Share

Bab 7. Salah Tingkah

Author: Dwi Maula
last update Last Updated: 2025-06-09 17:03:43

"Hari ini, kita ke pesantren menjenguk Abah,” ajak Bagas tiba-tiba. Ia buru-buru menghabiskan sarapan pagi ini.

 

Kebetulan, ia sedang libur. Begitu pula Nilna. Hari ini tidak ada jadwal kuliah untuknya.

 

Gadis itu mengerjap. Memandang lekat sang suami yang berhadapan dengan dirinya. “Kenapa mendadak, Kak?”

 

“Mengunjungi orang tua apa harus melakukan persiapan yang rumit?” seloroh Bagas tajam. Ia menatap sang istri yang sedikit panik.

 

“Ehehe ... tidak, Kak.” Nilna mengusap tengkuk yang terbalut jilbabnya. “Kita ke sana mau ngapain, Kak?” tanya gadis itu takut-takut.

 

“Melatihmu untuk mengajar para santri,” ucap Bagas datar. Kalimat pria itu meluncur dengan mudah.

 

“Uhuk-uhuk.” Nilna tersedak. Ia kaget, gadis labil seperti dirinya merasa tidak pantas mengemban amanah seserius ini.

 

 Tangannya sigap meraih gelas. Ia meminum beberapa teguk air untuk menetralisir rasa gatal di tenggorokan.

 

“Apa? Aku?” tanya Nilna tak percaya. Ia menunjuk diri sendiri dengan telunjuk yang gemetar dan mencebik.

 

“Kak, aku ini orangnya ugal-ugalan. Tahu sendiri, kan? Waktu Aliyah aja sering bolos ngaji.” Nilna belum menyerah untuk mengelak dari perintah sang suami.

 

“Siapkan keperluanmu. Kita berangkat setelah duha.” Bagas melenggang pergi meninggalkan Nilna yang masih bingung.

 

“Aduh, tapi emang harus gini, sih. Sowan sama bapak mertua,” kelakar Nilna. Ia memunguti bekas makan. Sudah menjadi kebiasaan, meski sekarang tersedia asisten rumah tangga.

 

Selang beberapa menit, Bagas telah tampil dengan kemeja biru dan sarung hitam. Tak lupa peci dengan warna senada telah bertengger manis di kepalanya.

 

Mata Nilna  membulat, terkesima dengan penampilan sang suami.

 

Dahi Bagas mengernyit. “Belum siap juga?” desak pria itu tegas. Membuat Nilna gelagapan dan beringsut menuju kamarnya.

 

Perjalanan kali ini dipenuhi sunyi. Di jok belakang, Nilna sibuk menunduk. Sesekali merapikan jilbab, lalu melirik Bagas yang duduk tenang di balik kemudi.

 

Kecepatan mobil berangsur pelan, berbelok memasuki halaman pesantren yang masih asri.

 

Aroma tanah basah dan dedaunan kering menelusup, kesan tak biasa seketika menyergap. Langkah Nilna terasa berat.

 

Bagas berjalan menuntun istrinya dengan tenang. Langkah mereka terhenti. Tepat di depan wanita dewasa yang terbalut gamis dengan anggun.

 

“Oh, jadi ini istri dadakan kamu?” ungkap Salwa, ipar Bagas, dengan tatapan merendahkan. Tatapan wanita itu menyapu Nilna dari atas hingga ke bawah.

 

Nyali gadis itu sedikit redup. Ia sadar, semuanya terpaut jauh dari segi usia, pendidikan, dan status sosial.

 

‘Apa aku bisa berdiri tegak di tengah keluarga sebesar ini?’

 

Bagas melirik sekilas sang istri yang berada di sampingnya. Pria itu memegang tangannya lembut. Ada setitik kehangatan yang menjalar di sela-sela jari mereka.

 

Hati Nilna menghangat. Ia tersentak kecil, mata pun membulat heran. Baru kali ini Bagas mau menggandengnya.

