Share

Chapter 6: The Reason

“Ibu lega kau sudah mengenalkan Tania pada ayahmu, Dan.” Catherine memecah hening kala mereka menikmati makan malam. Tania memandangnya, mencoba untuk tersenyum. “Ayah Davin sangat kaku,” lanjutnya.

“Dia sudah jauh lebih baik, sepertinya,” sambung Davin.

“Mungkin dia sudah memiliki kekasih? Who knows?

“Ibu ....” Davin tampak tidak senang mendengar kalimat Catherine. Tania sendiri? Jantungnya berdetak lebih cepat. “Dia tak akan lakukan itu. Dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya.”

“Bagaimana kau tahu, Dan? Katakan, apa kau hanya berprasangka baik karena dia ayahmu?” Catherine bicara dengan lembut, di situasi ini Tania merasa bersalah, entah kenapa.

Well, maksudku, kurasa ayah tak akan mau repot-repot menikah lagi jika dia masih seperti itu. Semua orang yang mengenalnya tahu bahwa dia sangat dingin.”

Tania hampir bersuara. Tidak. Tania bisa katakan bahwa itu tidak benar. Ia bersama Gerald selama dua tahun lamanya dan dia sama sekali tidak dingin. Apa yang sebenarnya ada di pikiran pria itu?

“Memiliki kekasih sangatlah jauh dari kata menikah lagi, Dan.” Catherine meletakkan sendoknya. Tampaknya ia sudah selesai makan. “Aku bahkan tidak terkejut jika seandainya selama ini dia memiliki sugar baby.”

Mata Tania membulat. Apa yang diketahui Catherine? Bukankah dia tinggal jauh sekali dan tak pernah berkomunikasi dengan mantan suaminya? Bagaimana dia bisa memikirkan hal semacam itu? Itu sama sekali bukan urusannya, pikir Tania.

“Ugh, itu sama sekali tidak pantas.” Davin mengerutkan dahi.

“Kenapa?” tanya Tania seketika. Ia tak tahan lagi untuk tak bersuara. Catherine dan Davin memandangnya, seolah mempertanyakan responnya yang begitu spontan padahal sejak tadi ia sama sekali tak bersuara.

“Entahlah, hanya sulit membayangkan ayahku berkencan dengan gadis-gadis muda lalu memberikan mereka uang dan barang-barang mewah. Itu sesuatu yang sangat ....” Davin tampak tak mau melanjutkan kalimatnya.

Hening. Tak ada yang bicara. Catherine perlahan bangkit dari tempat duduknya lalu membawa piringnya ke dapur.

Malam itu Tania sulit tidur, lagi. Sebenarnya ini sudah terjadi sejak malam-malam sebelumnya saat ia mengetahui bahwa Davin adalah putra Gerald, tapi makin lama semua ini membuatnya overthinking dan sangat berlarut-larut. Jam menunjukkan pukul dua pagi, Davin pastilah terlelap sangat nyenyak dan Tania juga tak akan membiarkannya tahu bahwa ia mengalami insomnia.

Tania melangkah ke luar kamar dan melihat Catherine dari jendela yang tirainya terbuka. Ia berdiri di beranda. Tania menghampirinya, bermaksud menanyakan kalau-kalau ada sesuatu yang baru saja terjadi yang membuatnya terbangun lalu keluar untuk memperhatikan halaman rumahnya.

“Kau masih terjaga?” tanya Tania pelan agar Catherine tidak kaget. Namun ia tetap kaget, tampak dari gerakannya yang sedikit melangkah mundur.

“Tania ....” Catherine tertawa kecil sambil mengelus dada. “Aku selalu terjaga.”

“Insomnia?”

Yeah, sudah belasan tahun, sejak Gerald pergi.”

Ada perdebatan kecil dalam kepala Tania yang berisi tentang apakah ia akan tetap melanjutkan percakapan ini mengingat ini pastilah tentang Gerald, atau berlalu dan kembali tidur.

“Kenapa itu masih menganggumu?” Yep, Tania memilih untuk melanjutkannya. “Kepergian Gerald bukanlah salahmu, kan?”

“Dalam hal ini, semuanya bersalah atau tidak sama sekali.” Catherine kembali memandangi halamannya, seolah ada sesuatu yang ia coba ingat di sana.

“Maaf, aku tidak mengerti,” kata Tania berterus terang.

