Suratmin sangat bahagia walaupun pemilik warung itu tidak pernah ke rumah, tetapi sosok beliau itu sangat bersahaja dan baik.
“Assalamu’alaikum!” sapanya sembari melontarkan sebuah senyuman ramah.“Wa ’alaikumsalam, Pak Dirga, silakan masuk, Pak, Buk!” sahut Suratmin terkejut saat di datangi oleh mereka.“Terima kasih!” ucap Pak Dirga bersama Bu Sari.“Iya, Sama-sama, Pak Dirga, Bu Sari, silakan duduk!”“Siapa itu , Sayang?” tanya Suratman kepada istrinya Siska saat ingin mau ke luar dari kamar.“Sepertinya itu bosnya Suratmin, Mas!”“Ayuk pulang pegal nih berdiri terus, ngapain juga kita di sini, sumpek tahu,” gerutunya dan hendak pergi dari sana.“Tunggu dulu, Sayang!” cegah Suratman kepada istrinya.“Mau ngapain lagi kita di sini. Kita kan sudah dapat uang dari Suratmin lumayan buat makan malam kita,” sahut Siska yang mulai gerah karena merasa kepanasan. “Kamu ini, Sayang, kamu mau uang tambahan nggak?” tanya Suratman dengan tersenyum licik.“Ya maulah, tetapi maksudnya bagaimana sih, Mas? Apa yang mau kita lakukan di sini, kakiku sudah pegal nih, tetapi kalau Mas Ratman bilang ada uangnya, ya okelah.” Siska sangat semangat mendengar ada kata uang. Dia pun tidak memedulikan kakinya yang sakit saat mendengar kata uang yang keluar dari mulut suaminya itu.“Duh, kamu itu , lihat saja penampilannya itu orang kaya, dia kan pemilik warung makan mie ayam yang terkenal itu, pasti uangnya banyak lah, siapa tahu kita kecipratan dapat uang juga kamu kan lagi hamil,” jelasnya membuat Siska berpikir dua kali untuk pulang ke rumah.“Ya, terseralah, Mas, ayuk kita masuk!” ajaknya dengan tersenyum lebar.Mereka pun masuk lagi ke dalam lagi, untungnya hari itu hanya Susi yang menjadi pasien itu sehingga ruangan tersebut tidak terlalu padat.“Wah, terima kasih, Bapak dan Ibu telah datang ke sini, saya nggak menyangka Bapak mau menjenguk kami,” ucapnya berkali-kali dengan bahagia.“Iya, Pak nggak apa-apa, karena Pak Ratmin adalah karyawan saya sekaligus ibunya ini suka sekali namanya dengan anak-anak.”“Makanya saat mendengar kamu izin tidak masuk kerja buat besok karena istrimu melahirkan, istri saya buru-buru mau ke sini mau menjenguk anak kamu.” Pak Dirga sangat bersemangat, begitu juga dengan istrinya yang baik selalu melemparkan sebuah senyuman kepada pasangan suami istri itu yang baru mempunyai status baru menjadi seorang ibu dan ayah.“Bagaimana rasanya menjadi ayah dan ibu baru nih?” tanya Bu Sari tersenyum memandang kedua suami istri itu.“Alhamdulillah, bahagia banget rasanya, Bu,” sahut Susi yang masih menggendong bayi mungilnya itu.“Sini tak gendong sebentar bayimu, Sus!” Susi memperlihatkan bayinya dan Bu Sari ingin menggendong bayi itu dengan penuh kasih sayang, tetapi dicegah oleh Pak Dirga dengan lembut.“Bu, jangan!” teriaknya sedikit nyaring membuat Bu Sari bingung dengan sikap Pak Dirga.“Iya, Bu nggak usah di gendong buat apa, tahu nggak bayinya Susi itu nggak cantik-cantik amat, biasa saja, hitam pula, hidungnya apa lagi nggak mancung, pokoknya nggak deh,” ejek Siska dengan penuh semangat empat lima.“Maaf, Bu apa yang dikatakan mbak Siska benar, anak saya biasa saja Bu, tidak ada yang istimewa,” sahutnya sedikit dengan kedua mata yang sudah berair.