LOGIN"Hari ini, kita ke pesantren menjenguk Abah,” ajak Bagas tiba-tiba. Ia buru-buru menghabiskan sarapan pagi ini.
Kebetulan, ia sedang libur. Begitu pula Nilna. Hari ini tidak ada jadwal kuliah untuknya. Gadis itu mengerjap. Memandang lekat sang suami yang berhadapan dengan dirinya. “Kenapa mendadak, Kak?” “Mengunjungi orang tua apa harus melakukan persiapan yang rumit?” seloroh Bagas tajam. Ia menatap sang istri yang sedikit panik. “Ehehe ... tidak, Kak.” Nilna mengusap tengkuk yang terbalut jilbabnya. “Kita ke sana mau ngapain, Kak?” tanya gadis itu takut-takut. “Melatihmu untuk mengajar para santri,” ucap Bagas datar. Kalimat pria itu meluncur dengan mudah. “Uhuk-uhuk.” Nilna tersedak. Ia kaget, gadis labil seperti dirinya merasa tidak pantas mengemban amanah seserius ini. Tangannya sigap meraih gelas. Ia meminum beberapa teguk air untuk menetralisir rasa gatal di tenggorokan. “Apa? Aku?” tanya Nilna tak percaya. Ia menunjuk diri sendiri dengan telunjuk yang gemetar dan mencebik. “Kak, aku ini orangnya ugal-ugalan. Tahu sendiri, kan? Waktu Aliyah aja sering bolos ngaji.” Nilna belum menyerah untuk mengelak dari perintah sang suami. “Siapkan keperluanmu. Kita berangkat setelah duha.” Bagas melenggang pergi meninggalkan Nilna yang masih bingung. “Aduh, tapi emang harus gini, sih. Sowan sama bapak mertua,” kelakar Nilna. Ia memunguti bekas makan. Sudah menjadi kebiasaan, meski sekarang tersedia asisten rumah tangga. Selang beberapa menit, Bagas telah tampil dengan kemeja biru dan sarung hitam. Tak lupa peci dengan warna senada telah bertengger manis di kepalanya. Mata Nilna membulat, terkesima dengan penampilan sang suami. Dahi Bagas mengernyit. “Belum siap juga?” desak pria itu tegas. Membuat Nilna gelagapan dan beringsut menuju kamarnya. Perjalanan kali ini dipenuhi sunyi. Di jok belakang, Nilna sibuk menunduk. Sesekali merapikan jilbab, lalu melirik Bagas yang duduk tenang di balik kemudi. Kecepatan mobil berangsur pelan, berbelok memasuki halaman pesantren yang masih asri. Aroma tanah basah dan dedaunan kering menelusup, kesan tak biasa seketika menyergap. Langkah Nilna terasa berat. Bagas berjalan menuntun istrinya dengan tenang. Langkah mereka terhenti. Tepat di depan wanita dewasa yang terbalut gamis dengan anggun. “Oh, jadi ini istri dadakan kamu?” ungkap Salwa, ipar Bagas, dengan tatapan merendahkan. Tatapan wanita itu menyapu Nilna dari atas hingga ke bawah. Nyali gadis itu sedikit redup. Ia sadar, semuanya terpaut jauh dari segi usia, pendidikan, dan status sosial. ‘Apa aku bisa berdiri tegak di tengah keluarga sebesar ini?’ Bagas melirik sekilas sang istri yang berada di sampingnya. Pria itu memegang tangannya lembut. Ada setitik kehangatan yang menjalar di sela-sela jari mereka. Hati Nilna menghangat. Ia tersentak kecil, mata pun membulat heran. Baru kali ini Bagas mau menggandengnya. “Jangan begitu, Mbak. Kita ini sama. Lagipula, dia ini peraih nilai ujian akhir tertinggi se-provinsi,” tampik Bagas. Ia menatap sang ipar tajam. Tidak peduli lawan bicaranya siapa. Salwa mengangkat wajah. “Tapi itu semua tidak menjamin dia mengerti cara menjadi istri.” Dari kejauhan, Abah Rasyid memperhatikan mereka. Pria bersorban itu mengelus dada. Tidak menyangka, menantu tertuanya yang menyalakan hawa panas. “Ternyata benar, usia dan pendidikan seseorang tidak menjamin semuanya,” gumamnya miris. “Lhoh, lhoh, sudah pada kumpul ternyata,” sambut Abah lembut. Ia berjalan pelan dibantu dengan seorang santri. “Alhamdulillah, Bah.” Zidni, putra pertama Abah melakukan sungkem, diikuti dengan