Seharian hanya menangis sepuasnya. Kebiasaannya memang begini bahkan dari saat ia tahu rasanya sedih. Setidaknya saat semua tangis ia keluarkan, setelah itu hatinya lumayan akan jauh lebih baik.
Turun ke lantai bawah setelah mandi dan berbenah diri. Duduk di sofa sambil menonton televisi. Tak lama terdengar suara deru mobil yang memasuki area pekarangan rumah. Yap, papanya pulang.
Terdengar derap langkah memasuki rumah dan berjalan mengarah padanya yang masih duduk. Pandangannya beralih pada sosok yang memberikan tatapan dingin padanya.
Karel beranjak dari posisi duduknya. Menyambar kemudian mencium punggung tangan laki laki paruh baya itu.
"Papa ..."
"Ini yang kamu mau?!"
"Aku ..."
"Sekarang kamu yang harus mendengarkan papa, Karel!"
Bentakan papanya membuat Karel seketika terdiam. Bahkan matanya sampai terpejam saat suara bass itu tertuju padanya.
"Sudah berapa kali Papa bilang untuk bersikap layaknya anak yang penurut dan baik ... pintar dan membuat keluargamu bangga. Oke, nilai mu bagus, prestasimu di sekolah memuaskan. Jadi, untuk apa semua itu kamu lakukan jika ... dalam pergaulan kamu masih saja tak bisa berada di jalur yang benar, Karelyn!"
"Ada apa dengan pergaulanku? Aku punya teman yang benar dan tahu aturan, kok, Pa," komentarnya saat apa yang dikatakan papanya tak benar.
"Keluar di malam hari tanpa ijin. Apakah itu pergaulan yang kamu anggap benar?!"
Jujur saja, rasanya ini hatinya sudah sakit. Tapi mencoba untuk tetap tenang. Karena apa yang dikatakan papanya tidaklah benar.
"Untuk itu aku minta maaf, Pa."
"Ini kali yang ke berapa?"
"Tergantung Papa. Karena aku akan bersikap tergantung bagaimana Papa bersikap padaku." Menarik napasnya dalam, menahan tangis. "Papa itu nggak pernah perhatian padaku, sudah pernah ku bilang, kan. Dan apa jawaban Papa? Papa lagi sibuk, Karel. Papa hanya nggak ingin kamu jadi anak yang manja, yang hanya bergantung pada Papa."
"Karena itu memang alasan Papa."
"Selama ini aku merasa sudah terlalu menjadi anak yang baik. Belajar, ku lakukan. Prestasi yang Papa inginkan, juga ku dapatkan. Apa papa pernah bertanya apa yang ku inginkan?"
"Karena apa yang diinginkan anak seusiamu, sudah cukup kamu dapatkan."
Bibik yang tadinya sibuk di dapur, sampai jadi pendengar dibalik dinding ketika mendengar ribut ribut antara Leo dan Karel.
"Papa paham tidak, kalau aku juga butuh Papa. Percuma memberikanku kemewahan, itu tak ada artinya. Cinta pertama Ayah adalah anak perempuan sendiri. Tapi, apakah memberikan semua itu untukku? Harusnya Papa tahu apa yang ku inginkan! Tidak melulu aku yang harus melakukan apa yang Papa tuntut!"
Tangan Leo mengepal saat anak semata wayang yang tadinya penurut, sekarang berani mengeluarkan banyak kata dihadapannya.
Tangis yang sedari tadi ia tahan, sekarang luruh sudah. Biasanya ia tak akan pernah menunjukkan rasa sedih dan tak terimanya di depan papanya, tapi sekarang tak bisa lagi. Hatinya tak tahan jika harus terus bertahan.
"Asal Papa tahu. Aku tak berniat jadi anak yang pembangkang, apalagi melanggar aturan yang Papa buat. Terserah, mau mengekang ku seperti apapun aku terima, kok. Tapi, Papa juga harus melakukan kewajiban Papa sebagai seorang Ayah. Aku mau menuntut itu!"
"Sudah cukup kamu bersikap jadi seorang anak tanpa didikan, Karelyn!"
