“Aku pikir semua akan baik-baik aja setelah menikah,” gumam Nilna lirih. Sesekali tangan putihnya menyeka air di sudut mata yang belum sempat jatuh.
Nilna terduduk di ujung ranjang, memandangi secarik kertas. Pandangannya belum berpindah dari lembaran, berisi laporan persetujuan beasiswa perguruan tinggi miliknya. Di sudut kanan bawah, kolom tertanda wali santri masih kosong, karena sang suami enggan memberi izin. Di ruang kerja, Bagas tenggelam dengan pekerjaannya. Seolah tidak peduli dengan sang istri. Padahal, mereka baru saja berpapasan. Namun, pria itu tetap berjalan seperti biasa seperti tidak melihat apa pun. “Sebenarnya aku ini kenapa? Bahkan aku sendiri tidak tahu kenapa belum memberi Nilna izin,” lamun Bagas. Ia meremas kepala yang terasa berat. Malam berangsur larut. Aktivitas yang terdengar dari luar perlahan surut. Gesekan ranting pohon berbunyi samar saat diterpa angin kecil. “Kak,” kata Nilna tiba-tiba. Ia masuk dan membawa secangkir coklat hangat, lalu meletakkannya ke meja kerja. Dengan perasaan was-was, ia memberanikan diri duduk berhadapan dengan sang suami. Tanpa sadar, ia meremas ujung jilbab berwarna pastel yang ia kenakan. ‘Kalau nggak sekarang, kapan lagi?’ Gadis itu tahu jika waktunya kurang pas. Namun, dalam hati kecilnya berteriak nyaring. Kalau tidak dibicarakan sekarang, mimpinya bisa benar-benar layu. “Maaf, Kak. Minta waktu sebentar.” Bagas mendongak. Menjeda aktivitas kerjanya sebentar. Di meja kerja, tampak setumpuk laporan riset obat herbal menunggu untuk ia sentuh. “Terima kasih,” ucapnya tenang. Mata pria itu menyipit. Ia bahkan mengerti ke mana arah percakapan kali ini. Nilna terdiam, menatap suaminya sekilas. Mulut gadis itu masih mengatup. Padahal, ia sudah berusaha untuk mulai bicara. “Jangan gugup begitu, aku ini suamimu.” Bagas menyeruput coklat hangat tanpa segan. “Katakan maumu apa,” lanjutnya santai. “Kakak harus ngizinin aku.” Mulut gadis itu terbuka. “Aku janji bakal bikin Kakak bangga,” lanjutnya penuh harap. Tanpa sadar, ia memegang erat tangan sang suami. “Sebenarnya, aku takut kalau kamu kuliah, akan sering tidak di rumah. Dan itu tidak baik untuk seorang istri.” Bagas menyayangkan jika hal itu terjadi. “Kalau itu benar, maka aku tidak bisa 24 jam mengawasimu,” ucapnya lagi. “Bagaimanapun, suka tidak suka, kamu tanggung jawabku dunia akhirat.” Ia menghela napas berat. Meski pernikahan ini membelenggunya, tapi kewajiban tidak memberi toleransi untuk itu. Nilna termenung, ia tidak menyangka. Di balik sikap menyebalkan sang suami, tersimpan rasa peduli yang cukup kuat. Bahkan ia-Bagas enggan menunjukkan kepedulian atau terkesan menutupinya. Nilna mencoba menenangkan hati yang bergemuruh. Ia pun tak tahu pasti apa sebabnya. Apakah karena ternyata sang suami peduli, atau karena ia merasa nyaman. Lagi, Nilna menarik napas panjang, dan tidak akan menyerah. “Kakak tenang saja,” katanya memberi saran. “Aku siap dihubungi 24 jam kok,” pungkasnya yakin. “Kalau itu keputusanmu, aku memberi izin. Tapi, selama berkuliah, bertanggung jawablah pada dirimu,” tutur Bagas bijak. Ia menghabiskan coklat hangat yang telah dingin lalu melenggang pergi. *** Pagi-pagi sekali, Nilna tengah sibuk mempersiapkan diri. Ia mendapat tugas menjadi wakil pembicara untuk kelas 3 Aliyah dalam acara pelepasan di sekolahnya. “Kak, tahu kertas pidato aku di mana?” tanya Nilna