Semua pasang mata manusia menatap perempuan tengah berdiri berdampingan dengan laki-laki paruh baya. Menggenggam seikat bunga putih – symbol pernikahan – dan bunga itu adalah bunga kesukaannya. Mungkin sebuah kebetulan yang pas.
Mempelai perempuan belum memahami situasi, raut wajahnya yang linglung begitu jelas hingga kemudian lengan kanannya terasa ada yang menyenggol lalu menyelipkan ke dalam siku, sontak si pengantin menoleh.
Bisa dipastikan dia sedang berada di sebuah acara pernikahan, nuansa sakral begitu terasa kala bunga berjajar cantik pada setiap sisi pinggiran altar. Dia sedang tidak menghadiri pernikahan teman, kerabat ataupun orang lain. Melainkan dirinya yang menjadi pengantin.
“Tidak perlu gugup. Ayah di sampingmu.” Suara laki-laki yang merangkul tadi. Pakaiannya begitu rapi, ada ‘sapu tangan saku’ terselip pada sisi kantong, penghias jas ketika pemakai menghadiri acara formal.
‘Ayah? Ma-maksudnya?’ Perempuan itu telah kesekian kalinya dibuat kebingungan. Selain tempat pernikahan, sekarang pria ini menyebutnya sebagai ayah.
‘Tunggu, Baju apa ini!’ ia menunduk melihat gaun putih penuh hiasan berkilau, beriringan semilir angin mengayunkan rambutnya. Pengantin ini butuh waktu untuk mencerna semuanya. Pula gaun tersebut terlihat sangat mewah.
Perpaduan hijau rumput dan dekorasi putih sedikit mengalihkan Arina dari kegelisahan.
“Ayo.” Ajak pria paruh baya di sebelahnya untuk kedua kali.
Tanpa sepatah kata Arina mengikuti langkah sang ayah, terlihat mata lemahnya berkaca, dia harus rela melepaskan putri tunggal keluarga untuk hidup bersama laki-laki terbaik.
Gaun pernikahan terseret menyapu altar, betapa anggunnya perempuan cantik di sana. Tampak arah pandang tamu undangan mengikuti pergerakan Arina yang semakin mendekati calon suami.
‘Siapa dia?’ Arina melihat pria bertubuh tinggi di depan tersenyum datar. ‘Jangan-jangan dia pengantin prianya? Berarti dia akan jadi suamiku?’ benak si gadis mulai memahami. Kendati semakin dekat dengan laki-laki di sana yang tak pernah berhenti menatapnya.
Gandengan tangan Arina dalam lengan ayahnya beranjak. Lelaki yang lebih muda menunduk sopan lalu mengisyaratkan calon istri agar berdiri berdampingan.
‘Bisa saja aku bermimpi. Ikuti saja.’ Ia mencoba berdamai dengan keadaan.
Arina tersenyum lembut tatkala mereka diminta saling berhadapan oleh pendeta. Dia akan memulai peran ini. Bermodal senyuman mungkin cukup. Tapi, jarak antara mempelai terpaut cukup jauh. Tidak usah dipedulikan, pernikahan ini juga bukan nyata, pikir Arina.
Ketika sang pemimpin agama memulai kata pertama dari janji pernikahan, sekelebat gadis ber-midi dress hitam yang tertelungkup dikerumuni beberapa orang, mengusik ingatannya.
‘Bagaimana mungkin perempuan berdarah itu mirip denganku?’ Arina mengenal gadis malang dalam kilasan bayangannya. Mengabaikan ocehan para saksi pernikahan.
Hingga pendeta sampai di kata terakhir, Arina kembali sadar akan posisi dirinya sebagai pengantin sementara.
Wajah di balik Veil (penutup kepala pengantin perempuan) menjadi tegang. Kalaupun benar ia korban kecelakaan, mengapa seorang yang bermimpi bisa mengingat dari kejadian terakhir ketika di dunia nyata?
“Kiran. Aku mengambil engkau menjadi istriku, untuk saling memiliki dan juga menjaga dari sekarang sampai selama-lamanya…”
Gadis itu menyadari ‘Kiran? Tunggu dulu. Tubuh yang aku pakai ini namanya Kiran? Ah, kepalaku sakit sekali!’
