“Setelah kakak (Wira) menyetujui menikah dengan mbak, kami semua terkejut. Termasuk mama, sampai-sampai menangis. Aku juga tidak tahu apa yang membuatnya tertarik pada mbak Kiran. Tapi, aku senang sekali. Dan aku merasa mbak itu perempuan paling baik.” Rakin tersenyum lebar, ekspresinya manis sekali. Seolah wajah Wira yang sedang manja, karena kemiripannya.
“Kamu berlebihan. Aku tidak sebaik itu. Lagipula ini tidak akan lama, bisa saja penawaran tersebut hangus tanpa tahu waktu dan tempat, sebentar lagi aku juga akan bangun dan kembali ke kehidupan menyedihkan.”
Pria di sebelah menaikkan sebelah alis, “Penawaran? Hahaha. Kakak mau ngelucu, ya?” sebenarnya itu tawa yang terkesan terpaksa. Pemuda ini mengira kakak iparnya sedang melawak.
“Ngelucu? Maksud kamu?” sekarang Arina yang terheran.
‘Bisa-bisanya adik kakak beda sifat begini’ pikir Arina.
Rakin pun menarik hidung menantu Arastya dengan di apit jari telunjuk dan jari tengah hingga si perempuan mengaduh.
“Sakit?” tanya Rakin.
“Ya iya lah.”
Arina terdiam ‘Aku bisa merasakan sakit? Apa waktuku di sini akan bertahan lama?’
“Halo… (menggerakkan telapak tangan ke atas ke bawah di depan wajah Arina) mbak, kenapa melamun?” adik Wira menyadarkan.
Kakak ipar bertanya lagi. “Ini benar-benar nyata?” dia terkejut membelalakkan mata, menatap laki-laki di dekatnya.
“Nyata? Tentu saja ini dunia nyata, mbak.” Rakin terkekeh, mungkin kenaif-an dan kepolosannya yang membuat Wira tertarik. Pikirnya.
***
Selesainya acara pernikahan, menantu Arasatya didatangi dua perempuan berseragam, menunduk sopan sebelum berbicara.
“Nona. Kami diminta untuk mengantar anda ke kamar.” Salah satu pekerja berkata. Tanpa balasan, Arina mengikuti.
Dia bisa melihat rumah besar berdiri kokoh tepat di belakang halaman – lokasi pernikahan tadi.
‘Jadi ini rumah?’ lagi-lagi gadis itu dibuat takjub. Ia dibuat penasaran siapa laki-laki yang menjadi suami Kiran.
“Nona. Kita lewat pintu belakang saja, lebih dekat dengan kamar nona.”
‘Apa mereka ingin menjadikanku pembantu di rumah ini? Atau jangan-jangan aku salah satu menantu yang akan disiksa? Setelah mereka berhasil menutupi aib, aku akan jadi korban? Ah, yang benar saja. Lihat saja, aku akan kabur saat malam hari. Kalian pikir aku perempuan lemah?’ Dugaan sementara perempuan pendatang baru rumah keluarga Arasatya. Pikiran buruknya berkata demikian ketika pekerja menyebutkan pintu belakang, rumah-rumah kaya biasanya menaruh pembantu di sana, bukan?
Di pandu dua maid (pembantu) yang menyusuri ruang demi ruang, namun Arina masih patuh mengikuti. Tatapan kagum ketika melihat besarnya rumah ini, benda-benda mahal menghiasi di setiap sudut. Arina tak paham betul benda tersebut semahal apa, hanya menyimpulkan : rumah besar pasti pemiliknya kaya, dan barang-barang berkilau sudah pasti mahal harganya.
“Silahkan, nona. Itu kamar anda.” Maid menunjuk pintu berwarna putih. Ia sedikit lega setelah mendapati bentuk pintu tersebut terlihat mewah dengan beberapa ukiran ringan.
Dua pekerja memastikan nona-nya masuk terlebih dahulu sebelum pergi. Mata hitam Arina langsung di suguhkan kamar luas dengan ranjang berada di tengah-tengah, setelah pintu terbuka. Harum kamar menyeruak begitu saja.
‘Orang kaya benar-benar berbeda’.
