Share

Chapter 5: The Past

Sudah lebih dari seminggu lamanya Tania tak menerima panggilan atau pesan apa pun dari Gerald. Mungkinkah Gerald begitu sibuk? Atau ia sangat marah?

Catherine tidak ada di rumah hari ini. Ia bekerja sebagai salah satu tutor di sebuah kelas memasak yang tak jauh dari rumah dan mengajar setiap akhir pekan. Ia sudah berpesan pada Davin dan Tania bahwa mereka boleh pergi berjalan-jalan dengan mobilnya dengan catatan tetap membiarkan rumah terkunci, tapi sepasang kekasih itu sepakat bahwa mereka hanya akan bermalas-malasan di rumah seharian dan menghabiskan camilan yang memenuhi lemari.

“Kau kelihatan gelisah, apa yang kau cemaskan?” Siang itu Davin menghampiri Tania yang sedang duduk termenung memandangi halaman belakang. “Apa kau bosan berada di sini?”

“Tidak.” Tania menggeleng cepat.

“Jangan khawatir, tiga hari lagi kita akan kembali ke Paris. Setelah itu kau bisa kembali ke London.”

“Tidak, Dan. Aku sama sekali tidak memikirkan hal itu, maksudku … jangan salah paham.” Ia tersenyum tipis. “Aku suka tempat ini dan ibumu sangat ramah, tapi, kau tahu, aku mungkin hanya butuh waktu sedikit lebih lama untuk menyesuaikan diri.”

“Ah, ya. Aku mengerti. Mungkin aku perlu bercerita sedikit lebih banyak tentang keluargaku?”

Tania terdiam sejenak. Apa ia akan siap mendengar ceritanya?

“Jadi semua konflik ini berawal sejak aku masih kecil,” Davin mulai bercerita tanpa menunggu Tania menjawab.

“Yah, aku tidak tahu apa masalahnya, yang jelas puncaknya terjadi saat aku berusia tujuh tahun. Masih sangat muda, bukan?” Davin tak tampak seperti orang yang sedang berusaha mengingat-ingat. Kejadian itu seperti masih segar dalam ingatannya. “Sejak itu aku diberi pilihan untuk menjadi anak mama, atau anak papa.”

“Kau tahu, sulit bagiku, sebagai anak tunggal yang masih sangat kecil, memikirkan soal itu,” Davin melanjutkan. Pandangannya menatap lurus ke depan. “Pada akhirnya aku memilih ibuku. Karena dia bersamaku sepanjang waktu. Kau sudah lihat, kan, ayahku luar biasa sibuk. Kami tak begitu dekat.”

“Apa ayahmu tak keberatan? Seperti yang sering terjadi dalam kasus perceraian, perebutan hak asuh?”

“Tidak. Dia langsung setuju. Aku ingat ibuku pernah bilang bahwa ayahku merasa ia tak akan mampu bertanggung jawab. Bukan dalam hal materi, tapi masalah waktu yang bisa ia habiskan bersamaku.”

“Memiliki ayah yang begitu sibuk … terasa seperti neraka, ya?” Tania menggumam pelan.

“Uh-um.” Davin menghela napas. “Hal yang lebih buruk terjadi setelahnya. Meski aku dan ayah tak terlalu dekat, aku pernah begitu merindukannya karena ia benar-benar tak pernah datang mengunjungi kami. Aku merindukannya hingga jatuh sakit dan akhirnya ia datang.”

Davin terhenti sejenak, ia tertawa kecil lalu memandang Tania.

“Ah, hampir saja aku melewatkan bagian penting. Ayahku sangat menyukai musik, dulu.”

Musik. Tania mulai menerka apakah ini akan ada hubungannya dengan piala yang ia lihat di lemari? Sesuai dengan cerita Catherine yang terpotong beberapa hari lalu? Serta tentu saja, piano itu.

“Aku melihat piala kaca berbentuk piano di lemari dan ibumu bilang itu milik ayahmu.” Tania bicara, seolah tak sabar. “Oh, aku juga tidak sengaja melihat piano besar di salah satu ruangan ….”

