Share

06. Hutang Bensin

“Wah, selamat ya Sus, Ratmin, kalian sudah menjadi orang tua, duh gemas banget lihatnya,” ucap Bu Retno bahagia.

“Terima kasih, Bu Retno,” jawabnya dengan tersenyum bahagia.

“Aku juga ngucapin selamat deh buat kalian, tetapi kok hidungnya pesek gitu dan kulitnya ... duh makanya Sus, kalau lagi hamil itu perawatan juga dong kasihan banget bayi kamu, bukan memperbaiki keturunan malah lebih parah lagi,” hina Siska tanpa koma.

“Iya, kamu juga Min, sebagai suami itu harus memanjakan istrinya seperti aku ini, masa kamu biarkan Susi nggak terawat banget, lihat bayimu saja aku malas gendong deh!” rutuknya sewot.

 

“Aduh, sudah deh Mbak, Mas, kalau kalian di sini hanya untuk berkomentar nggak jelas, lebih baik kalian pulang deh, aku mau menikmati menjadi Ibu dulu,” ucapnya tanpa melihat ke arah mereka.

“Kalian pulang saja sana, tuh lihat kasihan istrimu sudah seharian di luar,” sahut Bu Retno yang geram juga melihat tingkah laku sepasang suami istri itu.

“Ya sudah, kami pulang dulu nggak betah juga lama-lama di tempat seperti ini, oh ya Min, kamu bayar sekarang atau kamu ngutang nih?”

“Maksudnya ngutang apa nih, Mas, perasaan kami nggak pernah meminjam uang sama sampean?”

“Lah, piye toh, itu yang tadi bawa istri kamu kan pakai mobilku, berarti jatuhnya nyewa dong dan bensinnya memang gratis,  buang air kecil saja bayar kok apa lagi nyewa mobil!”

“Memang berapa harus saya bayar Mas?” tanyanya sedikit emosi.

“Sebenarnya uang itu tidak bersaudara, tetapi karena kamu adalah saudara kembarku cukup bayar Rp. 250.000 deh, bagaimana ada nggak uangnya?”

“Mas, jarak dari rumah kami ke rumah bidan dekat, Mas kok mahal banget sih?”

“Itu sudah murah loh, Min, masa kamu terlalu kere sih, uang segitu nggak punya?” hinanya kembali dengan berkacak pinggang.

 

“Aduh, Mas Ratman ini perhitungan banget jadi orang, ya sudah kalau begitu anggap saja sedekah sama orang seperti kita, pahalanya besar loh Mas, katanya Mas Ratman itu adalah orang dermawan di kampung ini, malu dong sampai minta-minta sama saudaranya yang miskin ini,” bela Susi mulai geram dengan tingkah laku saudara iparnya itu.

“Ya elah Sus, namanya utang di mana-mana harus bayar dong, bukannya sebelum kita meninggal tidak baik meninggalkan hutang kepada keluarga, kasihan nantinya merasa terbebani gitu lah,” sahutnya dengan percaya diri.

“Terus kalian datang tiap hari ke rumah, apa sampean nggak malu masa minta makan sama orang miskin, alasannya banyak banget deh, giliran kita mau ke rumah sampean malah nggak boleh!” rutuknya kesal.

“Kalau itu lain dong Sus, itu kan namanya silaturahmi sesama keluarga, wajar dong kalau aku menjenguk kalian, bagaimana kabar kalian itu saja!”

“Kalaupun makan di sana ya kebetulan saja, namanya juga rezeki masa di tolak,” jawabnya enteng.

“Kamu ini Man, orang lagi baru melahirkan istrinya, kamu malah bertanya tentang uang bensin, nggak boleh loh menzalimi saudara seperti ini, bisa kena karma loh,” celetuk Bu Retno menimpali.

“Katanya kaya masa minta uang bensin sama saudaranya gitu, apa kata warga  kalau sampai tahu, malu nggak tuh?”

“Ya ... nggak malu lah, sama saudara sendiri kok mintanya!” celanya lagi tanpa rasa bersalah.

Susi dan Suratmin saling berpandangan dan mengerti satu sama lain. Mereka memakai bahasa isyarat yang hanya mereka yang tahu, sehingga membuat Siska dan Suratman menjadi bingung.

“Aduh, apa sih yang kalian bicarakan hanya memakai kode alis kalian, mau hutang apa nggak nih, atau aku kasih waktu saja deh seminggu lah bagaimana?”

“Sebenarnya aku juga nggak tega sama kalian , tetapi ya mau bagaimana namanya hutang ya harus dibayar lah. Kamu nggak mau kan nanti kalau meninggal dikejar-kejar hutang atau kamu mau membebani saudaramu gitu?” tanyanya sembari mengejeknya dengan halus.

“Owalah padahal aku pikir Mas Ratman ikhlas membantu aku, ternyata bayar toh, tetapi ya udalah nasi sudah menjadi bubur.”

