Share

Bab 6. Berkelebat Manja

Penulis: Dwi Maula
last update Terakhir Diperbarui: 2025-06-08 15:58:20

“Aku pikir semua akan baik-baik aja setelah menikah,” gumam Nilna lirih. Sesekali tangan putihnya menyeka air di sudut mata yang belum sempat jatuh.

 

Nilna terduduk di ujung ranjang, memandangi secarik kertas. Pandangannya belum berpindah dari lembaran, berisi laporan persetujuan beasiswa perguruan tinggi miliknya.

 

Di sudut kanan bawah, kolom tertanda wali santri masih kosong, karena sang suami enggan memberi izin.

 

Di ruang kerja, Bagas tenggelam dengan pekerjaannya. Seolah tidak peduli dengan sang istri. Padahal, mereka baru saja berpapasan. Namun, pria itu tetap berjalan seperti biasa seperti tidak melihat apa pun.

 

“Sebenarnya aku ini kenapa? Bahkan aku sendiri tidak tahu kenapa belum memberi Nilna izin,” lamun Bagas. Ia meremas kepala yang terasa berat.

 

Malam berangsur larut. Aktivitas yang terdengar dari luar perlahan surut. Gesekan ranting pohon berbunyi samar saat diterpa angin kecil.

 

“Kak,” kata Nilna tiba-tiba. Ia masuk dan membawa secangkir coklat hangat, lalu meletakkannya ke meja kerja.

 

Dengan perasaan was-was, ia memberanikan diri duduk berhadapan dengan sang suami. Tanpa sadar, ia meremas ujung jilbab berwarna pastel yang ia kenakan.

 

‘Kalau nggak sekarang, kapan lagi?’

 

Gadis itu tahu jika waktunya kurang pas. Namun, dalam hati kecilnya berteriak nyaring. Kalau tidak dibicarakan sekarang, mimpinya bisa benar-benar layu.

 

“Maaf, Kak. Minta waktu sebentar.”

 

Bagas mendongak. Menjeda aktivitas kerjanya sebentar.  Di meja kerja, tampak setumpuk laporan riset obat herbal menunggu untuk ia sentuh.

 

“Terima kasih,” ucapnya tenang. Mata pria itu menyipit. Ia bahkan mengerti ke mana arah percakapan kali ini.

 

Nilna terdiam, menatap suaminya sekilas. Mulut gadis itu masih mengatup. Padahal, ia sudah berusaha untuk mulai bicara.

 

“Jangan gugup begitu, aku ini suamimu.” Bagas menyeruput coklat hangat tanpa segan. “Katakan maumu apa,” lanjutnya santai.

 

“Kakak harus ngizinin aku.” Mulut gadis itu terbuka. “Aku janji bakal bikin Kakak bangga,” lanjutnya penuh harap. Tanpa sadar, ia memegang erat tangan sang suami.

 

“Sebenarnya, aku takut kalau kamu kuliah, akan sering tidak di rumah. Dan itu tidak baik untuk seorang istri.”

 

Bagas menyayangkan jika hal itu terjadi. “Kalau itu benar, maka aku tidak bisa 24 jam mengawasimu,” ucapnya lagi.

 

“Bagaimanapun, suka tidak suka, kamu tanggung jawabku dunia akhirat.” Ia menghela napas berat. Meski pernikahan ini membelenggunya, tapi kewajiban tidak memberi toleransi untuk itu.

 

Nilna termenung, ia tidak menyangka. Di balik sikap menyebalkan sang suami, tersimpan rasa peduli yang cukup kuat. Bahkan ia-Bagas enggan menunjukkan kepedulian atau terkesan menutupinya.

 

Nilna mencoba menenangkan hati yang bergemuruh. Ia pun tak tahu pasti apa sebabnya. Apakah karena ternyata sang suami peduli, atau karena ia merasa nyaman.

 

Lagi, Nilna menarik napas panjang, dan tidak akan menyerah. “Kakak tenang saja,” katanya memberi saran. “Aku siap dihubungi 24 jam kok,” pungkasnya yakin.

 

“Kalau itu keputusanmu, aku memberi izin. Tapi, selama berkuliah, bertanggung jawablah pada dirimu,” tutur Bagas bijak. Ia menghabiskan coklat hangat yang telah dingin lalu melenggang pergi.

 

***

 

Pagi-pagi sekali, Nilna tengah sibuk mempersiapkan diri. Ia mendapat tugas menjadi wakil pembicara untuk kelas 3 Aliyah dalam acara pelepasan di sekolahnya.

