Share

Suddenly Become a Bride
Suddenly Become a Bride
Penulis: Basreswara

Hari Perikatan

Semua pasang mata manusia menatap perempuan tengah berdiri berdampingan dengan laki-laki paruh baya. Menggenggam seikat bunga putih – symbol pernikahan – dan bunga itu adalah bunga kesukaannya. Mungkin sebuah kebetulan yang pas.

Mempelai perempuan belum memahami situasi, raut wajahnya yang linglung begitu jelas hingga kemudian lengan kanannya terasa ada yang menyenggol lalu menyelipkan ke dalam siku, sontak si pengantin menoleh.

Bisa dipastikan dia sedang berada di sebuah acara pernikahan, nuansa sakral begitu terasa kala bunga berjajar cantik pada setiap sisi pinggiran altar. Dia sedang tidak menghadiri pernikahan teman, kerabat ataupun orang lain. Melainkan dirinya yang menjadi pengantin.

“Tidak perlu gugup. Ayah di sampingmu.” Suara laki-laki yang merangkul tadi. Pakaiannya begitu rapi, ada ‘sapu tangan saku’ terselip pada sisi kantong, penghias jas ketika pemakai menghadiri acara formal.

‘Ayah? Ma-maksudnya?’ Perempuan itu telah kesekian kalinya dibuat kebingungan. Selain tempat pernikahan, sekarang pria ini menyebutnya sebagai ayah.

‘Tunggu, Baju apa ini!’ ia menunduk melihat gaun putih penuh hiasan berkilau, beriringan semilir angin mengayunkan rambutnya. Pengantin ini butuh waktu untuk mencerna semuanya. Pula gaun tersebut terlihat sangat mewah.

Perpaduan hijau rumput dan dekorasi putih sedikit mengalihkan Arina dari kegelisahan.

“Ayo.” Ajak pria paruh baya di sebelahnya untuk kedua kali.

Tanpa sepatah kata Arina mengikuti langkah sang ayah, terlihat mata lemahnya berkaca, dia harus rela melepaskan putri tunggal keluarga untuk hidup bersama laki-laki terbaik.

Gaun pernikahan terseret menyapu altar, betapa anggunnya perempuan cantik di sana. Tampak arah pandang tamu undangan mengikuti pergerakan Arina yang semakin mendekati calon suami.

‘Siapa dia?’ Arina melihat pria bertubuh tinggi di depan tersenyum datar.  ‘Jangan-jangan dia pengantin prianya? Berarti dia akan jadi suamiku?’ benak si gadis mulai memahami. Kendati semakin dekat dengan laki-laki di sana yang tak pernah berhenti menatapnya.

Gandengan tangan Arina dalam lengan ayahnya beranjak. Lelaki yang lebih muda menunduk sopan lalu mengisyaratkan calon istri agar berdiri berdampingan.

‘Bisa saja aku bermimpi. Ikuti saja.’ Ia mencoba berdamai dengan keadaan.

Arina tersenyum lembut tatkala mereka diminta saling berhadapan oleh pendeta. Dia akan memulai peran ini. Bermodal senyuman mungkin cukup. Tapi, jarak antara mempelai terpaut cukup jauh. Tidak usah dipedulikan, pernikahan ini juga bukan nyata, pikir Arina.

Ketika sang pemimpin agama memulai kata pertama dari janji pernikahan, sekelebat gadis ber-midi dress hitam yang tertelungkup dikerumuni beberapa orang, mengusik ingatannya.

‘Bagaimana mungkin perempuan berdarah itu mirip denganku?’ Arina mengenal gadis malang dalam kilasan bayangannya. Mengabaikan ocehan para saksi pernikahan.

Hingga pendeta sampai di kata terakhir, Arina kembali sadar akan posisi dirinya sebagai pengantin sementara.

Wajah di balik Veil (penutup kepala pengantin perempuan) menjadi tegang. Kalaupun benar ia korban kecelakaan, mengapa seorang yang bermimpi bisa mengingat dari kejadian terakhir ketika di dunia nyata?

“Kiran. Aku mengambil engkau menjadi istriku, untuk saling memiliki dan juga menjaga dari sekarang sampai selama-lamanya…”

Gadis itu menyadari ‘Kiran? Tunggu dulu. Tubuh yang aku pakai ini namanya Kiran? Ah, kepalaku sakit sekali!’

Arina memejamkan mata menelusuri potongan ingatannya, kemudian gadis cantik lain yang begitu menawan tersenyum. Arina memaksa dan mengejar ingatan tersebut untuk mencari tahu siapa gadis itu. Serta meminta penjelasan atas semuanya. Ini alam mimpi tetapi kepalanya berdenyut layaknya kehidupan nyata.

“…Pada waktu susah maupun senang, kelimpahan maupun kekurangan, dan pada waktu sehat maupun sakit….”

Gadis menawan dalam bayangan pun berkata, “Kehidupanmu akan lebih baik jika kau menerima penawaranku.” Arina terdiam, ia sedang larut dengan pikirannya – menimbang kata-kata perempuan asing.

Mendengar kata ‘lebih baik’ membuat Arina sediki tergugah, mungkin kesempatan tidak datang dua kali.

Baiklah, tawaranmu aku terima.” Balasnya jelas.

“…untuk selalu saling mengasihi dan menghargai, sampai maut memisahkan, dan inilah janji setiaku yang sangat tulus.” Pengantin laki-laki selesai mengucapkan janji pernikahan.

Arina dalam sosok Kiran kembali tersadar bersamaan selesainya kalimat sakral, kemudian dikejutkan oleh suara pendeta yang meminta mengulangi apa yang dikatakan pengantin laki-laki. Seketika sakit kepalanya hilang, sungguh ia keheranan.

“Kalian berdua sudah resmi menjadi suami istri.” kata sang pemimpin agama membuat perempuan paruh baya di kursi tamu paling depan mengusap air mata.

‘Sekarang aku mengerti, aku tidak sedang bermimpi. Aku benar-benar menikah sebagai perempuan yang berbeda. Apa aku menggantikan posisi gadis itu atau bagaimana?’ Arina masih sulit memahami, yang ia ketahui adalah menjadi sosok Kiran – seorang pengantin dan istri.

Pemasangan cincin secara bergantian tersemat pada masing-masing jari mempelai. Bagian untuk perempuan memiliki berlian lebih besar, bahkan Arina melihatnya dengan tatapan takjub. Biar gadis itu menebak, pasti harganya sama dengan harga sebuah mobil. Penawaran gadis ‘menawan’ memang benar adanya. Bahkan ia belum pernah melihat cincin seberkilau ini.

Kemudian Wira mendekat, memangkas jarak di antara mereka, membuka Veil dan sedikit menunduk, perlahan ia menyamakan tinggi dengan Arina. Dahinya dipenuhi keringat, seperti orang yang sedang melawan ketakutan.

‘Kenapa dia?’ Arina mengerutkan dahi.

Sesaat berikutnya bibir asing menempel pada bibirnya, mata hitam bulat pun membola sempurna. Wira mengecup singkat hingga riuh tepuk tangan mengejutkan pasangan suami istri baru.

‘Ternyata ciuman itu begini rasanya’. Arina si gadis minim pengalaman dalam hubungan pacaran akhirnya mendapatkan ciuman pertamanya. 

‘Eh!’

‘Ini bukan mimpi kan?’

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status