Dengan lembut Quin membersihkan darah di pipi Sena dengan tisu basah. Itu bukan darah Sena. Itu adalah darah dari pria yang Quin pukuli. Darah itu ikut menempel saat Quin menampar Sena. Sebuah tamparan hasil dari luapan emosi Quin karena Sena yang dia pikir terlalu usil.
“Pasti sakit,” gumam Quin. Dia membelai puncak kepala Sena. “Ini akibat karena kamu terlalu usil. Kamu harus diberi hukuman berat, Sena. Aku sebenarnya nggak mau nampar kamu, tapi kamu sudah melewati batas.”
Quin masih tidak habis pikir, gadis yang ada di hadapannya, berani masuk ke rumahnya tanpa izin. Terutama saat Quin tahu alasan kedatangan Sena. Memang terkadang datang di tempat yang salah di waktu yang tidak tepat, bisa berakibat fatal. Seperti yang akan Sena terima.
Anak buah Quin bukannya tidak tahu jika ada layang-layang yang bertamu di rumah itu. Mereka hanya mengabaikannya. Hal seperti itu sudah sering terjadi, mengingat rumah Quin yang sangat besar. Hanya saja, ada hal penting yang tengah mereka lakukan dan tidak pernah ada satupun orang yang berani masuk untuk sekadar mengambil layang-layang. Apalagi jika orang itu tahu ada banyak pengawal di rumah itu.
Benar apa yang dikatakan anak yang meminta Sena untuk mengambilkan layang-layang. Seluruh pengawal memang meninggalkan pos tempat mereka berjaga atas suruhan Quin. Mereka berkumpul di samping rumah dengan Sekretaris An yang menyeret seseorang.
Awal kedatangannya, orang yang Sekretaris An seret, masih baik-baik saja. Orang itu sama sekali tidak melawan karena sudah terlanjur takut melihat orang-orang yang Sekretaris An bawa. Hanya saja orang itu sama sekali tidak menduga, Quin akan memukulinya tanpa henti.
Wigar yang pada dasarnya tahu tindak tanduk istrinya, juga tahu saat orang yang istrinya bawa, telah ditangkap oleh Sekretaris An. Dia yang memang kebetulan masih ada di Semarang, segera meluncur ke rumah yang memang dia bangun untuk Quin.
Quin bersama ayahnya tiba di samping rumah. Baru datang saja, dia sudah menginjak tangan orang yang tidak diketahui namanya oleh Quin. Quin hanya tahu, orang itu beberapa hari yang lalu sempat berniat menabrak mobil Quin dengan truk besar. Walau diseting senatural mungkin, tapi Quin tahu, nyawanya sedang dalam incaran seseorang.
“Ma—maafkan saya, Tuan,” pinta orang itu dengan menahan sakit dari tangannya. Quin yang mendengar itu, tertawa sinis dengan masih menginjakkan kakinya di tangan orang itu.
“Jangan terlalu keras, Quin. Kita punya hukum.”
“Hukum?” Quin tertawa. Memang kita punya hukum, tapi bagi Quin, hukum hanya berpihak pada orang yang berkuasa dan status Quin saja tidak jelas. Bagaimana bisa dia melawan istri ayahnya dengan jalur hukum? Bahkan di antara pengawal yang selama ini menjaganya, hanya ada dua tiga orang saja yang setia pada Quin. Sisanya tidak benar-benar tunduk pada Quin. Mereka hanya menurut perkataan Wigar saja.
“Aku masih mampu menghukum orang,” ucap Quin seraya menendang orang itu dengan kuat. Tubuh orang itu terpental ke belakang.
Wigar menghela napas seraya membuang muka. Hal seperti ini pernah terjadi, ketika Quin masih tinggal di Amerika. Istri Wigar pernah membayar orang untuk menyusup ke rumah Quin dan membunuh Quin. Tidak sia-sia Quin berlatih bela diri. Dia mampu melawan orang itu dan pada akhirnya orang itu lah yang berakhir dengan tragis. Andai saat itu Wigar tidak datang dan menolong orang itu, mungking orang itu tidak akan selamat.
Quin tiba-tiba menjulurkan tangannya ke samping. Seseorang menyerahkan kayu pada Quin dan detik berikutnya Quin menghujani orang itu dengan pukulan. Tidak ada satupun orang yang berani membantu orang itu. Semuanya hanya diam menonton. Wigar pun hanya diam. Sampai akhirnya Sena datang.
Quin sama sekali tidak pernah menduga, gadis itu akan ada di sana, duduk dengan wajah ketakutan. Lancang! Hanya kata itu yang ada di pikiran Quin hingga dia memutuskan untuk menampar Sena.
