Bab 48: Bersama Lucious
Aku pun menoleh, Ya Allah.., aku terkejut setengah mati. Rasanya, rasanya.., aku kena stroke ringan! Karena tepat di situ, dalam jarak lebih kurang enam meter dariku, ada Lo Rena yang tengah dikelilingi beberapa ibu-ibu penggawa Benua Trada Group.
Dia! Iya, benar, Lo Rena alias Lucious Renata yang memanggilku barusan!
Sungguh tak kuduga, dan aku pun tadi luput memperhatikannya. Lucious Renata rupanya sedang berdiri tak jauh dari deretan stand makanan, sedang berbincang-bincang dan bersenda gurau, bersama wanita-wanita yang tentu saja berasal dari strata ekonomi kelas atas.
Aku, dengan tinggi badan 190 sentimeter ini, tentu menarik perhatian orang-orang yang sengaja atau tidak sengaja melihatku. Maka mungkin begitulah, secara tak sengaja Lo Rena melihatku yang tengah mendorong boks samp
Bab 49:Itunya Itu Hari sudah lewat maghrib, dan kota Bandar Baru sudah sempurna gelap. Kerja ekstra yang aku lakoni di Benua Trada pasca anniversary tadi ternyata tidak membuat aku lelah yang berlebihan. Aku merasa masih memiliki cadangan tenaga dan juga semangat. Sehingga kayuhan sepedaku tetap terasa ringan saja, meskipun aku menggunakan setelan gigi yang kecil, alias berat.Semua rasa ringan ini mungkin karena hatiku yang sedang senang sekarang. Syukurlah aku mendapat sedikit uang dari kerja lemburku di hari Sabtu ini. Uang yang diberi oleh pihak panitia anniversary Benua Trada, yang tadi disampaikan melalui tangan Ibu Kemas.Dengan uang ini, aku bisa membeli nasi bungkus dengan lauk yang lumayan enak, porsi dobel. Satu lagi, jangan lupa, membeli pulsa dan paket inte
Bab 50:Lamunan di Kamar Mandi Joyce Angelique berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya. Entah mengapa ia merasa gelisah sejak pulang dari pesta ulang tahun Benua Trada Group. Dalam perjalanan pulang tadi, ia sempat mampir di suatu kafe untuk menemui seorang sahabat lama. Namun, tidak ada satu pun topik perbincangan dengan sahabatnya itu yang menarik minatnya. Ia lebih banyak berdiam diri, dan pikirannya terbang ke sana kemari.Sampai di rumah, begitu ia keluar dari mobilnya segera disambut oleh Si Manis, kucing kesayangan yang namanya pernah ia palsukan dengan nama ‘Joko’.“Joko! Jangan ganggu saya dulu ya!”Dia palsukan lagi!&
Bab 51:Wanita dalam Telepon “To the point saja, Lex,” kataku. “Jangan mencla-mencle begini.”“Kasih tahu tidak, yaaaa?”“Lex, kamu ini niat nelepon tidak sih?”“Kenapa?”“Kamu mau ngasih tahu apa?”“Resti, Ko, Resti!”“Resti?” Aku langsung antusias. “Maksud kamu, Si Resti anaknya Tante Resmi? Pemilik kontrakan yang kamu tempati?”“Yo’i, itu dia.”“Ada apa dengan dia?”“Dia sudah putus dari pacarnya, Ko.”Sebenarnya, aku ingin menyahut dengan, “So, apa hubungannya dengan aku?” Akan tetapi, tentu saja tidak etis, bukan? Ini Alex lho, sahabat baikku, sahabat karib yang telah banyak menolong aku selama ini, seorang kawan yang seumur-umur belum pernah merasakan pacaran!
