Share

Peraturan

Kiran pun menggeleng menandakan dia tidak tahu apa-apa. Kali ini sikap perempuan di hadapan Wira seolah memiliki dua sisi. Pertemuan mereka di hari pernikahan, menunjukkan karakter Arina yang terkesan jahil serta tidak menghiraukan peringatan dari pria itu. Sebelumnya tidak ada orang yang berani menyela ucapan putra sulung Arasatya. Namun, berbanding terbalik dengan sekarang, menantu keluarga lebih banyak berperilaku lembut seperti kebanyakan orang yang membincangkannya.

“Semua orang mengatakan kau gadis yang lembut, bahkan keluargaku berpikir demikian. Tapi, aku berpendapat lain.”

Kiran tidak bisa membantah, memang benar adanya dari perkataan laki-laki tersebut.

“Sebaiknya kau tanya pada keluargamu sendiri. Ah, lebih tepatnya ayahmu, sampai-sampai ingin bersimpuh padaku agar aku menikahimu. Karena mama juga mendesak – dia tidak mau mendengar gunjingan para kolega bisnis bahkan saudara sendiri, terpaksa aku menikahimu. Lagipula pertama kali bertemu kau terlihat seperti perempuan yang sangat baik.” Jelas sekali tatapan mengintimidasi mengusik lawan bicara sehingga membuat keraguan untuk berbicara.

“Ma-mama tahu ayahku bertemu denganmu?” Kiran ingin mencari titik terang, semua ini tambah rumit. Kehidupan sekarang tidak lebih baik dari kehidupan sebelumnya.

“Tidak. Pernikahan terjadi juga karena ada sesuatu yang harus aku lakukan, sebuah eksperimen mungkin?” Perkataan putra sulung Arasatya seolah sedang berhadapan dengan teman bisnis.

‘Apa ini peraturan yang dikatakan Rakin?’ pikir Kiran.

“Biar aku tebak. Pernikahan ini hanya sebuah perjanjian antara kau dan ayah, hanya kalian berdua yang tahu? Kenapa kau tidak menolak saja? Ini kan tidak ada untungnya untukmu.” Si gadis berusaha mengorek lebih informasi. Tuduhannya atas penawaran Kiran yang tidak ingin menikahi pria batu dan aneh, dengan bodohnya ia tergiur dan langsung menerima. Hanya saja, tak ingin terlalu kentara.

Menjadi pengantin tidak seperti yang terdengar dari ucapan orang-orang yang mendambakannya. Rupanya kabar itu cuma penghibur semata.

“Bukannya sudah kujelaskan, ada hal yang ingin aku luruskan. Aku tidak pernah menerima kerjasama kalau bagiku itu merugikan.” Laki-laki di atas sofa tampak berbeda, dia bukan Wira yang kemarin. Putra sulung keluarga seperti memiliki aura kejam.

[Sepuluh hari yang lalu]

“Tuan, pak Lukman sedang berada di kantor pusat ingin menemui anda.” Sekretaris bernama Aris berbisik pada Wira, dialah pekerja yang paling dekat dengan putra sulung Arasatya.

‘Tidak biasanya dia langsung datang padaku’ heran batin Wira.

Lelaki itu melepaskan jas yang sedikit menganggu, memberikannya kepada si sekretaris. Kepulangannya dari luar kota seperti ditunggu-tunggu orang yang diketahui bernama Lukman. Secara tergesa Wira dan Aris menuju mobil penjemputan, sesaat lalu sekretaris menghubungi dan memberitahu bahwa tuan muda sudah tiba di bandara.

Tujuan mereka adalah kantor utama Ars Corp (Arasatya Corporation). Tak jarang pria di kursi belakang menyunggingkan senyuman, dia sudah tahu apa tujuan Lukman yang tiba-tiba ingin bertemu, kalau bukan masalah keuangan berarti penjualan asset-asset untuk menunjang kekurangan perusahaan yang di ambang kebangkrutan.

Pintu mobil dibukakan oleh sang sekretaris, menandakan mereka telah sampai kantor induk. Hanya satu orang yang bisa berdekatan dengan Wira, benar, Aris. Para pekerja lain mengikuti dari jarak satu meter. Semua bawahan seolah menutup mata peraturan yang dibuat atasannya.

Pintu transportasi vertical berbunyi ketika pengguna sudah tiba di tempat tujuan, Wira dipersilahkan lebih dulu melangkah. Dua laki-laki itu memasuki ruangan utama.

Dengan sigap pria tua di sana memberi hormat, dia tahu sekali siapa pemuda yang di hadapi ini. Putra sulung Arasatya dikenal karena peraturannya yang unik, sebagian relasi Ars Corp tidak menuntut atau ambil pusing. Sebab keuntungan dalam dunia bisnis lebih diutamakan daripada masalah pribadi kolega tersebut.

Dilihat dari cara Lukman, dia menjaga jarak seperti peringatan yang diberitahu oleh Aris.

“Senang bertemu denganmu.” Sapa lelaki tua setelah melihat orang yang ia tunggu tiba.

“Ada apa, pak Lukman?” Wira menyambut sapaan sembari menuju meja kerjanya, kemudian menghadap tamu yang sedang memberanikan diri untuk angkat bicara.

“Aku memiliki seorang putri, cantik, sifatnya lemah lembut dan penyayang-”

“Kau ingin menjual putrimu padaku?” Wira memotong ucapan, disambut keterkejutan lelaki tua di depan.

“Tunggu, bukan seperti itu. Kau tahu Wira, Kiran bukan anak kandungku tetapi aku sangat menyayanginya. Aku tidak ingin dia tahu rahasia yang aku tutupi bertahun-tahun, alasan aku menyerahkannya padamu karena kakakku mengancam akan melukai Kiran. Ada permasalahan dalam keluarga kami yang mengharuskanku menemuimu seperti ini. Aku tahu ini sangat memalukan, hanya saja Wisnu (ayah Wira) temanku sedari dulu.” Lukman tampak memohon.

“Bagaimana kalau aku menolak?” Lukman memakai cara licik demi menunjang dana perusahaan, sulit dipercaya dia bermain dan bertaruh dengan putri sebagai imbalan.

Pantas saja kau berteman dengannya (Wisnu), kalian sama-sama gila’. Wira tersungging – menganggap ini lucu.

“Aku akan melakukan apapun untukmu, terpenting membuat Kiran aman. Setidaknya Linda takut kalau berurusan dengan keluarga Arasatya.”

'Aman? Kau tetap sama Lukman, seperti anjing yang tidak mengakui sebagai penikmat tulang padahal itu makanan utamanya'.

“Pak Lukman tidak takut jika putrimu aku lukai?” sedikit ancaman dari Wira.

“Aku sangat percaya Wisnu, cara dia mendidikmu dan cara dia menghargai perempuan.” tegas Lukman yakin.

Pemuda itu menyeringai – ia  mendengar omong kosong lagi – beranjak ke depan meja kerja, bersandar. Bersedekap sembari ia melirik Lukman sesaat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status