Share

7. Jangan Usil

Dengan lembut Quin membersihkan darah di pipi Sena dengan tisu basah. Itu bukan darah Sena. Itu adalah darah dari pria yang Quin pukuli. Darah itu ikut menempel saat Quin menampar Sena. Sebuah tamparan hasil dari luapan emosi Quin karena Sena yang dia pikir terlalu usil.

“Pasti sakit,” gumam Quin. Dia membelai puncak kepala Sena. “Ini akibat karena kamu terlalu usil. Kamu harus diberi hukuman berat, Sena. Aku sebenarnya nggak mau nampar kamu, tapi kamu sudah melewati batas.”

Quin masih tidak habis pikir, gadis yang ada di hadapannya, berani masuk ke rumahnya tanpa izin. Terutama saat Quin tahu alasan kedatangan Sena. Memang terkadang datang di tempat yang salah di waktu yang tidak tepat, bisa berakibat fatal. Seperti yang akan Sena terima.

Anak buah Quin bukannya tidak tahu jika ada layang-layang yang bertamu di rumah itu. Mereka hanya mengabaikannya. Hal seperti itu sudah sering terjadi, mengingat rumah Quin yang sangat besar. Hanya saja, ada hal penting yang tengah mereka lakukan dan tidak pernah ada satupun orang yang berani masuk untuk sekadar mengambil layang-layang. Apalagi jika orang itu tahu ada banyak pengawal di rumah itu.

Benar apa yang dikatakan anak yang meminta Sena untuk mengambilkan layang-layang. Seluruh pengawal memang meninggalkan pos tempat mereka berjaga atas suruhan Quin. Mereka berkumpul di samping rumah dengan Sekretaris An yang menyeret seseorang.

Awal kedatangannya, orang yang Sekretaris An seret, masih baik-baik saja. Orang itu sama sekali tidak melawan karena sudah terlanjur takut melihat orang-orang yang Sekretaris An bawa. Hanya saja orang itu sama sekali tidak menduga, Quin akan memukulinya tanpa henti.

Wigar yang pada dasarnya tahu tindak tanduk istrinya, juga tahu saat orang yang istrinya bawa, telah ditangkap oleh Sekretaris An. Dia yang memang kebetulan masih ada di Semarang, segera meluncur ke rumah yang memang dia bangun untuk Quin.

Quin bersama ayahnya tiba di samping rumah. Baru datang saja, dia sudah menginjak tangan orang yang tidak diketahui namanya oleh Quin. Quin hanya tahu, orang itu beberapa hari yang lalu sempat berniat menabrak mobil Quin dengan truk besar. Walau diseting senatural mungkin, tapi Quin tahu, nyawanya sedang dalam incaran seseorang.

“Ma—maafkan saya, Tuan,” pinta orang itu dengan menahan sakit dari tangannya. Quin yang mendengar itu, tertawa sinis dengan masih menginjakkan kakinya di tangan orang itu.

“Jangan terlalu keras, Quin. Kita punya hukum.”

“Hukum?” Quin tertawa. Memang kita punya hukum, tapi bagi Quin, hukum hanya berpihak pada orang yang berkuasa dan status Quin saja tidak jelas. Bagaimana bisa dia melawan istri ayahnya dengan jalur hukum? Bahkan di antara pengawal yang selama ini menjaganya, hanya ada dua tiga orang saja yang setia pada Quin. Sisanya tidak benar-benar tunduk pada Quin. Mereka hanya menurut perkataan Wigar saja.

“Aku masih mampu menghukum orang,” ucap Quin seraya menendang orang itu dengan kuat. Tubuh orang itu terpental ke belakang.

Wigar menghela napas seraya membuang muka. Hal seperti ini pernah terjadi, ketika Quin masih tinggal di Amerika. Istri Wigar pernah membayar orang untuk menyusup ke rumah Quin dan membunuh Quin. Tidak sia-sia Quin berlatih bela diri. Dia mampu melawan orang itu dan pada akhirnya orang itu lah yang berakhir dengan tragis. Andai saat itu Wigar tidak datang dan menolong orang itu, mungking orang itu tidak akan selamat.

Quin tiba-tiba menjulurkan tangannya ke samping. Seseorang menyerahkan kayu pada Quin dan detik berikutnya Quin menghujani orang itu dengan pukulan. Tidak ada satupun orang yang berani membantu orang itu. Semuanya hanya diam menonton. Wigar pun hanya diam. Sampai akhirnya Sena datang.

Quin sama sekali tidak pernah menduga, gadis itu akan ada di sana, duduk dengan wajah ketakutan. Lancang! Hanya kata itu yang ada di pikiran Quin hingga dia memutuskan untuk menampar Sena.

