“Ibu lega kau sudah mengenalkan Tania pada ayahmu, Dan.” Catherine memecah hening kala mereka menikmati makan malam. Tania memandangnya, mencoba untuk tersenyum. “Ayah Davin sangat kaku,” lanjutnya.
“Dia sudah jauh lebih baik, sepertinya,” sambung Davin.
“Mungkin dia sudah memiliki kekasih? Who knows?”
“Ibu ....” Davin tampak tidak senang mendengar kalimat Catherine. Tania sendiri? Jantungnya berdetak lebih cepat. “Dia tak akan lakukan itu. Dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya.”
“Bagaimana kau tahu, Dan? Katakan, apa kau hanya berprasangka baik karena dia ayahmu?” Catherine bicara dengan lembut, di situasi ini Tania merasa bersalah, entah kenapa.
“Well, maksudku, kurasa ayah tak akan mau repot-repot menikah lagi jika dia masih seperti itu. Semua orang yang mengenalnya tahu bahwa dia sangat dingin.”
Tania hampir bersuara. Tidak. Tania bisa katakan bahwa itu tidak benar. Ia bersama Gerald selama dua tahun lamanya dan dia sama sekali tidak dingin. Apa yang sebenarnya ada di pikiran pria itu?
“Memiliki kekasih sangatlah jauh dari kata menikah lagi, Dan.” Catherine meletakkan sendoknya. Tampaknya ia sudah selesai makan. “Aku bahkan tidak terkejut jika seandainya selama ini dia memiliki sugar baby.”
Mata Tania membulat. Apa yang diketahui Catherine? Bukankah dia tinggal jauh sekali dan tak pernah berkomunikasi dengan mantan suaminya? Bagaimana dia bisa memikirkan hal semacam itu? Itu sama sekali bukan urusannya, pikir Tania.
“Ugh, itu sama sekali tidak pantas.” Davin mengerutkan dahi.
“Kenapa?” tanya Tania seketika. Ia tak tahan lagi untuk tak bersuara. Catherine dan Davin memandangnya, seolah mempertanyakan responnya yang begitu spontan padahal sejak tadi ia sama sekali tak bersuara.
“Entahlah, hanya sulit membayangkan ayahku berkencan dengan gadis-gadis muda lalu memberikan mereka uang dan barang-barang mewah. Itu sesuatu yang sangat ....” Davin tampak tak mau melanjutkan kalimatnya.
Hening. Tak ada yang bicara. Catherine perlahan bangkit dari tempat duduknya lalu membawa piringnya ke dapur.
Malam itu Tania sulit tidur, lagi. Sebenarnya ini sudah terjadi sejak malam-malam sebelumnya saat ia mengetahui bahwa Davin adalah putra Gerald, tapi makin lama semua ini membuatnya overthinking dan sangat berlarut-larut. Jam menunjukkan pukul dua pagi, Davin pastilah terlelap sangat nyenyak dan Tania juga tak akan membiarkannya tahu bahwa ia mengalami insomnia.
Tania melangkah ke luar kamar dan melihat Catherine dari jendela yang tirainya terbuka. Ia berdiri di beranda. Tania menghampirinya, bermaksud menanyakan kalau-kalau ada sesuatu yang baru saja terjadi yang membuatnya terbangun lalu keluar untuk memperhatikan halaman rumahnya.
“Kau masih terjaga?” tanya Tania pelan agar Catherine tidak kaget. Namun ia tetap kaget, tampak dari gerakannya yang sedikit melangkah mundur.
“Tania ....” Catherine tertawa kecil sambil mengelus dada. “Aku selalu terjaga.”
“Insomnia?”
“Yeah, sudah belasan tahun, sejak Gerald pergi.”
Ada perdebatan kecil dalam kepala Tania yang berisi tentang apakah ia akan tetap melanjutkan percakapan ini mengingat ini pastilah tentang Gerald, atau berlalu dan kembali tidur.
“Kenapa itu masih menganggumu?” Yep, Tania memilih untuk melanjutkannya. “Kepergian Gerald bukanlah salahmu, kan?”
“Dalam hal ini, semuanya bersalah atau tidak sama sekali.” Catherine kembali memandangi halamannya, seolah ada sesuatu yang ia coba ingat di sana.
“Maaf, aku tidak mengerti,” kata Tania berterus terang.
“Kau tahu, ego. Gerald pria yang ambisius dan kami pasangan yang … bisa dikatakan masih baru. Aku membutuhkannya untuk menghabiskan waktu bersama kami terutama Davin. Dia tak pernah punya waktu untuk itu, atau lebih tepatnya dia tidak mengusahakannya.” Catherine menghela napas. “Pada akhirnya perpisahan jauh lebih baik, dari pada pertengkaran terjadi sepanjang waktu, di hadapan Davin yang masih sangat kecil.”
Tania masih berusaha menemukan kalimat yang cocok untuk menanggapi ceritanya, tapi sebelum ia sempat bicara, Catherine menunjukkan bekas luka di dahinya yang selama ini ia tutup dengan rambut coklatnya. Itu bekas luka yang cukup lebar.
