“Murti… Murti…” suara lirih Mas Galih ku dengar saat akan memasuki pintu ruangannya.Pria tampan yang masih berstatus suamiku itu terus memanggilku sambil memejamkan matanya. Rasa iba tiba-tiba menyeruak dalam hatiku. Sungguh aku tak tega melihat keadaannya yang lemah, wajahnya yang pucat, dan tubuhnya yang sedikit kurus setelah beberapa hari saja sakit.“Ya, Mas.. aku disini,” aku menghampiri Mas Galih dan langsung menggenggam tangannya.“Murti…. Jangan pergi! Jangan tinggalin aku!” Mas Galih membuka mata lalu menangis sejadinya sambil menenggelamkan wajahnya ke tubuhku.“Iya, Mas. Aku gak akan pergi, kamu cepat sembuh ya,” ucapku.Kalimat itu lolos begitu saja, seketika semua pengkhianatannya musnah dari otakku. Rasa benciku padanya pun entah bersembunyi dimana.Sementara itu, gadis cantik yang mengaku sebagai sekretaris Mas Galih itu, tengah duduk memelas menyaksikan adegan haru kami.“Kamu pulang saja, sudah ada saya disini!” titahku padanya.Aku pun kasihan, karena dia terus seti
“Mas, kamu di rumah sakit,” sahutku.“Kenapa aku disini? Aku mau pulang!”Dia memberontak, hendak melepas jarum infus yang terpasang ditangannya.“Mas, jangan! Biar aku panggil suster.” Aku beranjak mencegahnya.Suamiku seperti orang yang kehilangan ingatan sesaat. Apa dia juga lupa kalau tadi malam meringkih memanggil namaku?“Kenapa aku bisa disini?” lirihnya.“Kamu sakit, Mas.” Jawabku.“Aku sudah baik-baik saja, aku mau pulang sekarang!”“Iya..iya. tunggu suster datang untuk melepaskan infusmu,” ujarku.Beberapa menit kemudian, dua orang suster datang.“Suster, tolong lepaskan infus suami saya, dia ingin pulang,” ucapku.“Kami tidak berani, karena hanya dokter yang bisa memutuskan pasien boleh pulang atau tidak,” cicitnya.“Panggil dokter sekarang!” pinta Mas Galih.Sejurus kemudian, kedua suster itu keluar untuk memanggil dokter. Saat dokter masuk, dia dengan terpaksa menuruti permintaan Mas Galih meskipun sudah dijelaskan bahwa dirinya harus beberapa hari agi dirawat mengingat s
Aku terus memperhatikannya, Pak Dodi yang ku kenal ramah dan ceria ternyata sangat mencurigakan. Siapa sebenarnya dia? Apa tadi dia sengaja mengajakku mengobrol agar Winda dan Mas Galih bisa kabur. Tapi buat apa? Otakku terasa ingin pecah, masalah apa lagi ini, kenapa semakin rumit kurasa. Tak ingin ambil pusing lagi masalah Mas Galih, aku pun memutuskan untuk pulang saja ke rumah Ibu. Tapi sebelum itu, aku mampir dulu ke rumah Mas Galih, siapa tahu dia pulang kesana. Aku masih saja mengkhawatirkannya karena kondisinya yang masih belum pulih total. Sampai di rumah Mas Galih, suasana tampak sepi dan hening. “Mas… Assalamu’alaikum… kamu di dalem Mas?” panggilku sambil kucoba membuka pintu yang ternyata dikunci. Beberapa menit aku bertahan disana karena berpikir mungkin Mas Galih sedang perjalanan pulang, sampai akhirnya aku memutuskan untuk pulang saja ke rumah Ibu karena tak ada tanda-tanda suamiku akan datang. Hari sudah mulai senja, aku memutuskan untuk naik ojek saja agar cepat
“Astaghfirullah, aku harus gimana ya Allah…” aku terduduk di tepi ranjang sambil mengelus dada.Setelah sedikit tenang, aku pergi ke dapur untuk mengambil minum. Disana juga ada Ibu yang sedang memasak air untuk mengisi termos panas.“Nak, gimana kelanjutan hubungan kamu sama Galih?” lirih Ibu.Setelah menenggak satu gelas air putih, aku duduk bersama Ibu di meja makan, sementara Bapak belum pulang dari surau.“Kamu belum urus perceraian kamu?” tanya Ibu dengan wajah sendunya.“Kayaknya Murti batalin aja, Bu,” jawabku.“Kamu yakin? Apa kamu nanti baik-baik aja? Ibu khawatir, Nak. Ibu pengen kamu tuh bahagia.” Mata Ibu mulai berkaca-kaca.Hal yang paling kubenci adalah melihat Ibu bersedih, apalagi penyebabnya adalah aku sendiri.“Bu, insya Allah Murti baik-baik aja, seperti dikatakan Papa kemarin, Mas Galih masih membutuhkan Murti,” ucapku memberi pengertian.“Jadi kamu akan biarin dia selingkuh dan buat diri kamu menderita terus?” gerutu Ibu.“Gak, Bu. Entah kenapa Murti yakin, sebe