 

“Jangan begitu, Mbak. Kita ini sama. Lagipula, dia ini peraih nilai ujian akhir tertinggi se-provinsi,” tampik Bagas. Ia menatap sang ipar tajam. Tidak peduli lawan bicaranya siapa.

 

Salwa mengangkat wajah. “Tapi itu semua tidak menjamin dia mengerti cara menjadi istri.”

 

Dari kejauhan, Abah Rasyid memperhatikan mereka. Pria bersorban itu mengelus dada.

 

Tidak menyangka, menantu tertuanya yang menyalakan hawa panas. “Ternyata benar, usia dan pendidikan seseorang tidak menjamin semuanya,” gumamnya miris.

 

“Lhoh, lhoh, sudah pada kumpul ternyata,” sambut Abah lembut. Ia berjalan pelan dibantu dengan seorang santri.

 

“Alhamdulillah, Bah.” Zidni, putra pertama Abah melakukan sungkem, diikuti dengan istri dan adiknya. Tak ketinggalan dengan Nilna. Ia juga mengecup tangan Abah tulus.

 

“Kang, buka pintu rumahnya, ya,” titah Abah pada seorang santri. Ia menepuk pundak anak didik itu pelan.

 

“Injih, Bah.” Kang Zaid-santri ndalem pun beringsut mundur. Lalu, mulai membukakan pintu untuk Abah beserta keluarga besar yang kebetulan sedang berkumpul.

 

Abah Rasyid mempersilakan anak-anaknya masuk dan menikmati jamuan. “Ayo, masuk,” ajaknya ramah. Ia masuk dan dibantu oleh Zidni, lalu lainnya mengekor.

 

“Umi, mau itu,” ucap balita berpipi chubby dengan logatnya yang cadel. Ia adalah anak dari Zidni dan Salwa. Dua tangannya telah penuh dengan kue basah yang sukses membuat wajah dan bajunya belepotan.

 

“Cinta, pelan-pelan dong makannya,” sambut Zidni cemas. Kedua tangannya menangkap tubuh mungil Cinta-anaknya.

 

“Sini, Ummi bersihin.” Salwa mengeluarkan tisu dari tasnya. Ia membersihkan wajah sang anak yang penuh dengan coklat.

 

“Lucu sekali, cucu Abah. Sini, nak.” Abah mencoba mendekati sang cucu. Ia mengulurkan tangan. Salwa pun sigap membantu mertuanya.

 

Melihat kehangatan keluarga itu, Nilna tersenyum riang. Kedua sudut bibirnya terangkat. Dalam diam, Bagas memperhatikan istrinya. Namun, tanpa aba-aba Nilna refleks menoleh ke arahnya.

 

Pandangan mereka saling beradu beberapa detik. Bagas gelagapan karena ketahuan mencuri pandang. Pria itu salah tingkah dan berpura-pura menggaruk dan menepuk punggung tangan.

 

Padahal, tidak ada nyamuk yang menggigitnya. Mengetahui tingkah sang suami, Nilna tertawa kecil.

 

Karena merasa ketangkap basah, Bagas mencoba mencari aktivitas lain untuk menetralisir rasa kikuk yang menjalar. Ia menghampiri keponakannya, dan mengajak gadis kecil itu bermain.

 

“Hei, anak gemes,” sapa Bagas antusias. Tangannya mencubit kecil pipi gembil sang keponakan. “Ayo, ikut Om!” Cinta tergelak dan naik ke pangkuan Bagas.

 

Di tengah kehangatan, telah tersaji hidangan lezat. Semangkuk gulai ayam, sepiring bakwan sayur, dan tentunya sebakul nasi putih.

 

Tak lupa sambal dan setoples kerupuk. Ada juga makanan penutup seperti aneka kue dan syrup. Semua anggota menikmati hidangan dengan suka cita.

