Share

1.

"Aku akan menjenguk Harry. Selesai jam istirahat aku pasti sudah kembali, Sandy." Ucap Misha seraya merapikan rambutnya yang lembab dan kusut.

Sandi menoleh lalu mendengkus pelan, meski akhirnya mengangguk mengiyakan.

"Pergilah! Semoga tunanganmu cepat sehat, Mish!" ucap manajernya itu.

Misha tersenyum, lalu bergegas pergi dan memanggil taksi menuju apartemen tunangannya.

Setelah sampai di depan sebuah gedung apartemen kelas menengah, Misha berjalan masuk dengan terburu-buru.

Gadis itu menyusuri koridor apartemen tunangannya dengan wajah cemas.

Kemarin Harry, tunangannya itu sedang sakit dan tidak masuk kerja di kantor firma hukum yang kebetulan tak jauh dari restoran tempat Misha bekerja.

Misha merasa cemas sepanjang hari ini karena tunangannya itu tidak mengabarinya sejak pagi.

Senyum lega tampak di wajah lelah gadis 22 tahun itu saat akhirnya sampai di depan pintu kamar tunangannya.

Dengan perlahan, dia menekan beberapa angka untuk membuka pintu. Dia tidak mau mengganggu istirahat laki-laki yang akan menikahinya itu.

Misha membuka pintu dengan hati-hati, lalu tertegun.

Di hadapannya tampak Harry yang tengah bergumul mesra penuh gairah dengan seorang wanita yang sangat dikenalnya.

Miranda, kakak kandung Misha sendiri.

"Kalian menjijikan!" teriak Misha dengan lantang.

Sepasang manusia yang sedang bergumul mesra penuh gairah terperanjat mendengar suara Misha.

"Misha?" Pekik Miranda yang panik karena tak berbusana, dan kini tampak menatapnya dengan wajah pucat.

Misha menelan ludahnya menahan sakit hati dan desakan tangis yang seolah ingin meledak ke permukaan.

"Sayang, jangan marah. Kami hanya bersenang-senang," ucap Harry terdengar kikuk, seolah berusaha memecah keheningan.

Misha menarik nafas tajam dengan sakit hati.

"Kalian sudah lama melakukan ini?" tanya gadis itu dengan marah.

Miranda tergagap dengan wajah yang tampak memerah entah karena malu dan keringat.

"Aku... hanya ingin membantu kalian," kilah saudarinya itu dengan salah tingkah.

Misha menatap saudaranya yang tak tahu diri itu dengan nanar.

"Membantu kami?" tanya Misha dengan suara serak.

Harry terdengar mengembuskan nafas kesal, lalu bangkit berjalan dengan santai sambil melepas pengaman yang masih dipakainya di hadapan Misha.

"Kau tidak mau tidur denganku, Misha. Jadi tidak salah jika Kakakmu yang membantu meredakan gairahku, bukan?" ucap Harry dengan senyum santai yang tampak begitu menyakitkan bagi Misha.

Isakan Misha mengeras tanpa dia sadari.

Ucapan Harry yang seolah menyalahkannya justru menambah tikaman rasa sakit baru setelah dia mengetahui pengkhianatan yang mereka lakukan.

"Kenapa harus dia?!" teriak gadis itu seraya menunjuk kakaknya dengan tangis frustasi.

Miranda menarik selimut Harry dengan ekspresi canggung.

Harry terkekeh pelan, lalu dengan santainya naik kembali ke ranjang tempat Miranda berada.

Kakak Misha itu tampak salah tingkah melihat tunangan adiknya malah kembali berbaring di sebelahnya di saat adiknya tengah memergoki mereka.

Tidak ada raut bersalah dari wanita yang Misha sayangi sepanjang hidupnya itu.

Misha memejamkan mata menahan gumpalan rasa sakit hati dan jijik saat melihat dua orang yang dia sayangi itu seolah bersiap untuk memulai kembali hal yang sempat dia sela.

"Kalian benar-benar kurang ajar!" desis gadis itu dengan marah.

Harry terbahak tampak tak peduli.

"Ayolah! Dia kakakmu, Misha. Dan aku dengan senang hati berbagi tubuh dengan kalian," bujuk pria itu dengan kejam.

Misha tersentak mendengarnya. Dia tidak menyangka jika orang yang akan menikahinya hanyalah seorang laki-laki yang tidak berperasaan.

Wajah gadis itu tampak terluka melihat Miranda malah memalingkan wajah dan ikut berbaring di samping tunangannya.

