“Alhamdulillah, semua berkas sudah beres, tinggal setor ke balai desa besok.” Bagas menyisir jalanan desa yang tenang. Senyumnya mengembang ketika membayangkan hal indah yang sudah lama dinantikan.
Duduk bersanding dengan pujaan hati, Qaila. Gadis dewasa pilihan hatinya. Yang ia temui saat agenda dakwah mahasiswa di Tulungagung. Dalam beberapa hari, mereka telah mantap untuk taaruf dan segera menikah. Namun karena terbatasnya waktu, ia belum sempat mengenalkan sang pujaan hati pada keluarganya. Langkahnya cukup mantap dan yakin. Hingga dengan ringan tangan mengurus berkas pernikahan yang diselenggarakan lima hari lagi. Namun, lamunan itu perlahan memudar ketika ia melihat seorang gadis yang baru beranjak dewasa. Berjalan pelan berlawanan arah dengannya. Seragam santriwati membalut tubuh sang gadis dengan anggun. Namun, ada keanehan yang Bagas tangkap. Gadis itu berderap pelan dengan kepala menunduk, wajah pucat, dan cara berjalan yang ragu. Jalanan desa memang terbiasa lengang. Kali ini, hanya beberapa kendaraan bermotor yang menampakkan diri di ujung jalan. Terkadang ada beberapa ekor ayam yang ikut menyeberang. Bagas menatap gadis itu sejenak. Hatinya tampak bimbang. Ia tak biasa, bahkan sangat membatasi interaksi dengan lawan jenis. Namun, rasa iba berkecamuk dalam benaknya. Ia memberanikan diri untuk menyapa gadis itu. “Mbak,” sapanya pelan. “Ada yang bisa saya bantu?” lanjutnya lagi. Dengan nada yang lebih pelan. Gadis itu menoleh sejenak, namun tertunduk lagi. Tangannya terlihat gemetar saat memegang tas. Tatapan mereka sempat bertemu, dan Bagas nyaris membeku. Namun anehnya, ada desir asing yang tak pernah Bagas alami sebelumnya. Di sisi lain, ia juga memahami ketakutan dan rasa malu yang mencoba disembunyikan sang gadis. “A-anu, Kang ....” Gadis itu akhirnya bersuara, meski masih terbata. “Bisa carikan saya pembalut?” katanya ragu, dengan wajah yang kembali tertunduk. Mendengar itu, Bagas terdiam beberapa detik. Desau angin yang berembus perlahan mengingatkan ia saat mengaji fiqih di pondok. Bagaimanapun, ia tak menyangka bisa mendengar perkataan itu dari gadis yang beranjak dewasa. Tapi, Bagas sangat paham. Tidak ada motif tersembunyi dari perkataan polosnya. Apa lagi menggoda. Hanya permintaan tulus dari remaja yang membutuhkan bantuan darurat. Bagas menarik napas pelan. “Baik. Tunggu di mushola, ya,” tunjuknya pada bangunan di seberang jalan. “Bersihkan dulu di kamar mandi agar nyaman,” lanjutnya memberi arahan. Setelah memastikan gadis itu aman, Bagas melesat menuju warung terdekat. Ia bahkan tak menghiraukan sandal jepit yang hampir putus. Karena seakan berlomba dengan rasa hormat dan iba sebagai laki-laki. Bahkan, ia terhuyung dan hampir jatuh karena tersandung oleh batu besar di tepi jalan. Tak perlu waktu lama, Bagas kembali dengan membawa kemasan berwarna pink. “Ini,” katanya pelan. Ia menyodorkan benda itu pada sang gadis. Tanpa sungkan, gadis itu langsung menerimanya dengan cepat. Karena tergesa dan malu, ia lupa untuk mengucapkan terima kasih. Lalu, tanpa permisi berlari masuk kamar mandi. Entah mengapa, Bagas masih menunggunya keluar. Entah karena jiwa laki-laki sebagai pelindung perempuan, atau karena desir asing yang ia rasakan. Awan kelabu masih menggantung di langit siang itu. Namun, sepertinya hujan masih enggan untuk turun. Seperti Bagas yang tanpa sebab ingin memastikan gadis itu selesai mengurus masalahnya. Hingga akhirnya, senyum Bagas mengembang ketika gadis itu unjuk diri. Dengan wajah yang masih memerah menahan kikuk dan malu. Bagas nyaris berpaling. Namun, ada sesuatu yang menariknya kembali. Pandangan pria itu menyorot warna darah segar di rok sang gadis. Tanpa berpikir, Bagas spontan membuka baju koko yang membalut tubuh kekarnya. Lalu, ia lilitkan pada pinggang sang gadis. “Mohon maaf,” katanya segan. “Saya tidak sampai hati