"Papa benar," sahutnya langsung. "Papa jangan lupa, kalau selama ini Papa nggak pernah mendidikku. Kenapa aku nggak disayangi! Kenapa Papa mengabaikanku! Kalau memang nggak menginginkanku, harusnya Papa bunuh saja aku dari dulu. Ini sama saja Papa berniat menganiaya bathinku!"
Tak tahan, Bibik yang dari tadi seolah jadi pendengar kini memilih untuk menghampiri ayah dan anak yang sedang bertengkar itu.
"Sudah, Non ... nggak baik bicara begitu sama orang tua," lerai Bibik pada gadis belasan tahun itu. "Non istirahat saja, yuk ... Bibik temenin."
Karel mengelakkan tangan Bibik yang berniat membawanya pergi dan mengakhiri pembicaraannya dengan papanya.
"Kepalang tanggung, Bik. Aku mau sekalian membuat papaku ini benar benar membenciku. Aku anak yang tak dididik, memang beginilah harusnya sikapku dari dulu. Bukan hanya pasrah dalam kesedihan sendiri. Apa aku ini bukan Papa?!"
Sebuah tamparan tiba-tiba mendarat di pipi Karel, saat kalimat terakhir itu ia ucapkan. Sakit, bukan karena rasa tamparan yang ia terima. Tapi, justru hatinya yang terasa sangat sakit ketika mengingat kalau yang melakukan ini adalah papanya sendiri.
Bibik sampai menangis melihat kejadian yang ada di depan matanya. Tercetak luka di sudut bibir gadis itu, bekas tamparan. Selama ini gadis yang ia asuh sedari kecil hanya diam dan jadi anak yang penurut, sekarang malah diperlakukan seperti ini oleh papanya sendiri. Tentu saja hatinya ikut teriris.
"Sudah, Tuan ... jangan melakukan itu pada Nona," isaknya mencoba meluluhkan hati majikannya itu untuk tak bersikap kasar lagi.
Karel menghapus air mata yang membasahi pipinya dengan kasar. Kemudian menatap dingin pada laki laki yang ia panggil Papa.
"Aku nggak tahu apa salahku di masa lalu pada Papa, hingga tak ada kasih sayang sedikitpun untukku. Tapi jika memang aku salah, aku minta maaf yang sebesar besarnya." Sedikit menundukkan kepalanya. Kemudian kembali menatap papanya. "Jika kata maaf itu memang kurang untuk menebus kesalahakanku, Papa katakan saja harus dengan cara apa bisa ku gantikan."
"Tak akan bisa!" Emosi Leo singkat dan berlalu begitu saja dari hadapan Karel.
Terduduk lemas di lantai, mengingat apa yang ia dapatkan dan dengar barusan. Menangis sesegukan, dengan menumpukan kepalanya pada kedua lututnya.
"Sudah, Non ... jangan nangis terus. Bibik jadi ikutan sedih," ujar Bibik berusaha menenangkan Karel.
"Ku pikir apa yang Kak Ziel katakan memang benar, tapi ternyata tidak, Bik. Papa bahkan nggak sayang padaku sedikitpun. Melihatku saja seolah olah aku adalah orang yang paling dibenci."
Sebelumnya ia takut papanya marah. Tapi berharap bisa sering mengeluarkan perkataan padanya, ia rela mendapatkan omelan agar bisa sering bicara dan bertemu. Tapi sekarang justru ia ternyata dibenci.
"Non, Tuan nggak benci sama Non. Mana ada orang tua yang membenci anaknya sendiri. Tuan hanya ..."
"Bik, aku bukan anak SD yang selalu Bibik kuatkan dengan kalimat kalimat seperti itu,." timpalnya langsung. "Terbiasa, membuatku juga berpikir panjang dengan orang orang di sekitarku termasuk Papa."
Bibik hanya bisa diam ketika berpikir apa yang dikatakan Karel memanglah benar. Sebagai seorang Ayah, Tuannya tak harus bersikap seperti ini.