Dengan tangan yang penuh dengan darah karena Quin tak hanya memukuli orang itu dengan kayu, tapi juga dengan tangannya sendiri, dia mengangkat tubuh Sena, membawanya ke dalam salah satu kamar yang ada di lantai empat. Tepatnya kamar yang berada persis di samping kamarnya.
Quin membasuh tangannya yang dipenuhi dengan darah. Dia sepertinya terlalu kuat saat memegang kayu hingga telapak tangannya juga ikut tergores di beberapa bagian. Hanya goresan kecil. Sama sekali bukan masalah. Yang terpenting saat ini Quin sudah meluapkan emosinya.
Beberapa pengawal membawa orang itu ke sebuah rumah untuk diobati. Wigar tentu tidak mungkin membiarkan ada hal kecil yang membuat namanya tercoreng. Separah apapun luka yang diderita orang itu, dia akan menyelamatkannya.
Beberapa pengawal lain, menemukan anak yang datang bersama Sena. Anak itu dihadapkan pada Quin. Sama seperti Sena, anak itu pun tampak ketakutan. Jelas, yang menyeretkan orang-orang berbadan besar.
“Jangan takut. Aku bukan orang jahat,” kata Quin sambil tersenyum. Walau Quin bisa begitu keras pada orang yang memang bersalah, tapi dia juga bisa bersikap santai pada anak-anak.
“Kakak yang tadi di mana?” tanya anak kecil itu dengan nada ragu.
“Oh, kakak itu? Kakak itu ada di kamarnya.”
“Ka—kamarnya?”
“Iya, kamarnya.”
“Emangnya kakak itu tinggal di sini?”
Quin mengangguk-angguk.
“Iya, kakak itu tingal di sini.”
Anak kecil itu tampak tidak percaya dengan ucapan Quin.
“Nggak percaya? Mau lihat sendiri? Kakak itu lagi tidur.”
Ucapan Quin semakin membuat anak itu tidak percaya. Bagaimana mungkin Sena tidur padahal Sena berniat mengambilkan anak itu layang-layang?
“Ayo, kalau mau ikut.”
Anak itu dengan cepat menggeleng. Masuk ke ruang tamu saja anak itu sudah ketakutan, apalagi kalau masuk ke dalam kamar. Dia dan teman-temannya termasuk salah satu anak yang menganggap rumah ini sebagai rumah hantu.
“Percaya.”
Tidak lama, anak buah Quin datang dengan membawakan sebuah layang-layang. Anak itu tampak senang, tapi saat melihat wajah Quin, tubuhnya kembali mengerut.
“Ambil aja. Itu memang punya kamu, kan?”
Anak itu mengangguk kecil.
“Ambil dan segera pulang ke rumah. Jangan bilang sama siapapun kalau kamu pernah masuk ke rumah ini.”
“I—iya. Aku nggak akan bilang ke siapapun.”
“Anak pintar.”
Quin membiarkan anak itu keluar. Setelahnya, dia kembali ke kamar Sena, berharap gadis itu sudah terbangun. Namun, Sena masih larut dalam tidurnya.
“Sena?” bisik Quin. Dia kembali duduk di samping Sena. Tatapannya tampak jatuh pada bibir mungil Sena. Diusapnya bibir itu perlahan sebelum dia mendekatkan wajahnya ke arah Sena. Sangat dekat sebelum akhirnya bibir Quin menyentuh lembut bibir Sena. Hanya sentuhan kecil, tapi cukup membuat Quin tersenyum.
“Sena?” Quin kembali berbisik. Kali ini dia mencium pelan telinga Sena. “Sena yang usil, bangunlah.”
Dan gadis itu pun terbangun. Sudut bibir Quin terangkat saat melihat Sena yang mengerjapkan mata dengan cepat. Sepertinya gadis itu masih belum sadar, bahwa ada Quin di sampingnya.
Quin meraih wajah Sena dan membuat gadis itu menatapnya. Bola mata Sena seketika melebar. Quin terlalu dekat. Dia sampai bisa merasakan hembusan napas Quin.
“Sena, putri tidur yang usil.”
Seringai Quin membuat Sena sadar, bahwa dia tidak sedang bermimpi. Dia memang ada di sarang singa dan bahkan kini dia sedang ada dalam cengkraman singa. Yang menanti Sena hanyalah dua hal. Mendapat terkaman dari singa yang membuat dia menghilang untuk selama-lamanya atau mendapatkan cabikan yang sakitnya bertahan lama. Atau lebih jelasnya, pilihannya hanya Quin akan membunuhnya atau membuat Sena menderita untuk selama-lamanya.
