Sudah lebih dari seminggu lamanya Tania tak menerima panggilan atau pesan apa pun dari Gerald. Mungkinkah Gerald begitu sibuk? Atau ia sangat marah?
Catherine tidak ada di rumah hari ini. Ia bekerja sebagai salah satu tutor di sebuah kelas memasak yang tak jauh dari rumah dan mengajar setiap akhir pekan. Ia sudah berpesan pada Davin dan Tania bahwa mereka boleh pergi berjalan-jalan dengan mobilnya dengan catatan tetap membiarkan rumah terkunci, tapi sepasang kekasih itu sepakat bahwa mereka hanya akan bermalas-malasan di rumah seharian dan menghabiskan camilan yang memenuhi lemari.
“Kau kelihatan gelisah, apa yang kau cemaskan?” Siang itu Davin menghampiri Tania yang sedang duduk termenung memandangi halaman belakang. “Apa kau bosan berada di sini?”
“Tidak.” Tania menggeleng cepat.
“Jangan khawatir, tiga hari lagi kita akan kembali ke Paris. Setelah itu kau bisa kembali ke London.”
“Tidak, Dan. Aku sama sekali tidak memikirkan hal itu, maksudku … jangan salah paham.” Ia tersenyum tipis. “Aku suka tempat ini dan ibumu sangat ramah, tapi, kau tahu, aku mungkin hanya butuh waktu sedikit lebih lama untuk menyesuaikan diri.”
“Ah, ya. Aku mengerti. Mungkin aku perlu bercerita sedikit lebih banyak tentang keluargaku?”
Tania terdiam sejenak. Apa ia akan siap mendengar ceritanya?
“Jadi semua konflik ini berawal sejak aku masih kecil,” Davin mulai bercerita tanpa menunggu Tania menjawab.
“Yah, aku tidak tahu apa masalahnya, yang jelas puncaknya terjadi saat aku berusia tujuh tahun. Masih sangat muda, bukan?” Davin tak tampak seperti orang yang sedang berusaha mengingat-ingat. Kejadian itu seperti masih segar dalam ingatannya. “Sejak itu aku diberi pilihan untuk menjadi anak mama, atau anak papa.”
“Kau tahu, sulit bagiku, sebagai anak tunggal yang masih sangat kecil, memikirkan soal itu,” Davin melanjutkan. Pandangannya menatap lurus ke depan. “Pada akhirnya aku memilih ibuku. Karena dia bersamaku sepanjang waktu. Kau sudah lihat, kan, ayahku luar biasa sibuk. Kami tak begitu dekat.”
“Apa ayahmu tak keberatan? Seperti yang sering terjadi dalam kasus perceraian, perebutan hak asuh?”
“Tidak. Dia langsung setuju. Aku ingat ibuku pernah bilang bahwa ayahku merasa ia tak akan mampu bertanggung jawab. Bukan dalam hal materi, tapi masalah waktu yang bisa ia habiskan bersamaku.”
“Memiliki ayah yang begitu sibuk … terasa seperti neraka, ya?” Tania menggumam pelan.
“Uh-um.” Davin menghela napas. “Hal yang lebih buruk terjadi setelahnya. Meski aku dan ayah tak terlalu dekat, aku pernah begitu merindukannya karena ia benar-benar tak pernah datang mengunjungi kami. Aku merindukannya hingga jatuh sakit dan akhirnya ia datang.”
Davin terhenti sejenak, ia tertawa kecil lalu memandang Tania.
“Ah, hampir saja aku melewatkan bagian penting. Ayahku sangat menyukai musik, dulu.”
Musik. Tania mulai menerka apakah ini akan ada hubungannya dengan piala yang ia lihat di lemari? Sesuai dengan cerita Catherine yang terpotong beberapa hari lalu? Serta tentu saja, piano itu.
“Aku melihat piala kaca berbentuk piano di lemari dan ibumu bilang itu milik ayahmu.” Tania bicara, seolah tak sabar. “Oh, aku juga tidak sengaja melihat piano besar di salah satu ruangan ….”
“Hei, kau sudah melihatnya.” Davin tersenyum. “Yeah, itu milik ayah. Pialanya, pianonya. Dia sangat piawai dalam bermain piano dan selalu bermain untukku, tapi sejak semua konflik itu, dia berhenti begitu saja.”
