Share

BAB : 6

Seharian hanya menangis sepuasnya. Kebiasaannya memang begini bahkan dari saat ia tahu rasanya sedih. Setidaknya saat semua tangis ia keluarkan, setelah itu hatinya lumayan akan jauh lebih baik. 

Turun ke lantai bawah setelah mandi dan berbenah diri. Duduk di sofa sambil menonton televisi. Tak lama terdengar suara deru mobil yang memasuki area pekarangan rumah. Yap, papanya pulang.

Terdengar derap langkah memasuki rumah dan berjalan mengarah padanya yang masih duduk. Pandangannya beralih pada sosok yang memberikan tatapan dingin padanya.

Karel beranjak dari posisi duduknya. Menyambar kemudian mencium punggung tangan laki laki paruh baya itu.

"Papa ..."

"Ini yang kamu mau?!"

"Aku ..."

"Sekarang kamu yang harus mendengarkan papa, Karel!"

Bentakan papanya membuat Karel seketika terdiam. Bahkan matanya sampai terpejam saat suara bass itu tertuju padanya.

"Sudah berapa kali Papa bilang untuk bersikap layaknya anak yang penurut dan baik ... pintar dan membuat keluargamu bangga. Oke, nilai mu bagus, prestasimu di sekolah memuaskan. Jadi, untuk apa semua itu kamu lakukan jika ... dalam pergaulan kamu masih saja tak bisa berada di jalur yang benar, Karelyn!"

"Ada apa dengan pergaulanku? Aku punya teman yang benar dan tahu aturan, kok, Pa," komentarnya saat apa yang dikatakan papanya tak benar.

"Keluar di malam hari tanpa ijin. Apakah itu pergaulan yang kamu anggap benar?!"

Jujur saja, rasanya ini hatinya sudah sakit. Tapi mencoba untuk tetap tenang. Karena apa yang dikatakan papanya tidaklah benar.

"Untuk itu aku minta maaf, Pa."

"Ini kali yang ke berapa?"

"Tergantung Papa. Karena aku akan bersikap tergantung bagaimana Papa bersikap padaku." Menarik napasnya dalam, menahan tangis. "Papa itu nggak pernah perhatian padaku, sudah pernah ku bilang, kan. Dan apa jawaban Papa? Papa lagi sibuk, Karel. Papa hanya nggak ingin kamu jadi anak yang manja, yang hanya bergantung pada Papa."

"Karena itu memang alasan Papa."

"Selama ini aku merasa sudah terlalu menjadi anak yang baik. Belajar, ku lakukan. Prestasi yang Papa inginkan, juga ku dapatkan. Apa papa pernah bertanya apa yang ku inginkan?"

"Karena apa yang diinginkan anak seusiamu, sudah cukup kamu dapatkan."

Bibik yang tadinya sibuk di dapur, sampai jadi pendengar dibalik dinding ketika mendengar ribut ribut antara Leo dan Karel.

"Papa paham tidak, kalau aku juga butuh Papa. Percuma memberikanku kemewahan, itu tak ada artinya. Cinta pertama Ayah adalah anak perempuan  sendiri. Tapi, apakah memberikan semua itu untukku? Harusnya Papa tahu apa yang ku inginkan! Tidak melulu aku yang harus melakukan apa yang Papa tuntut!"

Tangan Leo mengepal saat anak semata wayang yang tadinya penurut, sekarang berani mengeluarkan banyak kata dihadapannya.

Tangis yang sedari tadi ia tahan, sekarang luruh sudah. Biasanya ia tak akan pernah menunjukkan rasa sedih dan tak terimanya di depan papanya, tapi sekarang tak bisa lagi. Hatinya tak tahan jika harus terus bertahan. 

"Asal Papa tahu. Aku tak berniat jadi anak yang pembangkang, apalagi melanggar aturan yang Papa buat. Terserah, mau mengekang ku seperti apapun aku terima, kok. Tapi, Papa juga harus melakukan kewajiban Papa sebagai seorang Ayah. Aku mau menuntut itu!"

"Sudah cukup kamu bersikap jadi seorang anak tanpa didikan, Karelyn!"