Ini kisah dari anaknya Leo, ya. 🥰🥰🥰
Selesai berdebat bahkan sebuah tamparan ia terima dari papanya. Jangan berpikir jika sikap itu bisa ia lupakan begitu saja. Bahkan ia tak berniat melupakan itu semua, karena yang melakukan adalah papanya sendiri.Kurang apa ia selama ini sebagai seorang anak? Pintar, penurut, berprestasi, yang kemana mana harus dapat ijin ... semua sudah dilakukannya demi mewujudkan keinginan papanya. Hanya demi mendapatkan perhatian dari laki laki paruh baya itu. Tapi semua percuma.Masih menangis, meskipun ia tak ingin menangis. Toh, menangis sejadi jadinya pun tak akan mengubah hati papanya. Tetap ia yang salah dan jadi anak yang tak diinginkan.Mengambil sebuah bingkai foto yang ada di nakas. Mengusap lembut gambaran seorang wanita yang sedang tersenyum."Apa aku memang tak diinginkan untuk lahir ke dunia ini? Aku bingung dengan sikap Papa. Setidaknya jika ada sebuah penjelasan, mungkin aku bisa berbenah diri demi mewujudkan apa yang Papa mau. Tapi alasan itu tak ku d
Keduanya masuk ke dalam mobil dan berlalu dari sana. Diam, hanya itulah yang terjadi sepanjang perjalanan hingga sampai di rumah.Baru sampai di pintu masuk, di sana sudah ada Arland dan Kiran yang ternyata sudah menunggu."Karel, kamu kenapa, Sayang?" tanya Kiran melihat wajah sembab Karel yang tentu saja ia paham kalau dia habis menangis.Karel langsung saja memeluk Kiran. Tak memiliki seorang Mama, setidaknya ada sosok Kiran yang selalu membuatnya merasa nyaman dan bisa melepaskan rasa keinginannya akan pelukan seorang Mama."Ada apa?" Giliran Arland yang bertanya pada putranya.Bukan apa-apa, hanya saja keduanya merasa kepikiran sedari tadi. Karena saat sampai di rumah, setelah mendapatkan telepon, Ziel langsung bergegas pergi dengan raut khawatir."Om Leo benar benar membuatku emosi. Karel ku bawa ke sini," ungkapnya singkat."Apa yang dia lakukan?" tanya Arland."Aku istirahat sebenta
"Antusias banget mau tahu alasanku begitu baik padamu." Ziel tersenyum melihat reaksi Karel yang menurutnya tak biasa."Jadi?""Tentu saja karena ..." Ziel menghentikan kata katanya. Kemudian melirik jam di nakas. "Ini sudah larut malam, Rel. Sebaiknya kamu tidur sekarang, ya."Berasa dipermainkan oleh makhluk yang ada dihadapannya ini. Padahal kan ia penasaran. Jangan jangan Ziel baik padanya karena ada maunya. Misalnya, mau mengambil ginjalnya untuk dijual atau mau mengambil bola matanya."Kenapa wajahmu begitu?" tanya Ziel heran melihat wajah cemberut Karel."Kakak masih bertanya kenapa wajahku begini? Harusnya kamu paham situasi dan kondisi. Ish ... kamu nggak peka sekali jadi cowok," ocehnya memberengut kesal akan sikap Ziel.Ziel menyambar tangan Karel yang hendak memukul dadanya, kemudian menahan agar tak bisa bergerak. Tak sampai di situ, ia
"Kalian berdua masih mau lanjut?" tanya Arland membubarkan adegan aneh dua sejoli itu."Aku siap siap dulu," ujar Karel langsung berlalu dari hadapan Ziel dengan langkah cepat. Takut pada Ziel dan takut telat juga untuk berangkat sekolah.Sementara Ziel, melihat reaksi Karel malah membuatnya tersenyum di sudut bibrinya. Kenapa dia jadi secanggung itu? Apa karena memikirkan perkataan dan sikapnya semalam? Begitu besarkah pengaruh kejadian semalam pada dia?"Papa nggak ke rumah sakit?" tanya Ziel mendapati papanya masih dengan pakaian rumahan."Hari ini Papa sama Mama mau ke rumah Kakek nenek kamu," jawab Arland.Dahi Kiran berkerut pertanda bingung dengan alasan yang dikatakan suaminya. "Kok nemuin Mama sama Papa, sih. Kita, kan mau ke ..." Seketika Kiran menyadari sesuatu saat mendapatkan tatapan menohok dari suaminya. Kemudian sedikit tertawa. "Hmm ... oiya. Mama s
