Share

Chapter 4: Davin's Mum

Tania pernah ke Jerman beberapa kali, tapi ia tak pernah ke Munich. Hanya Berlin. Kini saat ia akhirnya menginjakkan kaki di kota itu, mendadak ia jadi begitu gugup. Bukan hanya karena akan menemui ibu Davin, tapi juga karena menyadari kenyataan bahwa ia akan bertemu Catherine, mantan istri dari sugar daddy-nya.

“Ibuku orang yang menyenangkan, dia pasti akan sangat menyukaimu!” Davin menggandeng tangan Tania saat mereka keluar dari taksi menuju sebuah rumah sederhana dengan kotak pos berwarna coklat tua di halamannya.

“Jangan cemas, ibuku tidak sesibuk ayahku. Dia tidak akan pergi begitu saja setelah kukenalkan kalian berdua,” lanjut Davin, “lagipula ini rumahnya, dia selalu tahu bagaimana menyambut tamu dengan baik.”

Davin memencet bel beberapa kali dan pintu terbuka, menampakkan sosok wanita paruh baya yang cukup tinggi—kurang lebih sama dengan Tania, mengenakan kaus longgar dan celana panjang. Sekilas ia terlihat seperti pelatih yoga atau pesenam, atau ibu rumah tangga yang sangat santai. Rambut cokelatnya yang bergelombang digulung rapi ke belakang.

“Ibu!” Davin merentangkan tangannya sambil tersenyum lebar. Wanita itu tampak terkejut selama beberapa saat sebelum akhirnya memeluk Davin, putranya.

“Ibu tak percaya ini. Kau benar-benar datang!” Nadanya terdengar terharu lalu ia menyadari kehadiran Tania. “Bersama dengan ….”

“Tania Wood,” Davin kemudian berbisik keras hingga Tania bisa mendengarnya, “calon menantu Ibu.”

“Ahahaha! Kau ... cantik sekali, sayang.” Ia menyentuh dagu Tania lalu memeluknya singkat. “Kenalkan, aku Catherine. Ayo, masuklah! Aku baru saja selesai membuat panekuk.”

Tania melangkah masuk dan terlihat bagian dalam rumah itu begitu rapi. Bahkan ada banyak sekali foto dipajang di dinding, di meja, dan di dalam lemari hias. Nyaris di semua foto itu terdapat sosok Davin di dalamnya. Saat ia kecil, remaja hingga sekarang, wajahnya sama sekali tak sulit dikenali.

Dan ya, hanya ada dua orang saja dalam foto. Davin bersama ibunya.

“Ibuku seorang sarjana seni kuliner, dia koki yang handal dan sangat suka membuat camilan. Panekuknya adalah yang terbaik!” Davin menarik Tania menuju dapur, mengikuti langkah ibunya.

“Ah, kau selalu berlebihan dalam memuji, Dan.” Catherine tertawa lalu menyajikan dua porsi panekuk di atas meja untuk mereka. “Bagaimana perjalanannya?”

“Cukup menyenangkan, aku berencana menginap di sini selama seminggu, boleh tidak?” Davin bertanya ragu.

“Kalian berdua?” Catherine menatap mereka bergantian dan Davin mengangguk. “Tentu saja boleh!”

Ia tampak begitu gembira. Bahkan Tania harus mengakui meski dengan kerutan di wajahnya serta rambutnya yang mulai berubah keperakan, ia masih tampak begitu cantik. Apa lagi saat ia tersenyum begitu lebar.

“Jadi … Tania, apa saja yang sudah Dan ceritakan padamu?”

Tania memandang Davin selama beberapa saat, berusaha mencari jawaban dari ekspresi wajahnya.

“Kami sudah bertemu ayah,” Davin akhirnya yang menjawab dengan nada sedikit ragu. “Dia tampak sibuk saat itu.”

“Dan, kau tahu dia tidak terlalu suka saat bertemu dengan orang baru.”

Well, kurasa itu benar. Tapi setidaknya aku sudah mengenalkannya pada Tania. Aku merasa perlu melakukannya.”

“Itu bagus, kuharap dia bisa menjadi orang yang lebih santai.” Catherine menghela napas lalu kembali tersenyum. “Silakan habiskan panekuknya. Aku akan menyiapkan kamar untuk Tania.”

Tania tak mengerti. Apa maksudnya saat ia bilang Gerald harus menjadi orang yang lebih santai? Apakah Gerald sekaku itu?

