Share

BAB : 7

Author: Soffia
last update Last Updated: 2022-01-24 00:36:04

Selesai berdebat bahkan sebuah tamparan ia terima dari papanya. Jangan berpikir jika sikap itu bisa ia lupakan begitu saja. Bahkan ia tak berniat melupakan itu semua, karena yang melakukan adalah papanya sendiri.

Kurang apa ia selama ini sebagai seorang anak? Pintar, penurut, berprestasi, yang kemana mana harus dapat ijin ... semua sudah dilakukannya demi mewujudkan keinginan papanya. Hanya demi mendapatkan perhatian dari laki laki paruh baya itu. Tapi semua percuma.

Masih menangis, meskipun ia tak ingin menangis. Toh, menangis sejadi jadinya pun tak akan mengubah hati papanya. Tetap ia yang salah dan jadi anak yang tak diinginkan.

Mengambil sebuah bingkai foto yang ada di nakas. Mengusap lembut gambaran seorang wanita yang sedang tersenyum.

"Apa aku memang tak diinginkan untuk lahir ke dunia ini? Aku bingung dengan sikap Papa. Setidaknya jika ada sebuah penjelasan, mungkin aku bisa berbenah diri demi mewujudkan apa yang Papa mau. Tapi alasan itu tak ku dapat. Harusnya aku tak ada di sini ... harusnya Mama mengajakku saja untuk pergi. Aku nggak kuat diperlakukan seperti ini sama Papa."

Merebahkan badannya di kasur sambil menangis, dengan foto yang masih ia peluk. Pandangan jauh ke luar jendela kamar, bahkan rasanya terasa hampa. 

Seseorang mengetuk pintu kamarnya dari arah luar, tapi ia tak berniat membuka pintu. Hanya beberapa kali ketukan, terdengar suara pintu dibuka dari arah luar dan langkah kaki mengarah padanya.

"Kenapa lagi?"

Pertanyaan itu membuat Karel tersentak, karena suara itu tak asing baginya. Langsung bangun dari posisi tidurnya dan menghambur memeluk sosok itu. Ia keluarkan semua tangisnya dalam dekapan dia.

"Kak Ziel, aku benar benar sedih," isaknya. "Aku nggak tahu lagi sekarang harus berbuat apa. Rasanya semua yang ku lakukan tak pernah benar dan nggak akan ada akhir. Aku sudah nggak kuat lagi."

"Rel, sudah ku katakan untuk jangan terlalu memikirkan sikap Om Leo. Ada aku, ada orang tuaku."

Karel melepasakan pelukannya pada Ziel. Matanya sembab, wajahnya memerah.

"Kakak nggak tahu apa yang ku rasakan, makanya bisa bicara seperti itu."

Fokus Ziel tiba-tiba tertuju pada sudut bibir Karel, di mana di sana masih terlihat bekas darah yang sudah mengering. Perlahan, ia sentuh dan dia mengelakkan tangannya.

"Siapa yang melakukannya?" tanya Ziel dengan wajah emosi.

"Ini tak apa. Hatiku yang justru terlalu sedih. Aku tak mengharapkan apa apa selain Papa mau menerimaku dan menyayangiku seperti orang tua Kakak. Tapi sepertinya semua itu mustahil. Salahku apa coba? Ku lakukan apa yang diinginkan Papa ... tapi malah ..."

Ziel kembali menarik gadis itu ke pelukannya. Sebelumnya ia akan diam ketika sikap Leo sebagai papanya Karel hanya bersikap dingin dan seolah tak perduli. Setidaknya ia akan memberikan hal yang lebih sebagai gantinya. Tapi saat tindakan Leo sudah mulai kasar, jangan berharap lagi ia akan diam.

Iya, ia paham apa yang dirasakan Karel. Bahkan terlalu memahami hingga sakitnya pun bisa ia rasakan. Melihat dia terus sedih dan sering menangis, itu rasanya seperti hatinya yang diiris.

"Kak, aku nggak mau apapun. Aku hanya ingin Papa bisa memperlakukanku layaknya seorang anak, itu saja. apakah itu terlalu sulit?"