 

“Kak, tahu kertas pidato aku di mana?” tanya Nilna nyaring dari dalam kamar. Tangannya terus sibuk mengubek-ubek isi laci di kamar.

 

Bagas duduk santai di ruang tamu. “Kertas yang mana?” tanya pria itu balik. Ia tetap fokus membaca surat kabar tanpa menoleh.

 

“Itu, yang selalu aku pegang tadi malam.”

 

Bagas mendesah pelan. Ia bangkit karena tak tega terlalu cuek. Dengan gontai, pria itu melangkah menghampiri Nilna.

 

“Ini apa, Na?” sergah Bagas kesal. “Jelas-jelas kertasnya sudah ada di dalam tas,” lanjutnya menggerutu.

 

“Ehehee ... maaf, Kak.” Nilna tersenyum nyengir. Ia menangkap tas ransel yang dilempar Bagas asal.

 

“Permisi, makanannya sudah siap,” ucap Bu Hana sopan, menyudahi perdebatan.

 

Nilna menggandeng tangan Bagas dengan gemetar. Ia kikuk, tapi berusaha menampiknya. “Kak, udah marahnya. Yuk sekarang makan,” ucapnya tanpa dosa.

 

Bagas melongo. Kenapa istrinya bersikap manis pagi ini. “Apa yang kamu mau lagi, Nilna?” selidik Bagas penasaran.

 

“Hehe ... gini, Kakak mau ya hadir di acara perpisahanku hari ini. Kakak gak usah langsung pulang,” pinta sang istri dengan nada manja.

 

“Kenapa tidak bilang tadi malam?”

 

“Hm ... masih ragu, Kak.”

 

“Cepat habiskan makanmu dan aku tunggu di mobil,” ucap Bagas cepat.

 

“Bu, simpan makanannya dan hangatkan saat makan siang nanti,” titah Bagas pada asistennya. Ia beranjak pergi tanpa menyentuh makanan.

 

***

 

Siang perlahan menyelinap, menggantikan pagi yang mulai menghilang. Kursi-kursi putih berderet rapi memenuhi halaman pesantren.

 

Para guru duduk dengan semringah di bagian depan. Sedangkan para santri memenuhi kursi bagian belakang. Perpisahan siang ini berlangsung sederhana, tetapi tetap berkesan.

 

“Nilna, apa bener kamu udah nikah sekarang?”

 

Samar-samar suara remaja laki-laki terdengar di telinga Bagas. Langkah pria itu terhenti, mencoba membuka telinga lebar-lebar.

 

Ia menyibak sedikit tirai penutup. Di sebelah gedung, terlihat jelas bahwa istrinya sedang berbicara dengan remaja laki-laki yang berseragam sama.

 

“Iya, karena salah paham dan aku gak bisa mengelak.” Nilna menjawab dengan jujur. “ Udah, kamu pergi sana. Nanti ketahuan berduaan habis kita,” lanjutnya panik.

 

“Pantes ya kamu gak bales surat dari aku. Ternyata gini, ya?” sergah si remaja laki-laki tak mau kalah.

 

“Aku juga gak mau nikah mendadak. Lagian kamu juga pulang kampung kan dua bulan tanpa ngasih tahu aku?”

 

Nilna sibuk celingukan, memastikan tidak ada yang melihat mereka. “Udah deh jangan ganggu istri orang. Dari awal mungkin kita bukan jodoh,” pungkasnya cepat, lalu melesat pergi ke kelas.

 

Bagas buru-buru menarik tirai. Pria itu mencoba menepis gemuruh di dada. Ia cukup sadar bahwa hatinya tidak terima, tapi terlalu gengsi untuk mengaku.

 

Semakin pria itu bersikeras melupakan, semakin pula kejadian tadi berkelebat manja di otaknya.

 

‘Ingat Bagas, kamu belum boleh jatuh cinta pada anak kecil itu.’

 

Bagas membenarkan dasi yang melingkar di kerahnya. Sesekali menyisir objek di sekitar. Mencari keberadaan Nilna yang entah ke mana.

 

Beberapa menit kemudian, acara perpisahan pun dimulai. Satu demi satu acara telah disaksikan tamu undangan. 

 

Kini, tiba acara pidato perwakilan kelas 3 Aliyyah. Nilna terlihat berjalan lembut menuju panggung. Setelan baju berwarna peach dengan jilbab senada, membuat auranya terkesan manis namun tegas.

 

Setelah semua bersiap, Nilna mulai membaca teks pidato dengan khidmat.

 

“Assalamualaikum warahmatullah wabarakaatuh,” ucap gadis itu lantang.