Tubuh pegalnya segera ingin terbaring puas di atas tempat tidur besar di sana. Segera ia melucuti gaun pernikahan yang sedikit kusut dan lusuh terkena debu-debu halus. Dengan santainya Arina membuka resleting dan membuyarkan rambut yang tertata rapi. Dia tidak memedulikan itu lagi. Ranjang di sana seolah merayunya untuk segera tidur.
Kemudian terdengar suara pintu lain terbuka, dengan cepat Arina menyusup ke dalam selimut, menutupi seluruh tubuhnya, menyisakan kepala saja.
“Kau! Siapa yang menyuruhmu masuk kemari?” Wira si pemilik kamar terkejut. Dia baru menyelesaikan acara mandi. Rambutnya juga masih belum kering betul.
“Ma-mana aku tahu ini kamar siapa. Aku hanya di suruh.” Si istri berkilah.
“Cepat pergi dari sini, sebelum aku berbuat lebih!” Wira mengancam.
Apa boleh buat. Arina telah diusir, mau tidak mau dia pindah dari kamar besar milik putra sulung Arasatya. Sambil membawa selimut untuk menutupi tubuhnya, Arina pun beranjak.
“Jangan mendekat!” Seketika Wira membuat Arina keheranan.
“Hei, pak. Bagaimana aku tidak kearahmu, pintu keluarnya kan ada di belakang.” Menunjuk dengan satu tangan arah belakang tubuh pemilik kamar. Sesaat Wira menoleh. Dengan cepat ia bergeser, menciptakan jarak lebih besar.
‘Siapa bilang perempuan ini lemah lembut’. benak Wira. Dia merasa ditipu. Nyatanya perempuan yang dia nikahi adalah sosok menyebalkan.
“Kau kenapa belum pergi?” tanya si laki-laki melihat Arina masih berdiam diri dekat ranjang dalam balutan selimut.
“Aku tidak punya baju. Tidak mungkin keluar dengan selimut ini.”
“Pakai saja bajumu yang tadi.” Saran tidak masuk akal pemilik kamar.
“Tuan yang aku tidak tahu namanya, kau tidak lihat baju itu? Sudah kotor. Lagipula itu gaun, untuk apa aku memakainya malam-malam.”
Wira mengalah, “Cepat kau pakai saja bajuku, ambil saja yang kau suka. Habis itu cepat keluar.”
Lawan bicaranya mengiyakan, melangkah ke arah yang salah.
“Bukan di sana, tempat pakaianku di sisi kiri. Dekat rak buku kecil.” si pria memberitahu.
Arina mengikuti arahan suaminya, dan di langkah pertama memasuki ruangan tersebut dia kembali menganga. Deretan rapi jas sesuai warna menggantung, pula khusus pakaian santai terletak pada sudut berlawanan. Mulai dari baju, kaus, hoodie serta celana pendek.
“Apa aku benar sedang tidak bermimpi seperti yang anak itu (Rakin) katakan?” gumam gadis dalam balutan selimut, menengok-nengok setelan baju Wira. “Ini seperti tidak nyata bagiku, semua kemewahannya, ibu mertua yang sangat baik. Aku harus memastikannya apakah ini mimpi atau bukan.” Bergegas ia mengambil salah satu baju kaus milik Wira, membuang benda berat yang membungkus tubuhnya tadi.
“Apa yang kau lakukan? kenapa lama sekali?” pemilik kamar berteriak. “Cepatlah keluar.”
“Dia ingin sekali mengusirku, ya?” kesal Arina.
Gadis itu bertanya ketika sudah menunjukkan dirinya di hadapan putra sulung Arasatya, “Aku boleh minta bantuan tidak?”