"Jangan menangis terus, ku mohon."

"Kalau papa benar benar tak menginginkanku, aku mau ikut sama Mama saja. Mungkin bisa membuat Papa lebih tenang."

"Jangan bicara yang tidak tidak. Kamu pikir aku nggak menyanyangimu!" tegas Ziel akan kalimat yang diucapkan Karel.

Ziel membawa Karel dari sana. Ia tak ingin sikap Leo makin membuat gadis itu terus tersakiti.

Sampai di lantai bawah, Leo menghentikan langkah keduanya.

"Kalian mau kemana?" 

Ziel menahan sedikit emosinya saat berhadapan dengan laki laki paruh baya ini.

"Aku mau ajak Karel pergi dari sini," jawab Ziel tenang.

"Karel nggak boleh kemana mana," respon Leo. "Ini sudah malam, besok dia juga sekolah."

Ziel berdecak kesal saat mendengar perkataan demi perkataan yang diucapkan Leo. Demi apa dirinya harus menghadapi Leo yang nyatanya adalah sahabat orang tuanya sendiri. Tapi sepertinya sikap beliau tak bisa ditolerir lagi.

"Karel, masuk kamar!"

Ziel mengeratkan genggaman tangannya di tangan Karel. Pertanda ia manahan agar gadis itu tak melakukan apa yang diperintahkan oleh Leo.

"Karel aku bawa," ujar Ziel pada Leo.

"Kamu nggak akan Om ijinkan, Zi."

"Om melarang Karel ku bawa atas dasar apa? Karena berstatus sebagai papanya atau apa?"

"Jangan membantah apa yang Om katakan, Ziel. Kamu cowok baik baik di mata Om," tegas Leo.

"Aku juga sama," respon Ziel cepat. "Karena status Om di mataku, itu posisinya sama dengan orang tuaku. Aku menghormati Om Leo, juga sama dengan apa yang ku lakukan pada orang tuaku. Selama ini aku diam tentang masalah Karel, bukan berarti aku setuju dengan sikap Om!"

Pandangan Leo kini beralih ke arah lain, sambil bersidekap dada seakan memang menghindari pandangan dua muda mudi itu.

"Selama ini aku berusaha agar dia nggak terlalu sedih dan memikirkan sikap Om yang mengabaikannya. Karena ku tahu, semua orang pasti punya masalah masing masing yang tak harus diumbar. Tapi sekarang tidak lagi. Om benar benar sudah menyakiti dia dan aku nggak terima sikap kasar itu tertuju padanya!"

Leo menatap tajam ke arah Ziel yang memasang wajah emosi padanya.

"Urusan Karel, itu urusan Om. Kamu nggak bisa ikut campur akan hal ini."

"Aku nggak perduli!"

Leo menarik Karel yang masih dalam pegangan Ziel. Tentu saja tak segampang itu mengambil apa yang sudah ada dalam genggamananya.

"Sudah ku katakan, kan ... aku nggak akan membiarkan Karel terus sedih akan sikap Om. Jadi, cukup sampai di sini. Mendapat ijin ataupun tidak, Karel aku bawa!" 

Langsung saja berlalu dari hadapan Leo dengan Karel yang hanya menurut dengan langkahnya.

Ya, ia tahu ini salah. Salah besar karena membawa Karel tanpa ijin Leo. Hanya saja niatnya bukan memisahkan, tapi agar membuat Leo sadar. Sebagi seorang ayah, dia juga harus ingat kalau memiliki seorang anak yang butuh sosok ayah. Bukan hanya sekadar Ayah dalam status.

"Ziel!"

