"Tante, nengok dong!"Suara langkah kaki juga decakan sebal seperti suara anak kecil membuat Gia berbalik dengan ragu.Rahang Gia nyaris copot melihat seorang anak laki-laki berkulit putih dengan pipi kemerahan dan rambut hitam pekat berdiri di depan pagarnya.Mau apa bocah itu di sini? Bukankah hutang es krim sudah dibayar lunas kemarin?"Tante, ternyata rumah Tante di sini, ya? Tante jadi tetangga San dong? Yes! Tante, lihat itu deh, itu rumah San!"San dengan semangat menunjuk bangunan dua tingkat bercat putih gading yang berada persis di depan rumah Gia.Gia menatap horor rumah megah di depan sana. Wajahnya semakin pucat ketika melihat seorang laki-laki tinggi menghampiri San. Pria itu juga tampak sama kagetnya dengan Gia."San!" panggil Genta.Namun terlambat. San sudah mengoceh panjang lebar di depan Gia."Tante Gia, Tante sejak kapan tinggal di sini? Kok San gak pernah lihat Tante?" tanya San bertubi-tubi.Perut Gia serasa diremas oleh ribuan tangan. Pusing di kepalanya memuncak ditambah tidak ada asupan makanan yang masuk ke perutnya."Tante, nanti tante Gia main ya ke rumah San. Aku sama Papa suka berkebun, lho. Nanti kita berkebun sama-sama," ujar San semangat sambil menunjuk taman bunga di pekarangan depan rumah nya yang luas.Suara San yang terus berceloteh memekakkan telinga. Gia tidak kuat lagi.Dia tidak tahu apa yang sedang direncanakan tuhan untuknya. Yang jelas kepala Gia mulai di awang-awang, tubuhnya lemas, sendi-sendinya seolah kehilangan tenaga untuk berdiri.Hingga akhirnya pandangan Gia menggelap.Gia terlalu lemas untuk membuka mata. Namun, telinganya masih menangkap jelas suara San yang berteriak.Bruk! "PAPA, TANTE GIA PINGSAN!"Gia bermimpi dia bertemu lagi dengan cinta pertamanya. Akan tetapi sosok itu kini tidak lagi sendiri. Ia telah berkeluarga. Kemudian dia menangis. Pahit sekali rasanya menerima kenyataan kalau orang yang kamu cinta tidak bisa menjadi milikmu. Lalu mimpi itu berganti. Gia memiliki rumah baru sesuai dengan impiannya. Naas, tetangga barunya adalah Sang cinta pertama. Dan semuanya menjadi gelap.‘Itu hanya mimpi, kan?’Gia yang masih memejamkan mata berucap syukur berkali-kali. Mana mungkin dia sanggup melihat Genta bahagia bersama keluarga kecilnya. Tidak akan sanggup. "Papa, Tante Gia sudah bangun! Tante! Tante dengar suara San, kan?" Mata Gia mengerjap. Berusaha menyesuaikan pencahayaan yang terang dengan matanya yang baru terbuka.‘Di mana ini?’ batin Gia bergumam. Gia tidak begitu mengenali langit-langit ruangan ini. Jelas ini bukan di rumahnya. Biarpun rumahnya baru, akan tetapi Gia hafal seperti apa warna atapnya. "Tante Gia? Tante nggak lupa ingatan, kan?" Gia menoleh ke samp
Gak boleh dekat-dekat dia bilang? Memangnya Gia itu kuman?! Genta terlalu overthinking. Padahal Gia tidak punya niat buruk. 'Tapi memang benar, sih' batin Gia pilu. Genta mengenalnya sejak remaja. Meski laki-laki itu selalu dingin kepadanya, Gia sadar Genta teramat memahaminya. Gia kadang suka lupa. Iya, dia lupa kalau Genta yang sekarang sudah jadi suami orang. Laki-laki itu sudah beristri. Gia tidak bisa sebebas dulu buat pdkt sama Genta. Lagipula, mana mungkin Gia mau jadi pelakor? Selain karir nya, otak Gia juga memikirkan perasaan istri Genta. Gia tidak ingin menjadi penyebab hancurnya rumah tangga orang lain. 'Tapi kan aku cuma mau jalin silahturahmi!' sekali lagi, dia hanya ingin menjalin silahturahmi. Berangkat dari pemikirannya itu, Gia beranjak ke dapur. Niatnya pagi ini dia ingin memberikan bekal makanan untuk San. Karena sepenglihatan Gia kemarin, San termasuk jenis anak yang doyan makan. Sebelum memasak, seperti biasa Gia memotret dirinya di cermin dengan tampilannya
