Share

BAB : 6

Author: Soffia
last update Last Updated: 2022-01-24 00:35:10

Seharian hanya menangis sepuasnya. Kebiasaannya memang begini bahkan dari saat ia tahu rasanya sedih. Setidaknya saat semua tangis ia keluarkan, setelah itu hatinya lumayan akan jauh lebih baik. 

Turun ke lantai bawah setelah mandi dan berbenah diri. Duduk di sofa sambil menonton televisi. Tak lama terdengar suara deru mobil yang memasuki area pekarangan rumah. Yap, papanya pulang.

Terdengar derap langkah memasuki rumah dan berjalan mengarah padanya yang masih duduk. Pandangannya beralih pada sosok yang memberikan tatapan dingin padanya.

Karel beranjak dari posisi duduknya. Menyambar kemudian mencium punggung tangan laki laki paruh baya itu.

"Papa ..."

"Ini yang kamu mau?!"

"Aku ..."

"Sekarang kamu yang harus mendengarkan papa, Karel!"

Bentakan papanya membuat Karel seketika terdiam. Bahkan matanya sampai terpejam saat suara bass itu tertuju padanya.

"Sudah berapa kali Papa bilang untuk bersikap layaknya anak yang penurut dan baik ... pintar dan membuat keluargamu bangga. Oke, nilai mu bagus, prestasimu di sekolah memuaskan. Jadi, untuk apa semua itu kamu lakukan jika ... dalam pergaulan kamu masih saja tak bisa berada di jalur yang benar, Karelyn!"

"Ada apa dengan pergaulanku? Aku punya teman yang benar dan tahu aturan, kok, Pa," komentarnya saat apa yang dikatakan papanya tak benar.

"Keluar di malam hari tanpa ijin. Apakah itu pergaulan yang kamu anggap benar?!"

Jujur saja, rasanya ini hatinya sudah sakit. Tapi mencoba untuk tetap tenang. Karena apa yang dikatakan papanya tidaklah benar.

"Untuk itu aku minta maaf, Pa."

"Ini kali yang ke berapa?"

"Tergantung Papa. Karena aku akan bersikap tergantung bagaimana Papa bersikap padaku." Menarik napasnya dalam, menahan tangis. "Papa itu nggak pernah perhatian padaku, sudah pernah ku bilang, kan. Dan apa jawaban Papa? Papa lagi sibuk, Karel. Papa hanya nggak ingin kamu jadi anak yang manja, yang hanya bergantung pada Papa."

"Karena itu memang alasan Papa."

"Selama ini aku merasa sudah terlalu menjadi anak yang baik. Belajar, ku lakukan. Prestasi yang Papa inginkan, juga ku dapatkan. Apa papa pernah bertanya apa yang ku inginkan?"

"Karena apa yang diinginkan anak seusiamu, sudah cukup kamu dapatkan."

Bibik yang tadinya sibuk di dapur, sampai jadi pendengar dibalik dinding ketika mendengar ribut ribut antara Leo dan Karel.

"Papa paham tidak, kalau aku juga butuh Papa. Percuma memberikanku kemewahan, itu tak ada artinya. Cinta pertama Ayah adalah anak perempuan  sendiri. Tapi, apakah memberikan semua itu untukku? Harusnya Papa tahu apa yang ku inginkan! Tidak melulu aku yang harus melakukan apa yang Papa tuntut!"

Tangan Leo mengepal saat anak semata wayang yang tadinya penurut, sekarang berani mengeluarkan banyak kata dihadapannya.

Tangis yang sedari tadi ia tahan, sekarang luruh sudah. Biasanya ia tak akan pernah menunjukkan rasa sedih dan tak terimanya di depan papanya, tapi sekarang tak bisa lagi. Hatinya tak tahan jika harus terus bertahan. 

"Asal Papa tahu. Aku tak berniat jadi anak yang pembangkang, apalagi melanggar aturan yang Papa buat. Terserah, mau mengekang ku seperti apapun aku terima, kok. Tapi, Papa juga harus melakukan kewajiban Papa sebagai seorang Ayah. Aku mau menuntut itu!"