“Gerald dan aku sedang dalam pertengkaran yang cukup serius, dia melemparkan gelas wine ke dinding, sangat kuat hingga pecahan kacanya melukai dahiku ...,” ceritanya, “aku yakin itu hanya kecelakaan, dia tidak bermaksud melukaiku.”
Tania nyaris terperangah.
“Apa Dan tahu soal itu?”
“Tidak, aku bersyukur ia tak melihatnya. Aku bilang padanya bahwa aku terluka karena terjatuh di kamar mandi.”
Belum sempat Tania bicara lagi, Catherine menangis. Ia berusaha menahan suaranya agar tak ada yang mendengar. “Aku masih mencintai Gerald, tapi mungkin ia membenciku.”
Kalimatnya membuat Tania terenyuh. Jika Catherine mengatakannya dengan nada biasa, mungkin Tania tak akan terlalu memikirkannya, tapi dia mengatakan itu di tengah tangisnya. Dia masih mencintai Gerald. Tania yakin sama sekali tak ada kebohongan dalam ucapannya.
“Aku sangat ingin bertemu dan memeluknya, atau mungkin mengobrol, itu cukup.”
Catherine menangis tersedu dan dengan spontan Tania memeluknya. Seolah ikut merasakan kesedihannya, ia berusaha menenangkan wanita itu. Entahlah, memikirkan Catherine yang mendapat perlakuan buruk dari Gerald, membuat Tania jadi ikut kesal.
“Aku yakin dia tidak membencimu.” Hanya itu yang dapat diucapkan Tania. Catherine melepas pelukannya dan memandangnya.
“Kau gadis yang manis.” Ia tersenyum sambil menyentuh wajah Tania. “Aku yakin Dan sangat mencintaimu. Kalian pasangan yang beruntung.”
***
Tania memandang menara Eiffel dari kejauhan melalui jendela lantai dua rumah Davin. Mereka baru saja sampai di Paris. Matahari bersiap untuk terbenam dan ia masih memikirkan tentang Catherine. Awalnya memang Tania sempat tidak menyukainya karena ... mungkin ia merasa memiliki hubungan khusus dengan mantan suaminya? Tapi kini berbeda.
“Hei.” Davin merangkul pinggangnya. “Ini ke dua kalinya aku melihatmu termenung. Kau benar-benar tak ingin menceritakan apa pun padaku?”
Tania hanya tertawa kecil sambil memegang tangannya.
“Sayang sekali kita harus berjauhan lagi,” lanjutnya, mengingat Tania yang besok akan kembali ke London. “Boleh aku menyentuhmu?”
Tania tersenyum dan berbalik untuk melihat kekasihnya. Davin menariknya lebih dekat, Tania menatap ke dalam sepasang mata hijaunya dan seketika ia terhenti. Matanya, begitu persis seperti Gerald. Mungkin selama ini memang Tania selalu mengagumi iris emeraldnya, tapi sejak ia tahu bahwa Davin adalah putra Gerald, sugar daddy-nya, ia tak bisa memandang sepasang mata itu dengan cara yang sama lagi.
“Uh ....” Tania langsung menahan Davin saat hampir menciumnya. Davin mengangkat alis. “Dan, aku sangat lelah. Aku sangat butuh tidur sekarang.”
Davin tersenyum tipis, seperti biasa tak pernah memaksa atau memulai perdebatan.
“Well, okay. Kau tidak boleh terlambat untuk penerbangan besok, kan? Beristirahatlah.” Ia mengusap rambut Tania. Tania pun menggumamkan thanks padanya.
Satu lagi minggu yang sibuk telah terlewati. Kemudian akhir pekan terasa begitu singkat, seolah hanya beberapa menit. Namun sudah empat tahun ini, malam-malam jadi lebih panjang—dan lebih riuh—karena kehadiran dua bocah itu di rumah kami.“Belum selesai juga dengan permainan pianomu, Delphine? Berisik, tahu!” Gadis kecil itu protes sambil mengeraskan volume televisi yang kini menayangkan kartun Peppa Pig.“Kau yang berisik!” balas Delphine.“Kau sudah bermain piano sepanjang hari, Theoline.” Aku menghampiri lalu mengusap rambut cokelatnya yang tampak kusut karena ia menolak untuk disisir.“Ayolah, aku hanya ingin membuat kakek terkesan jika kita berkunjung ke London!” Theoline cemberut, enggan beranjak dari kursi pianonya.“Kakek akan sangat bangga padamu,” balasku meyakinkannya. “Mungkin dia akan mengajakmu bermain piano bersama.”“That wo
Segalanya berwarna jingga lembut, menyatu dengan warna musim gugur. Begitu juga dengan buket bunga yang digenggam oleh Tania. Ellaine sendiri yang merangkainya. Terdiri atas Mawar Toffee yang kecokelatan, rumput Oak Phalaris kering berwarna merah tua, Bronze Cremone oranye dan beberapa helai batang gandum yang telah dikeringkan, serta bunga-bunga khas musim gugur lainnya yang menjadikan buket itu amat indah.♪~Anxious … white dress … promises and regret. I gave you my pledge, please remember what I said~♪Tania mendengarkan musik melalui airpods, berusaha menghilangkan rasa gugupnya sejak memulai riasannya beberapa jam yang lalu. Ia hampir berteriak kaget saat seseorang tiba-tiba menepuk punggungnya.“Rob!” pekiknya.“Kau ini!” Pria itu melotot. “Sudah, ayo!”Sementara di tempat upacara, Davin nyaris merasakan seolah pijakannya menghilang.
