Share

Sudoku
Sudoku
Author: Vsiliya Rahma

Bab 1

Suara gaduh tiba-tiba terdengar dari balik papan yang berisi tumpukan buku. Hal itu menyita perhatian seorang pemuda yang sedari tadi sibuk berkutat dengan buku di depannya. Dia menghela napas, menaikkan kaca mata yang setia bertengger di hidungnya, lalu menutup buku tebal yang ia baca.

Decitan kursi terdengar, tatkala pemuda itu berdiri dari duduknya. Ditariknya tas yang tergeletak tak jauh dari jangkauan, menyampirkannya pada salah satu bahu. Dia berjalan ke arah suara gaduh tadi, netra hitamnya menangkap seorang gadis yang terlihat sibuk memunguti buku-buku yang berserakan di lantai, menumpuknya di atas pangkuan. Sesekali tangannya menyelipkan rambut panjangnya yang  menutupi mata. Pemuda itu kembali menghela napas, berjalan ke arah gadis itu, berjongkok untuk membantunya.

“Terima kasih,” ujar gadis itu ketika semua buku kembali tertata rapi di tempat semula.

Pemuda itu terdiam, mata hitamnya menatap lekat gadis yang berdiri di depannya.

“Kian,” lanjut gadis itu, yang diakhiri dengan senyuman lebar, hingga membentuk sebuah cekungan di pipi kanan. Tangannya terulur di depan pemuda itu, cukup lama, hingga sang gadis kembali menarik tangannya ketika sang pemuda tak merespon dan hanya menatap dalam diam.

“Kalau gak bisa ngambil, lebih baik minta bantuan orang lain!”

Gadis yang memperkenalkan namanya sebagai Kian itu hanya tersenyum canggung, ketika iris hitam di depannya menatap dingin. Mata almond miliknya beralih menatap deretan buku di samping pemuda itu.

“Maaf, permisi,” ujar Kian masih dengan rasa canggung. Gadis itu melangkah, melewati sang pemuda yang masih saja diam memandang depan.

Mata almond sibuk mengabsen satu-persatu buku yang terjejer rapi di dalam rak. Bibir tipis miliknya terangkat, ketika netra menemukan apa yang ia cari sedari tadi. Dia menghela napas, buku itu terlalu tinggi untuk ukuran gadis pendek sepertinya. Rak kedua dari atas saja, Kian tak bisa mngambilnya, lalu bagaimana ia bisa mengambil buku yang berada di rak paling atas?

Kian mendengkus kecewa, dia tak mau kejadian tadi terulang kembali. Matanya menatap Ares yang berdiri tepat di sampingnya. Ares yang merasa diperhatikan sontak saja mengalihkan pandangan, menatap gadis di sampingnya dengan datar.

Kian kembali menghela napas, meminta bantuan pemuda itu bukanlah pilihan yang tepat. Dengan kecewa gadis itu melangkah pergi, mengubur niatnya untuk meminjam buku tersebut.

“Tunggu!”

Kian yang baru saja melangkahkan kakinya tiga langkah sontak saja berhenti, gadis itu memutar tubuh 180 derajat. Keningnya mengernyit ketika melihat pemuda yang masih setia berdiri di depan rak buku tadi menatap ke arahnya. Gadis itu menoleh ke belakang, mencari seseorang yang mungkin saja pemuda itu maksud. Tapi tak ada orang di belakangnya, perpustakaan saat ini sepi. Apa mungkin yang dia maksud adalah dirinya?

Pemuda itu mengambil buku yang ingin Kian pinjam, dia berjalan menghampiri pemilik mata almond yang masih berdiri mematung menatapnya dengan bingung.

“Ini buku yang lo cari, 'kan?” tanya pemuda itu sambil menyodorkan sebuah buku tebal berwarna biru.

Mata almond berbinar senang, senyuman mengembang indah di wajahnya. Tanpa malu-malu, disahutnya buku tersebut hingga berpindah tangan.

Pemuda itu tersenyum tipis melihat reaksi gadis itu. “Gue Ares,” ucapnya tiba-tiba, yang membuat sang gadis memusatkan pandangan padanya. Kian kembali tersenyum, memandang pemuda bernama Ares itu.

"Terima, aaa ...!"  teriak Kian kencang sebelum ucapannya selesai.

Buku dalam genggaman meluncur bebas ke lantai, gadis itu melangkah mundur sambil menutup kedua mulutnya, ketika netranya menangkap seorang gadis yang baru saja terjatuh tepat di antara dia dan Ares berdiri. Cairan merah mengalir dari tubuh yang tengkurap, membasahi lantai pijakan.

