Keduanya masuk ke dalam mobil dan berlalu dari sana. Diam, hanya itulah yang terjadi sepanjang perjalanan hingga sampai di rumah.
Baru sampai di pintu masuk, di sana sudah ada Arland dan Kiran yang ternyata sudah menunggu.
"Karel, kamu kenapa, Sayang?" tanya Kiran melihat wajah sembab Karel yang tentu saja ia paham kalau dia habis menangis.
Karel langsung saja memeluk Kiran. Tak memiliki seorang Mama, setidaknya ada sosok Kiran yang selalu membuatnya merasa nyaman dan bisa melepaskan rasa keinginannya akan pelukan seorang Mama.
"Ada apa?" Giliran Arland yang bertanya pada putranya.
Bukan apa-apa, hanya saja keduanya merasa kepikiran sedari tadi. Karena saat sampai di rumah, setelah mendapatkan telepon, Ziel langsung bergegas pergi dengan raut khawatir.
"Om Leo benar benar membuatku emosi. Karel ku bawa ke sini," ungkapnya singkat.
"Apa yang dia lakukan?" tanya Arland.
"Aku istirahat sebentar, Pa. Nanti ku jelaskan," Tak ada penjelasan lagi, kemudian ia pergi begitu saja menuju kamarnya.
Hari ini ke luar kota mengurus pekerjaan, sampai di rumah disambut oleh masalahnya Karel. Jujur saja, otaknya serasa mau meledak. Setidaknya hanya beberapa menit, untuk meredakan rasa sakit ini.
"Kamu temenin, ya," suruh Arland pada sang istri yang mendapat anggukan.
Dua wanita itu sudah berlalu menuju kamar, kini tinggal dirinya yang penasaran dengan apa yang terjadi. bertanya pada Ziel, sepertinya putranya memang sedang istirahat.
Kiran penasaran dengan apa yang terjadi, hingga membuat emosi juga terlihat jelas di wajah putranya. Itu pertanda, ada yang membuat dia sakit hati dan marah.
Luka di sudut bibir Karel juga termasuk membuat tanda tanya besar baginya.
"Karel, Sayang ... kamu itu sudah seperti anak sendiri bagi Om dan Tante. Bisa, kan ... terbuka pada kami?"
Air mata kembali jatuh di pipi gadis belasan tahun itu. Ya, usia yang masih muda jika harus menghadapi masalah yang tergolong berat.
"Apa menurut Tante, aku ini anak yang tak berbakti?"
"Tentu saja tidak. Bahkan sangat baik dalam hal apapun."
"Kalian selalu mengatakan hal itu padaku, tapi kenapa Papaku tidak? Apa ada yang salah denganku?"
Kiran terdiam saat Karel kembali membahas tentang Leo. Ya, sebagai seorang yang bahkan sangat dekat dengan keluarga Leo, sekarang ia dibuat bingung harus memberikan komentar seperti apa.
"Papamu marah lagi?" tanya Kiran menghapus air mata yang masih membasahi wajah Karel.
"Aku hanya bertanya, apa yang diinginkan Papa agar aku bisa disayangi dan mendapat perhatiannya. Tapi Papa marah. Jadi sekarang aku bingung harus berbuat apalagi, Tante. Sabarku selama ini, tak ada hasilnya. Karena Papa masih seperti itu. Di rumah, aku hanya seolah jadi patung yang tak dianggap."
"Dia menyakitimu?" tanya Kiran.
"Hanya menamparku, tapi yang sakit justru hatiku."
Pantas saja Ziel tampak emosi. Ternyata sikap Leo sudah kasar pada Karel. Tahu sendiri jika putranya itu begitu menjaga dan menyayangi gadis ini. Karel diperlakukan kasar, wajar jika Ziel tak terima.
"Om sama Tante sudah lama kenal orang tuaku. Kalian pasti tahu ... apakah dulu aku pernah berbuat kesalahan yang begitu besar, hingga Papa tak pernah menganggapku ada?" tanya Karel dengan nada serius.
Kiran seakan dihantam oleh pertanyaan yang ditanyakan Karel padanya. Jujur saja, ia paham apa yang dirasakan gadis ini. Hanya saja menjawab jujur tentang apa yang terjadi, tentu saja tak mungkin. Itu sama saja dengan membuat hubungan anak dan ayah semakin menjauh.