“Mbak Susi, maaf bukan saya melarang istri saya untuk menggendong bayinya, cuma kami hanya takut bayi kamu terkontaminasi dengan bakteri dari luar, lagian baru beberapa jam dilahirkan sangat rentan untuk di pegang banyak orang,” ucap Pak Dirga menjelaskan dengan hati-hati.“Oh iya saya sampai lupa, betul kata Bapak, habisnya anak-anak sudah besar semua dan cucu-cucu juga jauh jarang mereka ke rumah kami, maaf ya Sus, nanti kalau besaran dikit pasti Ibu gendong.”“Lagian ya saya itu tidak memandang dia itu hitam atau putih, hidungnya mancung atau tidak dan sebagainya, bagi saya bayi yang lahir ke dunia itu itu adalah anugerah yang terindah sekalipun dia kekurangan.”“Bersyukurlah masih bisa merasakan mengandung, melahirkan, lalu merawat, mengasuh dan membesarkannya, itu sesuatu banget.”“Tidak peduli kata orang dengan kondisi anak kita, karena kita yang tahu, orang lain peduli amat yang penting bagaimana cara kita untuk mendidiknya menjadi generasi yang berakhlak mulia, anak yang Soleh dan solehah,” jelasnya kepada Susi agar tidak minder saat dihina oleh kakak iparnya sendiri.“Ya memang sih kalau ngomong itu enak, tetapi bagaimana nanti kalau anaknya sudah besar dan dia dibuly sama teman-temanya bahkan dia tidak ada kepercayaan diri, ya nasib deh,” celetuk Siska yang masih saja mengejeknya.“Nah, justru itu peranan kita sebagai orang tua, bagaimana kita bisa membawa anak-anak kita agar dia tidak merasa sendiri, orang tua harus tahu kegiatan anak-anak kita tetapi bukan bersifat protektif tetapi jadilah sebagai sahabatnya, teman curhat nya, pasti deh kita bisa membawa anak-anak kita betah di rumah,” jelasnya lagi kepada Siska dengan ramah.“Ya Ibu kan nggak pernah ngalamin, jadi mana tahu rasanya di bully ataupun dihina di depan orang banyak,” sahut Suratman membela istrinya.“Wah, Mas Ratman sok tahu banget jadi orang, justru Bu Sari dan Pak Dirga ini sangat berpengalaman dalam hal mengurus anak!”“Memang sih setiap anak itu berbeda, tetapi tidak salahnya untuk berbagi cerita atau pengalaman ibu-ibu yang sudah khatam dalam mengurus dan membesarkan anak,” sahut Suratmin bangga dengan majikannya itu.“Yang dikatakan Pak Ratmin memang benar, saya sudah pernah merawat anak-anak seperti mereka bahkan sampai ada yang berkebutuhan khusus, di situ kita akan diuji kesabaran, mental kita, tenaga , pikiran dan tentu saja uang,” timpa Pak Dirga dengan ramah.“Sekarang, Alhamdulillah anak-anak kami bisa mandiri dan sukses semua dan mereka pun tidak pernah membuat kami kecewa sebagai orang tuanya,” jelas Bu Sari dengan bangga.“Terima kasih Bu Sari atas masukannya, memang saya tidak mempermasalahkan masalah fisik, lagian wajah bayi itu bisa berubah-ubah, dan masih terlalu dini untuk menilai sesuatu yang belum kita ketahui,” sahut Susi dengan senang hati menerima anaknya.Dia lalu menghujani bayi itu dengan kecupan di bagian wajahnya.“Sayang, Ibu akan selalu ada buat kamu, jadilah anak yang membanggakan orang tua, jadikanlah kekuranganmu menjadi kelebihanmu, doa Ibu dan Bapak selalu menyertai langkahmu, Nak,” ucap Susi sembari menatap lekat wajah anaknya.