Setelah menghabiskan panekuk, Tania berkeliling melihat setiap sisi rumah itu. Ia berhenti cukup lama di depan lemari yang ada di ruang tamu. Selain foto, ada banyak sekali piala di dalamnya. Beberapa di antaranya bertuliskan nama Davin yang memenangkan kejuaraan sepak bola dan baseball. Dari semua itu, yang paling menarik perhatiannya adalah sebuah penghargaan berbentuk piano yang terbuat dari kaca. Tak ada nama ataupun keterangan tentang kejuaraan apa itu, hanya saja Tania mulai berpikir bahwa itu milik Catherine, karena sejauh yang ia tahu, Davin tak bisa bermain musik.

“Itu tampak indah, ya? Padahal sudah sejak lima belas tahun yang lalu.”

Catherine tiba-tiba muncul di dekatnya dan ikut memandang ke dalam lemari. Tania nyaris melompat kaget akan kehadirannya.

“Ah, maaf. Aku membuatmu kaget, ya?” Catherine tertawa kecil lalu memegang pundak Tania.

“Apa itu milikmu?” Tania menunjuk piala kaca yang sejak tadi membuatnya penasaran. Catherine menggeleng. Baru saja ia ingin menerka bahwa itu pasti milik Davin, tapi Catherine lebih dulu bicara, “itu milik mantan suamiku, ayah Dan.”

Pikiran Tania bekerja lebih cepat dalam menerka segala kemungkinan setelah mendengar kalimatnya. Milik Gerald? Apa yang telah ia lakukan? Piala itu jelas berhubungan dengan musik atau semacamnya, tapi ia tak pernah melihat Gerald bermain piano atau bahkan sekadar menyanyikan beberapa bait lagu.

“Ayah Davin??”

“Ya. Pasti Davin lupa menceritakannya padamu.” Catherine menghela napas. “Gerald sangat dekat dengan musik, dulu. Dia selalu menyanyikan lagu atau bermain piano untuk Davin. Sampai akhirnya masalah datang di antara kami dan ia tak pernah mau berurusan dengan musik lagi.”

“Apa dia pernah menjadi musisi?” selidik Tania. Catherine menggeleng.

“Dia hanya bermain musik sebagai hobi, dan piala ini ….” Catherine terhenti sejenak. Tania menyadari sesuatu yang aneh. Matanya tampak berkaca-kaca.

“Kau baik-baik saja?” Tania memegang pundak Catherine. Ia menunduk selama beberapa detik dan terlihat air matanya jatuh.

“Maaf, aku baru ingat aku sedang memanggang kue di dapur. Silakan lanjutkan saja jika kau masih ingin melihat-lihat.” Catherine tersenyum dan nampak sekali bahwa itu dipaksakan.

Tania memperhatikan langkah wanita itu. Ada apa dengannya? Ia bertanya-tanya. Ada apa dengan piala itu? Dengan Gerald?

Ia tak bermaksud untuk terlalu ingin tahu mengenai kehidupan rumah tangga orang lain, tetapi rasa penasaran membuat Tania menjadi lebih teliti dalam memperhatikan setiap hal yang ia temukan di rumah itu.

Kemudian Tania melihat hal lain lagi, sebuah piano yang ada di dalam sebuah ruangan. Akan tetapi ia tak berani masuk ke dalam ruangan itu karena Catherine pastilah akan menganggapnya terlalu lancang. Jadi Tania hanya mengintip sebentar dan pergi dari sana.

Malam itu Tania tidur di kamar tamu yang telah disiapkan Catherine sebelumnya. Ada tiga kamar di dalam rumah itu, tapi salah satunya telah berubah menjadi gudang—yang diterka Tania adalah ruangan yang berisi piano tadi—dan Davin tak bisa tidur di sana. Jadi ia akan tidur di sofa yang ada di ruang tamu karena kamar yang ditempati Tania hanya memiliki satu ranjang berukuran kecil yang hanya cukup untuk satu orang.

Namun malam itu, Tania sulit tidur.

Dilihatnya Davin sudah terlelap karena kelelahan setelah membantu Catherine membereskan beberapa hal. Davin tidak terbiasa bekerja dengan barang-barang rumah. Ia hanya terbiasa begadang untuk mengerjakan desain kaus dan sepatu atau topi. Sama seperti Tania yang hanya terbiasa oleh  kelelahan karena aktivitas berjalan di atas catwalk dan berpose. Selebihnya? Tania tak terbiasa lagi dengan kesibukan membereskan rumah atau bekerja 9-to-5.

Semua itu sejak Gerald hadir dan memanjakannya.

Tania masih memiliki banyak pertanyaan tentang kehidupan Catherine. Hal itu juga membuatnya menyadari bahwa ada banyak sekali sisi dari kehidupan Gerald yang tak ia ketahui. Dan memang, selama ini Tania tak merasa penting untuk mempertanyakannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status