Terdengar napas si lelaki ngos-ngosan setelah adegan yang dianggap romantis oleh semua orang. Kemungkinan hanya perempuan di sebelah yang memperhatikan.
Sepasang pengantin baru ini beralih tersenyum – namun ekspresi sang suami terkesan kaku – terlebih menyambut para tamu yang memberikan ucapan selamat. Kalau bukan salah satu dari keharusan, ia tidak akan pernah melakukan hal mengerikan ini. Juga Wira harus menyiapkan berbagai alasan agar tak menerima salaman tiap tamu.
Pengantin perempuan melayangkan pandangan tempat terselenggaranya pernikahan.
Sedari tadi ia baru menyadari kalau pernikahan dilaksanakan di halaman luas rumah pribadi. Dengan rumput yang tak membiarkan tanah terlihat. Di dominasi warna putih pada setiap dekorasi. Melihat banyaknya kursi, menyatakan tidak sedikit tamu yang hadir. Pula rata-rata tamu bukan dari kalangan biasa – Arina bisa melihat handbag dengan brand langit.
Perempuan berumur tetapi bagi Arina dia masih begitu anggun, menghampiri. Senyum haru bersamaan air mata menetes yang segera ia tepis. Memberi pelukan hangat pada pengantin perempuan.
“Terimakasih sudah memilih putra sulung saya.” Ungkapan sangat tulus terdengar oleh Arina.
‘Ah. Ternyata dia ibu laki-laki ini’ Si menantu baru ingat kalau yang menangis tadi ternyata ibu mertuanya. Tak sengaja dia melirik Ningrum mengusap pipi ketika mereka mengucapkan ikrar pernikahan.
‘Tuhan sangat baik memberiku kesempatan merasakan kelembutan seorang ibu’ Arina ikut terharu.
“Kalau dilihat-lihat, saya pihak yang beruntung. Anak tante sangat tampan.” Sedikit candaan dengan kedipan mata lucunya membuat Ningrum terkekeh.
“Mama. Lebih suka dipanggil mama. Karena Kiran sudah menjadi bagian keluarga kami.” Mencubit lembut dagu sang menantu.
“Baiklah, Mama.” Ia tersenyum malu. Mungkin karena kata yang belum fasih diucapkan, bahkan kedepannya panggilan itu akan terus ia pergunakan.
Arina sadar akan suatu hal setelah Ningrum izin pamit sesaat lalu, perempuan anggun itu tak ber-dialog dengan laki-laki di sebelahnya. Terlebih memberi pelukan seperti padanya tadi. Bahkan Arina tidak mendengar suara Wira lagi sesudah sumpah pernikahan.
Para tamu undangan kian ramai bergiliran memberi ucapan selamat kepada pengantin. Dengan Arina yang semakin keheranan pada pria di samping. Wira enggan melakukan hal seperti pengantin biasanya, ramah kepada tamu-tamu. Sebatas balasan senyuman dari si pria. Bahkan, Wira menyisihkan jarak satu meter dari posisi Arina berdiri.
*Kau saja yang menyambut salaman tamu. Aku tidak bisa. Aku tunggu di sini.*
Kalimat yang Wira sampaikan pada si istri sebelum melangkah mundur. Ia duduk tak jauh dari posisi perempuan itu. Setidaknya menciptakan jarak agar ia bisa bernapas lega. Untuk menghindari perdebatan, Arina memilih diam dan menjalankan semuanya.
‘Laki-laki aneh’ gerutu gadis itu dalam hening.
‘Bisa-bisanya dalam mimpi dia semena-mena, inikan mimpiku. Ah, aku lupa kalau ini nyata. Saking nyatanya aku merasa singgah di tempat terbaik lalu pergi tanpa sisa’.
Sesekali pengantin pria menghela napas, mengontrol diri ketika bayangan bibir Arina menghantui. Saat itu dia hampir mati, juga tangan yang berkeringat dingin. Untung salah satu anatomi tubuhnya yang kenyal sebatas mengecup. Kalau lebih mungkin lelaki ini akan pingsan di tempat.
‘Aku sudah tidak kuat ingin duduk’ pengantin perempuan yang selalu menggerutu. ‘Sepertinya salam-salaman tidak terlalu perlu dilakukan’.
Setelah ibu-ibu pembawa kipas tangan kecil yang diselipkannya ke siku memberi selamat, Arina tampak begitu lega, segera ia duduk di sebelah sang suami. Sontak Wira berdiri membuat Arina terheran dan menatap lama. Kejutan-kejutan yang dihasilkan pengantin pria seringkali membuat Arina tercengang.
“Jangan terlalu dekat denganku!” Wira memperingati. Tangannya mengepal erat, menarik kursi agar menjauh dari Arina lalu memalingkan wajah.
“Apasih! Aku cuma duduk. Aku capek tahu. Sudah seenaknya menyuruhku menyambut tamu dan kau berdiam diri di sini, sekarang malah membentakku.” Arina tak kalah kesal.