 

Seluruh kepala menoleh, termasuk Bagas. Pria itu merasa bangga, tapi buru-buru menampiknya.

 

“Ustadz-ustazah yang kami hormati, dan adik kelas yang kami banggakan, serta wali murid yang berbahagia. Hari ini, kita berada di ujung langkah yang panjang.

 

Bukan untuk berhenti berjuang, melainkan menjadi awal kehidupan yang sebenarnya. Kita tidak lagi bisa berlindung di balik seragam sekolah. Bahkan, kita harus bertanggung jawab atas diri sendiri.”

 

Kata demi kata meluncur dengan tenang. Berganti dengan tepuk tangan yang memenuhi udara.

 

Antara rasa bangga atau suka, Bagas bingung memutuskan sebabnya. Pastinya, ia merasa bahagia sekarang, dan berangsur melupakan Qaila.

 

‘Anak kecil itu, ternyata lebih dewasa dari yang kutahu.’

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sherly Monicamey
susah ya Nilna buat keputusan tapi untunglah Bagas mau menerima keputusanmu.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Mendadak Dinikahi Direktur Syar'i   Bab 124. Peduli

    Bab 124. PeduliBagas mendekatkan mulut ke telinga Nilna, persis seperti seorang detektif yang merencanakan misi rahasia.Nilna malah meringis geli, menjauhkan telinga dari sana, lalu mengusap-usapnya.“Gimana, dengar, nggak?” tanya Bagas dengan ekspresi datar.“Nggak.” Nilna menggeleng dengan wajah bingung. “Tadi aku belum dengar apa-apa, malah geli karena kayak kena tiup,” sambungnya polos.Bagas malah tergelak, lalu mengaku, “Aku memang belum bicara apa-apa tadi. Hanya ngembusin napas saja.”Nilna menyodok bahu Bagas dengan kesal. “Yang serius, dong!”Bagas kembali terbahak-bahak, dengan Nilna yang masih merengut.“Iya, iya!” Pria itu tak lagi berbisik, malah mengungkapkan rencananya dengan suara yang tenang dan jelas.….“Asna, apa kamu nggak ingin menikah kayak aku?” desak Nilna buru-buru, saat Asna kembali ke kursinya begitu selesai memesan menu makan siang di kantin kampus.“Apa?!” Karena kaget, tubuh Asna hampir terhuyung ke bawah. Kursi tempatnya duduk pun nyaris kabur karena

  • Mendadak Dinikahi Direktur Syar'i   Bab 123. Strategi

    “Apa?! Nilna benaran sudah hamil, Nduk?” Air mata haru tak terbendung lagi, mengalir dengan deras di pipi putih Bu Mahya. Wanita berkerudung rabbani itu menatap Bagas dengan tatapan nyaris tak percaya. Ketika sorot matanya bertemu dengan tatapan Nilna, ada setitik hal asing yang belum ia mengerti.Mata Nilna mengerling lembut, basah oleh embun air mata yang siap terjun bebas. Ia hanya bungkam, tak kuasa harus berkata apa lagi. Semua orang begitu bahagia dengan kehadiran janin di perutnya. Namun, mengapa hawa dingin di hati kecilnya masih terasa?Sementara itu, Bagas membalas tatapan ibu mertuanya. Sorot matanya yang hitam begitu dalam saat berkata, “Iya, Bu. Alhamdulillah. Kedatangan kami ke sini memang untuk berbagi kabar bahagia itu.”Pak Ahkam ikut menyambung dengan penuh perhatian, “Waah, Bapak juga ikut senang banget ini. Jadi, berapa usia kandungan Nilna sekarang?”“Di minggu ini, menginjak minggu kelima, Pak,” jawab Bagas.Pak Ahkam manggut-manggut, lalu saling melempar pandan

  • Mendadak Dinikahi Direktur Syar'i   Bab 122. Brilian

    Asna melotot tajam dengan perasaan tak terima, sementara Dafa malah tersenyum misterius, memandang dua wanita itu secara bergantian.Keributan pun terhenti begitu bel pertanda ujian dimulai berbunyi. Seluruh mahasiswa menghambur ke posisi duduk masing-masing, menenangkan diri untuk menyongsong materi yang diujikan.….“Dek, bagaimana kuliahmu tadi?” Suara pelan Bagas terdengar halus, seperti selimut bulu yang menenangkan tubuh.Di jok sampingnya, Nilna menjawab lirih, “Alhamdulillah, Mas. Ujiannya sangat menantang, tapi masih bisa aku selesaikan.” Nilna menoleh sejenak, melempar senyum tipis ke arah Bagas.“Oh, ya? Bagus, dong!” Bagas tampak antusias. Sembari menyetir, ia memyempatkan diri untuk mengulurkan tangan kiri, mengusap-usap kepala Nilna dengan penuh kasih.Dilihat dari cara merespon dan senyum Nilna yang ringan, Bagas merasa lega dan bersyukur. Sepertinya, Nilna dalam suasana hati yang baik.“Ya, Mas.” Mata Nilna berkilat, memancarkan kebahagiaan Bagas yang beberapa waktu in

