Pulang sekolah langsung pulang, tak boleh keluyuran. Belajar, mendapatkan nilai yang bagus di sekolah. Oke, semua itu sudah ia dapatkan dan lakukan. Sekarang saatnya menyeimbangkan semua aturan itu dengan pelanggaran.
Mengenakan dress selutut dan hels yang menutupi kakinya. Terlihat sangat anggun warna pastel itu berpadu padan dengan wajah oriental dan kulit putih yang dia miliki.
Keluar dari kamar dengan langkah perlahan. Dari atas ia berteriak pada Bibik yang berada di bawah.
"Bik, jangan memanggilku, ya. Aku mau tidur sambil dengerin musik!"
"Iya, Non!" Bibik yang berada di lantai bawah, menyahuti perkataan gadis muda itu.
Tersenyum puas saat apa yang ia lakukan, memiliki peluang yang bagus. Apalagi kalau bukan kabur.
Kembali masuk kamar dan mengunci pintu dari dalam. Lanjut menuju balkon dengan sebuah tali yang ia bawa. Jangan berpikir lagi, inilah saatnya kabur.
Mengikatkan ujung tali pada tiang dan melempar ujung satu lagi ke arah bawah. Lanjut, mulai melakukan adegan berbahaya yang beberapa kali sudah pernah ia lakukan. Turun sambil bergelantungan dengan tali sebagai perantara. Jujur saja, ini lumayan tinggi. Kalau jatuh, minimal tulangnya bisa patah.
Sampai di bawah dengan selamat, kemudian segera mengenakan hels. Perlahan mengendap endap keluar dari pagar samping. Karena kalau dari depan, otomatis ada pak satpam yang menjaga.
Berhasil keluar dari pekarangan rumah, sebuah mobil sudah stand by menunggunya. Siapa lagi kalau bukan Puja dan Rena yang sudah siap di sana.
"Beb, ini ntar kalau Om Leo tahu ... jangan bawa bawa nama gue, ya," ujar Rena yang dalam posisi mengemudi.
"Iya, tenang aja," respon Karel dengan santai.
"Tenang tenang. Udah tahu ngadepin papa lo butuh kesabaran dan nyali yang kuat, masih aja mau melanggar aturan."
"Gue anaknya. Enggak bakalan ngebunuh gue juga kalau ketahuan kabur. Paling kena omel dan tambahan larangan ini dan itu. Sudahlah, jangan terlalu dipikirkan."
Jadilah, ketiga gadis itu segera menuju ke sebuah hotel ... yang di mana acara diadakan.
Sampai si sana, mereka segera turun dari mobil dan masuk ke tempat acara. Menghampiri teman sekelas yang saat ini ulang tahun, untuk mengucapkan selamat.
"Gue ambil minum bentar, ya," ujar Karel berlalu dari Puja dan Rena yang masih mengobrol.
Berjalan pelan menuju sebuah meja, hendak menyambar gelas minuman yang sudah tersedia di sana. Tapi di saat yang bersaman, seseorang juga hendak mengambil gelas tersebut hingga akhirnya malah memegang tangannya.
"Ah, maaf," ucap dia yang segera menarik kembali tangannya.
Melihat siapa yang ada dihadapannya kini, rasanya sedikit canggung. "Nggak apa apa, buat Kakak saja," ujarnya tenang dengan senyuman manis menghiasi sudut bibirnya.
"Karelyn," gumamnya.
Karel mengangguk. "Apa kabar Kak Rafa? Udah lama nggak pernah liat lagi. Hmm ... ada kali setengah tahun yang lalu, ya." Tawanya pelan mencoba mencairkan suasana yang sedikit kikuk.
"Kabarku baik. Iya, semejak kejadian yang ..."
"Aku yakin pasti Kakak udah bahagia sekarang," sambung Karel langsung pada perkataan cowok bernama Rafa itu.
Di saat keduanya sedang bicara, Rena dan Puja datang menghampiri. Terlihat, raut tak suka langsung ditunjukkan dua gadis itu mendapati siapa yang ada bersama Karel.
"Astaga! Karel. Ngapain, sih ... masih dekat dekat sama cowok ini. Belum puas, disakitin sama dia?" tanya Rena seakan menyindir Rafa.
Karel menyikut lengan sobatnya itu, karena tak enak dengan perkataan yang dia lontarkan.
"Kak Rafa juga. Dengan semua yang udah terjadi, kayak nggak punya malu aja buat berdiri dihadapan Karel," tambah Puja menyerang Rafa.