"Sudah cukup kamu bersikap jadi seorang anak tanpa didikan, Karelyn!"

"Papa benar," sahutnya langsung. "Papa jangan lupa, kalau selama ini Papa nggak pernah mendidikku. Kenapa aku nggak disayangi! Kenapa Papa mengabaikanku! Kalau memang nggak menginginkanku, harusnya Papa bunuh saja aku dari dulu. Ini sama saja Papa berniat menganiaya bathinku!"

Tak tahan, Bibik yang dari tadi seolah jadi pendengar kini memilih untuk menghampiri ayah dan anak yang sedang bertengkar itu.

"Sudah, Non ... nggak baik bicara begitu sama orang tua," lerai Bibik pada gadis belasan tahun itu. "Non istirahat saja, yuk ... Bibik temenin."

Karel mengelakkan tangan Bibik yang berniat membawanya pergi dan mengakhiri pembicaraannya dengan papanya.

"Kepalang tanggung, Bik. Aku mau sekalian membuat papaku ini benar benar membenciku. Aku anak yang tak dididik, memang beginilah harusnya sikapku dari dulu. Bukan hanya pasrah dalam kesedihan sendiri. Apa aku ini bukan Papa?!"

Sebuah tamparan tiba-tiba mendarat di pipi Karel, saat kalimat terakhir itu ia ucapkan. Sakit, bukan karena rasa tamparan yang ia terima. Tapi, justru hatinya yang terasa sangat sakit ketika mengingat kalau yang melakukan ini adalah papanya sendiri.

Bibik sampai menangis melihat kejadian yang ada di depan matanya. Tercetak luka di sudut bibir gadis itu, bekas tamparan. Selama ini gadis yang ia asuh sedari kecil hanya diam dan jadi anak yang penurut, sekarang malah diperlakukan seperti ini oleh papanya sendiri. Tentu saja hatinya ikut teriris.

"Sudah, Tuan ... jangan melakukan itu pada Nona," isaknya mencoba meluluhkan hati majikannya itu untuk tak bersikap kasar lagi.

Karel menghapus air mata yang membasahi pipinya dengan kasar. Kemudian menatap dingin pada laki laki yang ia panggil Papa.

"Aku nggak tahu apa salahku di masa lalu pada Papa, hingga tak ada kasih sayang sedikitpun untukku. Tapi jika memang aku salah, aku minta maaf yang sebesar besarnya." Sedikit menundukkan kepalanya. Kemudian kembali menatap papanya. "Jika kata maaf itu memang kurang untuk menebus kesalahakanku, Papa katakan saja harus dengan cara apa bisa ku gantikan."

"Tak akan bisa!" Emosi Leo singkat dan berlalu begitu saja dari hadapan Karel.

Terduduk lemas di lantai, mengingat apa yang ia dapatkan dan dengar barusan. Menangis sesegukan, dengan menumpukan kepalanya pada kedua lututnya.

"Sudah, Non ... jangan nangis terus. Bibik jadi ikutan sedih," ujar Bibik berusaha menenangkan Karel.

"Ku pikir apa yang Kak Ziel katakan memang benar, tapi ternyata tidak, Bik. Papa bahkan nggak sayang padaku sedikitpun. Melihatku saja seolah olah aku adalah orang yang paling dibenci."

Sebelumnya ia takut papanya marah. Tapi berharap bisa sering mengeluarkan perkataan padanya, ia rela mendapatkan omelan agar bisa sering bicara dan bertemu. Tapi sekarang justru ia ternyata dibenci.

"Non, Tuan nggak benci sama Non. Mana ada orang tua yang membenci anaknya sendiri. Tuan hanya ..."

"Bik, aku bukan anak SD yang selalu Bibik kuatkan dengan kalimat kalimat seperti itu,." timpalnya langsung. "Terbiasa, membuatku juga berpikir panjang dengan orang orang di sekitarku termasuk Papa."

Bibik hanya bisa diam ketika berpikir apa yang dikatakan Karel memanglah benar. Sebagai seorang Ayah, Tuannya tak harus bersikap seperti ini. 