***
Sena menjerit sejadi-jadinya hingga membuat Quin menjauh sambil menutup telinga. Sungguh, teriakan Sena sangat memekakkan telingat. Umumnya Quin akan marah karena ada orang yang berani meneriakinya, tapi dia justru tertawa. Tawa yang terlihat menakutkan bagi Sena. Sena beringsut menjauh hingga berada di ujung kasur. Tubuhnya bersandar pada dinding dengan lengan memeluk kakinya yang terlipat. Sorot matanya tak pernah lepas dari Quin, berjaga-jaga agar laki-laki itu tidak melakukan hal yang membahayakan hidup Sena. Masih ingat dengan jelas di otak Sena, bagaimana menakutkannya Quin saat memukuli orang yang bahkan sudah tak berdaya. Lalu, Quin juga tanpa ragu menamparnya. Sebuah tamparan yang baru pertama kali Sena rasakan. Tamparan yang juga menghapus semua harapannya pada Quin, harapan bahwa Quin tidak mungkin memukul wanita. Memang benar apa kata ibu, bahwa tidak seharusnya kita berharap pada seseorang. Berharap pada seseorang hanya akan memberi kita kekecewa
Sena mendudukkan dirinya di lantai. Tubuhnya kembali terasa lemah. Pikirannya kosong, tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Apa dia sekarang benar-benar tidak bisa keluar dari rumah ini? Kenapa? Kenapa dia harus tidak bisa keluar dari rumah ini? Memang apa yang terjadi dan apa kesalahannya terlalu fatal hingga Quin mengurungnya? Ah, apa karena Quin takut Sena akan lapor pada orang-orang bahwa Quin adalah anak Calon Presiden Wigar? Atau karena Sena melihat Quin memukuli orang hingga hampir meninggal? Entah sekarang orang itu sudah benar-benar meninggal atau justru mendapat pertolongan segera? Tidak peduli! Sena tidak mau peduli pada orang itu karena nasibnya sendiri saja masih tidak jelas. Sena menatap handle pintu. Selama beberapa saat dia cuma menatap handle itu sebelum akhirnya dia berdiri dan berusaha membuka pintu. Digedornya pintu itu dengan keras sambil berteriak minta pertolongan. Namun, sekeras apapun Sena berusaha, tidak ada tanda-tanda kalau akan
Sena meringis saat kapas yang sudah diberi alkohol menyentuh permukaan telapak kakinya yang terluka. Siapa yang sangka, Quin yang sebelumnya menampar dan membentak Sena, justru kini berjongkok untuk membersihkan luka Sena.“Bandel sekali kamu,” gumam Quin.Sebelum Quin bertindak bak pangeran yang menyelamatkan putri idamannya, Sena kembali merasakan panasnya tamparan di pipinya. Quin sepertinya gemas karena Sena tak mau mendengarkan perintahnya dan tetap membersihkan pecahan kaca tanpa peduli kakinya menginjak pecahan kaca juga.Dengan gerakan cepat, Quin menarik tangan Sena agar menjauh dari lantai yang terkena pecahan kaca. Perih. Sungguh perih kaki Sena, tapi dia sengaja membiarkan kakinya perih. Dia sengaja ingin memindahkan rasa perih di hatinya pada telapak kakinya. Setidaknya luka di telapak kaki lebih mudah diobati dibanding luka di hati. Ah, sudah seperti gadis yang baru patah hati saja dia.“Bodoh ya, Kamu? Lihat darah di kamu. Bodoh!”Sena ta
Sena tertidur! Tepat pukul enam pagi gadis itu baru membuka matanya. Padahal semalam dia hanya pura-pura tidur saja. Hanya agar Quin meninggalkan kamar ini. Namun, dia justru tertidur. Dia bahkan tidak tahu kapan Quin meninggalkannya. Semoga saja Quin tidak melakukan apapun saat Sena tertidur. Sena sedikit merintih saat merasakan sakit di perutnya. Bukan sakit yang berbahaya. Dia hanya lapar. Tidak! Sangat lapar! Seingat Sena, makanan terakhir yang masuk ke perutnya hanya roti dengan cream keju yang dia beli di indomart dan susu coklat yang sengaja dia habiskan karena akan pulang kampung. Setelahnya, tidak ada lagi makanan yang masuk sampai saat ini. Jadi, tidak heran jika kini perut Sena keroncongan. Sena mengelus perutnya. Bodoh! Dia memang bodoh! Di mana-mana orang yang berjuang juga butuh makan! Harusnya dia tidak sok memberontak dengan membuang makanan. Dia melupakan perkataan Maura, bahwa rejeki tidak boleh ditolak. “Terlanjur. Semua sudah terlanjur. Ak