"Papa benar," sahutnya langsung. "Papa jangan lupa, kalau selama ini Papa nggak pernah mendidikku. Kenapa aku nggak disayangi! Kenapa Papa mengabaikanku! Kalau memang nggak menginginkanku, harusnya Papa bunuh saja aku dari dulu. Ini sama saja Papa berniat menganiaya bathinku!"

Tak tahan, Bibik yang dari tadi seolah jadi pendengar kini memilih untuk menghampiri ayah dan anak yang sedang bertengkar itu.

"Sudah, Non ... nggak baik bicara begitu sama orang tua," lerai Bibik pada gadis belasan tahun itu. "Non istirahat saja, yuk ... Bibik temenin."

Karel mengelakkan tangan Bibik yang berniat membawanya pergi dan mengakhiri pembicaraannya dengan papanya.

"Kepalang tanggung, Bik. Aku mau sekalian membuat papaku ini benar benar membenciku. Aku anak yang tak dididik, memang beginilah harusnya sikapku dari dulu. Bukan hanya pasrah dalam kesedihan sendiri. Apa aku ini bukan Papa?!"

Sebuah tamparan tiba-tiba mendarat di pipi Karel, saat kalimat terakhir itu ia ucapkan. Sakit, bukan karena rasa tamparan yang ia terima. Tapi, justru hatinya yang terasa sangat sakit ketika mengingat kalau yang melakukan ini adalah papanya sendiri.

Bibik sampai menangis melihat kejadian yang ada di depan matanya. Tercetak luka di sudut bibir gadis itu, bekas tamparan. Selama ini gadis yang ia asuh sedari kecil hanya diam dan jadi anak yang penurut, sekarang malah diperlakukan seperti ini oleh papanya sendiri. Tentu saja hatinya ikut teriris.

"Sudah, Tuan ... jangan melakukan itu pada Nona," isaknya mencoba meluluhkan hati majikannya itu untuk tak bersikap kasar lagi.

Karel menghapus air mata yang membasahi pipinya dengan kasar. Kemudian menatap dingin pada laki laki yang ia panggil Papa.

"Aku nggak tahu apa salahku di masa lalu pada Papa, hingga tak ada kasih sayang sedikitpun untukku. Tapi jika memang aku salah, aku minta maaf yang sebesar besarnya." Sedikit menundukkan kepalanya. Kemudian kembali menatap papanya. "Jika kata maaf itu memang kurang untuk menebus kesalahakanku, Papa katakan saja harus dengan cara apa bisa ku gantikan."

"Tak akan bisa!" Emosi Leo singkat dan berlalu begitu saja dari hadapan Karel.

Terduduk lemas di lantai, mengingat apa yang ia dapatkan dan dengar barusan. Menangis sesegukan, dengan menumpukan kepalanya pada kedua lututnya.

"Sudah, Non ... jangan nangis terus. Bibik jadi ikutan sedih," ujar Bibik berusaha menenangkan Karel.

"Ku pikir apa yang Kak Ziel katakan memang benar, tapi ternyata tidak, Bik. Papa bahkan nggak sayang padaku sedikitpun. Melihatku saja seolah olah aku adalah orang yang paling dibenci."

Sebelumnya ia takut papanya marah. Tapi berharap bisa sering mengeluarkan perkataan padanya, ia rela mendapatkan omelan agar bisa sering bicara dan bertemu. Tapi sekarang justru ia ternyata dibenci.

"Non, Tuan nggak benci sama Non. Mana ada orang tua yang membenci anaknya sendiri. Tuan hanya ..."

"Bik, aku bukan anak SD yang selalu Bibik kuatkan dengan kalimat kalimat seperti itu,." timpalnya langsung. "Terbiasa, membuatku juga berpikir panjang dengan orang orang di sekitarku termasuk Papa."

Bibik hanya bisa diam ketika berpikir apa yang dikatakan Karel memanglah benar. Sebagai seorang Ayah, Tuannya tak harus bersikap seperti ini. 

Soffia

Ini kisah dari anaknya Leo, ya. 🥰🥰🥰

| Like
Comments (1)
goodnovel comment avatar
araa
ka anaknya dira n leo, namanya kan zelline leora dinata.. knpa jd karelyn yaa??
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status