“Ternyata manis juga, ya,” ujar Ziel tersenyum, sesaat setelah Karel memaksa ciuman itu terlepas.“Kamu jahat, Kak,” berengut Karel dengan wajah kesal langsung bangkit dari posisinya yang masih berada di atas badan Ziel. Dengan cepat langsung menyambar tas sekolahnya dan berlalu pergi begitu saja.Ziel malah tersenyum puas saat melihat aksi cemberut Karel atas sikapnya.“Dia ngambek,” ujarnya bangun.Menyambar kunci mobil dan ponselnya di meja. Kemudian segera berlalu menyusul Karel yang sudah lebih dulu menuju mobil.Waktunya sudah mepet, jika menunggu taksi, bisa bisa ia beneran telat nyampe sekolah. Alhasil, rasa kesalnya pada Ziel akan ia tahan untuk beberapa menit perjalanan.“Kamu kenapa, sih?” tanya Ziel tak langsung melajukan mobilnya.“Jangan banyak nanya. Buruan jalan ... nanti aku telat,” responnya masih dengan nada kesal.Dia pikir sikapnya tadi bisa dilupa
“Dia masih di rumah,” ujar Arland saat turun dari mobil bersama Kiran.“iya,” sahut Kiran membenarkan perkataan suaminya, karena mendapati kendaraan milik Leo masih ada di halaman.Keduanya mengetuk pintu utama, hingga seseorang terdengar dengan langkah cepat mengarah ke pintu ... hingga akses masuk itu terbuka lebar.“Tuan, Nyonya,” ujar Bibik yang menyambut keduanya.“Leo mana, Bik?”“Ada di dalam, Tuan,” jawab wanita paruh baya itu mengarahkan.Arland dan Kiran langsung saja masuk, berjalan menemui Leo yang mereka dapati sedang duduk di ruang keluarga. Yang membuat keduanya kesal adalah ... putrinya kabur dari rumah, sedangkan dia masih sibuk mengurus pekerjaan.Memang benar tebakan Ziel, jika orang tuanya sedang berbohong perihal tujuan keduanya. Buktinya, saat ini ... sebelum menuju ke kantor, ia mampir di kediaman Leo karena curiga.Memarkirkan kendaraannya di lu
Ziel segera berlalu dari kediaman Leo dengan langkah cepat. Rasanya begitu panas terus berada dihadapan laki laki yang bahkan tak memiliki perasaan sama sekali.Setengah perjalanan, rasa hatinya masih saja tak tenang ... hingga akhirnya menghentikan laju kendaraannya. Mengambil sebuah botol kaca berukuran kecil di samping kursi dan mengeluarkan beberapa butir pil di dalamnya. Setidaknya ia merasa sedikit tenang dengan benda benda ini.Ponselnya berdering, saat ia lihat ternyata mamanya lah yang menelepon. Apalagi kalau bukan mempertanyakan tentang sikapnya tadi.“Ya, ma?”“Ziel, kamu di mana? Kita perlu bicara.”“Aku mau ke kantor. Nanti saja bicaranya di rumah, Ma.”“Tapi ini ...”“Daah, Ma.”Langsung saja menutup percakapan di ponsel, kemu
Seperti yang ia katakan tadi pagi, kalau hari ini akan ada pelajaran tambahan. Yap, tepat saat jam menunjukkan pukul 5 sore barulah kelas usai. Tak semua kelas, hanya saja terkhusus untuk siswa dan siswi kelas 3.Raut murung tercetak di wajah Karel saat keluar dari kelas. Sebuah amplop di tangannya, jadi masalah yang sedang ia pikirkan saat ini.Kebingungannya sedikit tersentak saat rengkuhan lengan Rena mencapai pundaknya.“Lo bawa mobil?” tanya Rena.“Gue tadi diantar, soalnya mobil lagi bermasalah,” jawabnya memberikan alasan.“Gue anter, ya,” ujar Puja.Tadinya ingin berkata tidak, tapi surat undangan di tangannya membuat pikirannya kembali berubah.“Oke,” jawabnya akan ajakan Puja.Jadilah, ia diantar oleh Puja. Seperti biasa, Puja paling berani hanya sekadar mengantar sampai pagar jika sore begini. Karena dia tahu, jika di waktu ini papanya ada di rumah.Puja dan Kare