“Tidak. Lagian aku sudah memberimu baju.” Wira menolak tegas.“Aku hanya ingin memastikan sesuatu. Kau bisa memegangku? Atau menampar, mencubit dan sejenisnya?” tanpa bersalah dia mendekat pria pemilik kamar.“Jangan mendekat sedikitpun! Dan aku tidak mau apapun itu!” permintaan mengerikan bagi laki-laki tersebut.Arina tidak menghiraukan perkataan Wira. Perkataan tersebut seperti ancaman tetapi menyimpan ketakutan. Arina tersenyum sembari perlahan mendekati pria di sana.“Ku bilang jangan mendekat! Kau tidak mengerti ucapanku, ya!” Wira bergegas mengambil handphone di atas nakas, ia berniat menelepon Ningrum, nyonya rumah sekaligus mamanya.“Huh, Lelaki aneh!” pungkas si menantu. Kembali mengabaikan laki-laki aneh di sebelah ranjang.Arina membuka pintu dengan kesal, hatinya sangat geram karena diusir. Dia sudah seperti pekerja yang kecolongan memasuki kamar tuan muda.&ldqu
Istri Wira terlalu sibuk dengan pikirannya sampai-sampai tidak menyadari orang lain datang menghampiri.“Permisi nona muda, saya Aris sekretaris tuan Wira,” laki-laki berpakaian formal hitam memperkenalkan diri. “Saya menerima telepon dari ibu Ningrum untuk mengantar segala keperluan dan di luar sudah ada mobil yang membawa seluruh barang-barang anda.”Arina ingat ibu mertuanya akan meminta sekretaris Wira membawakan semua kebutuhannya sesaat yang lalu.‘Cepat juga barang-barang itu datang’.“Ah, iya. Bawakan semuanya ke kamarku.” Sekretaris pun menunduk hormat.Aris memberi intruksi kepada para pekerja perempuan – yang mengantar. Arina menuju kamar Wira juga segera bergegas membantu membawakan beberapa jenis paperbag. Sesampainya di sana, tak didapati laki-laki yang mengusir dirinya beberapa saat lalu.“Ada yang nona perlukan lagi?” Aris menyadarkan nona muda y
Bukan hanya itu, sesuatu yang mengganggu lainnya adalah jarak antara kursi Wira dan ibunya. Posisi mereka tak menunjukkan hubungan ibu dan anak. Sungguh tak bisa dimengerti seorang menantu. ‘Sebenarnya aku bisa menikah dengan dia karena apa? Lihatlah dia seperti pria batu, kemarin saja berteriak ketakutan’ Kiran sempat mencuri lirikan pada laki-laki di depannya. ‘Kukira kehidupan setelah menikah enak dan bahagia. Ternyata lebih menyulitkan dari hidupku sebelumnya.’ “Uhuk. Uhuk.” Wira terbatuk tiba-tiba. Sontak Kiran menyodorkan gelas terdekat yang berisi air kepada laki-laki aneh di depan. “Aku bisa sendiri.” Pria batu menolak cepat. Perlahan menantu keluarga menurunkan gelas di genggamannya, dia kembali mendapati tatapan dari seluruh anggota keluarga. Tatapan yang sama, tidak bisa dimengerti. *** Tangan lebih kecil menarik lengan Rakin yang mana pemuda itu hendak menuju pintu keluar, menyeretnya paksa
Kiran pun menggeleng menandakan dia tidak tahu apa-apa. Kali ini sikap perempuan di hadapan Wira seolah memiliki dua sisi. Pertemuan mereka di hari pernikahan, menunjukkan karakter Arina yang terkesan jahil serta tidak menghiraukan peringatan dari pria itu. Sebelumnya tidak ada orang yang berani menyela ucapan putra sulung Arasatya. Namun, berbanding terbalik dengan sekarang, menantu keluarga lebih banyak berperilaku lembut seperti kebanyakan orang yang membincangkannya.“Semua orang mengatakan kau gadis yang lembut, bahkan keluargaku berpikir demikian. Tapi, aku berpendapat lain.”Kiran tidak bisa membantah, memang benar adanya dari perkataan laki-laki tersebut.“Sebaiknya kau tanya pada keluargamu sendiri. Ah, lebih tepatnya ayahmu, sampai-sampai ingin bersimpuh padaku agar aku menikahimu. Karena mama juga mendesak – dia tidak mau mendengar gunjingan para kolega bisnis bahkan saudara sendiri, terpaksa aku menikahimu. Lagipula pertama ka