Arina memejamkan mata menelusuri potongan ingatannya, kemudian gadis cantik lain yang begitu menawan tersenyum. Arina memaksa dan mengejar ingatan tersebut untuk mencari tahu siapa gadis itu. Serta meminta penjelasan atas semuanya. Ini alam mimpi tetapi kepalanya berdenyut layaknya kehidupan nyata.
“…Pada waktu susah maupun senang, kelimpahan maupun kekurangan, dan pada waktu sehat maupun sakit….”
Gadis menawan dalam bayangan pun berkata, “Kehidupanmu akan lebih baik jika kau menerima penawaranku.” Arina terdiam, ia sedang larut dengan pikirannya – menimbang kata-kata perempuan asing.
Mendengar kata ‘lebih baik’ membuat Arina sediki tergugah, mungkin kesempatan tidak datang dua kali.
“Baiklah, tawaranmu aku terima.” Balasnya jelas.
“…untuk selalu saling mengasihi dan menghargai, sampai maut memisahkan, dan inilah janji setiaku yang sangat tulus.” Pengantin laki-laki selesai mengucapkan janji pernikahan.
Arina dalam sosok Kiran kembali tersadar bersamaan selesainya kalimat sakral, kemudian dikejutkan oleh suara pendeta yang meminta mengulangi apa yang dikatakan pengantin laki-laki. Seketika sakit kepalanya hilang, sungguh ia keheranan.
“Kalian berdua sudah resmi menjadi suami istri.” kata sang pemimpin agama membuat perempuan paruh baya di kursi tamu paling depan mengusap air mata.
‘Sekarang aku mengerti, aku tidak sedang bermimpi. Aku benar-benar menikah sebagai perempuan yang berbeda. Apa aku menggantikan posisi gadis itu atau bagaimana?’ Arina masih sulit memahami, yang ia ketahui adalah menjadi sosok Kiran – seorang pengantin dan istri.
Pemasangan cincin secara bergantian tersemat pada masing-masing jari mempelai. Bagian untuk perempuan memiliki berlian lebih besar, bahkan Arina melihatnya dengan tatapan takjub. Biar gadis itu menebak, pasti harganya sama dengan harga sebuah mobil. Penawaran gadis ‘menawan’ memang benar adanya. Bahkan ia belum pernah melihat cincin seberkilau ini.
Kemudian Wira mendekat, memangkas jarak di antara mereka, membuka Veil dan sedikit menunduk, perlahan ia menyamakan tinggi dengan Arina. Dahinya dipenuhi keringat, seperti orang yang sedang melawan ketakutan.
‘Kenapa dia?’ Arina mengerutkan dahi.
Sesaat berikutnya bibir asing menempel pada bibirnya, mata hitam bulat pun membola sempurna. Wira mengecup singkat hingga riuh tepuk tangan mengejutkan pasangan suami istri baru.
‘Ternyata ciuman itu begini rasanya’. Arina si gadis minim pengalaman dalam hubungan pacaran akhirnya mendapatkan ciuman pertamanya.
‘Eh!’
‘Ini bukan mimpi kan?’