Teriakan Leo tak dihiraukan oleh keduanya. Bukan tak perduli, bukan juga berniat jadi anak yang durhaka ... tapi untuk kali ini ia akan abaikan rasa kepeduliannya pada papanya. Hatinya sedih, ia butuh ketenangan. Bersama dengan Ziel, setidaknya hatinya jauh lebih tenang. Di mana rasa sayang itu bisa ia dapatkan sepenuhnya. Meskipun bukan kasih sayang seorang Papa.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sbyl0581 raden mas
kasihan karel , leo msh gk terima sama kematian istrinya dan melampiaskan ke karel sebagai anaknya .........
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Suddenly We Got Married (Series 4)   BAB : 71

    Giska kembali menghampiri Karel dengan muka cemberutnya.“Mana buahnya?” tanya Karel.“Dimakan noh sama Kak Davian,” jawab Giska sambil menghempaskan bokongnya duduk di kursi.“Lah,” keluh Karel.Giska menatap fokus pada Karel. “Trus gimana? Lo bantuin gue sama Puja. Kita udah sahabatan lama, El … masa gara-gara perkara beginian sampai musuhan.”Karel bukannya bingung, tapi ia takut jika kedua sahabatnya berpikiran yang tidak-tidak tentangnya. Puja menyukai Davi, tapi Davi lebih mendekati Giska. Mereka berdua sahabatnya, makanya ia jadi bingung.“Gue nggak ada niatan sama sekali bikin Puja sakit hati. Dia mau gue hapus kontaknya Kak Davi, gue mau. Minta gue jangan dekat-dekat, oke nggak apa-apa. Tapi Puja nya nggak mau bicara sama gue.”Giska langsung menangis saat bicara. Ya bagaimana tak sedih, jika yang kesal dan marah padanya adalah sahabatnya sendiri.“Lo jangan nangis dong, Giska.”“Gue sedih tahu nggak.”“Apa gue minta Puja datang ke sini buat bicarain semua?”“Tadi pagi aja di

  • Suddenly We Got Married (Series 4)   BAB : 70

    Dari jam pagi sampai jam pelajaran akhir, serasa benar-benar panjang. Biasanya ada Puja dan Karel. Sekarang ia hanya sendirian. Ada Puja, tapi malah sedang kesal padanya. Setiap diajak bicara, malah seolah menghindar.Sampai di dalam mobil, Giska menelepon mamanya.“Hallo, Ma.”“Ya, Nak?”“Aku pulangnya agak telat, ya, Ma. Soalnya mau main kerumahnya Karel. Tadi dia nggak masuk karena nggak enak badan, jadi aku mau jenguk.”“Iya, hati-hati, ya. Titip salam dari Mama buat Karel.”Selesai meminta izin, barulah Giska memutuskan untuk segera berlalu dari sana … meninggalkan area parkiran sekolah menuju rumah keluarga Ziel.Dalam perjalanan, ponselnya berdering. Terlihat nama Davian yang tertera. Benar-benar malas rasanya untuk menjawab, apalagi setelah peperangannya dan Puja tadi.Pada akhirnya ia biarkan benda pipih itu diam dengan sendirinya. Mau meriject, malah nggak enak. Ntar dikira sengaja. Kalau dibiarkan, kan dia pasti menyangka kalau dirinya masih ada kelas.Pak satpam membukakan

  • Suddenly We Got Married (Series 4)   BAB : 69

    Pagi harinya, Ziel bergegas turun dan langsung menuju ke arah meja makan. Tak duduk, tapi justru hanya menyambar satu lembar roti tawar dan meneguk segelas green tea.“Loh, Aden nggak sarapan?” tanya Bibik.“Udah, Bik. Aku buru-buru,” jawabnya.“Loh, kok nggak makan?” Giliran Kiran yang baru datang dari arah teras samping bertanya. “Karel mana?”“Aku ada pertemuan pagi ini, Ma. Semalam juga sudah bilang bisa sama Davi. Karel masih di kamar, masih tidur … jangan dibangunin. Aku kasih izin libur hari ini.”“Tapi, Zi …”Ziel menyambar dan mencium punggung tangan Kiran.“Dah, Ma … aku berangkat.”Kiran hanya bisa menarik napas panjang, menatap kepergian putranya hingga keluar dari rumah.“Ada apa?” tanya Arland yang baru keluar dari kamar dan duduk di kursi yang ada di meja makan.“Ziel, udah berangkat.”“Tumben pagi-pagi.”“Katanya ada pertemuan pagi ini dan semalam udah mastiin sama Davi.”“Karelyn?”“Dia kasih izin libur satu hari,” jawab Kiran dengan senyuman.Sementara Karel di kamar