"Gaes, udah deh ... jangan memperkeruh suasana. Ini acaranya orang. Kalian mau bikin rusuh?"
Puja dan Rena menyambar tangan Karel berbarengan ... kemudian membawa sobat mereka itu pergi dari hadapan Rafa.
"Kalian apa apan, sih?!" Menarik paksa tangannya yang berada dalam pegangan Puja dan Rena.
"Rel, lo yang apa apaan? Apa belum puas dibikin sakit hati sama dia? Apa sekarang mau mencoba sakit hati itu sekali lagi?"
"Puja ... maksud lo apa, sih?"
"Lo ngapain dekat dekat sama dia lagi?"
"Gue nggak ada niat dekat dekat sama dia, kok. Cuman tadi kebetulan ketemu di sana. Lagian, buat apa gue dekat sama orang yang udah bikin sakit hati. Gini gini, gue juga punya perasaan."
Puja menghela napasnya saat mendengar penjelasan Karel.
"Sorry. Gue bukan bermaksud gimana gimana. Cuman nggak tega aja kalau lagi lagi dia deketin elo," ungkap Puja.
"Puja benar. Udah aman sama Kak Ziel juga, kan, sekarang. Demi apa itu cowok keren banget," puji Rena membayangkan sosok Ziel yang bahkan bisa mengalihkan dunia.
"Gue nggak ada hubungan apa apa sama Kak Ziel. Hanya hubungan Kakak adik," terang Karel meluruskan pemikiran sobatnya yang entah malah menyelonong kemana mana.
"Gue nggak yakin," tambah Puja.
Karel memberengut kesal dengan pemikiran Puja dan Rena yang menurutnya suka mengada ngada. Padahal tak sekali dua kali ia menjelaskan perkara hubungannya dengan Ziel, tapi tetap saja keduanya seakan tak percaya.
Ya namanya acara anak muda, tentu saja penuh dengan kehebohan. Apalagi saat jam aman sudah lewat, seakan akan pesta yang tadinya berkonsep elegan berubah suasana jadi club dadakan.
Ponsel milik Karel yang ada di dalam tas nya berdering puluhan kali, tapi tentu saja itu tak direspon. Karena suasana bising.
Karel, Puja dan Rena kembali duduk di kursi. Kemudian mengobrol sambil meneguk minuman mereka yang ada di meja. Karel meneguk minumannya beberapa kali tegukan, tapi sejenak tertegun saat merasa ada yang aneh dengan rasanya. Awalnya biasa, tapi lama kelamaan malah merasa kepalanya terasa pusing.
"Gaes, gue ke toilet bentar, ya," ujarnya pada Rena dan Puja. Baru juga berniat beranjak dari posisi duduknya, tapi ia kembali terduduk karena pusing.
Sontak Rena dan Puja seketika panik.
"Rel, lo kenapa?" tanya keduanya khawatir.
"Kepala gue pusing banget," ungkapnya dengan mata terpejam menahan rasa yang benar benar tak mengenakkan.
"Lo sakit apa gimana, sih? Kenapa tiba-tiba gini?" Puja makin heboh tak karuan, membuat orang orang di sekitar mulai fokus pada mereka semua.
"Lo nggak mesan minuman beralkohol, kan." Rena memeriksa gelas bekas milik Karel yang mash tersisa isinya. "Pantesan," decaknya saat memastikan kalau Karel ternyata memang meminum minuman beralkohol.
Di saat yang bersamaan, Rafa datang menghampiri.
"Ada apa?" tanyanya.
"Karel pusing katanya. Ternyata pasku cek, dia salah minum," terang Rena.
"Itu gelas gue, kok ... nggak salah minum. Cuman, kenapa isi nya bisa berubah," herannya dengan mata terpejam.
Asli, kliyengan rasanya. Beberapa kali pernah minum, tapi enggak yang sampai semabuk ini. Padahal tadi ia minum juga hanya sedikit. Bisa bisa kalau banyak, auto nggak sadar dirinya.
"Gue anter lo pulang aja, ya. Takut ntar kenapa kenapa," ujar Puja.
Bukan hanya itu, ia justru lebih ngeri jika laki laki paruh baya itu mengamuk saat tahu Karel kabur dan pulang pulang malah dalam keadaan seperti ini. Bisa bisa ia dan juga Rena dibacok sama Om om dingin itu.
"Gimana kalau aku saja yang mengantar Karel pulang ke rumah," ujar Rafa memberikan saran.