  • Mendadak Dinikahi Direktur Syar'i   Bab 121. Jadian

    “Apa!!?” Gebrakan serupa guntur menanggalkan senyuman Dafa. Pemuda itu nyaris ambruk di tempat, sementara otaknya tiba-tiba seperti berhenti berfungsi beberapa detik. Asna yang sadar telah melakukan kesalahan fatal sontak membungkam mulutnya, dengan dua bola mata yang membulat lebar. Di tengah kacau itu, Nilna hanya bisa meringis dengan perasaan campur aduk. Ia lantas tak kuat lagi dan melarikan diri, ingin menghilang dari tempat itu sekarang juga. Sementara itu, Dafa dan Asna kompak menyorot sosok Nilna yang makin menjauh, lalu sama-sama saling pandang dengan ekspresi rumit. “Dafa, kenapa kamu tiba-tiba muncul, sih? Kayak setan saja. Aku jadi keceplosan ini.” Asna bercerocos dengan galak, tetapi tak bisa menyembunyikan wajahnya yang sepucat kertas. Apa lagi ini? Dafa hanya ingin lewat dan menyapa seperti biasa. Bukankah itu hal yang normal? Namun, kenapa ia yang disalahkan? Mahasiswa itu tak habis pikir, memasang wajah ketus saat menjawab, “Aku cuma lewat jalan umum, kenapa ka

  • Mendadak Dinikahi Direktur Syar'i   Bab 120. Bingung

    Kabut di hati terasa pedih dan menyayat, saat Nilna kembali melihat diri sendiri yang teramat menyebalkan.Ya, Nilna merasa dirinya tak lebih dari seorang pecundang yang kekanak-kanakan. Bagaimana tidak? Ia sangat bodoh dengan ketidakberdayaan dalam menerima malaikat kecil di rahimnya.Akan tetapi, Nilna juga tak mau seperti ini. Dunia tetap berjalan seperti biasa. Jadi, ia memilih untuk menutup hati dan kembali fokus berkuliah.Ketika tiba di gerbang kampus, sosok ceria berteriak memanggilnya dari belakang.“Nilna!” Asna menyejajarkan langkah di samping Nilna yang telah masuk melewati gerbang. “Kamu cepat banget jalannya. Lagi buru-buru, ya?” sambungnya dengan napas yang masih memburu.Nilna terus melangkah sembari menatap Asna sekilas, lalu menyahut dengan suara ketus, “Iya, hari ini ‘kan hari pertama ujian semester enam. Kamu tahu, nggak?”Alis Asna sedikit berkerut karena merasakan tingkah sahabatnya yang tampak terburu-buru dan tidak setenang biasanya. Ia terus mempercepat langka

  • Mendadak Dinikahi Direktur Syar'i   Bab 119. Diam

    “Lalu, apa yang membuatmu berpikiran seperti itu?” tanya Bagas dengan ekspresi ingin menggali informasi yang jelas. Sebelah alis hitamnya terangkat.Nilna hanya menggeleng tak berdaya, dan menjawab dengan suara lirih, “Aku nggak tahu. Semenjak aku tahu kalau aku positif mengandung, hidupku jadi terasa nggak berarah.”Bagas menghela napas berat. Gurat wajahnya tampak begitu muram dan sulit dimengerti. Nilna menyadari akan hal itu. Ia memutuskan untuk menyudahi pembicaraan ini dengan mengatakan, “Kalau Mas sudah nggak capek, aku mau kita berlanjut ke penginapan, biar bisa beristirahat dengan baik di sana.”Pandangan Bagas jatuh ke arah Nilna sejenak, lalu terdengar ucapan, “Oke. Kita berangkat sekarang.”Kabut berangsur-angsur tipis begitu mereka kembali melaju dengan motor Viction yang menyusup stabil di jalan setapak menuju penginapan. Di sana, udara dingin menusuk dengan tenang, seolah mengingatkan tentang luasnya semesta dan kebesaran Tuhan, serta manusia adalah mahkluk lemah yang

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status