“Namun kemudian,” Davin masih melanjutkan, kini suaranya lebih lemah, “saat aku jatuh sakit, aku memintanya untuk mengikuti kompetisi piano yang diadakan di kota saat itu. Alasanku hanya satu, aku ingin melihatnya bermain piano lagi.”
“Jika itu alasanmu, kenapa kau tak memintanya bermain di rumah saja?”
“Tidak, jika dia bermain di rumah, dia hanya akan bermain untukku. Ibuku akan pergi dan tak mau melihat.”
Tania mengerutkan dahi, tak mengerti.
“Aku memaksa ayah untuk mengikuti kompetisi lalu memaksa ibu untuk menontonnya bersamaku, lagipula ia tak akan membiarkanku pergi sendiri. Kau tak akan tahu betapa senangnya aku saat ayah setuju untuk ikut, begitu juga dengan ibu yang menontonnya denganku. Aku begitu polos hingga mengira bahwa mereka berdua akan berbaikan lagi setelah itu. Aku mengira bahwa ayah akan mempersembahkan permainan pianonya untuk ibu lalu dia akan terkesan dan memaafkan ayah. Ternyata tidak.”
Tania semakin tak mengerti dengan arah ceritanya. Bagaimana Davin yang masih begitu kecil bisa berpikiran untuk melakukan hal semacam itu? Menyatukan kembali ayah ibunya yang baru saja bercerai dengan menonton kompetisi piano? Sangat konyol.
“Pada akhirnya ayah menang, dia memberikan pialanya padaku sebagai tanda bahwa ia begitu mencintaiku, tapi sebenarnya itu tidak terlalu kupikirkan. Ayah dan ibu tetap berpisah.”
Tania nyaris memutar matanya. Itu keputusan mereka, Davin hanya anak-anak saat itu dan tak akan bisa mengerti, bukan begitu?
“Bertahun-tahun kemudian aku berusaha menjalani hidupku seperti anak-anak lainnya yang memiliki orang tua lengkap. Setelah lulus SMA, aku pindah ke Paris dan memulai kuliah serta karirku di sana.”
“Kau meninggalkan ibumu,” Tania menyela.
“Ya, dan aku juga tak pernah mengunjungi ayahku. Aku masih merasa marah atas sikap ayah pada ibu, tapi kau tahu, dia tetaplah ayahku. Beberapa kali dia mengunjungiku saat Natal dan kami berbincang singkat. Butuh waktu bertahun-tahun hingga hubungan kami bisa sedikit membaik dan kami bisa mengobrol dengan santai layaknya seorang ayah dengan putranya.”
Davin berhenti bercerita. Tania bisa memahami ceritanya, hanya saja ia masih tak mengerti tentang alasan utama Gerald dan Catherine berpisah. Apa Gerald melakukan kesalahan yang begitu fatal?
“Kau masih tak pernah bertanya tentang alasan mereka berpisah? Kau tidak berpikir untuk menyatukan mereka kembali?” tanya Tania dengan hati-hati. Davin hanya menggeleng pelan.
“Saat itu aku masih terlalu kecil dan hingga aku dewasa, mereka selalu menolak untuk membahasnya lagi. Hingga pada akhirnya aku mencoba untuk menerimanya, itu keputusan mereka.” Davin memandang kekasihnya beberapa saat. “Terima kasih sudah mendengarkan.”
“Oh, ayolah. Kita tak jauh berbeda.” Tania memeluknya.
“Aku harap mereka bisa tetap berteman, setidaknya di hari pernikahan kita nanti.” Davin mengecup kening Tania dengan penuh kasih.
Mendengarnya membicarakan pernikahan, Tania jadi gugup. Apa lagi jika bukan karena Gerald. Ia masih menahan diri untuk tak menghubungi sugar daddy-nya itu. Situasi di antara mereka terasa begitu canggung sekarang. Apa yang akan terjadi jika Davin dan Catherine sampai tahu bahwa Tania dan Gerald memiliki hubungan khusus meski itu hanya sebatas sugar dating?