"Misha, terima kasih sudah berbagi segalanya denganku. Kau memang Adik yang baik," ucap kakaknya dengan senyum tipis yang begitu menjijikan bagi Misha.

Misha terus berlari sejak keluar dari gedung apartemen Harry dengan suara tangis nyaring yang terdengar memilukan.

Dia menaiki taksi dan kembali ke tempat kerjanya dengan tangis yang tak bisa berhenti.

Gadis itu hancur tanpa ada tempat untuk bersandar.

Misha terlalu sibuk bekerja siang dan malam demi mereka berdua, tanpa dia tahu jika kakaknya juga sama-sama sibuk berbagi gairah dengan calon suami Misha sendiri.

Kenyataan mengerikan yang seolah menertawai kerja kerasnya selama ini.

"Aku akan berhenti mencintai, disaat tak ada satupun cinta orang yang benar-benar mencintaiku." batin Misha dengan tangan mengusap tetesan tetakhir air mata yang mengalir di pipinya

***

Setelah memaksakan diri menyeselesaikan pekerjaannya, sore hari Misha bergegas pulang ke rumah yang ditinggalinya bersama Miranda.

Gadis itu lalu mengeluarkan seluruh barang penting beserta pakaiannya dari rumah kecil peninggalan orang tua mereka.

"Kita bisa bicarakan semuanya. Aku hanya berhubungan intim dengan Harry. Dan kau merajuk seperti remaja yang cemburu. Oh, ayolah Misha. Dewasalah," rengek kakak perempuannya itu dengan panik.

Gerakan tangan Misha yang sedang memasukkan sepatu ke dalam salah satu kopernya berhenti seketika.

"Kau boleh mengambilnya tanpa harus dikembalikan. Aku tidak berminat memungut sampah bekas pakai," ujar Misha dengan senyum sinis yang tampak jijik dan meremehkan.

Miranda yang selalu bergantung padanya dalam segala hal, semakin panik melihat adiknya benar-benar mengemas nyaris seluruh barang-barang pribadinya dan memasukkannya pada beberapa koper besar.

"Kumohon, jangan pergi!" rengek perempuan 28 tahun itu lagi terdengar putus asa.

"Kau egois, Misha. Bagaimana jika aku mati kelaparan?" protes Miranda dengan sebagai upaya terakhirnya yang menyedihkan.

Misha mulai menarik salah satu koper besar berwarna merah keluar dari kamarnya dengan santai.

"Mati saja dulu. Nanti aku pikirkan akan datang ke pemakamanmu atau tidak." ujar gadis itu sambil berjalan ke pergi tanpa sekalipun menoleh ke arah Miranda yang tampak pucat tak berdaya.

Misha menaiki taksi memilih pergi sejauh mungkin dari rumah orang tuanya itu dengan perasaan kacau dan hancur.

Dengan uang yang dia miliki, Misha langsung berhenti di sebuah motel sederhana dan memilih menyewa disana sebagai tempat tinggalnya untuk sementara.

Dia mempunyai sebuah rencana yang harus dia lakukan dengan segera.

Setelah mengeluarkan sedikit barang keperluannya, Misha duduk di kasur sedang kamar sewanya.

Tangannya menggenggam sebuah ponsel dengan wajah yang tampak berpikir keras.

Setelah sempat terlihat ragu, akhirnya Misha menempelkan ponselnya ke telinga dengan ekspresi yang terlihat serius.

Suara dering membuatnya menggigit bibirnya dengan gelisah.

"Misha?" sebuah suara yang dikenalnya menyapanya dengan cepat.

"Ya, Hai Howard!" jawab Misha gugup.

"Bagaimana kabarmu, Mish?" tanya suara ramah seorang pria yang terdengar dari ponselnya.

Misha menghela nafas gugup.

"Bantu aku, Howard," ucap Misha dengan serius.

"Tunggu! Ada apa ini? Ada apa denganmu, Mish?" suara terkejut Howard terdengar di telinganya.

Misha menunduk muram.

"Aku harus melakukannya! Aku harus membuang semuanya," batin Misha dengan yakin.

"Bawa aku pergi, Howard!" pinta Misha dengan tegas.

"Tunggu! Katakan, Misha!" desak Howard.

Misha meringis gelisah.

"Bantu aku pergi dari kota ini, Howard. Aku akan menceritakannya padamu nanti," pinta Misha.

"Katakan dulu padaku!" Desak Howard.

Misha memejam kesal.

"Bawa aku pergi dulu, atau aku pergi sendiri!" tegas gadis itu hingga Howard terdengar mengumpat dan terpaksa mengalah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status