“Iya betul kamu, Susi, apa pun yang sudah dianugerahkan itulah yang terbaik untuk kita, karena Allah pasti sudah tahu mana yang baik atau tidak untuk kita.” Bu Retno ikut bicara membela Susi dan Suratmin.“Saya ini bangga sekali dengan Mas Suratmin dan Mbak Susi dalam kesederhanaan ini, kalian mampu bertahan hidup dengan tenteram dan harmonis tetaplah seperti walaupun nanti kalian bisa makmur atau berkecukupan tetaplah rendah hati ““Karena setiap harta orang kaya terdapat harta orang miskin di dalamnya, hanya kita saja yang tidak bisa mengenalnya karena sudah dilapisi oleh ketamakan, keserakahan orang itu sendiri,” nasihat Pal Dirga membuat Suratmin bangga mempunyai majikan seperti dirinya.“Loh ini toh, saudara kembar kamu, Pak Min?” tanya Pak Dirga saat melihat seseorang yang mirip dengan karyawannya itu.“Oh iya, Pak kenalkan ... “Suratmin ingin memperkenalkan tetapi saudaranya langsung mengenalkan dirinya sendiri.“Kenalkan nama saya Suratman, saya saudara kembarnya Suratmin. Saya bekerja sebagai konsultan di bank, saya juga dijuluki juragan kontrakan lima belas pintu, dan mempunyai tambak ikan lele nggak banyak sih tetapi cukup menjanjikan sebulan saya bisa meraup keuntungan paling sedikit kira-kira sepuluh juta.”“Alhamdulillah, setiap hari Jumat saya bersedekah ya bagi-bagi sembako untuk warga di sini,” jelasnya dengan sombong dan percaya diri.“Oh gitu!” sahut Pak Dirga singkat.“Hah ... hanya itu tanggapannya?” tanya Suratman bingung karena setelah panjang lebar mengatakan siapa dirinya sendiri.“Terus saya harus ngomong apa, Pak?” tanya Pak Dirga kepada Suratman yang terlihat kesal.“Ya, setidaknya dapat pujian gitu, saya kan juga kaya seperti sampean, toh,” sahutnya yang memuji dirinya sendiri.Pak Dirga hanya menanggapnya dengan sebuah senyuman tipis.“Mas, jangan buat malu toh, situ kan nggak kenal bos ku, jangan buat masalah!” ancam Suratmin sedikit berbisik di telinga Suratman.“Ya suka-sukaku lah, ini mulutku sendiri kok kamu yang repot, dia saja nggak marah tuh buktinya bosmu tersenyum gitu,”sahutnya tanpa ada rasa malu.Suratmin merasa tidak enak hati kepada Pak Dirga dan Bu Sekar yang sudah dianggapnya seperti orang tuanya sendiri.“Pak Min, ini betul saudara kamu?” tanya Bu Sekar bingung.“Lah piye toh, Bu? Wong wajah saya sama dengan Suratmin bagai pinang di belah dua, cuma yang membedakan itu saya berkulit putih sedangkan Suratmin berkulit ya gitu deh dan yang sangat berbeda adalah nasib kita saja,” jelasnya melirik saudara kembarnya itu dengan menyunggingkan sebuah senyuman sinis.“Oh kirain cuma mengaku-ngaku saudaraan gitu, seperti acara di TV,” sa
“Begini Pak Min, seperti yang kamu dengar kalau saya ingin membantu kamu, tidak banyak memang tetapi kami harap bisa meringankan beban kalian.”“Saya sebenarnya sudah tahu siapa saudara kamu sebenarnya bahkan para tetangga kalian sangat mengenal kamu dan saudara kembar kamu itu yang kepedeannya itu.”“Saya salut dengan kerja keras kamu selama tujuh tahun ini Pak Min, dan sebagai hadiah atas kinerjamu, walaupun kamu hanya sebagai cleaning servis tetapi kamu mempunyai jiwa sosial yang tinggi, tidak pernah saya lihat kamu berat sebelah, tetap kamu kerjakan meskipun itu bukan tugasmu.”“Bahkan saya tahu kamu diam-diam sering membantu teman-temanmu di karyawan walaupun dalam artian kamu hanya memberikan lima ribu saja, bagi mereka sangat berarti buat mereka.”“Saya dengar teman-teman akan datang ke rumahmu setelah pulang dari sini. Memang bukan wilayah saya untuk mengomentari keluarga kalian, sebelumnya saya tidak ada maksud untuk sok menggurui siapa-siapa!”“Begini Pak Min, saya tahu kala