Terdengar napas si lelaki ngos-ngosan setelah adegan yang dianggap romantis oleh semua orang. Kemungkinan hanya perempuan di sebelah yang memperhatikan.Sepasang pengantin baru ini beralih tersenyum – namun ekspresi sang suami terkesan kaku – terlebih menyambut para tamu yang memberikan ucapan selamat. Kalau bukan salah satu dari keharusan, ia tidak akan pernah melakukan hal mengerikan ini. Juga Wira harus menyiapkan berbagai alasan agar tak menerima salaman tiap tamu.Pengantin perempuan melayangkan pandangan tempat terselenggaranya pernikahan.Sedari tadi ia baru menyadari kalau pernikahan dilaksanakan di halaman luas rumah pribadi. Dengan rumput yang tak membiarkan tanah terlihat. Di dominasi warna putih pada setiap dekorasi. Melihat banyaknya kursi, menyatakan tidak sedikit tamu yang hadir. Pula rata-rata tamu bukan dari kalangan biasa – Arina bisa melihat handbag dengan brand langit.Perempuan berumur tetapi bagi Arina dia
“Setelah kakak (Wira) menyetujui menikah dengan mbak, kami semua terkejut. Termasuk mama, sampai-sampai menangis. Aku juga tidak tahu apa yang membuatnya tertarik pada mbak Kiran. Tapi, aku senang sekali. Dan aku merasa mbak itu perempuan paling baik.” Rakin tersenyum lebar, ekspresinya manis sekali. Seolah wajah Wira yang sedang manja, karena kemiripannya.“Kamu berlebihan. Aku tidak sebaik itu. Lagipula ini tidak akan lama, bisa saja penawaran tersebut hangus tanpa tahu waktu dan tempat, sebentar lagi aku juga akan bangun dan kembali ke kehidupan menyedihkan.”Pria di sebelah menaikkan sebelah alis, “Penawaran? Hahaha. Kakak mau ngelucu, ya?” sebenarnya itu tawa yang terkesan terpaksa. Pemuda ini mengira kakak iparnya sedang melawak.“Ngelucu? Maksud kamu?” sekarang Arina yang terheran.‘Bisa-bisanya adik kakak beda sifat begini’ pikir Arina.Rakin pun menarik hidung menantu Ara
“Tidak. Lagian aku sudah memberimu baju.” Wira menolak tegas.“Aku hanya ingin memastikan sesuatu. Kau bisa memegangku? Atau menampar, mencubit dan sejenisnya?” tanpa bersalah dia mendekat pria pemilik kamar.“Jangan mendekat sedikitpun! Dan aku tidak mau apapun itu!” permintaan mengerikan bagi laki-laki tersebut.Arina tidak menghiraukan perkataan Wira. Perkataan tersebut seperti ancaman tetapi menyimpan ketakutan. Arina tersenyum sembari perlahan mendekati pria di sana.“Ku bilang jangan mendekat! Kau tidak mengerti ucapanku, ya!” Wira bergegas mengambil handphone di atas nakas, ia berniat menelepon Ningrum, nyonya rumah sekaligus mamanya.“Huh, Lelaki aneh!” pungkas si menantu. Kembali mengabaikan laki-laki aneh di sebelah ranjang.Arina membuka pintu dengan kesal, hatinya sangat geram karena diusir. Dia sudah seperti pekerja yang kecolongan memasuki kamar tuan muda.&ldqu
Istri Wira terlalu sibuk dengan pikirannya sampai-sampai tidak menyadari orang lain datang menghampiri.“Permisi nona muda, saya Aris sekretaris tuan Wira,” laki-laki berpakaian formal hitam memperkenalkan diri. “Saya menerima telepon dari ibu Ningrum untuk mengantar segala keperluan dan di luar sudah ada mobil yang membawa seluruh barang-barang anda.”Arina ingat ibu mertuanya akan meminta sekretaris Wira membawakan semua kebutuhannya sesaat yang lalu.‘Cepat juga barang-barang itu datang’.“Ah, iya. Bawakan semuanya ke kamarku.” Sekretaris pun menunduk hormat.Aris memberi intruksi kepada para pekerja perempuan – yang mengantar. Arina menuju kamar Wira juga segera bergegas membantu membawakan beberapa jenis paperbag. Sesampainya di sana, tak didapati laki-laki yang mengusir dirinya beberapa saat lalu.“Ada yang nona perlukan lagi?” Aris menyadarkan nona muda y