"Ya udah, kalau gitu abis ini kita pulang ke rumah ya, Mas!" ajakku.Mas Galih mengangguk, setuju dengan ajakanku.Lisa tampak keberatan dengan keputusan Mas Galih, namun siapa dia mampu membujuk suamiku. Hanya karena bisa menjual nama Mama mertuaku, bukan berarti dia bisa seenaknya.***Setelah sarapan, sekitar pukul 10.00 pagi, aku membawa Mas Galih kembali ke rumah kami, naik taksi, tapi sebelum itu aku ke rumah Ibu dulu untuk mengambil barang-barang sekaligus berpamitan.“Mur.. kamu yakin akan kembali kesana bersama Galih?” ekspresi cemas wanita yang melahirkanku itu terukir jelas di wajahnya.“Insya Allah, Bu. Doain Murti kuat ya,” jawabku sambil mengenggam tangannya.“Kamu jaga keutuhan rumah tangga kamu dengan baik!” seru Bapak.“Baik, Pak.” Aku menjawab sambil mencium tangan kedua orang tuaku dengan takzim.Setelah berpamitan, aku kembali ke rumah. Mas Galih tersenyum di sampingku. Ingin rasanya aku bertanya apa yang sedang terjadi antara dia, Winda dan Lisa. Tapi nanti saja,
“Apa-apaan kalian…!!!” raungku.Emosiku memuncak sudah, aku menghampiri Lisa dan melayangkan sebuah tamparan keras ke pipi mulusnya.Gadis itu menyeringai sambil menyeka darah yang yang sedikit keluar dari sudut bibirnya. Sama sekali tak terlihat merasa bersalah, aku malah melihatnya tersenyum sinis.“Mur… apa-apan sih, kamu!” hardik Mas Galih.“Kamu mau bela dia? Abis itu kamu mau usir aku lagi? Atau kamu mau balas menamparku? Silahkan, Mas! Tampar aku!!!!” aku berteriak, amarahku telah sampai di puncak ubun-ubun.“Lisa! Masuk kamar!” perintah Mas Galih.Gadis itu menuruti ucapan suamiku, bergerak melewatiku, dan sengaja menyenggol bahuku.“Mas, sebenarnya aku ini kamu anggap apa? Aku masih istrimu atau gak? Aku mohon kejelasan untuk semua ini, Mas. Kenapa kamu perlakukan aku kayak gini!” tangisku pecah, sesak di dada tak dapat kutahan. Aku menangis sejadi-jadinya.Mas Galih memelukku, mengusap punggungku lembut lalu menuntunku untuk duduk diatas kursi taman.Dia hanya menatapku ya
“Jadi.. kamu membohongiku! Kamu bilang aku yang menghamilimu!” Mas Galih tiba-tiba muncul, membuat aku dan Lisa kompak terperanjat dan menoleh padanya.“Mas Galih…” ucapku.“Pak Galih…” Lisa pun refleks memanggilnya.“Sejak kapan Mas disitu?” aku bangkit lalu menghampirinya.“Kau… hamil anak Papa?” suara Mas Galih bergetar, dia menepis tanganku yang menyentuh lengannya.“Pak.. maafkan saya…” suara isakan Lisa terdengar menyayat hati.“Aku harus telepon Papa!” tangan Mas Galih bergetar meraih benda pipih miliknya.“Pak! Jangan… saya mohon! Kalau Bu Retno tau, saya bisa dibunuh…” Lisa memohon sambil berlutut di kaki Mas Galih.“Kau sudah mempermainkanku, aku memang suka padamu, tapi aku ingat betul bahwa aku tidak pernah tidur denganmu!” hardik Mas Galih.“Iya.. Pak! Saya lakukan itu karena terpaksa. Saat itu, ketika Bapak sedang mabuk dalam ruang kerja, saya mengambil kesempatan untuk pura-pura tidur di samping Bapak. Saya hanya ingin anak ini mempunyai Ayah, jangan laporkan pada Pak
“Mur.. bisa bicara sebentar?” suara khas Pak Dodi membuatku menghentikan langkah.“Ada apa, Pak Dod?” tanyaku.“Mur.. kamu masih marah sama saya?”“Marah kenapa?” aku mengernyit.“Yang di taman waktu itu…”“Sudahlah, Pak Dod. Gak ada yang perlu dibahas, saya permisi dulu,” ucapku sambil meneruskan langkah keluar ruangan.“Mur, sebenarnya saya….”Aku membalik badan, “bapak mau ngomong apa? Saya buru-buru, Pak.”“Saya sebenarnya ingin balikan dengan Winda, kamu bisa bantu saya?”“Saya sendiri gak punya solusi untuk membuat suami saya menjauhi dia, Pak, bagaimana saya bisa membantu bapak?” ucapku kesal.“Dia melakukan itu terpaksa, Mur.” Terlihat dari raut wajahnya, bahwa dia tidak berbohong, pria yang biasanya ceria itu kini mamasang wajah yang sangat serius. Tapi sekali lagi, aku tidak bisa percaya pada siapapun.“Terpaksa karena apa? Terpaksa harus menghancurkan rumah tanggaku?” ucapku ketus.“Benar, dia memang terpaksa membuat rumah tanggamu hancur, kalau tidak dia bisa mati..” sua