nyaring dari dalam kamar. Tangannya terus sibuk mengubek-ubek isi laci di kamar. Bagas duduk santai di ruang tamu. “Kertas yang mana?” tanya pria itu balik. Ia tetap fokus membaca surat kabar tanpa menoleh. “Itu, yang selalu aku pegang tadi malam.” Bagas mendesah pelan. Ia bangkit karena tak tega terlalu cuek. Dengan gontai, pria itu melangkah menghampiri Nilna. “Ini apa, Na?” sergah Bagas kesal. “Jelas-jelas kertasnya sudah ada di dalam tas,” lanjutnya menggerutu. “Ehehee ... maaf, Kak.” Nilna tersenyum nyengir. Ia menangkap tas ransel yang dilempar Bagas asal. “Permisi, makanannya sudah siap,” ucap Bu Hana sopan, menyudahi perdebatan. Nilna menggandeng tangan Bagas dengan gemetar. Ia kikuk, tapi berusaha menampiknya. “Kak, udah marahnya. Yuk sekarang makan,” ucapnya tanpa dosa. Bagas melongo. Kenapa istrinya bersikap manis pagi ini. “Apa yang kamu mau lagi, Nilna?” selidik Bagas penasaran. “Hehe ... gini, Kakak mau ya hadir di acara perpisahanku hari ini. Kakak gak usah langsung pulang,” pinta sang istri dengan nada manja. “Kenapa tidak bilang tadi malam?” “Hm ... masih ragu, Kak.” “Cepat habiskan makanmu dan aku tunggu di mobil,” ucap Bagas cepat. “Bu, simpan makanannya dan hangatkan saat makan siang nanti,” titah Bagas pada asistennya. Ia beranjak pergi tanpa menyentuh makanan. *** Siang perlahan menyelinap, menggantikan pagi yang mulai menghilang. Kursi-kursi putih berderet rapi memenuhi halaman pesantren. Para guru duduk dengan semringah di bagian depan. Sedangkan para santri memenuhi kursi bagian belakang. Perpisahan siang ini berlangsung sederhana, tetapi tetap berkesan. “Nilna, apa bener kamu udah nikah sekarang?” Samar-samar suara remaja laki-laki terdengar di telinga Bagas. Langkah pria itu terhenti, mencoba membuka telinga lebar-lebar. Ia menyibak sedikit tirai penutup. Di sebelah gedung, terlihat jelas bahwa istrinya sedang berbicara dengan remaja laki-laki yang berseragam sama. “Iya, karena salah paham dan aku gak bisa mengelak.” Nilna menjawab dengan jujur. “ Udah, kamu pergi sana. Nanti ketahuan berduaan habis kita,” lanjutnya panik. “Pantes ya kamu gak bales surat dari aku. Ternyata gini, ya?” sergah si remaja laki-laki tak mau kalah. “Aku juga gak mau nikah mendadak. Lagian kamu juga pulang kampung kan dua bulan tanpa ngasih tahu aku?” Nilna sibuk celingukan, memastikan tidak ada yang melihat mereka. “Udah deh jangan ganggu istri orang. Dari awal mungkin kita bukan jodoh,” pungkasnya cepat, lalu melesat pergi ke kelas. Bagas buru-buru menarik tirai. Pria itu mencoba menepis gemuruh di dada. Ia cukup sadar bahwa hatinya tidak terima, tapi terlalu gengsi untuk mengaku. Semakin pria itu bersikeras melupakan, semakin pula kejadian tadi berkelebat manja di otaknya. ‘Ingat Bagas, kamu belum boleh jatuh cinta pada anak kecil itu.’ Bagas membenarkan dasi yang melingkar di kerahnya. Sesekali menyisir objek di sekitar. Mencari keberadaan Nilna yang entah ke mana. Beberapa menit kemudian, acara perpisahan pun dimulai. Satu demi satu acara telah disaksikan tamu undangan. Kini, tiba acara pidato perwakilan kelas 3 Aliyyah. Nilna terlihat berjalan lembut menuju panggung. Setelan baju berwarna peach dengan jilbab senada, membuat auranya terkesan manis namun tegas. Setelah semua bersiap, Nilna mulai membaca teks pidato dengan khidmat. “Assalamualaikum warahmatullah wabarakaatuh,” ucap