Share

2. Tetangga

Gia bangun di pagi hari dengan mata sembab dan hidung merah. Ia menatap pantulan kaca yang memperlihatkan betapa acak-acakannya dia.

Rambut panjangnya yang berwarna caramel berantakan seperti Singa. Gia menyisir dengan pandangan kosong.

Ingatannya memutar kembali kejadian kemarin ketika dia bertemu dengan Genta, juga ketika dia bercerita pada sahabatnya–Moren, perihal Genta dan anak laki-lakinya.

Moren bilang dia harus menghapus semua rasa cintanya kepada Genta. Semuanya. Gia mendengus.

Apakah mudah menghilangkan perasaan yang sudah tertanam lebih dari 10 tahun?

Tapi sepertinya, Moren punya firasat kalau sahabatnya sejak SMA itu akan melakukan segala cara untuk merebut Genta dari istrinya.

"Jodoh itu sudah ada yang atur, Gi. Mungkin ini memang saatnya kamu lupain Genta. Masih banyak laki-laki di luar sana yang jauh lebih sempurna dari Genta. Kamu berhak untuk dicintai."

Tapi bagaimana kalau yang Gia inginkan hanya Genta?! Moren tidak pernah tahu, tidak pernah.

Gia menghabiskan banyak malam untuk berdoa. Cintanya masih sama. Tetapi sejak dulu Gia hanya berdiri sendiri. Genta tidak pernah bersamanya.

Mengingat hal itu Gia kembali menangis. Seluruh hatinya menolak kenyataan bahwa sudah tertutup semua pintu kesempatan untuk bersama Genta.

"Lagipula, kamu juga harus pikirin karir kamu. Apa kata orang kalau Nagia Pricilla ngerebut suami orang? Bisa hancur kamu dalam sekejap, Gi."

Moren benar. Di satu sisi, ada citra yang harus Gia pertahankan. Di era pelakor yang merajalela dan dihujat oleh semua netizen, Gia tidak boleh menjadi salah satunya.

Kepala Gia semakin pening.

Gia bangun dan meninggalkan meja rias. Langkah kakinya menyusuri dapur yang masih kosong melompong.

“Oh, iya. Aku belum makan dari semalam,” ucapan Gia bersamaan dengan suara perutnya yang menggema.

Dan kini tidak ada bahan masakan apa pun di dapur. Sementara Moren bilang asisten rumah tangga yang dipekerjakannya untuk Gia baru akan datang sore nanti.

“Tukang sayur udah lewat belum, sih?”

Akhirnya, Gia memutuskan untuk keluar rumah. Siapa tau ada tukang sayur di komplek perumahan barunya.

Gia memang baru pindah rumah dua hari yang lalu. Hasil kerja kerasnya sebagai Influencer digunakan Gia untuk membeli rumah di kawasan metropolitan.

Kaki jenjangnya membuka gembok pagar. Mata cokelatnya yang belo menoleh ke kanan kiri melihat apakah ada gerobak sayur yang bisa dia stop. Naas tidak ada satupun gerobak sayur yang lewat.

Harusnya Gia sadar di perumahan elit seperti ini, akan sulit menemukan tukang sayur gerobakan. Mungkin nanti sore dia bisa pergi ke supermarket untuk berbelanja sayuran dan perlengkapan rumah lainnya.

"Ck." wanita itu berdecak, lantas masuk kembali membuka pagar.

"Tante Gia?!"

Langkah Gia yang baru memasuki pekarangan rumah berhenti. Seperti ada yang memanggilnya. Pertanyaannya adalah siapa?

Gia tidak memiliki kerabat atau kenalan siapa pun di sini. Rasanya cukup aneh mendengar suara anak kecil memanggil namanya. Ia mulai merasa was-was.

"Tante Gia!"

Panggilan itu bertambah kencang. Bulu kuduk Gia berdiri. Tidak mungkin kan penghuni pohon rambutan milik tetangga samping rumahnya langsung mengajak Gia kenalan sepagi ini?

"Tante, nengok dong!"

Suara langkah kaki juga decakan sebal seperti suara anak kecil membuat Gia berbalik dengan ragu.

Rahang Gia nyaris copot melihat seorang anak laki-laki berkulit putih dengan pipi kemerahan dan rambut hitam pekat berdiri di depan pagarnya.

Mau apa bocah itu di sini? Bukankah hutang es krim sudah dibayar lunas kemarin?

"Tante, ternyata rumah Tante di sini, ya? Tante jadi tetangga San dong? Yes! Tante, lihat itu deh, itu rumah San!"

San dengan semangat menunjuk bangunan dua tingkat bercat putih gading yang berada persis di depan rumah Gia.

Gia menatap horor rumah megah di depan sana. Wajahnya semakin pucat ketika melihat seorang laki-laki tinggi menghampiri San. Pria itu juga tampak sama kagetnya dengan Gia.

"San!" panggil Genta.

Namun terlambat. San sudah mengoceh panjang lebar di depan Gia.

"Tante Gia, Tante sejak kapan tinggal di sini? Kok San gak pernah lihat Tante?" tanya San bertubi-tubi.

Perut Gia serasa diremas oleh ribuan tangan. Pusing di kepalanya memuncak ditambah tidak ada asupan makanan yang masuk ke perutnya.

"Tante, nanti tante Gia main ya ke rumah San. Aku sama Papa suka berkebun, lho. Nanti kita berkebun sama-sama," ujar San semangat sambil menunjuk taman bunga di pekarangan depan rumah nya yang luas.

Suara San yang terus berceloteh memekakkan telinga. Gia tidak kuat lagi.

Dia tidak tahu apa yang sedang direncanakan tuhan untuknya. Yang jelas kepala Gia mulai di awang-awang, tubuhnya lemas, sendi-sendinya seolah kehilangan tenaga untuk berdiri.

Hingga akhirnya pandangan Gia menggelap.

Gia terlalu lemas untuk membuka mata. Namun, telinganya masih menangkap jelas suara San yang berteriak.

Bruk!

"PAPA, TANTE GIA PINGSAN!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status