"Nggak usah! Biar aku sama Rena."
Rafa mengangguk. "Hanya memberikan saran. Karena ku tahu, kalau Karel pulang dalam kedaan kayak gini pasti papanya bakalan ..."
"Kak Rafa benar, gaes. Gue nggak mau kalian berdua kebawa sama kemarahan papa gue," ujar Karel masih meringis memegangi kepalanya yang terasa pusing.
Cowok dengan rambut cepak berwarna cokelat kehitaman itu tersenyum puas saat mendengar perkataan Karel.
"Ponsel gue ambilin dong, Ja," pinta Karel pada Puja.Segera menelepon seseorang."Lo mau nelpon siapa?" tanya Rena. Tapi pertanyaannya malah tak dijawab oleh sobatnya itu."Hallo." "Kakak dimana?" tanyanya langsung saat panggilan teleponnya dijawab oleh yang bersangkutan."Karelyn, ini udah tengah malam, loh. Masih belum tidur," balasnya dengan nada lembut."Jemput aku," pintanya langsung."Kamu di luar?""Jemput aku ... kepalaku pusing, Kak," ujarnya."Kirim alamat, ya.""Hmm."Menutup percakapan dan langsung mengirimkan alamatnya lewat chat."Kamu minta siapa yang
Diperjalanan, keduanya tak banyak bicara. Ziel yang fokus pada jalanan, sedangkan Karel malah tidur di sampingnya. Sesekali ia mengarahkan pandangan pada dia, mengecek apa dia baik baik saja.Ponsel miliknya berdering, membuat Ziel menghentikan laju kendaraannya. Mengambil benda pipih itu ... terlihat kalau yang sedang menelepon adalah Leo, papanya Karel."Hallo, Om," jawab Ziel.Mendengar percakapan itu, membuat Karel terbangun dari tidurnya. Mendapati Ziel sedang bicara dengan seseorang di telepon."Zi, Om bingung mau cari Karel. Dia kabur lagi dari rumah tanpa ijin. Dan berkali kali Om telepon, dia nggak menjawab." Laki laki paruh baya itu bicara dengan suara yang menunjukkan kalau dia khawatir akan keadaan putrinya."Om nggak usah khawatir, dia bersamaku." Mengarahkan
Suara ketukan pintu membuat si pemilik kamar terbangun dari tidur nyenyaknya. Dikira pusingnya bakalan ilang, ternyata masih berasa sampai pagi. Rasanya seakan malas untuk beranjak dari tempat tidur.Mencoba mengabaikan ketukan pintu, tapi justru malah makin terdengar jelas di pendengarannya. Hingga akhirnya bangun dan berjalan gontai menuju pintu.Pintu terbuka, mendapati seorang wanita paruh baya tengah berdiri dihadapannya."Non, Nyonya bilang Non Karel harus segar bangun. Karena harus sekolah," jelasnya.Karel mengangguk tak bersemangat saat mendengar penjelasan itu. Ya, sekolah. Rasanya begitu malas untuk sekolah. Bisa tidak, menghentikan waktu agak beberapa jam ... agar ia bisa kembali tidur."Iya Bik, aku ambil ponsel dulu," ujarnya.Kembali ke dalam kamar. Merapikan rambutnya dan menyambar benda pipih yang ada di kasur. Kemudian segera kelua
Seharian hanya menangis sepuasnya. Kebiasaannya memang begini bahkan dari saat ia tahu rasanya sedih. Setidaknya saat semua tangis ia keluarkan, setelah itu hatinya lumayan akan jauh lebih baik. Turun ke lantai bawah setelah mandi dan berbenah diri. Duduk di sofa sambil menonton televisi. Tak lama terdengar suara deru mobil yang memasuki area pekarangan rumah. Yap, papanya pulang. Terdengar derap langkah memasuki rumah dan berjalan mengarah padanya yang masih duduk. Pandangannya beralih pada sosok yang memberikan tatapan dingin padanya. Karel beranjak dari posisi duduknya. Menyambar kemudian mencium punggung tangan laki laki paruh baya itu. "Papa ..." "Ini yang kamu mau?!" "Aku ..." "Sekarang kamu yang harus mendengarkan papa, Karel!" Bentakan papanya membuat Karel seketika terdiam. Bahkan matanya sampai terpejam saat suara bass itu tertuju padanya. "Sudah berapa kali Papa bilang untuk bersikap layaknya an
