Share

Suddenly We Got Married (Series 4)
Suddenly We Got Married (Series 4)
Penulis: Soffia

BAB : 1

Suara ketukan pintu kamar membuat tidur seorang gadis bernama Karelyn tiba-tiba terganggu. Matanya melek seketika saat pandangan matanya ikut fokus pada sebuah jam di nakas. Tak sampai di situ, dengan cepat dia bangun dari berjalan menuju pintu.

Pintu terbuka, menampakkan sesosok pria paruh baya yang sedang memberikan tatapan dingin padanya.

"Masih mau tidur?"

"Maaf, Pa," ucapnya dengan nada ngeri.

"Sudah beberapa hari kamu telat bangun ... apa untuk hari ini juga dengan alasan yang sama?"

Karel mengangguk pelan. Ini antara mau berbohong dan jujur. Mau berbohong, papanya pasti akan tahu. Mau berkata jujur, tentu saja itu meminta dirinya untuk dibacok. Tapi jujur saja, ada rasa bahagia ketika papanya mengeluarkan banyak kata padanya.Ya, intinya memang inilah yang ia harapkan, kan.

Sebuah deringan ponsel tiba-tiba membuat pria paruh baya itu beranjak dari hadapan Karel. Yap, di saat itulah Karel merasa keberuntungan masih berpihak padanya. Dengan cepat ia kembali masuk kamar dan bergegas mandi dan bersiap.

Setengah jam kemudian ia berlari menuruni anak tangga. Seragam SMA yang ia kenakan, lengkap dengan tas ransel di punggungnya.

Hendak duduk menikmati sarapannya, tapi semua itu dihentikan oleh papanya. 

"Kenapa, Pa?" tanyanya bingung.

"Haruskah setiap pagi Papa mengomelimu dengan permasalahan yang sama, Rel?" tanya laki laki paruh baya itu sambil bersidekap dada.

Oke, ia tentu paham dengan maksud pertanyaan papanya. Dengan sedikit susah, ia menarik rok nya agar menutupi pahanya. Tapi apa daya, udah mentok ukurannya ... tak bisa lagi.

"Alasan pertama, rok nya kamu bilang semakin pendek karena kamu bertambah tinggi. Oke, Papa paham. Lalu, rok nya kamu bilang bahannya kurang bagus, hingga satelah dicuci jadi menciut. Oke, mungkin saja. Kemudian, kamu bilang Rok nya salah beli ukuran. Papa terpaksa paham. Dan sekarang, alasannya apalagi?"

Tatapan horor itu langsung menatapnya tajam seakan membuatnya tak bisa mencari alasan lagi.

"Kehabisan stok kebohongan?"

"Aku Cuma ..."

"Rel, kamu itu udah gadis loh. Harusnya kamu paham dan mengerti kenapa papa enggak suka saat kamu mengenakan rok yang ..." menghentikan kata katanya saat bingung harus mengutarakan penjelasan seperti apalagi pada putrinya. 

"Besok enggak lagi deh, Pa."

"Terserah kamu saja. Papa juga capek memberikan omelan sama kamu tiap hari."

Laki laki paruh baya bernama Leo itu kembali melanjutkan sarapannya yang tertunda berkat masalah yang dibuat lagi oleh putrinya. 

Karel duduk dan menikmati sarapannya. Seperti biasa, hanya terdengar suara dentingan sendok yang beradu dengan piring. Karena apa? Papanya bukanlah orang yang akan bicara saat makan. Bukan hanya saat makan, lebih tepatnya sebagai seorang ayah, ia berpikir beliau bukanlah sosok papa yang hangat. Ia akui itu, karena memang begitulah nyatanya.

Selesai sarapan, laki laki paruh baya itu kemudian beranjak dari posisi duduknya.

"Pa," ujar Karel menghentikan langkah papanya yang hendak pergi. "Nanti malam ada acara ulang tahun teman sekelasku. Apa aku boleh ikut?"

Leo menghela napasnya berat saat mendapatkan pertanyaan itu dari Karel.

"Apa biasanya Papa menginjinkan?"

Karel menggeleng.

"Sudah, Papa berangkat dulu. Pulang sekolah langsung pulang, jangan keluyuran. Jadi anak yang baik, penurut dan nilai sekolah yang bagus. Itu yang Papa mau."

Setelah mengutarakan semuanya, Leo berlalu pergi dengan langkah terburu buru. 

Meletakkan sendok di piring, kemudian menyandarkan punggungnya di kursi ... menatap kepergian papanya hingga hilang dari pandangan mata. Sebenarnya ia tak ingin sedih, tak ingin terlalu memikirkan bahkan ingin mengabaikan. Hanya saja, terkadang perasaan juga tak bisa ditutupi, kalau ternyata rasa sedih itu juga ada. 