membiarkanmu seperti itu,” pungkasnya penuh iba. Ia memalingkan wajah penuh hormat. Kedua sudut bibir gadis itu terangkat. Alih-alih ingin mengucap terima kasih. Seorang warga dengan sorot mata tajam menghakimi mereka berdua. “Astaghfirullah,” katanya kaget. “Apa yang kalian lakukan di sini? Kenapa sampai lepas baju begitu?” hardiknya tanpa jeda. Dada warga itu naik turun ketika memperhatikan Bagas mematung tanpa atasan, dan seorang gadis dengan kain melilit rok. “Kami tidak--" Bagas mencoba angkat bicara. Namun dengan seenaknya warga itu memotong kalimat di tenah jalan. "Halah! Sudah jelas ketangkap basah begini. Masih mau cari alasan juga? Hah?” Warga itu mendelik tajam. “Biarkan sesepuh pondok yang mengadili kalian!” Keributan itu menimbulkan suara keras yang mengundang perhatian warga lain. Jadilah segerombol masyarakat tampak mendekat dan menyaksikan kesalah pahaman itu. Ada sebagian yang mencibir, memprovokasi, dan memperkeruh suasana. Namun, ada pula segelintir orang yang menatap iba. Tapi, tak ada yang benar-benar bisa mendengar. Melihat kegaduhan itu, sang gadis menunduk dengan tubuh bergetar. Air mata pun berhasil lolos terjun tanpa bisa ditahan. “Saya hanya ... minta bantuan,” ungkap gadis itu parau dan hampir putus asa. Tapi semua orang hanya menganggap angin berlalu. Tanpa ampun, mereka mengarak Bagas dan sang gadis menuju pondok pesantren. Rasa malu, sedih, marah, dan tidak berdaya menghantam mereka. Di tengah kegentingan yang menyeruak, Bagas tanpa sengaja mencuri pandang. Pandangan asing yang belum pernah ia dapatkan sebelumnya. Namun cukup memberi kesan yang mendalam di hati. Seorang remaja yang tak pernah ia sangka. Bahkan nama pun ia tak tahu. Namun berhasil mengguncang hidupnya."Kamu lihat, kan, auditorium itu?” Pak Affan tengah berdiri di samping Nilna, tepat sebelum naik tangga, menunjuk beberapa orang yang berderet rapi. Dosen pembimbing itu memberi sokongan dari hati yang paling dalam. “Di sana, duduk orang-orang hebat, yang kadang meragukan kemampuan kita,” lanjut dosen Bahasa Arab itu, dalam. Ia berdiri tegap dengan balutan almamater kebanggaan unversitasnya.“Tapi itu bukan masalah, tugas kita sekarang adalah menunjukkan hal yang terbaik dari kita,” pungkasnya, dengan senyum mengembang. “Iya, Pak. Bismillah,” ucap Nilna, teguh. Hingga akhirnya, Nilna benar-benar berdiri sendiri di atas panggung.“Assalamualaikum warahmatullah wabarakaatuh ....” Ucapan salam itu meluncur tanpa hambatan dari mulut kecil Nilna. Suaranya tenang, tapi menghasilkan getaran yang menarik ratusan orang mengangkat wajah dan fokus ke sumber suara. Mahasiswi itu berdiri tegak, meski ada gugup dan keraguan yang menumpu pada punggungnya.“Waalaikumussalam warahmatullah wabarakaa
“Mas, kenapa, ya .... Semakin aku berusaha keras, semakin keras juga ujian yang datang.” Suara Nilna terdengar serak, dan sangat pelan. Seakan usai berlari di medan yang terjal.Netra perempuan itu memanas. Sebutir air mata masih bersembunyi di balik pelupuknya. Ia menatap lurus ke depan, dengan pandangan menerawang. Kakinya tertekuk, dengan kabut gelap yang sejak siang enggan untuk melunak.Bagas mengangkat wajah, menjeda jemarinya yang sedari tadi lincah menari di keyboard laptop.“Mas juga merasa begitu, Dek.” Bagas menoleh, memandangi istri kecilnya yang terduduk di ujung ranjang.“Tapi, Allah selalu menyiapkan kejutan yang indah di balik itu semua.” Pria itu memilih bangkit, dan mendekati istrinya. Menggenggam tangan kecil itu tanpa ragu, lama. Sisa hujan di siang hari masih membekas di heningnya malam. Meninggalkan aroma tanah dan daun kering yang khas karena digelayuti butiran air.Nilna tersenyum tipis, menatap wajah suaminya yang kini tidak berjarak. “Mas nggak capek?” samb
