Share

BAB : 7

Selesai berdebat bahkan sebuah tamparan ia terima dari papanya. Jangan berpikir jika sikap itu bisa ia lupakan begitu saja. Bahkan ia tak berniat melupakan itu semua, karena yang melakukan adalah papanya sendiri.

Kurang apa ia selama ini sebagai seorang anak? Pintar, penurut, berprestasi, yang kemana mana harus dapat ijin ... semua sudah dilakukannya demi mewujudkan keinginan papanya. Hanya demi mendapatkan perhatian dari laki laki paruh baya itu. Tapi semua percuma.

Masih menangis, meskipun ia tak ingin menangis. Toh, menangis sejadi jadinya pun tak akan mengubah hati papanya. Tetap ia yang salah dan jadi anak yang tak diinginkan.

Mengambil sebuah bingkai foto yang ada di nakas. Mengusap lembut gambaran seorang wanita yang sedang tersenyum.

"Apa aku memang tak diinginkan untuk lahir ke dunia ini? Aku bingung dengan sikap Papa. Setidaknya jika ada sebuah penjelasan, mungkin aku bisa berbenah diri demi mewujudkan apa yang Papa mau. Tapi alasan itu tak ku dapat. Harusnya aku tak ada di sini ... harusnya Mama mengajakku saja untuk pergi. Aku nggak kuat diperlakukan seperti ini sama Papa."

Merebahkan badannya di kasur sambil menangis, dengan foto yang masih ia peluk. Pandangan jauh ke luar jendela kamar, bahkan rasanya terasa hampa. 

Seseorang mengetuk pintu kamarnya dari arah luar, tapi ia tak berniat membuka pintu. Hanya beberapa kali ketukan, terdengar suara pintu dibuka dari arah luar dan langkah kaki mengarah padanya.

"Kenapa lagi?"

Pertanyaan itu membuat Karel tersentak, karena suara itu tak asing baginya. Langsung bangun dari posisi tidurnya dan menghambur memeluk sosok itu. Ia keluarkan semua tangisnya dalam dekapan dia.

"Kak Ziel, aku benar benar sedih," isaknya. "Aku nggak tahu lagi sekarang harus berbuat apa. Rasanya semua yang ku lakukan tak pernah benar dan nggak akan ada akhir. Aku sudah nggak kuat lagi."

"Rel, sudah ku katakan untuk jangan terlalu memikirkan sikap Om Leo. Ada aku, ada orang tuaku."

Karel melepasakan pelukannya pada Ziel. Matanya sembab, wajahnya memerah.

"Kakak nggak tahu apa yang ku rasakan, makanya bisa bicara seperti itu."

Fokus Ziel tiba-tiba tertuju pada sudut bibir Karel, di mana di sana masih terlihat bekas darah yang sudah mengering. Perlahan, ia sentuh dan dia mengelakkan tangannya.

"Siapa yang melakukannya?" tanya Ziel dengan wajah emosi.

"Ini tak apa. Hatiku yang justru terlalu sedih. Aku tak mengharapkan apa apa selain Papa mau menerimaku dan menyayangiku seperti orang tua Kakak. Tapi sepertinya semua itu mustahil. Salahku apa coba? Ku lakukan apa yang diinginkan Papa ... tapi malah ..."

Ziel kembali menarik gadis itu ke pelukannya. Sebelumnya ia akan diam ketika sikap Leo sebagai papanya Karel hanya bersikap dingin dan seolah tak perduli. Setidaknya ia akan memberikan hal yang lebih sebagai gantinya. Tapi saat tindakan Leo sudah mulai kasar, jangan berharap lagi ia akan diam.

Iya, ia paham apa yang dirasakan Karel. Bahkan terlalu memahami hingga sakitnya pun bisa ia rasakan. Melihat dia terus sedih dan sering menangis, itu rasanya seperti hatinya yang diiris.

"Kak, aku nggak mau apapun. Aku hanya ingin Papa bisa memperlakukanku layaknya seorang anak, itu saja. apakah itu terlalu sulit?"

"Jangan menangis terus, ku mohon."