gadis itu lantang. Seluruh kepala menoleh, termasuk Bagas. Pria itu merasa bangga, tapi buru-buru menampiknya. “Ustadz-ustazah yang kami hormati, dan adik kelas yang kami banggakan, serta wali murid yang berbahagia. Hari ini, kita berada di ujung langkah yang panjang. Bukan untuk berhenti berjuang, melainkan menjadi awal kehidupan yang sebenarnya. Kita tidak lagi bisa berlindung di balik seragam sekolah. Bahkan, kita harus bertanggung jawab atas diri sendiri.” Kata demi kata meluncur dengan tenang. Berganti dengan tepuk tangan yang memenuhi udara. Antara rasa bangga atau suka, Bagas bingung memutuskan sebabnya. Pastinya, ia merasa bahagia sekarang, dan berangsur melupakan Qaila. ‘Anak kecil itu, ternyata lebih dewasa dari yang kutahu.’“Mas, kenapa, ya .... Semakin aku berusaha keras, semakin keras juga ujian yang datang.” Suara Nilna terdengar serak, dan sangat pelan. Seakan usai berlari di medan yang terjal.Netra perempuan itu memanas. Sebutir air mata masih bersembunyi di balik pelupuknya. Ia menatap lurus ke depan, dengan pandangan menerawang. Kakinya tertekuk, dengan kabut gelap yang sejak siang enggan untuk melunak.Bagas mengangkat wajah, menjeda jemarinya yang sedari tadi lincah menari di keyboard laptop.“Mas juga merasa begitu, Dek.” Bagas menoleh, memandangi istri kecilnya yang terduduk di ujung ranjang.“Tapi, Allah selalu menyiapkan kejutan yang indah di balik itu semua.” Pria itu memilih bangkit, dan mendekati istrinya. Menggenggam tangan kecil itu tanpa ragu, lama. Sisa hujan di siang hari masih membekas di heningnya malam. Meninggalkan aroma tanah dan daun kering yang khas karena digelayuti butiran air.Nilna tersenyum tipis, menatap wajah suaminya yang kini tidak berjarak. “Mas nggak capek?” samb
"Ya udah, Mas tunggu di balai depan, ya.” Bagas beranjak terlebih dahulu untuk bersiap pamit. Sementara Nilna, ingin ke kamar kecil untuk membersihkan diri.“Iya, Mas. Nanti aku nyusul,” pungkas Nilna, membuka pintu kamar kecil.Langkah kaki Bagas terasa ringan. Embusan angin dari kipas tua yang berderit di sudut balai menerpa senyum teduhnya. Hati pria itu kembali menghangat, dengan untaian kalimat jujur dari Nilna.Tapaknya terhenti tepat di samping sang ayah. “Bah, kok sendirian?” sapanya, pelan.Abah Rasyid terperanjat, lalu menegakkan posisi duduk. “Iya, Mas dan Mbakmu pulang terlebih dulu karena anaknya mulai rewel,” terang pria bersorban itu, dengan suara serak yang khas.Di lantai dapur, Nilna menapakkan kaki bersihnya. Wanita muda itu mematut diri sejenak di depan cermin yang tertaut di lemari tua.“Nilna, kamu masih di sini?” Bayangan Ilham menyembul tanpa permisi di sebelah pantulan wajah Nilna.Nilna terkesiap kaget. “Ilham?” Menantu Abah Rasyid itu memutar tubuhnya cepat,
‘Kenapa dia muncul bareng sama aku? Apa dia sengaja?’ batin Nilna resah. Ia melirik Bagas sekilas dan semakin bertanya-tanya. ‘Kenapa Mas Bagas kaget juga ngelihat dia?’ “Ilham, ayo, masuk,” titah Abah Rasyid tenang, mempersilakan santri ndalemnya masuk. Nilna meremas ujung jilbab. Wanita itu tertunduk dalam, menghindari tatapan lelaki muda yang sempat menyukainya. Bagas memicingkan mata, menangkap ingatan yang kembali hadir dalam benaknya. ‘Dia itu ... lelaki berseragam yang sama dengan Nilna waktu perpisahan Aliyah, kan?’ Putra bungsu Abah Rasyid itu mengepal tangan erat di pangkuan, menahan gejolak was-was yang membuncah. “Injih, Bah.” Ilham memasuki ndalem, berjalan dengan lutut tertekuk. Remaja 19 tahun itu mengecup punggung tangan sang kiai dengan sepenuh hati. “Ini, dia dulu lulus Aliyah di sini. Ilham ini sempat melanjutkan jenjang Uqudul Juman di Blitar. Tapi karena pertimbangan orang tua, dia balik menyelesaikan pendidikannya ke sini. Sambil khidmat di ndalem Abah
