Senja tertegun saat ia melihat sekilas nama ID yang tertera di layar ponsel Arya sebelum pria itu mematikan panggilan.'Iparku yang Menyebalkan!'Sontak, jantungnya berdegup liar, hanya saja kali ini bukan dikarenakan kabut gairah, melainkan rasa takut dan kekhawatiran.Ipar? Itu berarti suaminya Kelam. Apakah itu Dirga? Senja terbelalak, ia menggeleng. Jadi, yang menelepon Arya sejak tadi adalah Dirga? Apakah ia tahu perbuatan mereka?"Mas Arya!" panggil Senja setengah berteriak, padahal Arya masih berada dua langkah dari ranjang, sedang memakai kembali setelannya yang sempat tanggal.Arya mengernyit melihat ekspresi cemas Senja, "kau kenapa, Pendek?""I-itu ..." tunjuknya pada ponsel Arya yang nangkring di dalam saku kemeja.Arya mengikuti arah telunjuk Senja, "ponselku? Ada apa dengan ponselku?""Jadi, tadi itu Mas Dirga ya?"Arya semakin mengerutkan dahi, ia tidak mengerti. "Dirga?""Maaf, aku tidak sengaja melihat nama si pemanggil tadi. Ipar yang menyebalkan. Mas Dirga. Suami Mb
Tangan itu terasa membara di permukaan kulit, menyusup ke balik blouse, berputar-putar di sana. Sedangkan bibirnya dilumat oleh bibir pria yang menindih tubuhnya.Senja tak berdaya menghadapi perlakuan ini, hatinya berteriak, menyuruhnya berhenti tapi tubuhnya seolah menyambut perlakuan pria itu."Pendek, aku menginginkanmu."Suara rendah Arya membuat tubuh Senja menggigil oleh gairah, otaknya seolah kosong, tiada jawaban untuk sekedar menimpali atau pun menolak tawaran dari Arya. Hanya nafsu pekat yang mencengkeram, mengambil alih hampir sebagian logika berpikirnya."M-mas Arya." Senja menelan ludah kepayahan saat melihat Arya melepas kancing kemejanya satu persatu. Dada bidang dan perut berotot pria itu membuat darah Senja berdesir hebat. Senja membasahi kedua bibirnya, napasnya terasa berat. Ia mengulurkan telapak tangan, menyentuh perut Arya. Sontak kedua mata Senja terpejam, seiring irama jantungnya yang kian berdebar. Jari-jarinya bergetar pelan menelusuri tubuh berotot Arya, d
Klik.Tubuh Senja sempat terhuyung ke belakang ketika pintu suite mendadak terbuka. Beruntung, Arya mendekap pinggangnya erat, mencegahnya terjerembab. Tautan bibir mereka pun terpaksa terputus."Apa yang kalian lakukan di depan pintu kamarku?!”Seorang wanita berambut sebahu muncul dari balik pintu. Wanita yang hendak Senja temui. Istri dari Kakaknya, Rona.Spontan, Senja mendorong tubuh Arya menjauh, ia berbalik, menyapa Rona dengan gugup. "H-hai, Mbak Rona ..."Arya buru-buru tersenyum dan mengangguk sopan, mencoba ramah kepada wanita itu. Benaknya terbersit tanya, mengenai hubungan wanita di suite bernomor 144 ini dengan Senja. Sepertinya, mereka saling mengenal, wajahnya pun terasa familiar bagi Arya."Baiklah, pendek, Mas tunggu di kamar ya?" Kita lanjutkan di sana?"Arya mendekap tubuh Senja, bibirnya mencium lembut bibir Senja. Senja terlena sampai tidak menyadari tangan Arya menelusup masuk ke kantong celananya, mengambil kartu suite yang ia kantongi. Arya menunjukan kartu i
Senja berdiri di depan pintu suite 144. Jantungnya berdetak tak karuan. Di tangannya, cincin emas yang Rona tinggalkan tergenggam erat. Hatinya terombang-ambing antara rasa bersalah dan tekad untuk melakukan hal yang benar.Baru saja sambungan telepon dari Dirga terputus. Suara kakaknya masih menggema di telinganya, begitu keras dan memohon untuk dipahami. Senja sangat menyayangi Dirga, tapi tidak bisa membenarkan keputusan yang diambilnya. Terlebih lagi, orang tua merekalah yang menanamkan ide itu ke kepala sang kakak.Bukan. Bukan karena Senja membela Rona. Ia memang tidak memahami perasaan Rona karena Senja tidak berada di posisi yang sama seperti wanita itu. Ini lebih ke rasa simpati antar sesama wanita. Dan Rona berhak tahu kebenaran ini, meski Dirga melarang. Rona harus tahu bahwa dirinya merupakan orang ketiga dalam kisah Dirga dan Kelam.Tangan Senja terangkat, hendak mengetuk pintu. Namun suara cekikikan menggema dari ujung koridor, membuatnya menoleh.Itu Arya dan LisetteMe
Dirga terdiam. Pertanyaan Senja menggantung di udara. Topik tentang Surya selalu menjadi jurang di antara mereka. Bukan karena Dirga membenci Surya tanpa sebab -justru sebaliknya. Tapi ia tahu, adiknya yang sudah buta oleh cinta tak akan pernah mau mendengar celaan tentang pria itu."Dek… Mas cuma nggak mau kamu terluka. Itu saja."Senja lahir dan besar dalam hidup yang nyaris sempurna. Keluarga kaya, lingkungan positif, wajah cantik, sifat ramah. Kaum Adam begitu mengaguminya, kaum Hawa tak pernah membencinya. Keluarga selalu memanjakannya, tapi juga mendidiknya menjadi seseorang yang santun dan beretika. Tapi ada satu celah dalam diri Senja yang sulit diterima Dirga, ia terlalu keras kepala dalam urusan cinta.Surya bagi Senja adalah segalanya. Cahaya. Nafas. Tujuan hidup. Tidak mengapa jika semua itu terbalas, tapi bagaimana kalau Senja bukan tempat tujuan terakhir Surya? Inilah ketakutan terbesar Dirga."Baiklah!" Dirga akhirnya mengalah. Percuma juga berdebat dengan seseorang yan
"Dirga menikahiku secara sah, baik agama maupun negara sejak tujuh tahun silam!"Hening hadir di antara mereka, menyambut sunyi yang memekakan telinga. Hanya keterkejutan dan rasa terhinalah yang mampu tergambar dari wajah keduanya. Hal ini berlangsung beberapa saat. Rona terus menangis dalam diam. Tangisan itu merupakan bentuk pelampiasan amarah, pun rasa sakit karena dihina -oleh Adik kandung dari suaminya sendiri. Sedangkan Senja, ia tidak tahu harus bereaksi bagaimana.Senja bukanlah orang yang tidak peka atau seorang antagonis. Ia memahami arti luka dalam sorot Rona, sebuah perasaan tidak diterima akan sebuah hinaan. Apakah dirinya sudah keterlaluan? Ia tidak bermaksud bertindak demikian, ia hanya ingin Kelam mendapatkan keadilan atas pengorbanannya selama lima belas tahun."Kau hadir di antara mereka," ucap Senja memecah keheningan.Suaranya terdengar lirih di penghujung kalimat. Sebersit sesal menyusup. Senja dididik oleh Kakek Neneknya untuk menjadi orang yang bijaksana, tidak