Soffia

Ini kisah dari anaknya Leo, ya. đŸ„°đŸ„°đŸ„°

| Like
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
araa
ka anaknya dira n leo, namanya kan zelline leora dinata.. knpa jd karelyn yaa??
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Suddenly We Got Married (Series 4)   BAB : 71

    Giska kembali menghampiri Karel dengan muka cemberutnya.“Mana buahnya?” tanya Karel.“Dimakan noh sama Kak Davian,” jawab Giska sambil menghempaskan bokongnya duduk di kursi.“Lah,” keluh Karel.Giska menatap fokus pada Karel. “Trus gimana? Lo bantuin gue sama Puja. Kita udah sahabatan lama, El 
 masa gara-gara perkara beginian sampai musuhan.”Karel bukannya bingung, tapi ia takut jika kedua sahabatnya berpikiran yang tidak-tidak tentangnya. Puja menyukai Davi, tapi Davi lebih mendekati Giska. Mereka berdua sahabatnya, makanya ia jadi bingung.“Gue nggak ada niatan sama sekali bikin Puja sakit hati. Dia mau gue hapus kontaknya Kak Davi, gue mau. Minta gue jangan dekat-dekat, oke nggak apa-apa. Tapi Puja nya nggak mau bicara sama gue.”Giska langsung menangis saat bicara. Ya bagaimana tak sedih, jika yang kesal dan marah padanya adalah sahabatnya sendiri.“Lo jangan nangis dong, Giska.”“Gue sedih tahu nggak.”“Apa gue minta Puja datang ke sini buat bicarain semua?”“Tadi pagi aja di

  • Suddenly We Got Married (Series 4)   BAB : 70

    Dari jam pagi sampai jam pelajaran akhir, serasa benar-benar panjang. Biasanya ada Puja dan Karel. Sekarang ia hanya sendirian. Ada Puja, tapi malah sedang kesal padanya. Setiap diajak bicara, malah seolah menghindar.Sampai di dalam mobil, Giska menelepon mamanya.“Hallo, Ma.”“Ya, Nak?”“Aku pulangnya agak telat, ya, Ma. Soalnya mau main kerumahnya Karel. Tadi dia nggak masuk karena nggak enak badan, jadi aku mau jenguk.”“Iya, hati-hati, ya. Titip salam dari Mama buat Karel.”Selesai meminta izin, barulah Giska memutuskan untuk segera berlalu dari sana 
 meninggalkan area parkiran sekolah menuju rumah keluarga Ziel.Dalam perjalanan, ponselnya berdering. Terlihat nama Davian yang tertera. Benar-benar malas rasanya untuk menjawab, apalagi setelah peperangannya dan Puja tadi.Pada akhirnya ia biarkan benda pipih itu diam dengan sendirinya. Mau meriject, malah nggak enak. Ntar dikira sengaja. Kalau dibiarkan, kan dia pasti menyangka kalau dirinya masih ada kelas.Pak satpam membukakan

  • Suddenly We Got Married (Series 4)   BAB : 69

    Pagi harinya, Ziel bergegas turun dan langsung menuju ke arah meja makan. Tak duduk, tapi justru hanya menyambar satu lembar roti tawar dan meneguk segelas green tea.“Loh, Aden nggak sarapan?” tanya Bibik.“Udah, Bik. Aku buru-buru,” jawabnya.“Loh, kok nggak makan?” Giliran Kiran yang baru datang dari arah teras samping bertanya. “Karel mana?”“Aku ada pertemuan pagi ini, Ma. Semalam juga sudah bilang bisa sama Davi. Karel masih di kamar, masih tidur 
 jangan dibangunin. Aku kasih izin libur hari ini.”“Tapi, Zi 
”Ziel menyambar dan mencium punggung tangan Kiran.“Dah, Ma 
 aku berangkat.”Kiran hanya bisa menarik napas panjang, menatap kepergian putranya hingga keluar dari rumah.“Ada apa?” tanya Arland yang baru keluar dari kamar dan duduk di kursi yang ada di meja makan.“Ziel, udah berangkat.”“Tumben pagi-pagi.”“Katanya ada pertemuan pagi ini dan semalam udah mastiin sama Davi.”“Karelyn?”“Dia kasih izin libur satu hari,” jawab Kiran dengan senyuman.Sementara Karel di kamar