  • Suddenly We Got Married (Series 4)   BAB : 68

    Keduanya menuju rumah sakit. Seperti yang sudah dijanjikan, bahwa hari ini Karel akan melakukan cek-up secara menyeluruh. Lebih cepat mengetahui seberapa parah sakit yang dia alami, itu justru semakin baik. Karena mencegah lebih baik daripada mengobati saat semua sudah berada di titik parah.“Nanti kalau lulus, aku boleh lanjut kuliah, kan?” tanya Karel.“Tentu saja. Kalau kamu nggak maupun, akan aku yang paksa.”Karel sampai tertawa mendengarnya. “Suami macam apa yang melakukan tindakan pemaksaan pada istrinya.”“Kan aku memaksa ke jalan yang benar, bukan pada kesesatan, Sayang. Ilmu itu penting. Dan aku nggak mau hanya karena status pernikahan, membuatmu sampai stop untuk lanjut kuliah.”Dengar, kan. Orang pinter ngomongnya gitu, ya. Apa-apa bahasannya pasti perkara menuntut ilmu, belajar, dan perkara otak. Udah nikah saja masih tetap membahasa perkara pendidikan.“Boleh ke luar negri?” tanya Karel langsung pada titik pertanyaan yang paling inti.Seketika Ziel menghentikan laju kend

  • Suddenly We Got Married (Series 4)   BAB : 67

    Karel menyodorkan sebuah map pada Ziel yang langsung dia terima.“Kakak dari mana? Katanya mau tidur, mau istirahat. Tetap aja pas aku nyampe rumah, kamunya baru balik.” langsung mengomel mode emak-emak.“Nganterin tante ke bandara.”“Lah, udah balik?”“Udah,” jawab Ziel.“Padahal aku belum ngobrol banyak. Malah udah pada bubar semua,” gerutunya dengan wajah cemberut. Kemudian berlalu dari hadapan Ziel dan langsung masuk ke dalam rumah dengan pintu yang tampak terbuka lebar.“Kenapa, sih … pulang sekolah langsung cemberut?” tanya Kiran yang baru datang dari arah teras samping.Karel yang tadinya berniat langsung menuju ke arah kamar, beralih menghampiri Kiran. Menyambar dan mencium punggung tangan wanita paruh baya itu.“Kenapa semua udah pada balik? Kan kita belum ngobrol banyak.”“Ngobrolnya ntar denganku saja,” sahut Ziel terkekeh, kemudian melanjutkan langkahnya menuju lantai atas.“Jangan ke ruang kerja ya, Kak … aku beneran mau bicara loh!”Tak ada sahutan dari Ziel. Oke, itu ar

  • Suddenly We Got Married (Series 4)   BAB : 66

    Pulang sekolah, seperti apa yang dikatakan oleh Ziel padanya. Hanya saja saat hendak menelepon, tiba-tiba Giska menawarinya untuk pulang bareng. Karena dari sekolah, Giska akan mampir ke rumahnya yang lama untuk menjemput Bibik.“Gimana? Ini kebetulan gue mau jemput Bibik ke tempat papa. Kan satu arah.”“Gue duluan, ya,” ujar Puja pada Giska dan Karel, kemudian langsung saja menyelonong pergi meninggalkan keduanya.Keduanya sampai saling pandang karena bingung harus bersikap seperti apa.“Hati-hati, Ja!” teriak Giska.Karel sampai tersenyum menanggapi sikap dan balasan Giska pada Puja. Padahal harusnya kesal, kan … tapi ini malah dibawa candaan.“Gue nggak merasa bersalah. Jadi abaikan saja kekesalan dia yang nggak jelas itu,” gumam Giska.“Ayok, gue bareng lo,” ujar Karel menyetujui ajakan Giska. Setidaknya ia tak mengganggu jam istirahat Ziel. Semoga saja dia benar-benar istirahat. Agak curiga, seseorang dengan jam bisnis kelas sibuk begitu mana mau disuruh istirahat dengan santai.