"Sayang, apa yang kamu pikirkan. Kesalahan? Kesalahan apa maksudmu? Kamu anak yang baik, mana mungkin berbuat salah. Tentang papamu, anggap saja sekarang beliau sedang khilaf karena sudah berbuat kasar. Tenang dan jangan pikirkan lagi. Ada Om dan Tante. Ada Ziel yang selalu menjagamu."
Seperti sebelumnya. Tak akan ada yang mau mengatakan sesuatu yang penting itu padanya. Padahal hanya Arland dan Kiran yang bisa ia tanyai tentang masa lalu papanya, tapi keduanya seolah tak mau buka suara.
Karel mengangguk paham. "Iya, Tante ... aku udah nggak apa apa, kok. Maaf, jika lagi lagi aku akan membuat keluarga Tante kerepotan menampungku di sini."
"Haruskah kamu Tante masukkan ke dalam kartu keluarga kami, agar pemikiran seperti itu hilang dari pikiranmu?"
Karel menggeleng cepat. Meskipun ia berharap seperti itu, tapi untuk masuk keluarga Ziel tentu saja ia akan tetap menolak. Ia masih punya Papa, meskipun tak dianggap sekalipun. Meskipun ... hanya sekadar status.
Di saat keduanya mengobrol, pintu dibuka dari arah luar. Tampak Ziel datang dengan satu gelas susu hangat di tangannya.
Paham, membuat Kiran beranjak dari posisi duduknya.
"Sama Ziel, ya. Setelah itu, kamu istirahat."
"Iya, Tante," responnya.
Kiran berjalan hendak keluar, tapi terhenti saat berhadapan dengan putranya. "Ingat apa yang Mama katakan, ya," bisik Kiran pada Ziel seakan memberikan peringatan agar putranya tak lepas kendali saat bicara pada Karel.
Anggukan paham diberikan Ziel pada mamanya pertanda paham.
Kiran keluar, meninggalkan Karel dan Ziel.
"Bukannya Kakak mau istirahat?" tanya Karel.
"Sudah," jawabnya.
Cowok yang aneh. Itulah kadang yang Karel pikirkan tentang sosok Ziel. Katanya tadi mau istirahat, tapi baru beberapa menit sekarang sudah datang lagi. Istirahat macam apa yang dia maksud.
Ziel duduk di pinggiran tempat tidur, kemudian menyodorkan segelas susu hangat pada gadis yang matanya masih sembab karena menangis.
Karel menerima gelas itu, tapi hanya sesaat tangannya kembali ia tarik. "Ini panas, Kak," komentarnya tak terima.
"Hangat, bukan panas."
"Sudah tahu aku nggak suka. Kenapa malah memberikanku minuman hangat. Aku maunya yang dingin."
"Ini sudah malam, Rel. Biasakan minum minuman hangat, bukan dingin."
Karel memanyunkan bibirnya saat mendengar ocehan Ziel yang menurutnya bakalan bisa panjang jika diperpanjang.
"Minum," suruhnya kembali menyodorkan gelas yang ada di tangannya.
Karel akhirnya menerima, tapi malah meletakkan di nakas.
"Bentar, sepuluh menit lagi aku minum," ujarnya.
Ziel sampai menghela napas lelahnya saat menghadapi gadis kecil ini. Ia juga tak bodoh, yang sampai berhasil dipermainkan hanya karena satu gelas minuman.
"Tunggu sepuluh menit dan akhirnya minuman itu akan dingin. Karelyn, harus kamu ingat jika aku jauh lebih pintar darimu."
Tanpa basa basi dan komentar lagi, akhirnya ia pasrah. Secepat kilat ia kembali ambil gelas dan meneguk susu itu hingga habis tanpa meninggalkan setetes pun.
"Puas?" tanyanya menunjukkan gelas yang sudah kosong dihadapan Ziel.
"Pertahankan," balas Ziel mengambil alih gelas itu. Mendorong tubuh gadis yang ada dihadapannya hingga langsung roboh ke posisi tidur. "Sekarang kamu tidur. Nggak akan ada lagi yang namanya libur sekolah. Cukup hari ini tanpa ijin dariku."