Bukan hanya itu, sesuatu yang mengganggu lainnya adalah jarak antara kursi Wira dan ibunya. Posisi mereka tak menunjukkan hubungan ibu dan anak. Sungguh tak bisa dimengerti seorang menantu. ‘Sebenarnya aku bisa menikah dengan dia karena apa? Lihatlah dia seperti pria batu, kemarin saja berteriak ketakutan’ Kiran sempat mencuri lirikan pada laki-laki di depannya. ‘Kukira kehidupan setelah menikah enak dan bahagia. Ternyata lebih menyulitkan dari hidupku sebelumnya.’ “Uhuk. Uhuk.” Wira terbatuk tiba-tiba. Sontak Kiran menyodorkan gelas terdekat yang berisi air kepada laki-laki aneh di depan. “Aku bisa sendiri.” Pria batu menolak cepat. Perlahan menantu keluarga menurunkan gelas di genggamannya, dia kembali mendapati tatapan dari seluruh anggota keluarga. Tatapan yang sama, tidak bisa dimengerti. *** Tangan lebih kecil menarik lengan Rakin yang mana pemuda itu hendak menuju pintu keluar, menyeretnya paksa
Kiran pun menggeleng menandakan dia tidak tahu apa-apa. Kali ini sikap perempuan di hadapan Wira seolah memiliki dua sisi. Pertemuan mereka di hari pernikahan, menunjukkan karakter Arina yang terkesan jahil serta tidak menghiraukan peringatan dari pria itu. Sebelumnya tidak ada orang yang berani menyela ucapan putra sulung Arasatya. Namun, berbanding terbalik dengan sekarang, menantu keluarga lebih banyak berperilaku lembut seperti kebanyakan orang yang membincangkannya.“Semua orang mengatakan kau gadis yang lembut, bahkan keluargaku berpikir demikian. Tapi, aku berpendapat lain.”Kiran tidak bisa membantah, memang benar adanya dari perkataan laki-laki tersebut.“Sebaiknya kau tanya pada keluargamu sendiri. Ah, lebih tepatnya ayahmu, sampai-sampai ingin bersimpuh padaku agar aku menikahimu. Karena mama juga mendesak – dia tidak mau mendengar gunjingan para kolega bisnis bahkan saudara sendiri, terpaksa aku menikahimu. Lagipula pertama ka
“Baiklah, aku terima tawaranmu. Menyerahkan yang kau katakan berarti menikahinya, bukan?” Tuan muda menebak.Ragu-ragu Lukman menganggukkan kepala, “Be-benar.” Pria itu kembali berpikir ‘Di luar dugaan, Wira menerima penawaran dengan mudah’.“Kebetulan yang pas, aku juga sedang mencari istri. Setelah mendengar penjelesanmu, mungkin putrimu perempuan yang tepat.”Wira akan mulai uji coba tubuhnya terhadap sentuhan perempuan, belasan tahun terapi yang dia jalani untuk menghilangkan Haphephobia. Bisa saja peraturannya dalam hal menjaga jarak antar manusia dianggap arrogant, sebab tidak mau berdekatan dengan karyawan rendahan. Dalam satu waktu, pria itu memiliki kelemahan. Kelemahan yang tidak ingin diketahui, dengan kata lain tidak mau dikasihani.Melalui pernikahan, tidak, lebih tepatnya cara untuk menyembuhkan titik lemah seorang Wira Arasatya. Meski kemungkinannya kecil.(Haphephobia
Esoknya, pukul sembilan pagi mobil putih yang diminta putra tertua Arasatya melewati pagar rumah besar. Sesuai ucapan Wira, istrinya diantar sopir atas perintah Aris. Kebohongan kecil pertama dari Kiran agar bisa keluar dari kediaman keluarga tersebut. Dia mendatangi perumahan lama, tempat kediamannya di saat menjadi Arina yang utuh. Tujuan utama adalah Riana, sahabat sejak mereka menginjak sekolah menengah atas.“Pak, antar saya sampai sini saja, tidak usah ditunggu. Nanti saya pulang sendiri.” Nona muda berbicara setelah sopir membukakan pintu. Mereka telah tiba pada lorong paling depan, butuh dua belokan lagi untuk menemukan rumah Riana.“Ta-tapi, nona-”“Nanti saya hubungi Wira, pasti dia mengizinkan.” Kebohongan kedua untuk hari ini.Sopir itu mengangguk tanpa menyahut.Ketika sampai di rumah Riana, perempuan itu langsung memencet tombol bel yang tak jauh dari pintu. Menunggu pemilik rumah membukakannya. Lim