  • Suddenly We Got Married (Series 4)   BAB : 68

    Keduanya menuju rumah sakit. Seperti yang sudah dijanjikan, bahwa hari ini Karel akan melakukan cek-up secara menyeluruh. Lebih cepat mengetahui seberapa parah sakit yang dia alami, itu justru semakin baik. Karena mencegah lebih baik daripada mengobati saat semua sudah berada di titik parah.“Nanti kalau lulus, aku boleh lanjut kuliah, kan?” tanya Karel.“Tentu saja. Kalau kamu nggak maupun, akan aku yang paksa.”Karel sampai tertawa mendengarnya. “Suami macam apa yang melakukan tindakan pemaksaan pada istrinya.”“Kan aku memaksa ke jalan yang benar, bukan pada kesesatan, Sayang. Ilmu itu penting. Dan aku nggak mau hanya karena status pernikahan, membuatmu sampai stop untuk lanjut kuliah.”Dengar, kan. Orang pinter ngomongnya gitu, ya. Apa-apa bahasannya pasti perkara menuntut ilmu, belajar, dan perkara otak. Udah nikah saja masih tetap membahasa perkara pendidikan.“Boleh ke luar negri?” tanya Karel langsung pada titik pertanyaan yang paling inti.Seketika Ziel menghentikan laju kend

  • Suddenly We Got Married (Series 4)   BAB : 67

    Karel menyodorkan sebuah map pada Ziel yang langsung dia terima.“Kakak dari mana? Katanya mau tidur, mau istirahat. Tetap aja pas aku nyampe rumah, kamunya baru balik.” langsung mengomel mode emak-emak.“Nganterin tante ke bandara.”“Lah, udah balik?”“Udah,” jawab Ziel.“Padahal aku belum ngobrol banyak. Malah udah pada bubar semua,” gerutunya dengan wajah cemberut. Kemudian berlalu dari hadapan Ziel dan langsung masuk ke dalam rumah dengan pintu yang tampak terbuka lebar.“Kenapa, sih 
 pulang sekolah langsung cemberut?” tanya Kiran yang baru datang dari arah teras samping.Karel yang tadinya berniat langsung menuju ke arah kamar, beralih menghampiri Kiran. Menyambar dan mencium punggung tangan wanita paruh baya itu.“Kenapa semua udah pada balik? Kan kita belum ngobrol banyak.”“Ngobrolnya ntar denganku saja,” sahut Ziel terkekeh, kemudian melanjutkan langkahnya menuju lantai atas.“Jangan ke ruang kerja ya, Kak 
 aku beneran mau bicara loh!”Tak ada sahutan dari Ziel. Oke, itu ar

  • Suddenly We Got Married (Series 4)   BAB : 66

    Pulang sekolah, seperti apa yang dikatakan oleh Ziel padanya. Hanya saja saat hendak menelepon, tiba-tiba Giska menawarinya untuk pulang bareng. Karena dari sekolah, Giska akan mampir ke rumahnya yang lama untuk menjemput Bibik.“Gimana? Ini kebetulan gue mau jemput Bibik ke tempat papa. Kan satu arah.”“Gue duluan, ya,” ujar Puja pada Giska dan Karel, kemudian langsung saja menyelonong pergi meninggalkan keduanya.Keduanya sampai saling pandang karena bingung harus bersikap seperti apa.“Hati-hati, Ja!” teriak Giska.Karel sampai tersenyum menanggapi sikap dan balasan Giska pada Puja. Padahal harusnya kesal, kan 
 tapi ini malah dibawa candaan.“Gue nggak merasa bersalah. Jadi abaikan saja kekesalan dia yang nggak jelas itu,” gumam Giska.“Ayok, gue bareng lo,” ujar Karel menyetujui ajakan Giska. Setidaknya ia tak mengganggu jam istirahat Ziel. Semoga saja dia benar-benar istirahat. Agak curiga, seseorang dengan jam bisnis kelas sibuk begitu mana mau disuruh istirahat dengan santai.