"Kalau papa benar benar tak menginginkanku, aku mau ikut sama Mama saja. Mungkin bisa membuat Papa lebih tenang."

"Jangan bicara yang tidak tidak. Kamu pikir aku nggak menyanyangimu!" tegas Ziel akan kalimat yang diucapkan Karel.

Ziel membawa Karel dari sana. Ia tak ingin sikap Leo makin membuat gadis itu terus tersakiti.

Sampai di lantai bawah, Leo menghentikan langkah keduanya.

"Kalian mau kemana?" 

Ziel menahan sedikit emosinya saat berhadapan dengan laki laki paruh baya ini.

"Aku mau ajak Karel pergi dari sini," jawab Ziel tenang.

"Karel nggak boleh kemana mana," respon Leo. "Ini sudah malam, besok dia juga sekolah."

Ziel berdecak kesal saat mendengar perkataan demi perkataan yang diucapkan Leo. Demi apa dirinya harus menghadapi Leo yang nyatanya adalah sahabat orang tuanya sendiri. Tapi sepertinya sikap beliau tak bisa ditolerir lagi.

"Karel, masuk kamar!"

Ziel mengeratkan genggaman tangannya di tangan Karel. Pertanda ia manahan agar gadis itu tak melakukan apa yang diperintahkan oleh Leo.

"Karel aku bawa," ujar Ziel pada Leo.

"Kamu nggak akan Om ijinkan, Zi."

"Om melarang Karel ku bawa atas dasar apa? Karena berstatus sebagai papanya atau apa?"

"Jangan membantah apa yang Om katakan, Ziel. Kamu cowok baik baik di mata Om," tegas Leo.

"Aku juga sama," respon Ziel cepat. "Karena status Om di mataku, itu posisinya sama dengan orang tuaku. Aku menghormati Om Leo, juga sama dengan apa yang ku lakukan pada orang tuaku. Selama ini aku diam tentang masalah Karel, bukan berarti aku setuju dengan sikap Om!"

Pandangan Leo kini beralih ke arah lain, sambil bersidekap dada seakan memang menghindari pandangan dua muda mudi itu.

"Selama ini aku berusaha agar dia nggak terlalu sedih dan memikirkan sikap Om yang mengabaikannya. Karena ku tahu, semua orang pasti punya masalah masing masing yang tak harus diumbar. Tapi sekarang tidak lagi. Om benar benar sudah menyakiti dia dan aku nggak terima sikap kasar itu tertuju padanya!"

Leo menatap tajam ke arah Ziel yang memasang wajah emosi padanya.

"Urusan Karel, itu urusan Om. Kamu nggak bisa ikut campur akan hal ini."

"Aku nggak perduli!"

Leo menarik Karel yang masih dalam pegangan Ziel. Tentu saja tak segampang itu mengambil apa yang sudah ada dalam genggamananya.

"Sudah ku katakan, kan ... aku nggak akan membiarkan Karel terus sedih akan sikap Om. Jadi, cukup sampai di sini. Mendapat ijin ataupun tidak, Karel aku bawa!" 

Langsung saja berlalu dari hadapan Leo dengan Karel yang hanya menurut dengan langkahnya.

Ya, ia tahu ini salah. Salah besar karena membawa Karel tanpa ijin Leo. Hanya saja niatnya bukan memisahkan, tapi agar membuat Leo sadar. Sebagi seorang ayah, dia juga harus ingat kalau memiliki seorang anak yang butuh sosok ayah. Bukan hanya sekadar Ayah dalam status.

"Ziel!"

Teriakan Leo tak dihiraukan oleh keduanya. Bukan tak perduli, bukan juga berniat jadi anak yang durhaka ... tapi untuk kali ini ia akan abaikan rasa kepeduliannya pada papanya. Hatinya sedih, ia butuh ketenangan. Bersama dengan Ziel, setidaknya hatinya jauh lebih tenang. Di mana rasa sayang itu bisa ia dapatkan sepenuhnya. Meskipun bukan kasih sayang seorang Papa.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sbyl0581 raden mas
kasihan karel , leo msh gk terima sama kematian istrinya dan melampiaskan ke karel sebagai anaknya .........
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status