 

“Nduk Nilna, kapan memberi Abahmu ini cucu?” celetuk Abah tiba-tiba.

 

Nilna terperanjat. Ia gelagapan dan sedikit kesusahan menelan makanan yang baru saja dikunyah.

 

Melihat sang istri gugup, Bagas mencari kalimat yang pas untuk menyanggah perkataan Abah. Ia membenarkan posisi duduk yang kurang nyaman, agar pikirannya dapat bekerja dengan baik.

 

“Maaf, Bah.” Bagas beringsut mendekati sang ayah. Ia merangkulnya dan mencoba bernegosiasi. “Nilna ini sebenarnya belum cukup umur untuk hamil dan melahirkan, apalagi mengurus bayi,” paparnya serius.

 

Abah menyipitkan mata, mencoba menelaah maksud dari perkataan sang putra lebih dalam. Pandangan pria itu beralih pada menantu barunya.

 

“Apa benar begitu, Nduk?” tanya Abah hati-hati.

 

“Inggih, Bah.” Nilna menyunggingkan senyum agar tidak larut dalam kepanikan.

 

 “Nilna juga mau kuliah dulu, Bah. Biar bisa bikin bangga keluarga,” ucap Nilna sopan.

 

Abah manggut-manggut, mencoba memastikan pernikahan anaknya baik-baik saja.

 

“Begini, Bah. Kedatangan saya kemari sebenarnya untuk merangsang ingatan Nilna, agar besok dapat mulai membantu mengajar di sini,” sanggah Bagas runtut, mencoba mengalihkan topik pembicaraan. Meski tujuannya adalah demikian.

 

Abah tersenyum miring. Ia mengerti jika sang putra kurang nyaman dengan topik obrolan saat ini. “Oh, begitu. Bagus-bagus.”

 

Salwa mengernyit, hatinya mencelos ketika mendengar nama adik iparnya diunggul-unggulkan.

 

“Maaf, Bah. Apa tidak terlalu cepat?” sergahnya tak terima. Ia cemburu Nilna mendapat perlakuan dan menerima tugas kehormatan sangat cepat.

 

Sedangkan dirinya, butuh waktu dua tahun hingga mertua dan suaminya menyerahkan tugas kehormatan.

 

“Tidak apa-apa,” tampik Abah santai. Ia meneguk syrup melon sembari menatap menantunya lembut. “Mulai dari tugas paling ringan dulu. Seperti menyimak santri membaca Al-Qur'an.”

 

“Wah, matahari mulai meninggi!” seru Bagas. Matanya menyorot halaman depan yang mulai terlihat panas.

 

Suasana perlahan memghangat. Mereka berpamitan pada Abah. Semua bergiliran bersalaman.

 

“Mbak Salwa,” ujar Nilna ramah. Ia mengulurkan tangannya pada sang ipar. Alih-alih menyambut baik, sang kakak melengos dan membisu.

 

Nilna tersenyum miris, melirik sang suami seolah meminta penjelasan. Apa maksud dari tindakan Salwa.

 

Bagas hanya menatap lurus ke depan. Entah tidak tahu atau memilih diam.

 

Di perjalanan pulang, mereka tenggelam dalam hening. Nilna sibuk dengan isi pikiran yang terasa penuh.

 

Penuh dengan tanya. Tentang dirnya. Tentang Bagas. Tentang Salwa. Tentang pernikahan dadakan ini.

 

‘Apa aku siap melangkah ke dunia yang belum pernah kubayangkan?’