“Mbak, semua manusia itu punya jalan dan ujian masing-masing.” Kata itu terucap dengan tenang, meski dengan suara yang bergetar. Hatinya terasa ngilu mendengar perkataan yang menghujam tepat. Nilna berdiri tegak, menatap tajam kakak iparnya. Cacian yang ia terima bahkan tidak membuat nyalinya rapuh. Ia bahkan berusaha berbesar hati, karena berkat itu, dirinya dapat mengetahui sifat asli Salwa.“Tapi kamu itu ... aneh. Nggak seperti wanita umumnya.” Salwa masih tidak mau kalah. Pandangan perempuan 30 tahun itu menyapu penampilan Nilna dari atas hingga bawah.Nilna sempat terperangah, tapi buru-buru mengendalikan diri dengan cantik. Ia tahu, menjadi bagian dari keluarga ini tidak lantas membuatnya dapat diterima semua orang. Ia bahkan sudah menebak, dan mempersiapkan mental, untuk menghadapi badai yang tak kenal permisi. Badai yang membuatnya lebih kokoh dan berkualitas dalam segi apa pun.‘Allahu rabbi, aku pasti bisa tetap berdiri tegak. Karena harga diriku lebih brilian dari pada
[Na, badan kamu udah baikan, kan?]Mata Nilna membulat ketika mendapat pesan dari lelaki itu. Dafa. Terlihat jelas dari foto profil dan nama pengguna dari nomor yang mengiriminya pesan.Jemarinya yang semula lincah menggulir layar, kini mendadak kaku.“Dari mana dia dapat nomor WhatsApp aku?” desisnya kaget, lalu melempar ponselnya ke atas ranjang.Cahaya lampu dari ruang tengah menyusup lewat ventilasi. Menerangi sedikit sudut kamar Nilna yang gelap. Kali ini, wanita 19 tahun itu ingin tidur dalam gelap. Alih-alih bisa cepat tertidur, ia malah terganggu kembali dengan pesan dari Dafa yang datang tanpa permisi.Di kamar lain, Bagas kembali berjibaku dengan pekerjaan yang ia tinggal tadi siang. “Sudah jam sebelas ...,” katanya lirih, lalu menyesap sisa coklat hangat yang telah dingin.Suami Nilna itu menghela napas berat. “Allahu rabbi,” ucapnya, menguatkan diri. Rasa kantuk mulai hadir, membuyarkan konsentrasinya.“Lanjut besok lagi aja.” Ia mematikan laptop, lalu berjalan menuju ra
Bab 29.“Kamu ... mau apa ke sini?”Kalimat itu mendarat dengan tenang, tapi dari sorot mata Bagas, seolah berucap: ini wilayahku!Dafa tertegun sejenak, menatap suami Nilna dengan nanar. “Sa-saya,” katanya gugup. “Menitipkan ini,” lanjutnya, menyodorkan bungkusan plastik berwarna bening.Bagas hanya memandangi bungkusan itu, tanpa berkata apa pun. Aroma khas antiseptik menguar tanpa permisi. Sehelai tirai putih menggantung malas, berkibar pelan diterpa angin sore. Menambah nuansa tidak nyaman di antara mereka.“Tolong berikan pada Nilna, kalau dia sudah sadar.” Dafa menghela napas berat. Namun, hatinya lebih lega, dapat meluncurkan kalimat seberat itu.Mendengar itu, Bagas tidak habis pikir, dan beranjak dari duduknya, menyejajari lelaki muda itu. “Apa alasanmu melakukan itu?” ucap Bagas, tenang. Namun, ada seonggok rasa tidak terima yang membuncah.Dafa mundur setapak, mencoba berdiri di tengah badai yang ia buat sendiri. Lelaki dua puluh tahun itu meremas ujung bungkus plastik,