"Maaf," ucap Karel.
"Nggak perlu minta maaf. Setidaknya saat sebuah kesalahan tak diulang lagi, itu sudah membuktikan jika kamu sadar akan kesalahan sebelumnya," terang Ziel.
"Apa Kakak nggak merasa dirugikan jika aku terus membawamu ke dalam masalahku? Tak sekali dua kali, tapi setiap masalahku, pasti kamu ... "
"Jika itu masih berada di jalan yang benar, akan ku lakukan. Tapi jika kamu yang salah, apa menurutmu aku akan terus membelamu?"
Karel menggeleng.
"Tapi kenapa?"
"Apa yang kenapa?"
"Begitu baik padaku."
"Haruskah ku jelaskan sekarang?"
Karel kembali bangun dengan cepat dan duduk dihadapanm Ziel. "Tentu saja," responnya cepat.
Giska kembali menghampiri Karel dengan muka cemberutnya.“Mana buahnya?” tanya Karel.“Dimakan noh sama Kak Davian,” jawab Giska sambil menghempaskan bokongnya duduk di kursi.“Lah,” keluh Karel.Giska menatap fokus pada Karel. “Trus gimana? Lo bantuin gue sama Puja. Kita udah sahabatan lama, El … masa gara-gara perkara beginian sampai musuhan.”Karel bukannya bingung, tapi ia takut jika kedua sahabatnya berpikiran yang tidak-tidak tentangnya. Puja menyukai Davi, tapi Davi lebih mendekati Giska. Mereka berdua sahabatnya, makanya ia jadi bingung.“Gue nggak ada niatan sama sekali bikin Puja sakit hati. Dia mau gue hapus kontaknya Kak Davi, gue mau. Minta gue jangan dekat-dekat, oke nggak apa-apa. Tapi Puja nya nggak mau bicara sama gue.”Giska langsung menangis saat bicara. Ya bagaimana tak sedih, jika yang kesal dan marah padanya adalah sahabatnya sendiri.“Lo jangan nangis dong, Giska.”“Gue sedih tahu nggak.”“Apa gue minta Puja datang ke sini buat bicarain semua?”“Tadi pagi aja di
Dari jam pagi sampai jam pelajaran akhir, serasa benar-benar panjang. Biasanya ada Puja dan Karel. Sekarang ia hanya sendirian. Ada Puja, tapi malah sedang kesal padanya. Setiap diajak bicara, malah seolah menghindar.Sampai di dalam mobil, Giska menelepon mamanya.“Hallo, Ma.”“Ya, Nak?”“Aku pulangnya agak telat, ya, Ma. Soalnya mau main kerumahnya Karel. Tadi dia nggak masuk karena nggak enak badan, jadi aku mau jenguk.”“Iya, hati-hati, ya. Titip salam dari Mama buat Karel.”Selesai meminta izin, barulah Giska memutuskan untuk segera berlalu dari sana … meninggalkan area parkiran sekolah menuju rumah keluarga Ziel.Dalam perjalanan, ponselnya berdering. Terlihat nama Davian yang tertera. Benar-benar malas rasanya untuk menjawab, apalagi setelah peperangannya dan Puja tadi.Pada akhirnya ia biarkan benda pipih itu diam dengan sendirinya. Mau meriject, malah nggak enak. Ntar dikira sengaja. Kalau dibiarkan, kan dia pasti menyangka kalau dirinya masih ada kelas.Pak satpam membukakan
Pagi harinya, Ziel bergegas turun dan langsung menuju ke arah meja makan. Tak duduk, tapi justru hanya menyambar satu lembar roti tawar dan meneguk segelas green tea.“Loh, Aden nggak sarapan?” tanya Bibik.“Udah, Bik. Aku buru-buru,” jawabnya.“Loh, kok nggak makan?” Giliran Kiran yang baru datang dari arah teras samping bertanya. “Karel mana?”“Aku ada pertemuan pagi ini, Ma. Semalam juga sudah bilang bisa sama Davi. Karel masih di kamar, masih tidur … jangan dibangunin. Aku kasih izin libur hari ini.”“Tapi, Zi …”Ziel menyambar dan mencium punggung tangan Kiran.“Dah, Ma … aku berangkat.”Kiran hanya bisa menarik napas panjang, menatap kepergian putranya hingga keluar dari rumah.“Ada apa?” tanya Arland yang baru keluar dari kamar dan duduk di kursi yang ada di meja makan.“Ziel, udah berangkat.”“Tumben pagi-pagi.”“Katanya ada pertemuan pagi ini dan semalam udah mastiin sama Davi.”“Karelyn?”“Dia kasih izin libur satu hari,” jawab Kiran dengan senyuman.Sementara Karel di kamar