"Ya udah, Mas tunggu di balai depan, ya.” Bagas beranjak terlebih dahulu untuk bersiap pamit. Sementara Nilna, ingin ke kamar kecil untuk membersihkan diri.“Iya, Mas. Nanti aku nyusul,” pungkas Nilna, membuka pintu kamar kecil.Langkah kaki Bagas terasa ringan. Embusan angin dari kipas tua yang berderit di sudut balai menerpa senyum teduhnya. Hati pria itu kembali menghangat, dengan untaian kalimat jujur dari Nilna.Tapaknya terhenti tepat di samping sang ayah. “Bah, kok sendirian?” sapanya, pelan.Abah Rasyid terperanjat, lalu menegakkan posisi duduk. “Iya, Mas dan Mbakmu pulang terlebih dulu karena anaknya mulai rewel,” terang pria bersorban itu, dengan suara serak yang khas.Di lantai dapur, Nilna menapakkan kaki bersihnya. Wanita muda itu mematut diri sejenak di depan cermin yang tertaut di lemari tua.“Nilna, kamu masih di sini?” Bayangan Ilham menyembul tanpa permisi di sebelah pantulan wajah Nilna.Nilna terkesiap kaget. “Ilham?” Menantu Abah Rasyid itu memutar tubuhnya cepat,
‘Kenapa dia muncul bareng sama aku? Apa dia sengaja?’ batin Nilna resah. Ia melirik Bagas sekilas dan semakin bertanya-tanya. ‘Kenapa Mas Bagas kaget juga ngelihat dia?’ “Ilham, ayo, masuk,” titah Abah Rasyid tenang, mempersilakan santri ndalemnya masuk. Nilna meremas ujung jilbab. Wanita itu tertunduk dalam, menghindari tatapan lelaki muda yang sempat menyukainya. Bagas memicingkan mata, menangkap ingatan yang kembali hadir dalam benaknya. ‘Dia itu ... lelaki berseragam yang sama dengan Nilna waktu perpisahan Aliyah, kan?’ Putra bungsu Abah Rasyid itu mengepal tangan erat di pangkuan, menahan gejolak was-was yang membuncah. “Injih, Bah.” Ilham memasuki ndalem, berjalan dengan lutut tertekuk. Remaja 19 tahun itu mengecup punggung tangan sang kiai dengan sepenuh hati. “Ini, dia dulu lulus Aliyah di sini. Ilham ini sempat melanjutkan jenjang Uqudul Juman di Blitar. Tapi karena pertimbangan orang tua, dia balik menyelesaikan pendidikannya ke sini. Sambil khidmat di ndalem Abah
“Mbak, semua manusia itu punya jalan dan ujian masing-masing.” Kata itu terucap dengan tenang, meski dengan suara yang bergetar. Hatinya terasa ngilu mendengar perkataan yang menghujam tepat. Nilna berdiri tegak, menatap tajam kakak iparnya. Cacian yang ia terima bahkan tidak membuat nyalinya rapuh. Ia bahkan berusaha berbesar hati, karena berkat itu, dirinya dapat mengetahui sifat asli Salwa.“Tapi kamu itu ... aneh. Nggak seperti wanita umumnya.” Salwa masih tidak mau kalah. Pandangan perempuan 30 tahun itu menyapu penampilan Nilna dari atas hingga bawah.Nilna sempat terperangah, tapi buru-buru mengendalikan diri dengan cantik. Ia tahu, menjadi bagian dari keluarga ini tidak lantas membuatnya dapat diterima semua orang. Ia bahkan sudah menebak, dan mempersiapkan mental, untuk menghadapi badai yang tak kenal permisi. Badai yang membuatnya lebih kokoh dan berkualitas dalam segi apa pun.‘Allahu rabbi, aku pasti bisa tetap berdiri tegak. Karena harga diriku lebih brilian dari pada
[Na, badan kamu udah baikan, kan?]Mata Nilna membulat ketika mendapat pesan dari lelaki itu. Dafa. Terlihat jelas dari foto profil dan nama pengguna dari nomor yang mengiriminya pesan.Jemarinya yang semula lincah menggulir layar, kini mendadak kaku.“Dari mana dia dapat nomor WhatsApp aku?” desisnya kaget, lalu melempar ponselnya ke atas ranjang.Cahaya lampu dari ruang tengah menyusup lewat ventilasi. Menerangi sedikit sudut kamar Nilna yang gelap. Kali ini, wanita 19 tahun itu ingin tidur dalam gelap. Alih-alih bisa cepat tertidur, ia malah terganggu kembali dengan pesan dari Dafa yang datang tanpa permisi.Di kamar lain, Bagas kembali berjibaku dengan pekerjaan yang ia tinggal tadi siang. “Sudah jam sebelas ...,” katanya lirih, lalu menyesap sisa coklat hangat yang telah dingin.Suami Nilna itu menghela napas berat. “Allahu rabbi,” ucapnya, menguatkan diri. Rasa kantuk mulai hadir, membuyarkan konsentrasinya.“Lanjut besok lagi aja.” Ia mematikan laptop, lalu berjalan menuju ra