“Ibu lega kau sudah mengenalkan Tania pada ayahmu, Dan.” Catherine memecah hening kala mereka menikmati makan malam. Tania memandangnya, mencoba untuk tersenyum. “Ayah Davin sangat kaku,” lanjutnya.“Dia sudah jauh lebih baik, sepertinya,” sambung Davin.“Mungkin dia sudah memiliki kekasih? Who knows?”“Ibu ....” Davin tampak tidak senang mendengar kalimat Catherine. Tania sendiri? Jantungnya berdetak lebih cepat. “Dia tak akan lakukan itu. Dia terlalu sibuk dengan pekerjaannya.”“Bagaimana kau tahu, Dan? Katakan, apa kau hanya berprasangka baik karena dia ayahmu?” Catherine bicara dengan lembut, di situasi ini Tania merasa bersalah, entah kenapa.“Well, maksudku, kurasa ayah tak akan mau repot-repot menikah lagi jika dia masih seperti itu. Semua orang yang mengenalnya tahu bahwa dia sangat dingin.&rdqu
Tania tiba di London dan segera menuju flat dengan pikiran yang kacau. Begitu banyak fakta yang harus ia terima dan ia bahkan tak tahu bagaimana harus menerimanya. Mungkin ia bisa menerima kenyataan bahwa sugar daddy-nya selama ini adalah ayah kekasihnya, tapi bagaimana ia bisa menjalani hidupnya sekarang dan setelahnya? Apa ia harus memilih di antara mereka berdua? Oh tentu, dalam hal ini, Davin adalah kekasihnya. Namun Gerald adalah orang yang telah memberi Tania kehidupan. Bisa dibilang, Gerald telah menyelamatkan Tania.Tania melangkah masuk ke dalam flat dan menyadari aroma marijuana. Segera ia melangkahkan kaki ke dapur dan benar, Gerald di sana. Duduk dengan selinting marijuana yang tinggal tersisa sedikit lagi di tangannya. Jasnya terletak di atas meja.“Kau sudah kembali, sweetheart,” suaranya terdengar berat, “dua minggu tanpa menelepon, rasanya lama sekali, ya?”Apa yang harus Tania katakan? Ia pun tak tahu.
Apa maksudnya ini? Apa tamu yang baru saja dibicarakan Gerald adalah Davin? Kenapa dia meminta Davin datang kesini? Apa dia sedang menyiapkan rencana untuk menjebak Tania? Jika ini memang rencananya, dia sungguh keterlaluan. Setidaknya itulah yang dipikirkan Tania.Davin terdiam di sana, sementara manajer restoran itu telah berlalu menuruni tangga. Tania dan Gerald saling berpandangan.“Tania? Kau ada di sini?” Davin mengangkat alis.“A-aku-”“Davin!” Gerald berseru tertahan lalu tertawa ceria. “Kau datang tanpa memberitahu?”“Ya, ini sangat mendadak. Aku sudah menghubungi Tania tapi dia tak menjawab telepon atau pesanku.” Jelas Davin masih dengan ekspresi bingung. “Kalian … sedang apa?”“Ahaha! Kau tahu? Ini kebetulan yang sangat gila. Ayah baru tahu ternyata Tania menjadi model di perusahaan agensi milik Ayah!” Gerald menghampiri putranya. Tania meng
Paris. Di kota inilah Tania akan menjalani kehidupan barunya, bersama Davin. Jelas ini bukan tempat yang buruk untuk memulai sebuah lembaran baru, meski Tania tidak yakin lembaran baru macam apa yang kini ia buka. Tampaknya bukan lembaran dari buku yang masih kosong, melainkan lembaran lama sebuah buku catatan berisi konflik tak berkesudahan.Walaupun panik, ia mencoba terlihat tenang dan berusaha untuk tak merepotkan Davin dengan membiarkannya terus-terusan bertanya apa Tania baik-baik saja karena sepanjang perjalanan Tania terus melamun. Ia terus-terusan membuka ponsel dan memeriksa media sosial, memastikan ia telah mengunggah foto bersama Davin dengan keterangan bahwa ia akan mulai tinggal di Paris hari ini.Beberapa teman-temannya berkomentar dan mengucapkan selamat, tetapi Tania sangat sibuk dalam dua minggu pertama karena selain harus beradaptasi, ia juga ikut membantu pekerjaan Davin dalam mengurus Casualads entah itu dalam hal perancangan atau mempromo
“Hei! Bagaimana jalan-jalannya?” Davin masih duduk di belakang meja kerjanya saat Tania kembali.“Tidak banyak jalan-jalan. Hanya mengobrol dan sedikit minum di bar,” jawab Tania seadanya. “Aku tidur duluan, ya?”“Tentu, selamat malam, sayang.”Pagi harinya, Tania melihat sebuah pesan di ponselnya. Dari Rob, yang dikirim jam 3 pagi. Ia mengirimkan sebuah lokasi dan meminta Tania agar datang saat jam makan siang dengan membawa akta kelahirannya.Inikah saatnya? Tania lebih penasaran dengan percakapan macam apa yang terjadi antara Rob dan istrinya malam tadi. Setelah sedikit panik saat Tania hampir tidak bisa menemukan secarik kertas bertuliskan nama serta tanggal lahirnya dan nama lengkap kedua orang tuanya, akhirnya ia berhasil menemukannya. Tania merasa dirinya cukup bijak dengan tidak menyepelekan benda itu walaupun ia hampir tak pernah berharap bisa menemukan petunjuk tentang keberadaan orang tuanya lagi.