Dengan tangan yang penuh dengan darah karena Quin tak hanya memukuli orang itu dengan kayu, tapi juga dengan tangannya sendiri, dia mengangkat tubuh Sena, membawanya ke dalam salah satu kamar yang ada di lantai empat. Tepatnya kamar yang berada persis di samping kamarnya.

Quin membasuh tangannya yang dipenuhi dengan darah. Dia sepertinya terlalu kuat saat memegang kayu hingga telapak tangannya juga ikut tergores di beberapa bagian. Hanya goresan kecil. Sama sekali bukan masalah. Yang terpenting saat ini Quin sudah meluapkan emosinya.

Beberapa pengawal membawa orang itu ke sebuah rumah untuk diobati. Wigar tentu tidak mungkin membiarkan ada hal kecil yang membuat namanya tercoreng. Separah apapun luka yang diderita orang itu, dia akan menyelamatkannya.

Beberapa pengawal lain, menemukan anak yang datang bersama Sena. Anak itu dihadapkan pada Quin. Sama seperti Sena, anak itu pun tampak ketakutan. Jelas, yang menyeretkan orang-orang berbadan besar.

“Jangan takut. Aku bukan orang jahat,” kata Quin sambil tersenyum. Walau Quin bisa begitu keras pada orang yang memang bersalah, tapi dia juga bisa bersikap santai pada anak-anak.

“Kakak yang tadi di mana?” tanya anak kecil itu dengan nada ragu.

“Oh, kakak itu? Kakak itu ada di kamarnya.”

“Ka—kamarnya?”

“Iya, kamarnya.”

“Emangnya kakak itu tinggal di sini?”

Quin mengangguk-angguk.

“Iya, kakak itu tingal di sini.”

Anak kecil itu tampak tidak percaya dengan ucapan Quin.

“Nggak percaya? Mau lihat sendiri? Kakak itu lagi tidur.”

Ucapan Quin semakin membuat anak itu tidak percaya. Bagaimana mungkin Sena tidur padahal Sena berniat mengambilkan anak itu layang-layang?

“Ayo, kalau mau ikut.”

Anak itu dengan cepat menggeleng. Masuk ke ruang tamu saja anak itu sudah ketakutan, apalagi kalau masuk ke dalam kamar. Dia dan teman-temannya termasuk salah satu anak yang menganggap rumah ini sebagai rumah hantu.

“Percaya.”

Tidak lama, anak buah Quin datang dengan membawakan sebuah layang-layang. Anak itu tampak senang, tapi saat melihat wajah Quin, tubuhnya kembali mengerut.

“Ambil aja. Itu memang punya kamu, kan?”

Anak itu mengangguk kecil.

“Ambil dan segera pulang ke rumah. Jangan bilang sama siapapun kalau kamu pernah masuk ke rumah ini.”

“I—iya. Aku nggak akan bilang ke siapapun.”

“Anak pintar.”

Quin membiarkan anak itu keluar. Setelahnya, dia kembali ke kamar Sena, berharap gadis itu sudah terbangun. Namun, Sena masih larut dalam tidurnya.

“Sena?” bisik Quin. Dia kembali duduk di samping Sena. Tatapannya tampak jatuh pada bibir mungil Sena. Diusapnya bibir itu perlahan sebelum dia mendekatkan wajahnya ke arah Sena. Sangat dekat sebelum akhirnya bibir Quin menyentuh lembut bibir Sena. Hanya sentuhan kecil, tapi cukup membuat Quin tersenyum.

“Sena?” Quin kembali berbisik. Kali ini dia mencium pelan telinga Sena. “Sena yang usil, bangunlah.”

Dan gadis itu pun terbangun. Sudut bibir Quin terangkat saat melihat Sena yang mengerjapkan mata dengan cepat. Sepertinya gadis itu masih belum sadar, bahwa ada Quin di sampingnya.

Quin meraih wajah Sena dan membuat gadis itu menatapnya. Bola mata Sena seketika melebar. Quin terlalu dekat. Dia sampai bisa merasakan hembusan napas Quin.

“Sena, putri tidur yang usil.”

Seringai Quin membuat Sena sadar, bahwa dia tidak sedang bermimpi. Dia memang ada di sarang singa dan bahkan kini dia sedang ada dalam cengkraman singa. Yang menanti Sena hanyalah dua hal. Mendapat terkaman dari singa yang membuat dia menghilang untuk selama-lamanya atau mendapatkan cabikan yang sakitnya bertahan lama. Atau lebih jelasnya, pilihannya hanya Quin akan membunuhnya atau membuat Sena menderita untuk selama-lamanya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status