  • Suddenly We Got Married (Series 4)   BAB : 65

    Jam pelajaran kedua selesai, guru juga sudah meninggalkan area kelas.“Ke kantin, yuk,” ajak Giska pada Karel dan Puja. Serius, ya 
 ia sebenarnya masih mode kesal pada Puja. Hanya saja berusaha jika masalahnya dan sobatnya tak terus berlanjut. Terserah dia mau marah atau apa, yang jelas ia sudah berusaha untuk tetap baik. Karena ia merasa tak salah.“Gue ikut, ya 
 tapi minum doang,” jawab Karel beranjak dari posisi duduknya. Peringatan dari Ziel dan papa mertuanya membuatnya harus pilah pilih makanan mulai sekarang, Apalagi makanan cepat saji.“Yok, Ja,” ajak Giska.“Kalian duluan aja, gue mau ke toilet bentar,” respon Puja dengan wajah tak bersahabat, kemudian berlalu pergi begitu saja dari hadapan Karel dan Giska.Tadinya masih tenang, tapi balasan dan sikap Puja barusan sukses membuat Giska seketika emosi.“Lo liat, kan, El. Dia kenapa, sih? Sumpah, ya. Paling kesal tuh kalau diacuhkan dan dicuekin tanpa tahu sebabnya apa. Perasaan gue nggak ada lakuin hal yang bikin dia kesal,

  • Suddenly We Got Married (Series 4)   BAB : 64

    Langsung bergegas menuju ruang kelas, saat sampai sudah me dapati Giska dan juga Puja di sana. Mereka fokus pada buku dihadapan masing-masing.Melihat Karel yang datang, keduanya langsung heboh dan kegirangan. Ya apalagi, pasti keduanya akan membahas hal yang-tidak lagi.“El, gimana gimana?” tanya Puja bersemangat.“Heh, apanya yang gimana?”“Duh, sok lugu lagi. Yang kita berdua pertanyakan, gimana semalam. Lancar? Aman? Jebol nggak?”Seketika tangan Karel dengan cepat memberikan sentilan pada masing-masing jidat sobatnya itu. Bisa-bisanya mereka membahas hal yang sangat-sangat privasi itu di sekolah, bahkan di detik-detik menuju ulangan.“Kalian berdua ya ampun. Kenapa gue nyampe sekolah malah nanyain hal itu. Trus kalau gue bilang, kalian penasaran dan nyobain. Memangnya sudah ada objeknya?”“Dih, pelit amat sih, El. Kan buat berbagi pengalaman aja. Biar kapan-kapan kita berdua mau praktek, nggak kaget-kaget banget,” balas Puja dengan muka mesumnya.“Apa yang mau gue ceritain, kan k

  • Suddenly We Got Married (Series 4)   BAB : 63

    “Aneh banget loh Kak Davian,” ujar Karel pada Ziel ketika keduanya turun menuju lantai bawah.“Aneh gimana?” tanya Ziel.“Masa dia nanyain alamatnya Giska.”“Buat apa?”“Katanya mau balikin ponsel milik Giska yang ketinggalan di cafe semalam.”Ziel mengarahkan pandangannya pada Karel, seolah ikut bingung dengan apa yang dikatakan oleh Karel.“Iya, Kak. Beneran gitu. Aku aja bingung. Pas ku tanya, kok bisa? Tapi dia nggak ngasih penjelasan.”Lanjut berjalan hingga keduanya sampai di bawah. Langsung menuju ruang makan. Ternyata di sana sudah ada semuanya.“Ya ampun, masih pagi buta sudah bangun aja ini pengantin baru. Padahal kami pikir nggak bakalan bangun seharian,” ujar Linzy dengan sengaja meledek Karel dan Ziel yang baru datang.Alvin sampai memberikan pelototan tajam pada putrinya itu. Sudah jadi hal yang lumrah, dua putrinya memang rada ceplas-ceplos.“Aku juga berpikir demikian, masalahnya mataku mengantuk berat. Tapi tahu sendiri kalau hari ini sekolah dan 
” Melirik sedikit ke

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status