Hari-hari Tania jadi jauh lebih sibuk ditambah lagi Davin yang melakukan renovasi besar di lantai tiga tokonya. Siang itu Tania sibuk membereskan dan mengatur ulang sebagian besar letak barang-barang yang ada di lantai satu dan dua. Davin sedang pulang ke rumah untuk memeriksa sesuatu dan para pekerja konstruksi masih belum muncul untuk memulai pekerjaan mereka setelah makan siang.Hanya kemudian kedatangan Gerald yang seketika membuatnya terkejut dan panik, bertanya-tanya untuk apa dia datang? Apa lagi rencananya?“Apa lagi yang kau inginkan?” Tania menyembunyikan rasa takutnya.“Ada yang harus kita bicarakan.” Gerald melangkah lebih dekat. Tania langsung menghindar tapi Gerald malah mengikutinya. Bahkan saat Tania mulai berlari ke lantai atas, Gerald masih terus mengikuti dengan langkah yang lebih cepat. “Tania! Tunggu!”Lantai tiga penuh dengan barang-barang konstruksi yang berantakan serta debu yang menyesakkan pern
Tania menunggu di sebuah café kecil yang berada tak jauh dari flatnya. Ia hanya mengikuti instruksi Rob tentang jam pertemuannya dan sama sekali tak berkomunikasi dengan lelaki yang akan dikenalkannya ini. Setelah menunggu hampir dua puluh menit, seseorang menghampiri.Tania mengangkat wajahku untuk melihatnya. Lelaki muda dengan rambut hitam dan kulit karamel serta sepasang mata cokelat yang harus diakui Tania amat menawan. Lelaki itu menatapnya dengan ekspresi datar sebelum akhirnya mengangkat alisnya sebagai tanda menyapa.“Kau putri Rob?”Selama beberapa saat Tania terdiam hingga akhirnya lelaki itu memetik jari di wajahnya.“Ah, iya. Benar.” Tania menggeleng dan berusaha fokus kembali. Mereka duduk berhadapan.“Caspian,” ucapnya singkat.“Itu namamu atau ....”“Kau berpikir aku sedang menyebutkan nama danau terluas di dunia secara random pada orang yang baru ku
Hari itu untuk pertama kalinya Tania pergi ke kantor dengan tenang dan menjalani aktivitas dengan bahagia, tanpa tekanan, tanpa rasa takut atau kegelisahan tentang Gerald yang terus mengikuti. Ide Rob tampaknya memang benar-benar berhasil meskipun kedengarannya begitu menyedihkan bagi Tania saat ia harus memiliki kekasih di sisinya agar Gerald benar-benar menjauh.Keceriaan itu bertahan hingga sore hari, ketika Caspian datang untuk menjemput, Tania segera menyadari perubahan mood-nya yang tidak biasa dan itu membuatnya merasa heran.Maksudnya, tentu saja dia memang kadang menyebalkan dan tidak banyak bicara, ekspresi wajahnya juga lebih sering membuat Tania merasa seperti Caspian meminta agar ditinju saja, tapi sore itu dia memang berbeda dan satu lagi, dia memakai kacamata hitam.“Apa yang terjadi? Kau baik-baik saja?”Caspian memberikan helm pada Tania tanpa menjawab pertanyaannya sama sekali. Begitu juga di sepanjang perjalanan, ta