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Mendadak Dinikahi Direktur Syar'i   Bab 37. Belajar Bersama di Antara Kitab

    "Mas .... Kok, nggak panggil aku salat?” Suara lembut itu meluncur sempurna dari mulut Nilna, di ambang pintu. Badannya menyembul tiba-tiba dari pintu kamar yang sedikit terbuka. Bagas tersentak kecil, dan buru-buru menoleh ke sumber suara. “Dek, udah di sini?” tanya lelaki itu, sedikit kaget. Buliran air wudhu masih memenuhi wajahnya. Lengan baju pun masih tergulung sampai siku. Jelas saja, ia baru bersiap untuk salat.Nilna melangkah ragu, mendekati suaminya yang berdiri canggung. “Tadi aku nunggu Mas manggil. Eh, nggak ada panggilan juga. Jadi, aku nyamperin Mas aja,” jelas Nilna, jujur. Jemari kecil itu meremas mukena putih yang membalut tubuhnya, menandakan kegugupan yang sulit disembunyikan.Bagas menghela napas lega. Pikiran tak karuan yang mengganggunya ternyata tidaklah benar. Ia terhenti sejenak. Ada sesak yang berangsur menguap dari dada bidangnya.“Mas kira, Adek masih takut.” Pandangan Bagas turun, menatap balutan mukena yang hanya memperlihatkan telapak kaki kecil istr

  • Mendadak Dinikahi Direktur Syar'i   Bab 36. Takut Diimami

    "Na, masih nunggu Mas Bagas?” Wajah Dafa menyembul dari arah belakang. Membuat Nilna terkesiap dan spontan mengangkat wajah.“Iya.” Nilna menjawab sekenanya. Ia kembali menunduk dan menyibukkan diri dengan menggulir layar ponsel.“Boleh aku duduk di sini?” tanya Dafa hati-hati, menunjuk kursi yang cukup berjarak.“Ini tempat umum, Kak. Nggak usah izin aku.” Suara Nilna terdengar datar, dengan wajah yang masih tenggelam di balik layar ponsel.Dafa menghela napas kasar, lalu duduk perlahan. “Pasti Mas Bagas bangga banget, Na, sama kamu. Istri remajanya udah berhasil naklukin panggung.” Lelaki 20 tahun itu tersenyum hambar, menatap lurus ke depan dengan pandangan menerawang.Nilna meremas ponsel dalam genggaman, lalu melirik lawan bicaranya sekilas. “Itu kuasa Allah. Bahkan aku nggak nyangka bisa melewatinya.”Hening mengambil alih suasana di antara mereka. Hanya suara langkah kaki dan kendaraan dari mahasiswa yang mengisi jarak. “Bisa nggak, sih, kamu nggak ngajak aku ngobrol?” Nilna a

  • Mendadak Dinikahi Direktur Syar'i   Bab 35. Panggung Nilna

    "Kamu lihat, kan, auditorium itu?” Pak Affan tengah berdiri di samping Nilna, tepat sebelum naik tangga, menunjuk beberapa orang yang berderet rapi. Dosen pembimbing itu memberi sokongan dari hati yang paling dalam. “Di sana, duduk orang-orang hebat, yang kadang meragukan kemampuan kita,” lanjut dosen Bahasa Arab itu, dalam. Ia berdiri tegap dengan balutan almamater kebanggaan unversitasnya.“Tapi itu bukan masalah, tugas kita sekarang adalah menunjukkan hal yang terbaik dari kita,” pungkasnya, dengan senyum mengembang. “Iya, Pak. Bismillah,” ucap Nilna, teguh. Hingga akhirnya, Nilna benar-benar berdiri sendiri di atas panggung.“Assalamualaikum warahmatullah wabarakaatuh ....” Ucapan salam itu meluncur tanpa hambatan dari mulut kecil Nilna. Suaranya tenang, tapi menghasilkan getaran yang menarik ratusan orang mengangkat wajah dan fokus ke sumber suara. Mahasiswi itu berdiri tegak, meski ada gugup dan keraguan yang menumpu pada punggungnya.“Waalaikumussalam warahmatullah wabarakaa

