“Kau tidak masuk kerja hari ini?” tanya Caspian saat mereka menyelesaikan sarapan.
“Tadinya aku ada jadwal syuting iklan untuk salah satu produk minuman milik Rob, tapi kurasa aku bisa menundanya. Dia tidak sedang buru-buru.” Tania membersihkan peralatan makannya.
“Rob punya produk minumannya sendiri? Aku tidak tahu itu.”
“Dia baru meresmikannya beberapa hari lalu, katanya. Tapi aku juga belum mencobanya, sih.” Tania mengedikkan bahu. “Aku bilang padanya aku ingin istirahat sebentar dan dia memberiku waktu seminggu.”
“Hidup jauh lebih mudah saat ayahmu menjadi bos di tempat kerjamu sendiri, ya?”
“Percayalah, takdir itu sesuatu yang rumit dan penuh kejutan,” sahut Tania sambil tersenyum simpul sebelum akhirnya mencuci piring.
“Well, karena kau juga libur, bagaimana jika kau ikut aku saja? Jalan-jalan.”
Tania menoleh. Ekspresi wajah
Mereka berdua bangun saat jam menunjukkan lewat pukul sepuluh pagi. Badai tadi malam kelihatannya cukup buruk karena salah satu pohon yang berada tak jauh dari rumah Caspian tumbang. Beruntunglah tak ada rumah di dekatnya.“Ah, pohon itu memang sudah tua,” ujar Caspian sembari memandanginya dari depan pintu.“Semua yang ada di sini sepertinya memang sudah tua, ya?” Tania mengangkat alis. Caspian lalu melihatnya dengan ekspresi datar.“Memang.”“Tapi cuacanya kelihatannya akan cerah hari ini.” Tania memperhatikan langit. Biru dan tak ada awan.“Benar, waktu yang tepat untuk mengunjungi peternakan kuda Eric.”“Peternakan apa?” Tania mengerutkan dahi.“Eric, teman lama ayahku. Di punya peternakan kuda yang tidak terlalu jauh dari sini. Ayo.” Caspian meraih jaketnya dan bersiap mengunci pintu.“Kita akan jalan kaki?”“Tidak
Catherine memandangi elektrokardiogram yang terus menunjukkan aktivitas jantung putranya. Davin, lelaki muda itu kini terbaring tak sadarkan diri di ruangan ICU setelah kecelakaan fatal yang dialaminya kemarin malam. Tak butuh waktu lama bagi Catherine untuk segera mengambil penerbangan menuju Paris setelah mendapat telepon dari salah satu karyawan Davin.Di sinilah ia sekarang. Ia butuh waktu begitu lama untuk mencerna kejadian buruk yang menimpa putranya sebelum akhirnya menyadari sesuatu.Tak ada satu pun orang yang dikenalnya, berada di sini, di dekat Davin.Gerald ayahnya? Mungkin dia sibuk dan belum mendapat kabar ini, tapi ... Tania? Di mana gadis itu? Bukankah dia calon istri Davin? Apa yang terjadi?Catherine menyeka air mata dari wajahnya sekali lagi. Ia tidak sanggup terus berada di sini untuk memandangi putranya yang masih belum sadar dan berada dalam kesakitan, tapi ia tak bisa pergi dan meninggalkan Davin sendiri.Sembari men
Bel istirahat telah berbunyi dan semua anak-anak keluar dari ruang kelas mereka, berlarian menuju taman, kantin atau toilet. Namun berbeda dengan Gerald yang baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke tujuh belas tadi malam, ia kini berlari menuju belakang gedung sekolah untuk menemui gadis yang sangat dicintainya secara diam-diam tanpa diketahui oleh guru atau teman-temannya.Dia akan menemui kekasihnya, dengan sepotong besar kue ulang tahun yang sengaja disimpannya dari acara potong kue bersama keluarganya tadi malam, agar ia bisa berbagi dengan gadis itu hari ini di sekolah. Ia tak bisa membeli kue yang baru karena uang sakunya telah habis disisihkannya untuk mengikuti les piano setiap akhir pekan. Sementara di tangan lainnya, ia membawa sebatang lili berwarna putih, bunga favorit gadis itu. Lili itu juga tak dibeli Gerald. Ia memetiknya dari kebun milik ibunya yang ada di halaman belakang rumah, secara diam-diam.Tak masalah, kekasihnya itu bukan gadis yang cerewet