"Non, jangan sedih, ya," ujar Bibik yang tiba-tiba sudah berada di sampingnya. 

Menyeka air mata yang tiba-tiba menetes, kemudian meneguk air minum hingga habis. Sungguh, tak ada niatan hati untuk mempermasalahkan rasa sedihnya, hanya saja entah mengapa air matanya keluar begitu saja.

Tersenyum ke arah Bibik. 

"Apa aku terlihat sedih?"

Wanita paruh baya itu membalas senyuman Karel dan menggeleng. "Non itu nggak pernah sedih."

Karel beranjak dari kursi, menyambar tas sekolahnya. "Bibik tahu nggak, saat diomeli oleh Papa, itu merupakan hal yang menyenangkan. Aku senang, setidaknya di saat itu aku bisa mendengar suara Papa yang begitu banyak padaku."

"Iya, Non ... hanya saja Bibik juga sedih kalau Non diomeli terus."

"Anggap aja sarapan pagi, Bik," tawanya. "Udah ah, Bik ... aku berangkat sekolah dulu," pamitnya pada wanita paruh baya itu. Kemudian bergegas menuju teras depan dan masuk ke dalam mobil, bersiap untuk sekolah. 

Dalam perjalanan, jujur saja ia tak bisa fokus. Permasalahan yang dihadapinya lebih ke kehidupan keluarga, bukan masalah sekolah. Rasanya benar-benar sepi, seakan hidup dalam lingkungan yang tak hidup. 

Sampai di sekolah, langsung memarkirkan mobil di parkiran. Tak langsung turun, lagi lagi perkara dengan papanya lah yang jadi isi otaknya. Hingga lamunannya buyar ketika sebuah ketukan terdengar di kaca mobil.

Karel membuka pintu dan segera turun. Mendapati dua gadis dengan seragam yang sama dihadapannya. Yap, mereka adalah sahabatnya ... Puja dan Rena.

"Udah ketebak, sih ... dari muka lo," ujar Rena langsung.

"Yap, seperti biasa," responnya dengan malas. Kemudian lanjut berjalan menuju kelas. Begitupun dengan Rena dan Puja.

Sampai di kelas, masih dengan tampang malas Karel mengeluarkan sebuah buku dari dalam tas. Berniat untuk membaca, tapi Puja dengan cepat menyambar benda itu dan meletakkan ke dalam laci meja.

"Ja, gue mau baca buku loh ini."

"Udah deh, Rel ... nggak capek apa, siang malam belajar terus. Iya, kita tahu kok kalau belajar itu adalah hal yang paling penting. Hanya saja nggak semua waktu digunakan untuk belajar, ada saatnya kita juga butuh istirahat. Terutama elo."

Menyenderkan kepalanya di meja, dengan kedua lengan sebagai bantalannya.

"Kalian tahu, kan ... papa gue kayak gimana? Nilai bagus adalah yang utama. Kepintaran seolah di atas segalanya. Dia senang saat hasil itu gue dapatkan."

"Rel, jujur aja, Ya ... Om Leo itu udah kelewatan banget maksa lo harus begini dan begitu. Dan dengan bego nya elo malah nggak ngebantah," terang Puja.

"Siapa bilang gue nggak ngebantah," responnya cepat.

"Lah, buktinya."

Karel kembali duduk dan menatap kedua sahabatnya lekat. Ia tahu betul apa yang ada dipemikiran keduanya, tapi itu salah besar. Oke, memang benar saat apa yang diminta papanya ia lakukan. Tapi, di saat bersamaan juga dirinya justru bertindak sebaliknya.

"Udah deh, jangan mikirin gue," ujarnya dengan senyuman. 

"Dan gimana ntar malam, pasti lo nggak dapat ijin."

"Udah ketebak," sahut Rena seakan tahu hasilnya.

"Ayolah, di samping jadi anak yang penurut, gue juga termasuk ke dalam anak yang suka melanggar aturan gaes," terangnya sambil bersidekap dada dihadapan kedua sobatnya.

Rena dan Puja saling pandang.

"Jangan bilang kalau elo bakalan pergi tanpa ijin," tebak Rena.

"Bisa jadi," sahutnya.

Rena dan puja lagi lagi saling lempar pandang dengan jawaban Karel. Bukan apa apa, ya ... hanya saja keduanya tahu betul bagaimana sikap dari Leo yang bahkan bisa mengamuk saat Karel melanggar satu aturan. Dan sekarang, dia justru berniat pergi tanpa ijin. Lihat nanti apa yang terjadi jika ketahuan.

"Gue saranain lo ntar sebelum kabur baca do'a dulu, ya ... biar aman dari jangkauan Om Leo," peringatkan Puja yang sudah berpikiran jauh.

Karel hanya memberikan reaksi santai dengan perkataan Puja. Justru itu yang ia inginkan. Saat fokus papanya hanya tertuju padanya. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status