Kamar Sena atau yang lebih tepat disebut sebagai rumah tahanan Sena, kini terasa lebih sesak dengan adanya dua kursi serta satu meja ukuran sedang. Pelayan Quin menyulap sisa ruang kosong di kamar menjadi meja makan untuk Sena dan Quin.Quin duduk dengan menyilangkan kaki. Tak lupa kedua tangannya saling melipat dengan punggung bersandar pada kursi. Cara duduk yang menunjukkan seolah dialah pemimpin di sana. Tidak ada yang boleh melawan perintahnya.Tatapan Sena jatuh pada makanan di atas meja. Perutnya yang sudah keroncongan, memaksanya untuk segera menandaskan semua yang bisa dia makan. Namun, harga diri Sena menuntut untuk tidak gegabah. Terlebih karena saat ini Quin sedang mengamatinya.“Nggak mau makan lagi?” tanya Quin. Dia sendiri hanya menyeruput kopi padahal sebelumnya pria itu mengajaknya untuk sarapan bersama. Apa dia pikir, minum kopi disebut sebagai sarapan?Quin mengambil cangkir berisi café au lait yang artinya kopi susu pahit, jenis minuman tr
Membawa orang lain dalam masalah, itulah yang baru saja Sena lakukan. Tindakan bodohnya yang berteriak pada anak sekolah yang lewat, telah membuat nyawa anak sekolah itu terancam. Kini, anak itu sedang dalam pengejaran pengawal Quin. Hanya tinggal menunggu waktu sampai anak itu tertangkap dan waktunya lebih cepat dari yang Sena bayangkan.Bukan hal yang sulit bagi pengawal Quin untuk menangkap anak itu. Sebagai pengawal terlatih, tentu berlari bukan hal yang sulit untuk mereka. Tenaga mereka bahkan tak mudah habis meski sudah berlari cukup lama.Dengan sedikit menyeret, salah satu pengawal Quin membawa anak itu kembali ke rumah Quin. Anak itu tampak ketakutan. Jelas, siapa yang tidak takut melihat beberapa orang berbadan besar dengan wajah garang, membawanya ke sebuah sarang yang katanya tempat penculikan.“Maaf, Om, saya nggak akan bilang sama siapa-siapa. Maaf, Om, saya nggak tau cewek tadi. Saya janji, aku nggak akan lapor sama siapapun, Om. Tolong, Om, jangan b
Sena merebahkan dirinya setelah mengobati luka di kakinya. Memang lukanya sudah mulai kering, tapi masih sedikit perih jika dipakai untuk jalan. Pandangan Sena jatuh pada langit-langit kamarnya. Bahkan langit-langit kamar ini tampak cantik. Di sekelilingnya ada cahaya lampu dengan warna gradasi hijau biru. Namun, Sena tidak merasa senang sedikitpun. Kalau mau dibandingkan dengan rumah Sena, jelas beda jauh. Kamar Sena hanya berukuran tiga kali tiga meter. Itu pun sudah penuh karena diisi kasur ukuran sedang, meja dan kursi belajar, serta lemari pakaian. Sedang di kamar ini, besarnya sudah seperti tiga kamar di rumah Sena yang dijadikan satu. Tidak peduli! Sena tidak peduli betapa mewahnya kamar dia saat ini. Dari mulai kasur, meja, lemari, bahkan kamar mandinya yang begitu mewah, sama sekali tidak membuat Sena betah. Dia merindukan kamarnya di Pemalang. Dia rindu untuk bercerita banyak hal pada adik laki-lakinya. Dan yang lebih dia rindukan, pelukan ayah dan ibunya.
“Kyaaaaaaaa!!!”Sena menjerit sejadi-jadinya saat mendapati seorang laki-laki tertidur di sampingnya. Tidak! Bukan hanya tidur! Laki-laki itu bahkan dengan sembarangan melingkarkan lengannya pada perut Sena. Tak ayal, Sena menjerit begitu membuka matanya.Seolah merasa tak terganggu dengan jeritan Sena—atau mungki sudah menduga Sena akan menjerit—Quin dengan santainya mengeratkan pelukannya pada Sena. Sama sekali tidak peduli jika gadis itu kini mematung menatap lengan yang seolah sedang menguasainya.Sebagai gadis yang tidak berpengalaman akan hal-hal yang berbau cinta, berpegangan tangan saja sudah menjadi hal yang spesial untuk Sena. Dan kini, ada laki-laki yang dengan kurang ajarnya memeluknya, bahkan tidur di sampingnya! Sungguh gila! Sena bahkan tidak menyadari sejak kapan Quin ada di sampingnya.Seingat Sena, semalam dia langsung tertidur setelah kembali menggalau. Tentunya dia mandi karena tidak ingin disindir-sindir lagi o