Sepintas ide jahil menantu Ningrum muncul, bibir itu menyeringai sambil melirik laki-laki yang cukup jauh di sampingnya. Perlahan ia mendekati Wira yang enggan menghadapnya. Selangkah demi selangkah Arina berusaha menyeret kursi agar tak menimbulkan suara. Tepat di belakang Wira dan BOOM! Gadis itu menepuk dua bahu putra tertua Arasatya secara tiba-tiba.
“Arghhh…!” Wira terkejut sampai terjerembab.
Pelaku perempuan tadi tertawa puas.
“Kau! Kau wanita aneh.” Dengan cepat ia bangun. Pergi begitu saja.
***
“Hei, laki-laki payah. Kau meninggalkan istrimu di sana sendirian?” Tegur sapa putra bungsu Arasatya pada sang kakak – setia mengikuti langkah Wira.
“Kalau aku menemuinya, kakak marah tidak?” Dia belum melihat raut gusar sekaligus cemas Wira.
Terus saja Rakin membuntuti putra sulung Arastya hingga kamar. Sampai bunyi pintu berwarna putih tertutup sempurna. Cara pengusiran hama pengganggu yang tepat. Rakin berdecak kesal, berucap pun Wira tak mau atau sekedar membalas dengan senyuman.
Si bungsu keluarga Arasatya beranjak keluar, menuju halaman depan rumah – tempat pernikahan. Dia celingukan mencari sosok kakak ipar. Terlihat oleh netra Rakin, bahwa sosok pendamping sang kakak begitu manis ketika tersenyum.
Di sana Arina duduk sendirian sesudah ditinggal laki-laki berstatus suami. Rakin benar-benar penasaran dengan perempuan tersebut. Mungkin dia bisa meminta kunci bagaimana cara mendekati kakaknya. Mendengar kabar pernikahan Wira memang membuat seisi rumah keluarga Arasatya terkejut.
“Halo kakak ipar” sapaan Rakin merasa akrab.
Kakak iparnya menoleh bersamaan tatapan heran, “Rakin. Adik kak Wira” pemuda itu mengulur tangan.
“Kiran.”
“Aku sudah tahu.” Balas putra bungsu langsung.
“Ah, baiklah.” Mengangguk-angguk pelan, lalu mengalihkan pandangan.
“Maaf baru bisa menemui kakak ipar sekarang. Boleh aku panggil mbak Kiran? Em… biar lebih dekat, kakak ipar kan sudah jadi menantu Mama.”
“Yah, silahkan.”
'Lama sekali perjanjian ini. Aku ingin segera kembali ke tubuhku yang asli. Tubuhku ini terasa pegal semua. Dasar laki-laki tak tahu diri. Enak sekali pergi begitu saja membiarkanku mengurus para tamu' benak Arina memprotes.
Kecelakaan tak terkira dan seolah takdir buruk bagi Wira Arasatya, harus disembunyikan dari muka publik. Wisnu yang seorang pemilik nama terpandang tidak mungkin membiarkan kasus buruk mencoreng Ars Corporation.Kecurigaan dari masyarakat yang mengamati berita tersebut terus menjadi bahan ocehan. Dan tentu saja Wisnu tidak ingin putranya menjadi konsumsi publik – sebab kasus itu merupakan berita buruk, di mana putra sulung Arasatya menyetir dalam keadaan mabuk. Mudah sekali untuk media yang haus akan kasus para konglomerat.Namun, saat itu kasus Wira seolah lenyap. Para reporter dan penulis berita juga enggan mengambil risiko.***Pagi ini tuan muda menemui Jimmy, ia semakin penasaran dengan otaknya yang terkadang sengaja mengingat kejadian memilukan. Memori perempuan bergaun merah serta seringainya membuat pria yang memiliki tekanan jiwa – akan hal itu – semakin bermunculan.“Kebiasaan barumu ya datang tanpa menelepon dulu? Tidak sulit kalau menyuruh asistenmu berbicara padaku barang
[SEBELUM PERNIKAHAN] “Aris. Kau pulang saja, aku bisa menyetir sendiri.” Tuan muda memerintah sekretaris. Menikmati segelas alkohol pertama sedikit membuat tenggorokan tersengat, Wira beberapa kali mendesah. Malam akhir pekan. Kala itu… untuk pertama kalinya Wira dan Aris minum bersama, tuan muda mulai merasa jenuh dengan kehidupannya yang monoton. Liburan? Ia habiskan untuk bekerja dan dituntut oleh ambisi-ambisi yang harus ia capai. “Tidak. Bisa-bisa kau mabuk. Aku tidak mau ada apa-apa denganmu!” Sembari Aris menolak tawaran minum untuk gelas keduanya. “Kau sudah bekerja keras, luangkan waktumu untuk istirahat.” Wira terdengar memaksa. Tuan muda sengaja menyewa kamar hotel – tanpa seorang pun pengganggu. Beserta botol minuman beralkohol dengan harga tinggi. Kehidupannya yang berbeda atau bahkan di mata orang-orang tampak aneh, hanya dia dan Aris. Para kolega direktur Ars Corporation mulai mempertanyakan pernikahan putra tertua Arasatya, sungguh memuakkan kata-kata yang kelua