“Ayah! Ayolah mainkan Love Dream-nya Liszt lagi!” Anak lelaki yang manis itu sejak tadi menarik tangan Gerald untuk menuju piano besarnya.“Baiklah, baiklah, hanya sebentar saja, ok? Ayah harus pergi sebentar lagi.” Gerald mengusap kepala anak itu, Davin, putranya.“Indah sekali ....” Davin menyimak permainan piano ayahnya dengan bahagia. Sedikit yang ia ketahui, bahwa dalam hati ayahnya ia tengah memikirkan banyak sekali hal lain di luar sana, hal-hal yang tak seharusnya dipikirkannya lagi, tetapi semua itu tetap menghantuinya dan membuatnya terjaga setiap malam.Keberadaan Ellaine.Ia tahu ini salah. Ia kerap pergi dan berkendara dengan mobilnya selama berjam-jam setiap akhir pekan dengan alasan mengurus pekerjaan, padahal sebenarnya, ia berkeliling ke setiap sisi dan sudut kota London untuk mencari Ellaine, tanpa menghiraukan Catherine yang telah menjadi istrinya selama bertahun-tahun.Hal in
Gerald melangkah keluar dari mobilnya dan kembali ke ruang ICU. Melalui kaca yang ada di pintu, dilihatnya Catherine telah ada di sana, menangis di sisi Davin yang juga masih belum sadar. Ia memutuskan untuk kembali ke hotel tempatnya menginap yang tak jauh dari rumah sakit ini. Tak terlalu dipikirkannya percakapan antara dirinya dan Catherine yang terjadi beberapa saat lalu, tetapi ia tahu itu mungkin membuat Catherine cukup frustrasi dan terkejut.Oh, kenapa setiap hal yang Gerald lakukan pada Catherine seolah benar-benar membuatnya tampak seperti monster yang sengaja menyakiti wanita itu? Meskipun niat Gerald juga tak benar-benar jauh berbeda, ia ingin Catherine sadar bahwa mencintai Gerald adalah hal yang sia-sia.Pagi harinya, sebuah pesan dari nomor tak dikenal masuk ke ponselnya.“Davin sudah sadar, dia sudah keluar dari ruang ICU. Dia ingin bertemu denganmu.”Gerald tak perlu banyak menerka tentang s
Tania berpamitan pada Catherine dan melangkah pergi dari rumah sakit jam delapan pagi, untuk selanjutnya menuju Williams Chateau. Ini mungkin sedikit terlalu pagi untuk bertamu tapi apa boleh buat, Tania tak punya tempat lain untuk dituju. Mereka pasti akan terkejut karena ia sama sekali tak memberi kabar apa pun tentang kedatangannya ke Paris.“Tania!” Rob tampak begitu senang melihat kedatangannya, ia tidak menunjukkan ekspresi terkejut yang berlebihan, begitu juga dengan Ellaine. “Akhirnya kau sampai. Ada yang sudah menunggumu.”“Apa?” Tania mengerutkan dahi. Apa ada orang lain di rumah ini selain Rob dan Ellaine yang mengharapkan ia datang? “Siapa?”“Hei ....”Jantung Tania berdebar melihat sosok yang muncul di belakang Rob. Caspian.“Ayo, semuanya! Tepat waktu untuk sarapan.”Tania menuju meja makan dan bergabung setelah meletakkan barang-barangnya di kamar
“Oh, ramai sekali.” Gerald mengerutkan dahi melihat ada lebih banyak orang di ruangan itu. Perasaannya sedikit bercampur ketika melihat Tania dan Rob.“Ayah, ini orang tua Tania. Ellaine dan Rob.” Davin tersenyum lalu beralih pada orang tua Tania yang berdiri lebih dekat dengannya. “Rob, Ellaine, ini ayahku, Gerald Bentley.”Ellaine tertegun ketika mendengar Davin memperkenalkan nama Ayahnya. Gerald Bentley? Satu nama yang begitu dikenalnya. Apakah itu dia? Mungkin ada ratusan bahkan ribuan nama yang sama di seluruh Inggris, tetapi Ellaine segera memperhatikan lebih jeli wajah itu dan ia berhasil mengenalinya.Itu memang dia. Gerald Bentley, cinta pertamanya.Ia berusaha menutup rapat-rapat mulutnya agar tak terkesiap.Gerald tahu ada sesuatu di hatinya saat ia mendengar Davin menyebut nama itu. Ellaine. Mungkinkah itu dia? Ellaine Duncan? Entahlah, yang jelas Gerald tak berani melakukan banyak hal. Ia hany
Ellaine masih terjaga di tempat tidurnya, teringat akan Gerald. Dilihatnya Rob yang masih mengerjakan sesuatu di laptopnya.“Rob?”“Uh-um?”“Apa kau sudah lama mengenal Gerald?”“Lumayan, oh, dan dia adalah orang yang pernah membeli perusahaan agensiku yang ada di London dulu.”“Yang baru-baru ini kau beli kembali?”“Ya.” Rob tak mengalihkan pandangan dari layar laptopnya.“Kenapa kau tak pernah bercerita tentang rekan bisnismu itu?”“Bukankah kau tidak suka mendengar segala hal tentang bisnisku? Lagipula kau selalu sibuk dengan toko bunga dan anak-anak, kau pasti lelah, kan? Aku tidak mau menganggumu dengan memaksamu mendengar cerita tentang bisnisku, apa lagi bicara tentang Bentley. Sungguh tidak penting,” jawab Rob panjang lebar.“Kelihatannya ... kau tak suka padanya, ya?” terka Ellaine.“Well