istri dan adiknya. Tak ketinggalan dengan Nilna. Ia juga mengecup tangan Abah tulus. “Kang, buka pintu rumahnya, ya,” titah Abah pada seorang santri. Ia menepuk pundak anak didik itu pelan. “Injih, Bah.” Kang Zaid-santri ndalem pun beringsut mundur. Lalu, mulai membukakan pintu untuk Abah beserta keluarga besar yang kebetulan sedang berkumpul. Abah Rasyid mempersilakan anak-anaknya masuk dan menikmati jamuan. “Ayo, masuk,” ajaknya ramah. Ia masuk dan dibantu oleh Zidni, lalu lainnya mengekor. “Umi, mau itu,” ucap balita berpipi chubby dengan logatnya yang cadel. Ia adalah anak dari Zidni dan Salwa. Dua tangannya telah penuh dengan kue basah yang sukses membuat wajah dan bajunya belepotan. “Cinta, pelan-pelan dong makannya,” sambut Zidni cemas. Kedua tangannya menangkap tubuh mungil Cinta-anaknya. “Sini, Ummi bersihin.” Salwa mengeluarkan tisu dari tasnya. Ia membersihkan wajah sang anak yang penuh dengan coklat. “Lucu sekali, cucu Abah. Sini, nak.” Abah mencoba mendekati sang cucu. Ia mengulurkan tangan. Salwa pun sigap membantu mertuanya. Melihat kehangatan keluarga itu, Nilna tersenyum riang. Kedua sudut bibirnya terangkat. Dalam diam, Bagas memperhatikan istrinya. Namun, tanpa aba-aba Nilna refleks menoleh ke arahnya. Pandangan mereka saling beradu beberapa detik. Bagas gelagapan karena ketahuan mencuri pandang. Pria itu salah tingkah dan berpura-pura menggaruk dan menepuk punggung tangan. Padahal, tidak ada nyamuk yang menggigitnya. Mengetahui tingkah sang suami, Nilna tertawa kecil. Karena merasa ketangkap basah, Bagas mencoba mencari aktivitas lain untuk menetralisir rasa kikuk yang menjalar. Ia menghampiri keponakannya, dan mengajak gadis kecil itu bermain. “Hei, anak gemes,” sapa Bagas antusias. Tangannya mencubit kecil pipi gembil sang keponakan. “Ayo, ikut Om!” Cinta tergelak dan naik ke pangkuan Bagas. Di tengah kehangatan, telah tersaji hidangan lezat. Semangkuk gulai ayam, sepiring bakwan sayur, dan tentunya sebakul nasi putih. Tak lupa sambal dan setoples kerupuk. Ada juga makanan penutup seperti aneka kue dan syrup. Semua anggota menikmati hidangan dengan suka cita. “Nduk Nilna, kapan memberi Abahmu ini cucu?” celetuk Abah tiba-tiba. Nilna terperanjat. Ia gelagapan dan sedikit kesusahan menelan makanan yang baru saja dikunyah. Melihat sang istri gugup, Bagas mencari kalimat yang pas untuk menyanggah perkataan Abah. Ia membenarkan posisi duduk yang kurang nyaman, agar pikirannya dapat bekerja dengan baik. “Maaf, Bah.” Bagas beringsut mendekati sang ayah. Ia merangkulnya dan mencoba bernegosiasi. “Nilna ini sebenarnya belum cukup umur untuk hamil dan melahirkan, apalagi mengurus bayi,” paparnya serius. Abah menyipitkan mata, mencoba menelaah maksud dari perkataan sang putra lebih dalam. Pandangan pria itu beralih pada menantu barunya. “Apa benar begitu, Nduk?” tanya Abah hati-hati. “Inggih, Bah.” Nilna menyunggingkan senyum agar tidak larut dalam kepanikan. “Nilna juga mau kuliah dulu, Bah. Biar bisa bikin bangga keluarga,” ucap Nilna sopan. Abah manggut-manggut, mencoba memastikan pernikahan anaknya baik-baik saja. “Begini, Bah. Kedatangan saya kemari sebenarnya untuk merangsang ingatan Nilna, agar besok dapat mulai membantu mengajar di sini,” sanggah Bagas runtut, mencoba mengalihkan topik pembicaraan. Meski tujuannya adalah demikian. Abah tersenyum miring. Ia mengerti jika sang putra kurang nyaman dengan topik obrolan saat ini. “Oh, begitu. Bagus-bagus.” Salwa mengernyit, hatinya mencelos ketika mendengar nama adik iparnya diunggul-unggulkan. “Maaf, Bah. Apa tidak terlalu