  • Suddenly We Got Married (Series 4)   BAB : 65

    Jam pelajaran kedua selesai, guru juga sudah meninggalkan area kelas.“Ke kantin, yuk,” ajak Giska pada Karel dan Puja. Serius, ya … ia sebenarnya masih mode kesal pada Puja. Hanya saja berusaha jika masalahnya dan sobatnya tak terus berlanjut. Terserah dia mau marah atau apa, yang jelas ia sudah berusaha untuk tetap baik. Karena ia merasa tak salah.“Gue ikut, ya … tapi minum doang,” jawab Karel beranjak dari posisi duduknya. Peringatan dari Ziel dan papa mertuanya membuatnya harus pilah pilih makanan mulai sekarang, Apalagi makanan cepat saji.“Yok, Ja,” ajak Giska.“Kalian duluan aja, gue mau ke toilet bentar,” respon Puja dengan wajah tak bersahabat, kemudian berlalu pergi begitu saja dari hadapan Karel dan Giska.Tadinya masih tenang, tapi balasan dan sikap Puja barusan sukses membuat Giska seketika emosi.“Lo liat, kan, El. Dia kenapa, sih? Sumpah, ya. Paling kesal tuh kalau diacuhkan dan dicuekin tanpa tahu sebabnya apa. Perasaan gue nggak ada lakuin hal yang bikin dia kesal,

  • Suddenly We Got Married (Series 4)   BAB : 64

    Langsung bergegas menuju ruang kelas, saat sampai sudah me dapati Giska dan juga Puja di sana. Mereka fokus pada buku dihadapan masing-masing.Melihat Karel yang datang, keduanya langsung heboh dan kegirangan. Ya apalagi, pasti keduanya akan membahas hal yang-tidak lagi.“El, gimana gimana?” tanya Puja bersemangat.“Heh, apanya yang gimana?”“Duh, sok lugu lagi. Yang kita berdua pertanyakan, gimana semalam. Lancar? Aman? Jebol nggak?”Seketika tangan Karel dengan cepat memberikan sentilan pada masing-masing jidat sobatnya itu. Bisa-bisanya mereka membahas hal yang sangat-sangat privasi itu di sekolah, bahkan di detik-detik menuju ulangan.“Kalian berdua ya ampun. Kenapa gue nyampe sekolah malah nanyain hal itu. Trus kalau gue bilang, kalian penasaran dan nyobain. Memangnya sudah ada objeknya?”“Dih, pelit amat sih, El. Kan buat berbagi pengalaman aja. Biar kapan-kapan kita berdua mau praktek, nggak kaget-kaget banget,” balas Puja dengan muka mesumnya.“Apa yang mau gue ceritain, kan k

  • Suddenly We Got Married (Series 4)   BAB : 63

    “Aneh banget loh Kak Davian,” ujar Karel pada Ziel ketika keduanya turun menuju lantai bawah.“Aneh gimana?” tanya Ziel.“Masa dia nanyain alamatnya Giska.”“Buat apa?”“Katanya mau balikin ponsel milik Giska yang ketinggalan di cafe semalam.”Ziel mengarahkan pandangannya pada Karel, seolah ikut bingung dengan apa yang dikatakan oleh Karel.“Iya, Kak. Beneran gitu. Aku aja bingung. Pas ku tanya, kok bisa? Tapi dia nggak ngasih penjelasan.”Lanjut berjalan hingga keduanya sampai di bawah. Langsung menuju ruang makan. Ternyata di sana sudah ada semuanya.“Ya ampun, masih pagi buta sudah bangun aja ini pengantin baru. Padahal kami pikir nggak bakalan bangun seharian,” ujar Linzy dengan sengaja meledek Karel dan Ziel yang baru datang.Alvin sampai memberikan pelototan tajam pada putrinya itu. Sudah jadi hal yang lumrah, dua putrinya memang rada ceplas-ceplos.“Aku juga berpikir demikian, masalahnya mataku mengantuk berat. Tapi tahu sendiri kalau hari ini sekolah dan …” Melirik sedikit ke

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status