“Mas, bayar saja jika itu dianggap kita mengutang ya kasih saja uangnya, toh kita nggak mau juga hanya masalah ini kita menjadi musuh, masalahnya kita bersaudara dan tetanggaan pula.”

“Mas Ratman terima kasih atas bantuannya sudah mengantar Susi ke rumah bidan,” ucap Susi dengan tersenyum.

“Iya, Sus namanya kita ini bersaudara ya tolong menolong itu wajib hukumnya,” sahut Ratman dengan bangga.

“Tolong menolong apa Man, buktinya itu kamu minta bayar Rp. 250.000, itu apa namanya, padahal nggak jauh-jauh amat, tetapi uang bensinnya mahal banget, sedangkan kita nggak bilang mau ganti bensinmu loh, Man,” celetuk Bu Reyno yang tidak habis pikir dengan sikap saudara kembarnya itu.

“Lah, Bu di mana-mana kalau memakai jasa orang harus bayar dong, masa gitu saja harus diajari sih?” kilah Suratman yang tak mau kalah.

“Iya, maaf Mas, kami bayar saja tidak enak berdebat di sini hanya masalah seperti ini,” ucap Suratmin dan mengeluarkan dari saku celananya.

Suratmin mengeluarkan uang pecahan dua ribuan, lima ribu, sepuluh ribu dan dua puluh ribu. Susi juga mengorek dari isi dompetnya yang ternyata hanya mempunyai uang sepuluh ribu saja.

Bu Retno yang melihat Suratmin dan Susi mengeluarkan semua uang sisa pembayaran biaya persalinan dan merogoh dalam-dalam saku celananya merasa iba dan  sangat miris, tetapi dia tidak mau terlalu mencampuri urusan mereka, dia hanya bisa berdoa agar selalu memberikan kesehatan dan kemudahan dalam mencari rezeki.

“Maaf, Mas uangku cuma ada sisa ini, nggak apa-apa ya?” tanya Suratmin dengan menyerahkan uang yang belum genap dua ratus lima puluh ribu rupiah.

Suratman menerima uang yang diberi oleh Suratmin dengan sedikit di tekuk dan lalu menghitungnya dengan teliti.

“Loh, Min ini uangnya kurang, kamu bagaimana sih, terus bayar pakai uang beginian lagi, miskin amat sih hidup kamu, Min!” Suratman menggeleng-gelengkan kepalanya dan menghela napas panjang.

“Makanya nggak usah pakai mobil kita sekalian kalau nggak punya uang, begini jadinya sok-sok an sih, rumah bidan kan dekat cuma dua kilometer saja!” celetuknya membela suaminya Suratman.

“Memang kurang berapa sih?” tanya Bu Retno penasaran.

“Min, aku anggap hutang ya ... kurangnya sih nggak banyak cuma tiga puluh dua ribu rupiah,” ucapnya lagi dengan santai.

“Nggak usah jadi hutang biar saya saja yang bayar, gitu saja kok repot,” sahut Bu Retno sembari mengeluarkan uang dari dompet kecilnya dan memberikan kepada Suratman.

“Bu, nggak usah repot-repot, biar kami saja yang bayar, Ibu sudah banyak membantu kami, nggak enak rasanya kalau Ibu yang mengeluarkannya, ini hutang kami, Bu!” jelas Suratmin memelas.

“Kamu ini Min, jangan bilang begitu, saya ini ikhlas membantu kalian!”

“Kamu dan Susi juga sering membantu Ibu, bahkan melebihi dari tiga puluh dua ribu rupiah, bahkan kamu sempat mendonorkan darahmu buat Bapak, padahal kita bukan keluarga, tetapi kalian tanpa pamrih membantu kami dengan tenaga kalian.”

“Uang segini belum cukup membayar apa yang kalian lakukan untuk keluarga Ini, jadi terima lah, Nak,” jelas Bu Retno dan memaksa Suratmin menerima uang yang dikasih oleh Bu Retno.

“Te-terima kasih, Bu!”

“Dan kamu Man, hutang Suratmin sudah lunas ya, tidak ada lagi jangan sampai kamu amnesia bilang belum bayar, ingat itu!” ancam Bu Retno menatap tajam ke arah pasangan suami istri pelit itu.

“Iya, Bu , nggak ada hutang, gini kan enak,” ucapnya bahagia karena bisa mendapatkan uang untuk mengisi dompet tebalnya.

“Kalau begitu aku pulang dulu, Min, sumpek aku di sini, ayuk Sayang!” ajaknya menggandeng istrinya dan berpamit pulang.

Namun, saat ingin melangkahkan kakinya  tiba-tiba  pemilik warung makan tempat Suratmin bekerja ternyata datang menjenguk mereka.

Seketika Suratman dan Siska merasa heran dan tidak percaya dengan kedatangan tamu yang berpenampilan sangat rapi dan nampak elegan.

 

 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status