“Hei, kau sudah melihatnya.” Davin tersenyum. “Yeah, itu milik ayah. Pialanya, pianonya. Dia sangat piawai dalam bermain piano dan selalu bermain untukku, tapi sejak semua konflik itu, dia berhenti begitu saja.”

“Namun kemudian,” Davin masih melanjutkan, kini suaranya lebih lemah, “saat aku jatuh sakit, aku memintanya untuk mengikuti kompetisi piano yang diadakan di kota saat itu. Alasanku hanya satu, aku ingin melihatnya bermain piano lagi.”

“Jika itu alasanmu, kenapa kau tak memintanya bermain di rumah saja?”

“Tidak, jika dia bermain di rumah, dia hanya akan bermain untukku. Ibuku akan pergi dan tak mau melihat.”

Tania mengerutkan dahi, tak mengerti.

“Aku memaksa ayah untuk mengikuti kompetisi lalu memaksa ibu untuk menontonnya bersamaku, lagipula ia tak akan membiarkanku pergi sendiri. Kau tak akan tahu betapa senangnya aku saat ayah setuju untuk ikut, begitu juga dengan ibu yang menontonnya denganku. Aku begitu polos hingga mengira bahwa mereka berdua akan berbaikan lagi setelah itu. Aku mengira bahwa ayah akan mempersembahkan permainan pianonya untuk ibu lalu dia akan terkesan dan memaafkan ayah. Ternyata tidak.”

Tania semakin tak mengerti dengan arah ceritanya. Bagaimana Davin yang masih begitu kecil bisa berpikiran untuk melakukan hal semacam itu? Menyatukan kembali ayah ibunya yang baru saja bercerai dengan menonton kompetisi piano? Sangat konyol.

“Pada akhirnya ayah menang, dia memberikan pialanya padaku sebagai tanda bahwa ia begitu mencintaiku, tapi sebenarnya itu tidak terlalu kupikirkan. Ayah dan ibu tetap berpisah.”

Tania nyaris memutar matanya. Itu keputusan mereka, Davin hanya anak-anak saat itu dan tak akan bisa mengerti, bukan begitu?

“Bertahun-tahun kemudian aku berusaha menjalani hidupku seperti anak-anak lainnya yang memiliki orang tua lengkap.  Setelah lulus SMA, aku pindah ke Paris dan memulai kuliah serta karirku di sana.”

“Kau meninggalkan ibumu,” Tania menyela.

“Ya, dan aku juga tak pernah mengunjungi ayahku. Aku masih merasa marah atas sikap ayah pada ibu, tapi kau tahu, dia tetaplah ayahku. Beberapa kali dia mengunjungiku saat Natal dan kami berbincang singkat. Butuh waktu bertahun-tahun hingga hubungan kami bisa sedikit membaik dan kami bisa mengobrol dengan santai layaknya seorang ayah dengan putranya.”

Davin berhenti bercerita. Tania bisa memahami ceritanya, hanya saja ia masih tak mengerti tentang alasan utama Gerald dan Catherine berpisah. Apa Gerald melakukan kesalahan yang begitu fatal?

“Kau masih tak pernah bertanya tentang alasan mereka berpisah? Kau tidak berpikir untuk menyatukan mereka kembali?” tanya Tania dengan hati-hati. Davin hanya menggeleng pelan.

“Saat itu aku masih terlalu kecil dan hingga aku dewasa, mereka selalu menolak untuk membahasnya lagi. Hingga pada akhirnya aku mencoba untuk menerimanya, itu keputusan mereka.” Davin memandang kekasihnya beberapa saat. “Terima kasih sudah mendengarkan.”

“Oh, ayolah. Kita tak jauh berbeda.” Tania memeluknya.

“Aku harap mereka bisa tetap berteman, setidaknya di hari pernikahan kita nanti.” Davin mengecup kening Tania dengan penuh kasih.

Mendengarnya membicarakan pernikahan, Tania jadi gugup. Apa lagi jika bukan karena Gerald. Ia masih menahan diri untuk tak menghubungi sugar daddy-nya itu. Situasi di antara mereka terasa begitu canggung sekarang. Apa yang akan terjadi jika Davin dan Catherine sampai tahu bahwa Tania dan Gerald memiliki hubungan khusus meski itu hanya sebatas sugar dating?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status