cepat?” sergahnya tak terima. Ia cemburu Nilna mendapat perlakuan dan menerima tugas kehormatan sangat cepat. Sedangkan dirinya, butuh waktu dua tahun hingga mertua dan suaminya menyerahkan tugas kehormatan. “Tidak apa-apa,” tampik Abah santai. Ia meneguk syrup melon sembari menatap menantunya lembut. “Mulai dari tugas paling ringan dulu. Seperti menyimak santri membaca Al-Qur'an.” “Wah, matahari mulai meninggi!” seru Bagas. Matanya menyorot halaman depan yang mulai terlihat panas. Suasana perlahan memghangat. Mereka berpamitan pada Abah. Semua bergiliran bersalaman. “Mbak Salwa,” ujar Nilna ramah. Ia mengulurkan tangannya pada sang ipar. Alih-alih menyambut baik, sang kakak melengos dan membisu. Nilna tersenyum miris, melirik sang suami seolah meminta penjelasan. Apa maksud dari tindakan Salwa. Bagas hanya menatap lurus ke depan. Entah tidak tahu atau memilih diam. Di perjalanan pulang, mereka tenggelam dalam hening. Nilna sibuk dengan isi pikiran yang terasa penuh. Penuh dengan tanya. Tentang dirnya. Tentang Bagas. Tentang Salwa. Tentang pernikahan dadakan ini. ‘Apa aku siap melangkah ke dunia yang belum pernah kubayangkan?’Bab 124. PeduliBagas mendekatkan mulut ke telinga Nilna, persis seperti seorang detektif yang merencanakan misi rahasia.Nilna malah meringis geli, menjauhkan telinga dari sana, lalu mengusap-usapnya.“Gimana, dengar, nggak?” tanya Bagas dengan ekspresi datar.“Nggak.” Nilna menggeleng dengan wajah bingung. “Tadi aku belum dengar apa-apa, malah geli karena kayak kena tiup,” sambungnya polos.Bagas malah tergelak, lalu mengaku, “Aku memang belum bicara apa-apa tadi. Hanya ngembusin napas saja.”Nilna menyodok bahu Bagas dengan kesal. “Yang serius, dong!”Bagas kembali terbahak-bahak, dengan Nilna yang masih merengut.“Iya, iya!” Pria itu tak lagi berbisik, malah mengungkapkan rencananya dengan suara yang tenang dan jelas.….“Asna, apa kamu nggak ingin menikah kayak aku?” desak Nilna buru-buru, saat Asna kembali ke kursinya begitu selesai memesan menu makan siang di kantin kampus.“Apa?!” Karena kaget, tubuh Asna hampir terhuyung ke bawah. Kursi tempatnya duduk pun nyaris kabur karena
“Apa?! Nilna benaran sudah hamil, Nduk?” Air mata haru tak terbendung lagi, mengalir dengan deras di pipi putih Bu Mahya. Wanita berkerudung rabbani itu menatap Bagas dengan tatapan nyaris tak percaya. Ketika sorot matanya bertemu dengan tatapan Nilna, ada setitik hal asing yang belum ia mengerti.Mata Nilna mengerling lembut, basah oleh embun air mata yang siap terjun bebas. Ia hanya bungkam, tak kuasa harus berkata apa lagi. Semua orang begitu bahagia dengan kehadiran janin di perutnya. Namun, mengapa hawa dingin di hati kecilnya masih terasa?Sementara itu, Bagas membalas tatapan ibu mertuanya. Sorot matanya yang hitam begitu dalam saat berkata, “Iya, Bu. Alhamdulillah. Kedatangan kami ke sini memang untuk berbagi kabar bahagia itu.”Pak Ahkam ikut menyambung dengan penuh perhatian, “Waah, Bapak juga ikut senang banget ini. Jadi, berapa usia kandungan Nilna sekarang?”“Di minggu ini, menginjak minggu kelima, Pak,” jawab Bagas.Pak Ahkam manggut-manggut, lalu saling melempar pandan