“Baiklah, aku terima tawaranmu. Menyerahkan yang kau katakan berarti menikahinya, bukan?” Tuan muda menebak.Ragu-ragu Lukman menganggukkan kepala, “Be-benar.” Pria itu kembali berpikir ‘Di luar dugaan, Wira menerima penawaran dengan mudah’.“Kebetulan yang pas, aku juga sedang mencari istri. Setelah mendengar penjelesanmu, mungkin putrimu perempuan yang tepat.”Wira akan mulai uji coba tubuhnya terhadap sentuhan perempuan, belasan tahun terapi yang dia jalani untuk menghilangkan Haphephobia. Bisa saja peraturannya dalam hal menjaga jarak antar manusia dianggap arrogant, sebab tidak mau berdekatan dengan karyawan rendahan. Dalam satu waktu, pria itu memiliki kelemahan. Kelemahan yang tidak ingin diketahui, dengan kata lain tidak mau dikasihani.Melalui pernikahan, tidak, lebih tepatnya cara untuk menyembuhkan titik lemah seorang Wira Arasatya. Meski kemungkinannya kecil.(Haphephobia
Esoknya, pukul sembilan pagi mobil putih yang diminta putra tertua Arasatya melewati pagar rumah besar. Sesuai ucapan Wira, istrinya diantar sopir atas perintah Aris. Kebohongan kecil pertama dari Kiran agar bisa keluar dari kediaman keluarga tersebut. Dia mendatangi perumahan lama, tempat kediamannya di saat menjadi Arina yang utuh. Tujuan utama adalah Riana, sahabat sejak mereka menginjak sekolah menengah atas.“Pak, antar saya sampai sini saja, tidak usah ditunggu. Nanti saya pulang sendiri.” Nona muda berbicara setelah sopir membukakan pintu. Mereka telah tiba pada lorong paling depan, butuh dua belokan lagi untuk menemukan rumah Riana.“Ta-tapi, nona-”“Nanti saya hubungi Wira, pasti dia mengizinkan.” Kebohongan kedua untuk hari ini.Sopir itu mengangguk tanpa menyahut.Ketika sampai di rumah Riana, perempuan itu langsung memencet tombol bel yang tak jauh dari pintu. Menunggu pemilik rumah membukakannya. Lim
Riana terduduk lemah – kecemasan itu menyebabkan air matanya turun, “Ah, aku benar-benar cengeng.”“Maaf, ini semua salahku, kau pasti terkejut setelah mendengar perkataanku tadi, kan? Aku menyesal, Kiran. Aku tidak tahu hubunganmu dengan Arina, tapi aku sungguh minta maaf.” Riana mulai terisak, dia merasakan ketakutan. Tidak ada yang bisa dilakukan selain menatap wajah cantik gadis terbaring. Sambil terus memohon melalui gumaman.Sesaat berikutnya, dia segera menyambar handphone dalam tas yang ia gunakan ketika bepergian. Menekan nomor darurat, meminta bantuan pihak medis atau semacamnya. Namun, di saat panggilan Riana mendapat sambutan dari pihak petugas, Kiran perlahan membuka mata.“Kiran,” Riana menanggapi cepat lalu menggeserkan tombol merah pada layar ponsel pintarnya. “Kau tidak apa-apa?” Memeluk sahabat baru penuh haru."A-aku mau pulang." Raut bingung Kiran serta kaki gemetarnya menginj
Secara sigap pekerja melakukan tugas sesuai ucapan tuan Wisnu, lelaki paruh baya ini pun mondar-mandir menunggu psikiater dan anggotanya tiba.“Wisnu, apa yang kau lakukan! Kenapa kau diam saja? Anakmu tidak bisa bangun dan kau tidak melakukan apa-apa?” suara putus asa dari mulut lembut Ningrum menjadi sesuatu yang asing, kali pertama Kiran melihat sang ibu mertua meninggikan ucapan. Di balik perkataan itu terselip kekecewaan teramat.Sesaat berikutnya, Rakin mengajak kakak ipar untuk pergi, pemuda itu lebih tenang dari yang terlihat. Dia paham betul akibatnya jika Kiran tahu kebenaran dari rahasia keluarga Arasatya.“Ayo, mbak, kita keluar.” Membantu Kiran berdiri sebab tidak kuatnya bertahan ketika melihat suami dan ibu mertua tak berdaya.Ketika adik dan kakak ipar sampai di titik tengah tangga, derap langkah terburu-buru memasuki rumah besar. Laki-laki seumuran Wisnu datang bersama anak buahnya, lengkap serta alat-alat khusus.