"Alisa!" teriak Ares ketika menyadari bahwa itu adalah Alisa. Bukannya menolong gadis di dalam pemuda itu malah menaiki anak tangga satu-persatu yang menuju ke lantai dua, ketika netranya tak sengaja menangkap bayangan hitam dari tempat Alisa jatuh. Mata hitam itu mengabsen setiap sudut yang ada di lantai atas, tanpa ada yang terlewat.

"Sial!" umpatnya ketika dia tak menemukan seorang pun di sana. Lalu dengan tergesa, pemuda itu kembali turun ke bawah.

Semua orang kini sudah berkerumun membentuk lingkaran, menjadikan Alisa sebagai pusatnya. Perpustakaan yang awalnya sepi dan sunyi kini berubah ramai. Genangan darah membanjiri lantai putih perpustakaan, membuat orang-orang bergedik ngeri melihatnya.

Ares yang berjalan ke arah Alisa, membalikkan tubuh gadis itu menjadi terlentang. Tubuh gadis itu sudah tak bergerak, napasnya pun sudah tak bisa dirasakan. Alisa telah tewas. Pemuda itu menghela napas panjang, mata hitamnya menyendu melihat betapa mengenaskannya kondisi Alisa. Baru beberapa menit mereka berpisah, tapi Alisa sudah meregang nyawa seperti ini.

Ares kembali berdiri, menjauh dari jasad Alisa ketika para petugas rumah sakit menembus kerumunan, lalu mengangkat tubuh Alisa.

Pemuda itu kembali menghela napas, bercak darah menghiasi jaket putih yang ia kenakan. Netra hitam legam tak sengaja menangkap seorang gadis yang berdiri bersandar pada rak buku dengan tubuh yang bergetar. Dihampirinya gadis itu, yang tak lain adalah Kian. Gadis itu sepertinya sangat terkejut melihat kematian Alisa yang tak terduga ini, apalagi Alisa jatuh tepat di hadapannya. Ares menarik tangan Kian tanpa izin, membawa gadis itu keluar dari perpustakaan.

***

Kian meneguk air putih di dalam botol yang diberikan Ares dengan tergesa, layaknya orang yang tak minum berhari-hari. Pemuda itu mengajak Kian ke kantin dan membelikan gadis itu air minum agar Kian lebih tenang. Perlahan tapi pasti, tubuh Kian yang bergetar hebat tadi kembali normal seperti semula.

“Udah tenang?”

Kian hanya mengangguk sebagai respon atas pertanyaan Ares. Pemuda itu tersenyum tipis, bangkit dari duduknya, berjalan ke arah pojokan kantin. Dia melepas jaket yang terdapat noda darah Alisa, membuangnya asal ke tempat sampah. Kian yang melihat itu hanya diam, tak berani berkomentar.

Ares kembali menghampiri Kian, mendudukkan tubuhnya di kursi depan gadis itu. Ia merogoh ponsel dari saku, kesepuluh jarinya sibuk menari-nari di atas layar pipih itu. Kian hanya diam memperhatikan pemuda itu, dalam benak gadis itu timbul banyak pertanyaan saat ini, salah satunya, mengapa Ares masih terlihat tenang setelah kejadian tadi? Seolah kejadian tadi tidak berpengaruh padanya.

“Bagaimana kamu bisa tetap setenang ini?” tanya Kian yang sudah tak sanggup menyimpan pertanyaan itu di dalam benaknya. Ares yang mendengar pertanyaan itu sontak saja memusatkan pandangannya pada Kian. Iris hitamnya menatap lekat gadis itu dengan raut wajah datar.

“Karena semua orang bakal mati,” jawab pemuda itu enteng, tanpa beban. Kian kembali diam, tak tahu harus merespon seperti apa. Dia berdehem, meneguk kembali sisa minuman di botol, sedangkan Ares hanya memperhatikan tingkah gadis itu.

“Alisa pacar gue.” Kian tersedak mendengar ucapan Ares, gadis itu menatap tak percaya pada pemuda. Bagaimana pemuda itu bisa tenang saat tahu pacarnya tewas di depannya sendiri? Mengapa dia tak bersedih seperti pasangan yang lainnya, ketika salah satu dari mereka meninggal dunia? Apalagi kematian Alisa ini sangat tragis menurut Kian.

“Alisa izin nyari buku di atas, sebelum gue bantu lo”.

Kian hanya diam, gadis itu bingung harus memberi respon seperti apa. Menurutnya Ares adalah orang yang tak memiliki hati, atau ia tak benar-benar mencintai Alisa. Sebab Kian tak melihat luka atau kesedihan di mata pemuda itu.

Ares bangkit dari duduknya, setelah dirasa urusannya telah selesai. “Lo udah baikan, 'kan? Kalau gitu gue pergi dulu. ” Tanpa menunggu jawaban dari Kian, Ares meninggalkan gadis itu dengan berbagai pertanyaan yang mengganggu pikiran Kian.

Pemuda yang aneh.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status