Keduanya menuju rumah sakit. Seperti yang sudah dijanjikan, bahwa hari ini Karel akan melakukan cek-up secara menyeluruh. Lebih cepat mengetahui seberapa parah sakit yang dia alami, itu justru semakin baik. Karena mencegah lebih baik daripada mengobati saat semua sudah berada di titik parah.“Nanti kalau lulus, aku boleh lanjut kuliah, kan?” tanya Karel.“Tentu saja. Kalau kamu nggak maupun, akan aku yang paksa.”Karel sampai tertawa mendengarnya. “Suami macam apa yang melakukan tindakan pemaksaan pada istrinya.”“Kan aku memaksa ke jalan yang benar, bukan pada kesesatan, Sayang. Ilmu itu penting. Dan aku nggak mau hanya karena status pernikahan, membuatmu sampai stop untuk lanjut kuliah.”Dengar, kan. Orang pinter ngomongnya gitu, ya. Apa-apa bahasannya pasti perkara menuntut ilmu, belajar, dan perkara otak. Udah nikah saja masih tetap membahasa perkara pendidikan.“Boleh ke luar negri?” tanya Karel langsung pada titik pertanyaan yang paling inti.Seketika Ziel menghentikan laju kend
Karel menyodorkan sebuah map pada Ziel yang langsung dia terima.“Kakak dari mana? Katanya mau tidur, mau istirahat. Tetap aja pas aku nyampe rumah, kamunya baru balik.” langsung mengomel mode emak-emak.“Nganterin tante ke bandara.”“Lah, udah balik?”“Udah,” jawab Ziel.“Padahal aku belum ngobrol banyak. Malah udah pada bubar semua,” gerutunya dengan wajah cemberut. Kemudian berlalu dari hadapan Ziel dan langsung masuk ke dalam rumah dengan pintu yang tampak terbuka lebar.“Kenapa, sih … pulang sekolah langsung cemberut?” tanya Kiran yang baru datang dari arah teras samping.Karel yang tadinya berniat langsung menuju ke arah kamar, beralih menghampiri Kiran. Menyambar dan mencium punggung tangan wanita paruh baya itu.“Kenapa semua udah pada balik? Kan kita belum ngobrol banyak.”“Ngobrolnya ntar denganku saja,” sahut Ziel terkekeh, kemudian melanjutkan langkahnya menuju lantai atas.“Jangan ke ruang kerja ya, Kak … aku beneran mau bicara loh!”Tak ada sahutan dari Ziel. Oke, itu ar
Pulang sekolah, seperti apa yang dikatakan oleh Ziel padanya. Hanya saja saat hendak menelepon, tiba-tiba Giska menawarinya untuk pulang bareng. Karena dari sekolah, Giska akan mampir ke rumahnya yang lama untuk menjemput Bibik.“Gimana? Ini kebetulan gue mau jemput Bibik ke tempat papa. Kan satu arah.”“Gue duluan, ya,” ujar Puja pada Giska dan Karel, kemudian langsung saja menyelonong pergi meninggalkan keduanya.Keduanya sampai saling pandang karena bingung harus bersikap seperti apa.“Hati-hati, Ja!” teriak Giska.Karel sampai tersenyum menanggapi sikap dan balasan Giska pada Puja. Padahal harusnya kesal, kan … tapi ini malah dibawa candaan.“Gue nggak merasa bersalah. Jadi abaikan saja kekesalan dia yang nggak jelas itu,” gumam Giska.“Ayok, gue bareng lo,” ujar Karel menyetujui ajakan Giska. Setidaknya ia tak mengganggu jam istirahat Ziel. Semoga saja dia benar-benar istirahat. Agak curiga, seseorang dengan jam bisnis kelas sibuk begitu mana mau disuruh istirahat dengan santai.