Selesai berdebat bahkan sebuah tamparan ia terima dari papanya. Jangan berpikir jika sikap itu bisa ia lupakan begitu saja. Bahkan ia tak berniat melupakan itu semua, karena yang melakukan adalah papanya sendiri.Kurang apa ia selama ini sebagai seorang anak? Pintar, penurut, berprestasi, yang kemana mana harus dapat ijin ... semua sudah dilakukannya demi mewujudkan keinginan papanya. Hanya demi mendapatkan perhatian dari laki laki paruh baya itu. Tapi semua percuma.Masih menangis, meskipun ia tak ingin menangis. Toh, menangis sejadi jadinya pun tak akan mengubah hati papanya. Tetap ia yang salah dan jadi anak yang tak diinginkan.Mengambil sebuah bingkai foto yang ada di nakas. Mengusap lembut gambaran seorang wanita yang sedang tersenyum."Apa aku memang tak diinginkan untuk lahir ke dunia ini? Aku bingung dengan sikap Papa. Setidaknya jika ada sebuah penjelasan, mungkin aku bisa berbenah diri demi mewujudkan apa yang Papa mau. Tapi alasan itu tak ku d
Keduanya masuk ke dalam mobil dan berlalu dari sana. Diam, hanya itulah yang terjadi sepanjang perjalanan hingga sampai di rumah.Baru sampai di pintu masuk, di sana sudah ada Arland dan Kiran yang ternyata sudah menunggu."Karel, kamu kenapa, Sayang?" tanya Kiran melihat wajah sembab Karel yang tentu saja ia paham kalau dia habis menangis.Karel langsung saja memeluk Kiran. Tak memiliki seorang Mama, setidaknya ada sosok Kiran yang selalu membuatnya merasa nyaman dan bisa melepaskan rasa keinginannya akan pelukan seorang Mama."Ada apa?" Giliran Arland yang bertanya pada putranya.Bukan apa-apa, hanya saja keduanya merasa kepikiran sedari tadi. Karena saat sampai di rumah, setelah mendapatkan telepon, Ziel langsung bergegas pergi dengan raut khawatir."Om Leo benar benar membuatku emosi. Karel ku bawa ke sini," ungkapnya singkat."Apa yang dia lakukan?" tanya Arland."Aku istirahat sebenta
"Antusias banget mau tahu alasanku begitu baik padamu." Ziel tersenyum melihat reaksi Karel yang menurutnya tak biasa."Jadi?""Tentu saja karena ..." Ziel menghentikan kata katanya. Kemudian melirik jam di nakas. "Ini sudah larut malam, Rel. Sebaiknya kamu tidur sekarang, ya."Berasa dipermainkan oleh makhluk yang ada dihadapannya ini. Padahal kan ia penasaran. Jangan jangan Ziel baik padanya karena ada maunya. Misalnya, mau mengambil ginjalnya untuk dijual atau mau mengambil bola matanya."Kenapa wajahmu begitu?" tanya Ziel heran melihat wajah cemberut Karel."Kakak masih bertanya kenapa wajahku begini? Harusnya kamu paham situasi dan kondisi. Ish ... kamu nggak peka sekali jadi cowok," ocehnya memberengut kesal akan sikap Ziel.Ziel menyambar tangan Karel yang hendak memukul dadanya, kemudian menahan agar tak bisa bergerak. Tak sampai di situ, ia
"Kalian berdua masih mau lanjut?" tanya Arland membubarkan adegan aneh dua sejoli itu."Aku siap siap dulu," ujar Karel langsung berlalu dari hadapan Ziel dengan langkah cepat. Takut pada Ziel dan takut telat juga untuk berangkat sekolah.Sementara Ziel, melihat reaksi Karel malah membuatnya tersenyum di sudut bibrinya. Kenapa dia jadi secanggung itu? Apa karena memikirkan perkataan dan sikapnya semalam? Begitu besarkah pengaruh kejadian semalam pada dia?"Papa nggak ke rumah sakit?" tanya Ziel mendapati papanya masih dengan pakaian rumahan."Hari ini Papa sama Mama mau ke rumah Kakek nenek kamu," jawab Arland.Dahi Kiran berkerut pertanda bingung dengan alasan yang dikatakan suaminya. "Kok nemuin Mama sama Papa, sih. Kita, kan mau ke ..." Seketika Kiran menyadari sesuatu saat mendapatkan tatapan menohok dari suaminya. Kemudian sedikit tertawa. "Hmm ... oiya. Mama s