Asna melotot tajam dengan perasaan tak terima, sementara Dafa malah tersenyum misterius, memandang dua wanita itu secara bergantian.Keributan pun terhenti begitu bel pertanda ujian dimulai berbunyi. Seluruh mahasiswa menghambur ke posisi duduk masing-masing, menenangkan diri untuk menyongsong materi yang diujikan.….“Dek, bagaimana kuliahmu tadi?” Suara pelan Bagas terdengar halus, seperti selimut bulu yang menenangkan tubuh.Di jok sampingnya, Nilna menjawab lirih, “Alhamdulillah, Mas. Ujiannya sangat menantang, tapi masih bisa aku selesaikan.” Nilna menoleh sejenak, melempar senyum tipis ke arah Bagas.“Oh, ya? Bagus, dong!” Bagas tampak antusias. Sembari menyetir, ia memyempatkan diri untuk mengulurkan tangan kiri, mengusap-usap kepala Nilna dengan penuh kasih.Dilihat dari cara merespon dan senyum Nilna yang ringan, Bagas merasa lega dan bersyukur. Sepertinya, Nilna dalam suasana hati yang baik.“Ya, Mas.” Mata Nilna berkilat, memancarkan kebahagiaan Bagas yang beberapa waktu in
“Apa!!?” Gebrakan serupa guntur menanggalkan senyuman Dafa. Pemuda itu nyaris ambruk di tempat, sementara otaknya tiba-tiba seperti berhenti berfungsi beberapa detik. Asna yang sadar telah melakukan kesalahan fatal sontak membungkam mulutnya, dengan dua bola mata yang membulat lebar. Di tengah kacau itu, Nilna hanya bisa meringis dengan perasaan campur aduk. Ia lantas tak kuat lagi dan melarikan diri, ingin menghilang dari tempat itu sekarang juga. Sementara itu, Dafa dan Asna kompak menyorot sosok Nilna yang makin menjauh, lalu sama-sama saling pandang dengan ekspresi rumit. “Dafa, kenapa kamu tiba-tiba muncul, sih? Kayak setan saja. Aku jadi keceplosan ini.” Asna bercerocos dengan galak, tetapi tak bisa menyembunyikan wajahnya yang sepucat kertas. Apa lagi ini? Dafa hanya ingin lewat dan menyapa seperti biasa. Bukankah itu hal yang normal? Namun, kenapa ia yang disalahkan? Mahasiswa itu tak habis pikir, memasang wajah ketus saat menjawab, “Aku cuma lewat jalan umum, kenapa ka
Kabut di hati terasa pedih dan menyayat, saat Nilna kembali melihat diri sendiri yang teramat menyebalkan.Ya, Nilna merasa dirinya tak lebih dari seorang pecundang yang kekanak-kanakan. Bagaimana tidak? Ia sangat bodoh dengan ketidakberdayaan dalam menerima malaikat kecil di rahimnya.Akan tetapi, Nilna juga tak mau seperti ini. Dunia tetap berjalan seperti biasa. Jadi, ia memilih untuk menutup hati dan kembali fokus berkuliah.Ketika tiba di gerbang kampus, sosok ceria berteriak memanggilnya dari belakang.“Nilna!” Asna menyejajarkan langkah di samping Nilna yang telah masuk melewati gerbang. “Kamu cepat banget jalannya. Lagi buru-buru, ya?” sambungnya dengan napas yang masih memburu.Nilna terus melangkah sembari menatap Asna sekilas, lalu menyahut dengan suara ketus, “Iya, hari ini ‘kan hari pertama ujian semester enam. Kamu tahu, nggak?”Alis Asna sedikit berkerut karena merasakan tingkah sahabatnya yang tampak terburu-buru dan tidak setenang biasanya. Ia terus mempercepat langka
“Lalu, apa yang membuatmu berpikiran seperti itu?” tanya Bagas dengan ekspresi ingin menggali informasi yang jelas. Sebelah alis hitamnya terangkat.Nilna hanya menggeleng tak berdaya, dan menjawab dengan suara lirih, “Aku nggak tahu. Semenjak aku tahu kalau aku positif mengandung, hidupku jadi terasa nggak berarah.”Bagas menghela napas berat. Gurat wajahnya tampak begitu muram dan sulit dimengerti. Nilna menyadari akan hal itu. Ia memutuskan untuk menyudahi pembicaraan ini dengan mengatakan, “Kalau Mas sudah nggak capek, aku mau kita berlanjut ke penginapan, biar bisa beristirahat dengan baik di sana.”Pandangan Bagas jatuh ke arah Nilna sejenak, lalu terdengar ucapan, “Oke. Kita berangkat sekarang.”Kabut berangsur-angsur tipis begitu mereka kembali melaju dengan motor Viction yang menyusup stabil di jalan setapak menuju penginapan. Di sana, udara dingin menusuk dengan tenang, seolah mengingatkan tentang luasnya semesta dan kebesaran Tuhan, serta manusia adalah mahkluk lemah yang