  • Mendadak Dinikahi Direktur Syar'i   Bab 34. Membuka Halaman Baru

    “Mas, kenapa, ya .... Semakin aku berusaha keras, semakin keras juga ujian yang datang.” Suara Nilna terdengar serak, dan sangat pelan. Seakan usai berlari di medan yang terjal.Netra perempuan itu memanas. Sebutir air mata masih bersembunyi di balik pelupuknya. Ia menatap lurus ke depan, dengan pandangan menerawang. Kakinya tertekuk, dengan kabut gelap yang sejak siang enggan untuk melunak.Bagas mengangkat wajah, menjeda jemarinya yang sedari tadi lincah menari di keyboard laptop.“Mas juga merasa begitu, Dek.” Bagas menoleh, memandangi istri kecilnya yang terduduk di ujung ranjang.“Tapi, Allah selalu menyiapkan kejutan yang indah di balik itu semua.” Pria itu memilih bangkit, dan mendekati istrinya. Menggenggam tangan kecil itu tanpa ragu, lama. Sisa hujan di siang hari masih membekas di heningnya malam. Meninggalkan aroma tanah dan daun kering yang khas karena digelayuti butiran air.Nilna tersenyum tipis, menatap wajah suaminya yang kini tidak berjarak. “Mas nggak capek?” samb

  • Mendadak Dinikahi Direktur Syar'i   Bab 33. Kenangan yang Tersisa

    "Ya udah, Mas tunggu di balai depan, ya.” Bagas beranjak terlebih dahulu untuk bersiap pamit. Sementara Nilna, ingin ke kamar kecil untuk membersihkan diri.“Iya, Mas. Nanti aku nyusul,” pungkas Nilna, membuka pintu kamar kecil.Langkah kaki Bagas terasa ringan. Embusan angin dari kipas tua yang berderit di sudut balai menerpa senyum teduhnya. Hati pria itu kembali menghangat, dengan untaian kalimat jujur dari Nilna.Tapaknya terhenti tepat di samping sang ayah. “Bah, kok sendirian?” sapanya, pelan.Abah Rasyid terperanjat, lalu menegakkan posisi duduk. “Iya, Mas dan Mbakmu pulang terlebih dulu karena anaknya mulai rewel,” terang pria bersorban itu, dengan suara serak yang khas.Di lantai dapur, Nilna menapakkan kaki bersihnya. Wanita muda itu mematut diri sejenak di depan cermin yang tertaut di lemari tua.“Nilna, kamu masih di sini?” Bayangan Ilham menyembul tanpa permisi di sebelah pantulan wajah Nilna.Nilna terkesiap kaget. “Ilham?” Menantu Abah Rasyid itu memutar tubuhnya cepat,

  • Mendadak Dinikahi Direktur Syar'i    Bab 32. Satu Meja, Dua Bayang

    ‘Kenapa dia muncul bareng sama aku? Apa dia sengaja?’ batin Nilna resah. Ia melirik Bagas sekilas dan semakin bertanya-tanya. ‘Kenapa Mas Bagas kaget juga ngelihat dia?’ “Ilham, ayo, masuk,” titah Abah Rasyid tenang, mempersilakan santri ndalemnya masuk. Nilna meremas ujung jilbab. Wanita itu tertunduk dalam, menghindari tatapan lelaki muda yang sempat menyukainya. Bagas memicingkan mata, menangkap ingatan yang kembali hadir dalam benaknya. ‘Dia itu ... lelaki berseragam yang sama dengan Nilna waktu perpisahan Aliyah, kan?’ Putra bungsu Abah Rasyid itu mengepal tangan erat di pangkuan, menahan gejolak was-was yang membuncah. “Injih, Bah.” Ilham memasuki ndalem, berjalan dengan lutut tertekuk. Remaja 19 tahun itu mengecup punggung tangan sang kiai dengan sepenuh hati. “Ini, dia dulu lulus Aliyah di sini. Ilham ini sempat melanjutkan jenjang Uqudul Juman di Blitar. Tapi karena pertimbangan orang tua, dia balik menyelesaikan pendidikannya ke sini. Sambil khidmat di ndalem Abah

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status