“Nggak ada Mas,” jawabnya singkat.“Ndak ada yang kamu sembunyikan dari aku kan?” tanyanya lagi yang masih penasaran.“Oh ya Mas, tadi katanya mau pulang nggak jadi?” Suratmin sengaja mengalihkan pembicaraan.“Nanti saja, tanggung sudah mau magrib,” jawabnya ketus.“Kamu belum jawab pertanyaanku, Min, apa yang dikatakan mereka sama kamu?”“Dengar ya Min, bos mu keterlaluan banget, masa dia nggak kenal aku? Dan parahnya katanya orang kaya kok nggak ngasih apa-apa sama kamu masa cuma di kasih buah-buahan?” “Atau jangan-jangan tadi lama, kamu baru di kasih uang ya, mana-mana uangnya? Kamu umpetin di mana?” tanya Suratman sembari meraba-raba badan Suratmin.“Ya Allah, kamu kenapa seperti kebakaran jenggot gitu?”“Meskipun Pak Dirga kasih aku uang atau tidak, apa urusanmu, mau minta, katanya orang kaya kok masih minta sama orang miskin?” ejek Suratmin.“Bukan begitu Min, aku mau tahu saja berapa yang orang kaya itu kasih kamu uang siapa tahu cuma sedikit buat apa,” kilahnya.“Bos apaan tu
“Ayuk Mas kita pulang saja lama-lama aku bisa stres!”“Betul kamu, Sayang serasa kita nggak dihargai lagi jadi keluarga!” Suratman pergi dalam keadaan marah begitu juga dengan istrinya.Susi memandang pasangan suami istri itu dengan bingung, dia pun hanya bisa melongo melihat kepergian mereka.“Kapan mereka taubat, nggak sadar-sadar tuh orang, masih saja buat ulah,” ucap Susi bingung.“Mereka itu sudah tahu salah malah mereka yang marah, ada apa sih dengan mereka, memang ada masalah apa sih Bu?” tanya Susi yang tidak mengerti dengan sikap saudara kembar suaminya itu.Bu Retno terdiam dan menunduk, tiba-tiba tanpa sengaja bulir-bulir air matanya pun sudah menganak sungai membasahi kedua pipinya yang mulai keriput.Susi menjadi merasa bersalah karena tidak membelanya saat Bu Retno dihina oleh Siska.“Maafkan Susi, Bu, tadi Susi hanya diam saja saat Ibu diperlakukan seperti itu, seharusnya Susi kasih pelajaran buat mereka, nantilah aku akan membuat mereka meminta maaf sama Ibu!”“Bagi
“Angkat Mas, siapa tahu penting, speaker saja aku mau dengar apa lagi yang ingin dia bicarakan,” celetuk Susi.“Iya, Dek!”[Assalamu’alaikum, Mas][Wa’alaikumsalam, Min][Ada apa, Mas? Telepon malam-malam begini?][Min, minta tolong kamu sekarang ke rumah sakit Bakti Husada, Mbakmu mau melahirkan!][Loh kok mendadak Mas, bukannya kehamilan mbak Siska masih delapan bulan lebih ya][Salah perhitungan ternyata Min, usia kandungan istriku sudah sembilan bulan, dia salah lihat di buku KIA nya padahal disitu sudah ditulis][Terus kenapa nggak ke sini saja melahirkan?][Di tempat Bidan Warti? Nggak mau ah, istriku maunya melahirkan di rumah sakit][Terus aku ke sana ngapain, Mas, kan ada kamu suaminya?][Aku minta tolong jaga in sebentar istriku sebentar, aku mau pulang ngambil perlengkapan istriku yang sudah dia siapkan][Biar aku yang ambilkan di rumahmu, nanti aku ke rumah sakit minta kunci rumah dan mengambil perlengkapan mbak Siska][Kamu yang ke rumah dengan kunci rumahku? Nggak mau n