Bab 52:Bibit Cinta yang Bertunas Dan, surprised-nya aku, karena yang menelepon aku sekarang ini adalah…, Jus Mengkudu! Alias Joyce Angelique si manajer kalajengking itu!Huh, mengganggu saja, gerutuku dalam hati. Biarkan saja, aku tidak ingin mengangkatnya, dan aku tidak perlu me-reject-nya. Aku biarkan saja Si Jus Mengkudu itu bolak-balik meneleponku dan aku tetap kembali kepada Alex untuk melanjutkan obrolan. Pada satu detik momen yang kusadari, aku menyesal karena tidak menyetel teleponku supaya hanya bisa menerima satu panggilan saja.Namun, anehnya, aku merasa senang pula dengan setelan ponselku yang begini. Dengan demikian supaya Ibu Joyce bisa terus-terusan meneleponku dan aku tetap tidak mengacuhkannya. 
Bab 53:Laki-laki di Lampu Merah “Mas Joko, aku mendengar desas-desus bahwa ternyata kamu tidak tinggal di Selat Panjang lagi. Ada yang bilang kamu sudah lama meninggalkan kota kelahiran kita. Dan masih menurut desas-desus yang aku dengar, kamu pergi merantau jauh, ke manaaa..gitu ya. Entah Kalimantan entah Papua.”“Syukurlah. Itu artinya, kans aku bertemu dengan kamu lagi akan semakin kecil pula. Bahkan, nihil. Aku tahu, Mas. Kamu pasti malu, kan? Kamu pasti tidak tahu di mana mau menaruh muka kamu itu? Iya, kan?”“Itulah akibatnya kalau kamu menomorsatukan nafsu di atas segalanya! Sudah jelas ada aku yang suka kamu, eeeh.., kamunya malah memilih ibuku. Main paksa pula tuh! Gilak enggak, tuh? Ya gilaklah!” 
Bab 54:Bayangan Cinta Minggu pagi, di teras kamar kosku. Aku mengelus-elus dan mengelap-elap sepedaku dengan khusyuk. Aku menikmati betul proses ini seiring rasa syukurku memiliki sepeda, alat “pemanjang langkah kaki” yang bahkan tak pernah terpikirkan aku bisa memiliki dengan merek ternama dan berharga mahal ini. Beruntunglah aku yang pernah membantu seorang staf Benua Trada waktu boyongan pindah rumah, dan menghadiahi aku sepeda yang sudah tidak pernah ia pakai lagi, komplit dengan segala asesoris dan perlengkapannya.Aku mengambil kain lap dan cairan pengilap cat, lalu menggosok-gosokkannya ke sepedaku untuk membuatnya kinclong. Beres dengan sepeda, aku juga membersihkan helm dan mengilapkannya lagi dengan cairan pembersih. Sembari melakukan aktifitas ini, aku membawa pikiranku berkelana.Dugaanku dulu te
Bab 55:Yana Cemburu Betapa terkejutnya aku saat menyadari ada sesosok wanita di belakangku, dan bayangannya terpantul pada kaca di depanku!Sontak saja aku segera berbalik, dan mendapati Yana yang sedang berdiri sembari bersedekap. Aku lihat, tangan kanannya yang terlipat di dada itu sedang memegangi ponselnya sendiri.“Hemmh, ternyata kamu, Yan,” kataku serentak lega. “Aku kira siapa tadi.”Yana tidak bereaksi dengan kata-kataku barusan. Beberapa saat ia terus memandangi aku dengan sorot yang sekarang begitu sulit untuk aku artikan. Wajahnya tampak sedikit masam, seperti sedang kesal, atau seperti baru menjalani hari pertama dari tujuh hari masa haidnya.&n
Bab 56:Menuk Juga Cemburu Tiba-tiba saja Yana menolehkan lagi wajahnya ke arahku, lalu dengan sedikit histeris ia pun membentak.“Iya!”Sontak saja aku langsung terbungkam. Aku seperti mendapat kejutan listrik yang membuatku tidak tahu harus berkata dan berbuat apa. Beberapa detik aku tetap terpaku dengan mulut setengah terbuka, menatap Yana dengan pandangan ragu antara mimpi dan nyata.Untungnya, Yana menolongku dengan segera membalikkan badan, lantas meninggalkan aku begitu saja. Langkah kakinya yang tergesa-gesa menciptakan sebuah suara yang semakin jauh. Tetapi, ritmenya menggema di dalam hatiku yang selama ini sepi dan sunyi.Aku mendesah, sekali menelan ludah, lalu me