Bulan demi bulan berlalu dan kini hanya menghitung hari sampai pernikahan Davin dan Tania. Hari itu, Tania bersama Davin pergi ke penjara untuk menemui Rowan.“Kau yakin ingin melakukan ini?” Davin memastikan sekali lagi. Ia memandang wajah calon istrinya dengan cemas. “Kita bisa pulang sekarang jika kau berubah pikiran.”“Tidak.” Tania menggeleng lugas. “Aku akan menemuinya.”Davin tak lagi bisa berkata-kata. Setelah melalui pemeriksaan ini dan itu oleh para petugas penjara, akhirnya mereka diarahkan menuju sebuah ruangan untuk bertemu dengan tahanan.Bukan, bukan pertemuan secara langsung, melainkan pertemuan dengan sekat kaca sebagai pembatas serta telepon agar tahanan dan pengunjung bisa berkomunikasi.Tania duduk lebih dulu, sementara Davin berdiri di belakangnya. Sepasang mata gadis itu tak berkedip ketika ia melihat Rowan di hadapannya, begitu dekat, juga duduk di kursi.Dengan tangan ge
Tania memeriksa waktu di ponselnya, tepat jam makan siang.Saat ia baru selesai menutup lembar kerja di komputernya, seseorang tiba-tiba meletakkan seikat lili putih di atas meja.Tania mengangkat wajahnya. “Davin??”“Hei.” Pemuda itu tersenyum. “Sudah waktunya makan siang.”“Apa yang kau lakukan di sini? Kau harusnya tak ke kantor dulu, kan?!”“Aku sudah cukup beristirahat, kok.” Davin melirik arloji di pergelangan tangan kirinya. “Makan di restoran ayahku saja, yuk?”“A-aku … ba-baiklah.” Tania seketika melirik sekelilingnya dengan canggung saat rekan-rekan di sekitarnya mulai memperhatikan. Davin langsung menyadarinya dan balas melihat mereka.“Kalian boleh menikmati makan siang kalian dan tinggalkan kami sendiri,” ucap Davin dengan ekspresi datar. Mereka semua langsung mengalihkan pandangan.Davin menggandeng Tania menuju
Kondisi Davin membaik setelah dua minggu, tetapi ia tak memutuskan untuk pulang ke Paris dalam waktu dekat. Lagi pula, Catherine melarangnya. Jadilah Davin hanya menghabiskan waktu dengan beristirahat di mansion ayahnya sepanjang hari.Terkadang ia akan memantau Casualads. Namun Catherine hanya mengizinkannya berlama-lama di depan laptop atau tablet selama dua jam dan selalu memastikan bahwa Davin istirahat penuh.“Bagaimana rencana pernikahan Ibu dan ayah?” tanya Davin iseng hari itu.“Ah, yang itu nanti-nanti saja.” Catherine menggeleng. “Kami ingin menunggu sampai semuanya kondusif, sampai kondisimu lebih baik.”“Maafkan aku, kalian jadi harus-”“Ssh!” Catherine menatap Davin serius sebelum akhirnya mengerling ke arah salad buah yang baru saja diletakkannya di atas meja di samping ranjang pemuda itu. “Habiskan.”Setelah Catherine pergi, Davin meraih ponselnya
“Aku merindukan karir modelling-ku,” gumam Tania kala ia menopang dagu dengan kedua tangannya berada di atas ranjang Davin, pandangannya tertuju pada langit yang tampak mendung di luar jendela lantai tiga rumah sakit itu.“Aku justru lega saat mengetahui bahwa kau tak lagi menjadi model,” balas Davin. Seketika Tania kembali tegak, memandangnya tak percaya.“Kau pasti bercanda.”“Tania, aku tidak bermaksud untuk membahas ini lagi, tapi apa kau tahu? Kau sebenarnya cukup beruntung bisa mendapatkan karir yang amat mulus dalam dunia modelling karena ayahku membantumu.” Davin tampak tak yakin tetapi ia berusaha melanjutkan kalimatnya. “Jika kau mengusahakan semuanya sendiri dari awal, kau akan mengalami banyak sekali hal yang tidak menyenangkan.”“Bagaimana kau tahu?” Tania mengerutkan dahi. “Kau … tidak pernah benar-benar masuk ke dunia modelling, k