"Ken, menurut kamu kalau istri jarang di rumah, itu artinya apa?" Kening Keenan mengkerut bingung mendengar pertanyaan yang diajukan bosnya—Gia. Ken merasa Gia sedang banyak masalah. Tidak biasanya sahabat yang merangkap atasannya itu bertanya hal-hal aneh seperti tadi. Ken mengenal Gia sejak wanita itu menjadi runner up Puteri Indonesia tiga tahun yang lalu. Sebagai manager aktris ibu kota, Ken langsung menawarkan diri menjadi asisten pribadi Gia begitu ia tahu kalau wanita itu ingin terjun di dunia entertaiment. Selama bekerja dengan Gia, Ken akui Gia cukup interaktif dan banyak berbicara. Tapi malam ini, pertanyaan Gia membuat Ken penasaran. "Maksudnya gimana, Gi?" Gia menoleh kepadanya. "Masa harus aku perjelas?" Wanita itu menarik nafas panjang. "Menurut kamu, nih, kalau ada satu keluarga terus ibu nya jarang ada di rumah. Bahkan gak ikut sarapan bareng, nah, itu kenapa?" Ken makin dibuat bingung. 'Maksudnya apa, sih?' tapi meski begitu, Ken tetap menjawab sambil garuk-garu
"Demi Tuhan, Gia! Tawaran job lagi banyak-banyaknya, dan kamu malah mau jadi pelakor?!" Gia memandang Ken yang terlihat gusar. Pria itu mengacak-acak rambutnya. Terkadang, Ken bisa sangat berlebihan. Seperti sekarang. Setelah tadi Genta pulang, wajah Ken memerah. Entah dia malu, atau marah dengan kelakuan atasannya. Gia buru-buru menarik Ken masuk ke ruang tamu sebelum pria itu mengoceh panjang lebar di teras rumahnya. Bisa bahaya kalau tetangga yang lain sampai dengar. "Siapa juga, sih, yang mau jadi pelakor?" Gia berkacak pinggang. "Kamu, kan? Sampai si Genta-Genta itu datang ke sini," ujar Ken kesal. Gia berdecak panjang. "Jangan langsung ambil kesimpulan, Ken. Dengarin dulu penjelasan aku!" Ken bersandar di sofa. Lantas menarik nafas panjang. Ditepuknya sofa sebelahnya, menyuruh agar Gia duduk di sana. "Jelasin secara rinci, dan jangan bohong." mata Ken memicing penuh peringatan. "Iya," Gia mengambil posisi menyamping menghadap Ken. "Mas Genta memang mantan aku. Dia juga s
"Pa, kalau aku panggil tante Gia dengan sebutan Mama, boleh?" BruushhAir mineral yang baru saja masuk tenggorokan Genta, keluar begitu saja hingga membasahi meja makan. Sarapan ayah dan anak itu menjadi berantakan karena beberapa makanan terkena percikan air. San menutup mulutnya dengan telapak tangan."Papa! Jorok banget, ih!" ujar San sambil mengernyit jijik. Genta tidak peduli dengan reaksi San. Pria itu menatap putra satu-satunya dengan gelengan kepala. "Mama?" ulang Genta, tidak habis pikir. San mengangguk semangat. "Iya, Pa. Boleh, kan?" Genta tidak tahu apa yang sudah merasuki San, atau ilmu apa yang diajarkan Gia pada anaknya hingga San bisa memiliki pemikiran seperti ini. Seketika Genta merasa marah pada Gia. Mungkin San tidak menyadari, tapi Genta mengenal anaknya. San tidak akan melakukan sesuatu di luar kebiasaannya jika tidak ada pemantik dari orang lain. Jadi, sudah pasti Gia bertanya sesuatu perihal 'Mama' kepada San, dan San tidak bisa menjawabnya. 'Maafin Pap