“Ternyata sangat mudah membuat Suratmin masuk lagi diperangkapku. Lebih baik aku pulang istirahat dan tidur sebentar, besok pagi baru aku akan datang ke rumah sakit,” ucapnya dalam hati dengan semangat.“Ngapain balik ke sana, bisa-bisa aku malah nggak bisa tidur , lagian mau tidur di mana coba, hanya bisa mendengar suara rengekan si Siska!”“Maaf ya Sayang aku mau tidur dulu di rumah sudah aku wakilkan dengan saudara kembarku si Suratmin, anggaplah dia suamimu sebentar saja!” ucapnya dalam hati sambil tersenyum.Suratman lalu mengemudikan mobilnya dengan perasaan bahagia, dia tidak peduli dengan istrinya yang berada di rumah sakit.Baginya menunggu di rumah sakit adalah hal yang membosankan dan membuang-buang waktu.Pria tinggi itu selalu memanfaatkan saudara kembarnya jika dalam keadaan mendesak, tetapi Suratmin tetap saja mengalah untuk saudaranya.***Di rumah sakit Bakti Husada ...Suratmin yang tidak tahu rencana busuk dari saudara kembarnya, dia langsung mencari kamar yang dise
“Maksudnya dia nggak ada masalah dengan kandungannya tetapi memilih tinggal di rumah sakit?” tanyanya lagi heran.“Iya, Pak, bahkan suaminya sudah menjadwalkan operasi untuk Ibu Siska tepat jam sembilan pagi, tetapi kata dokter minta tolong dipertimbangkan kembali karena sebenarnya bu Siska itu bisa melahirkan dengan normal,” lanjutnya lagi.“Memang aneh mereka buat apa coba buang-buang uang, tenaga untuk melakukan tindakan operasi!” gerutunya kesal.“Terima kasih informasinya, Sus, kalau begitu saya permisi dulu, tolong jaga sebentar Bu Siska nya, saya panggil suaminya dulu.” Suratmin meminta tolong agar bisa menjaga kakak iparnya selama dia pergi.“Iya nggak apa-apa, Pak,” sahut Suster itu dengan ramah.“Terima kasih, Sus, saya permisi dulu.”“Iya, sama-sama, Pak.Suratmin lalu bergegas pergi ke luar, dia tidak memedulikan lagi kalau sudah tengah malam dan hawa udara dingin menembus kulitnya walaupun sudah memakai jaket tebal.“Keterlaluan sekali si Ratman, aku yang disuruhnya men
“Suratmin ... Suratman!”“Suratman ... Suratmin, kenapa juga sih namanya ndeso banget, bagusan sedikit kenapa, Fahad dan Farhan kek, Samuel dan Smith kek yang bule-bule dikit gitu!”“Ngidam apa sih orang tuanya dulu, nggak ke pikiran kali kalau anak-anaknya nggak malu gitu punya nama ndeso banget, untungnya mas Ratman ganteng, tinggi, putih dan yang paling utama adalah tajir.“Nggak sia-sia sih punya suami ganteng gitu tetapi kan Mas Ratman kalau di panggil di kantor sepertinya bukan Suratman deh, siapa ya aku lupa juga nanti deh aku tanya dulu ...Namun, pikirannya selalu tertuju oleh pria yang berkulit hitam manis itu yang bernama Suratmin. Wanita seksi itu pun membayangkan kembali saat di sentuh pertama kalinya olehnya Suratmin, entah kenapa saat melihat otot kekarnya dan mampu menggendong dirinya membuat hatinya deg-deg ser.“Ih ... aku kenapa ini kok malah si hitam manis sih yang aku pikirkan bukan si putih, ada apa ini?”“Duh sadar Siska, sadar!”“Dia itu adik iparmu, bukan sua