“Kau tahu, ego. Gerald pria yang ambisius dan kami pasangan yang … bisa dikatakan masih baru. Aku membutuhkannya untuk menghabiskan waktu bersama kami terutama Davin. Dia tak pernah punya waktu untuk itu, atau lebih tepatnya dia tidak mengusahakannya.” Catherine menghela napas. “Pada akhirnya perpisahan jauh lebih baik, dari pada pertengkaran terjadi sepanjang waktu, di hadapan Davin yang masih sangat kecil.”

Tania masih berusaha menemukan kalimat yang cocok untuk menanggapi ceritanya, tapi sebelum ia sempat bicara, Catherine menunjukkan bekas luka di dahinya yang selama ini ia tutup dengan rambut coklatnya. Itu bekas luka yang cukup lebar.

“Gerald dan aku sedang dalam pertengkaran yang cukup serius, dia melemparkan gelas wine ke dinding, sangat kuat hingga pecahan kacanya melukai dahiku ...,” ceritanya, “aku yakin itu hanya kecelakaan, dia tidak bermaksud melukaiku.”

Tania nyaris terperangah.

“Apa Dan tahu soal itu?”

“Tidak, aku bersyukur ia tak melihatnya. Aku bilang padanya bahwa aku terluka karena terjatuh di kamar mandi.”

Belum sempat Tania bicara lagi, Catherine menangis. Ia berusaha menahan suaranya agar tak ada yang mendengar. “Aku masih mencintai Gerald, tapi mungkin ia membenciku.”

Kalimatnya membuat Tania terenyuh. Jika Catherine mengatakannya dengan nada biasa, mungkin Tania tak akan terlalu memikirkannya, tapi dia mengatakan itu di tengah tangisnya. Dia masih mencintai Gerald. Tania yakin sama sekali tak ada kebohongan dalam ucapannya.

“Aku sangat ingin bertemu dan memeluknya, atau mungkin mengobrol, itu cukup.”

Catherine menangis tersedu dan dengan spontan Tania memeluknya. Seolah ikut merasakan kesedihannya, ia berusaha menenangkan wanita itu. Entahlah, memikirkan Catherine yang mendapat perlakuan buruk dari Gerald, membuat Tania jadi ikut kesal.

“Aku yakin dia tidak membencimu.” Hanya itu yang dapat diucapkan Tania. Catherine melepas pelukannya dan memandangnya.

“Kau gadis yang manis.” Ia tersenyum sambil menyentuh wajah Tania. “Aku yakin Dan sangat mencintaimu. Kalian pasangan yang beruntung.”

***

Tania memandang menara Eiffel dari kejauhan melalui jendela lantai dua rumah Davin. Mereka baru saja sampai di Paris. Matahari bersiap untuk terbenam dan ia masih memikirkan tentang Catherine. Awalnya memang Tania sempat tidak menyukainya karena ... mungkin ia merasa memiliki hubungan khusus dengan mantan suaminya? Tapi kini berbeda.

“Hei.” Davin merangkul pinggangnya. “Ini ke dua kalinya aku melihatmu termenung. Kau benar-benar tak ingin menceritakan apa pun padaku?”

Tania hanya tertawa kecil sambil memegang tangannya.

“Sayang sekali kita harus berjauhan lagi,” lanjutnya, mengingat Tania yang besok akan kembali ke London. “Boleh aku menyentuhmu?”

Tania tersenyum dan berbalik untuk melihat kekasihnya. Davin menariknya lebih dekat, Tania menatap ke dalam sepasang mata hijaunya dan seketika ia terhenti. Matanya, begitu persis seperti Gerald. Mungkin selama ini memang Tania selalu mengagumi iris emeraldnya, tapi sejak ia tahu bahwa Davin adalah putra Gerald, sugar daddy-nya, ia tak bisa memandang sepasang mata itu dengan cara yang sama lagi.

“Uh ....” Tania langsung menahan Davin saat hampir menciumnya. Davin mengangkat alis. “Dan, aku sangat lelah. Aku sangat butuh tidur sekarang.”

Davin tersenyum tipis, seperti biasa tak pernah memaksa atau memulai perdebatan.

Well, okay. Kau tidak boleh terlambat untuk penerbangan besok, kan? Beristirahatlah.” Ia mengusap rambut Tania. Tania pun menggumamkan thanks padanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status