"Ta? Saya kira kamu gak datang!" Memang tidak dipungkiri Genta selalu menghindari undangan pesta yang diselenggarakan di sebuah klub malam. Apalagi malam ini, undangan yang datang dari seorang aktris ternama ibu kota itu hanya acara ulang tahun yang tidak resmi. Walaupun bukan termasuk jajaran aktor atau influencer, tetapi Genta dan Zayn merupakan rekan kerja Steffi Kenza—Sang bintang yang tengah berulang tahun, sehingga keduanya secara resmi diundang.Genta tersenyum kecil melihat reaksi sahabat sekaligus rekan kerjanya—Zayn Javeer. "Tadinya juga saya gak mau datang. Tapi dari sore, San ngambek dan minta nginep di rumah Eyang nya. Jadilah saya di sini, dari pada di rumah, sendiri," ucap Genta. Nada nelangsa dari sahabatnya itu membuat Zayn terkekeh. Jarang-jarang San—putra Genta yang menggemaskan itu, merajuk. "San pasti sangat kesal dengan Papa nya," Zayn tertawa. Genta mendengus panjang. "Iya, dia bahkan menolak panggilan telepon saya." 'Dan semua itu gara-gara Nagia!' Zay
Gia tadinya tidak ingin peduli. Dia tidak mau tau kenapa Genta bisa ada di sini. Sambil mengatur kembali ekspresi nya, Gia mengangguk sebentar untuk berpamitan. Anggap saja dia hanya bertemu tetangga biasa di tempat tidak biasa. "Rafael siapa?" Namun, pertanyaan yang keluar dari bibir Genta, membuat langkah kaki Gia terhenti. Gia buru-buru menarik tangan Genta menuju belokan di belakang toilet perempuan. "Pelanin suara kamu!" desis Gia. Bisa bahaya kalau Vero—yang masih berada di toilet, mendengar pertanyaan Genta. Alih-alih mengikuti seruan Gia, Genta justru mengangkat sebelah alisnya. "Kenapa? Takut teman kamu dengar?" tanya nya dengan suara kencang. "Ya, dan dia akan mencari tau siapa kamu. Puas?" Jawab Gia. Kemudian, mata tajam Genta turun ke pergelangan tangannya yang masih digenggam Gia. "Lepas." Perintahnya dingin. Gia memutar bola mata. Ia melepaskan genggamannya pada tangan Genta. Tampang Genta acuh tak acuh. Mata tajamnya menatap ujung lorong yang gelap. 'Mau apa Gi
Bunyi dering telepon yang masuk dari ponsel Gia membuat Genta tersadar apa yang telah terjadi.Didorongnya bahu Gia menjauh. Mata Genta nyalang menyimpan amarah, keterkejutan, dan kecewa. Pias, ditatapnya Gia dengan sorot tidak percaya. Sementara itu, Gia tergugu. Linglung, ditatapnya Genta dengan mata terbelalak. "Mas.." Gia menelan ludah. Tidak sanggup meneruskan kalimatnya. Rasa malu menyergap hati Gia. Dalam hatinya, ia merutuki perbuatan impulsif nya. 'Gila kamu, Nagia!'. Wanita itu memegang bibirnya, lalu menatap Genta, dan kembali lagi memegang bibir nya. Ini seperti mimpi, karena sungguh Gia tidak ingin bertindak lebih jauh. Mata tajam Genta menghunusnya. Emosi terlihat jelas dari pancaran mata hitam pekat tersebut. Gia menelan ludah. "Keterlaluan kamu." Hanya itu yang diucapkan Genta. Setelahnya, pria itu berlalu meninggalkan Gia sendirian dengan perasaan kacau. Gia jatuh terduduk di lantai. Tubuhnya lemas. Hatinya berteriak ketakutan. 'Bagaimana bisa?' Gia membatin ti