Wira merasakan lehernya tercekat, seakan udara sulit menetralkan dadanya, penyesalan dan rasa bersalah datang kian membesar.‘Apa hubungannya kejadian itu dengan Kiran?’ ia benar was-was.Putra tertua Arasatya berusaha mengontrol dirinya untuk memudahkan suara keluar dengan sempurna.“A-apa gadis di mimpimu meninggal?” cara bicaranya yang pelan sekaligus ragu.Sesuai apa yang ditakuti Wira, perempuan di depannya mengangguk. Dadanya seolah bergemuruh, namun ingatan tentang Kiran tetap di sampingnya ketika ia berbicara kisah gadis bermidi dress – memberi sedikit ruang lega.‘Ternyata kejadian memilukan itu adalah diriku sendiri, takdir hendak memberitahuku dengan cara mendatangkan mimpi tersebut. Bagaimana bisa ingatanku tentang kehidupan sebelumnya bisa terlupakan?’ Kiran semakin tidak mengerti.“Mi-mirip sekali dengan gadis yang aku tabrak.” Ucapan Wira setengah berbisik.“Apa?” Sialnya Kiran bisa mendengar. Hanya saja ia terkejut.“Lupakan.” Titah pria itu.Ada setitik curiga dalam b
“Berapa lama lagi aku berada ditubuhmu? Kemungkinan terburuknya jiwaku akan mati mengikuti jasadku?”Gadis di balik meja menundukkan pandangan, “Aku tidak tahu. Setelah perjanjian yang kita sepakati, begitu saja aku di tempatkan di perpustakaan ini.”“Jika jiwamu terkurung di sini, bukan tidak mungkin ia akan kembali bukan? Kalau benar asumsiku, cepat atau lambat aku akan mati, Kiran. Dan perjanjian itu untuk pertama kali aku menyesalinya. Aku merasa dimanfaatkan! Tidak. Ini tidak adil bagiku.” Arina memundurkan langkah perlahan.Gadis penunggu perpustakaan klasik masih termenung, gurat wajahnya tetap datar seperti biasa. Kulit putihnya bersinar, memancarkan cahaya dalam sekejap. Tiba-tiba gadis itu berada tepat di depan jiwa Arina.“Darahmu sudah menjadi saksi perjanjian, dan kau manusia yang terpilih untuk bertukar jiwa denganku.”***“Da-darah?” Kiran berjiwa Arina terjaga dari mimpi. Dada itu seakan sesak di iringi napas yang terengah.Bayangan gadis bermidi dress hitam kemarin ke
“Kalau begitu kau boleh pergi.” Wira berkata cepat. Ia bisa menjadi manusia setengah mati kalau benar-benar Kiran melakukan ucapannya tadi. Membayangkannya saja membuat Wira sesak napas.‘Ternyata kau sungguh takut dengan perempuan ya?’ Kiran tersenyum miring, asumsinya semakin menunjukkan kebenaran.Kemudian tubuh mungil menurut Wira pun melenggang pergi.Sementara itu, lelaki di sofa menyambar gelas berisi air putih di samping – lalu meminumnya. Tenggorokan yang basah berhasil menyisihkan sedikit kecemasan.Kemudian hening.Rumah besar terasa kembali seperti pertama kali Wira menapakkan kaki ketika Jimmy memperbolehkannya pulang. Semua orang terlihat enggan berbicara pada si sulung. Di saat malam tiba, mimpi buruk menghantui Wira kecil.Ketakutan serta tangisan terdengar pilu bagi seorang ibu. Ningrum tak bisa berbuat apa-apa selain terisak hingga tak bersuara lagi.Rakin lah orang yang mampu mengajak s
Misteri kapan kembalinya jiwa Kiran ke tubuh yang digunakan sosok Arina saat ini semakin membuat kepala menantu keluarga Arasatya berdenyut.Rasanya ia tidak rela pergi dari tubuh ini.‘Kalau Kiran meminta badannya kembali, lalu jiwaku akan berpindah ke mana? Apa aku bisa mati mengikuti jasad seorang Arina yang terkubur?’ pikirnya. ‘Aku harus bagaimana? Jika Kiran benar-benar memaksaku memberikan tubuh ini, sama saja dia egois bukan? Tidak ada untungnya bagiku. Lebih baik dari awal aku tidak menerima tawarannya’. Ia mulai goyah pada perjanjian di antara mereka.Seperti angin menyelinap ke dalam ingatan, Kiran teringat teman dekat – Riana. Sesuatu yang mengganjal akhir-akhir ini.‘Aku tidak bisa percaya sepenuhnya sebelum melihat langsung kuburan tubuhku.’ Tubuh Arina yang ia maksud. ‘Apa aku bisa membujuk Riana?’ Kiran berpikir sambil memainkan kuku ibu jari tangan, sedikit menggigitinya pelan.