Beranda / Romansa / TAKLUK DI PELUKANNYA / BAB 5 - JALAN TANPA PULANG

Share

BAB 5 - JALAN TANPA PULANG

Penulis: awaaasky
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-21 21:54:09

Setelah malam yang panjang, Auryn menyadari satu hal—ia telah melangkah ke dalam permainan Lucien, dan pria itu tidak akan membiarkannya keluar dengan mudah.

Mobil mereka melaju pelan di jalanan kota yang sepi. Lampu-lampu neon berpendar di luar jendela, menciptakan bayangan samar di wajah Lucien yang sedang mengamati Auryn.

"Apa yang kau pikirkan?" tanyanya tiba-tiba.

Auryn menoleh, menyandarkan tubuhnya ke jok mobil dengan santai. "Aku hanya bertanya-tanya… apa kau selalu membawa wanita ke tempat seperti itu?"

Lucien tersenyum kecil, tapi ada sesuatu di matanya yang tidak sepenuhnya hangat. "Tidak. Kau satu-satunya."

Auryn menahan tawanya. "Kedengarannya seperti gombalan murahan."

"Tidak juga. Aku tidak pernah membawa seseorang ke dalam duniaku jika aku tidak yakin mereka bisa bertahan."

Auryn diam. Itu bukan sekadar ucapan biasa. Ada makna yang lebih dalam di balik kata-kata Lucien.

"Dan menurutmu aku bisa bertahan?" tantangnya.

Lucien memiringkan kepala, menatapnya seolah sedang menilai sesuatu. "Aku rasa kau akan lebih dari sekadar bertahan, Auryn. Kau akan menang."

Mereka saling menatap dalam diam, seakan ada sesuatu yang tak terucapkan di antara mereka.

Namun, sebelum Auryn bisa membalas, mobil berhenti di depan apartemennya.

Lucien tidak segera berkata apa-apa, hanya mengangkat dagunya sedikit.

"Masuklah," katanya akhirnya.

Auryn melirik pria itu sejenak sebelum turun dari mobil. Namun, sebelum ia bisa menutup pintu, Lucien berbicara lagi.

"Auryn."

Ia berhenti.

"Tidak ada jalan pulang dari sini."

Auryn menatapnya, mencoba memahami maksud kata-katanya.

Tapi Lucien hanya tersenyum tipis sebelum menutup pintu mobil.

Dan dalam sekejap, mobil itu melaju pergi, meninggalkannya dengan perasaan yang sulit dijelaskan.

KEESOKAN HARINYA

Auryn duduk di meja kerjanya, menatap layar komputer dengan ekspresi kosong.

Sejak kembali dari malam itu, pikirannya tidak bisa berhenti memikirkan Lucien dan dunia yang kini perlahan menariknya masuk.

Apa sebenarnya yang Lucien inginkan darinya?

Kenapa pria itu seakan begitu yakin bahwa ia tidak bisa lari dari permainan ini?

Tiba-tiba, ponselnya bergetar.

Pesan masuk.

Lucien Morant: "Datanglah ke kantor. Ada sesuatu yang ingin kutunjukkan padamu."

Auryn menggigit bibirnya.

Sesuatu?

Tanpa pikir panjang, ia mengambil tasnya dan melangkah keluar.

Dan mungkin, di sinilah semuanya akan benar-benar dimulai.

DI KANTOR MORANT CORPORATION

Auryn melangkah masuk ke dalam kantor Lucien, disambut oleh suasana yang lebih sunyi dari biasanya.

Tidak ada sekretaris yang menyambutnya, tidak ada suara telepon berdering seperti biasa.

Ia membuka pintu ruang kerja Lucien dan menemukannya berdiri di dekat jendela besar, tangannya terselip di saku celana.

"Akhirnya kau datang," kata Lucien tanpa menoleh.

Auryn melangkah lebih dekat. "Kau bilang ada sesuatu yang ingin kau tunjukkan."

Lucien menoleh, menatapnya dengan mata gelap yang penuh misteri.

Lalu, ia berjalan ke meja kerjanya, mengambil sebuah amplop cokelat, dan melemparkannya ke arah Auryn.

"Ini tentangmu."

Auryn menatap amplop itu sebelum perlahan membukanya.

Namun, begitu ia melihat isinya, tubuhnya menegang.

Dokumen itu berisi informasi pribadinya.

Nama lengkapnya, tanggal lahir, riwayat keluarga, bahkan catatan pekerjaannya.

Semuanya.

Auryn menatap Lucien dengan tatapan tajam. "Apa maksudnya ini?"

Lucien berjalan mendekat, menghentikan langkahnya hanya beberapa inci dari Auryn.

"Aku ingin kau tahu bahwa aku selalu tahu siapa kau."

"Apa kau mengancamku?"

Lucien tersenyum kecil. "Tidak, sayang. Aku hanya memastikan bahwa kau mengerti satu hal..."

Ia mendekatkan wajahnya ke telinga Auryn, suaranya nyaris berbisik.

"Jika kau ingin bermain di duniaku, kau harus siap dengan semua konsekuensinya."

Auryn mengepalkan tangannya.

Ia tahu sejak awal bahwa Lucien adalah pria yang berbahaya. Tapi kini, ia mulai menyadari sesuatu yang lebih dalam.

Lucien bukan hanya berbahaya.

Pria itu adalah jebakan.

Dan ia baru saja melangkah lebih dalam ke dalamnya.

Auryn merasakan hawa dingin menjalar di sepanjang punggungnya saat mendengar bisikan Lucien.

Nada suaranya tenang, tapi mengandung ancaman yang halus—dan anehnya, itu justru membuat Auryn semakin tertarik.

"Aku tidak takut," kata Auryn akhirnya, menatap mata gelap Lucien dengan penuh keberanian.

Lucien menyeringai. "Tentu saja tidak. Kalau kau takut, aku pasti sudah kehilangan minat sejak awal."

Ia melangkah mundur, kembali duduk di kursinya dengan santai, seolah tidak baru saja menjatuhkan bom informasi ke arah Auryn.

"Tapi ada satu hal yang perlu kau pahami, Auryn," lanjutnya. "Setelah kau melangkah ke dalam dunia ini, kau tidak akan bisa kembali menjadi orang biasa."

Auryn menutup amplop cokelat di tangannya dengan tenang. "Dan bagaimana kalau aku menolak?"

Lucien menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatapnya dengan penuh minat.

"Kau tidak akan menolak," jawabnya ringan.

Auryn tersenyum tipis. "Jangan terlalu percaya diri, Lucien."

Lucien hanya tertawa kecil. "Aku tidak percaya diri. Aku hanya tahu bagaimana dunia ini bekerja. Dan kau, Auryn, adalah bagian dari permainan ini sekarang."

Auryn menghela napas, lalu melipat tangan di dadanya. "Jadi, apa sebenarnya yang kau inginkan dariku?"

Lucien mengamati Auryn sejenak sebelum akhirnya berkata, "Aku ingin kau menjadi partnerku."

Auryn mengerutkan kening. "Partner dalam hal apa?"

Lucien mencondongkan tubuhnya ke depan, siku bertumpu di atas meja.

"Di dunia bisnis, politik, bahkan di luar itu," katanya. "Aku butuh seseorang yang bisa berdiri di sisiku. Seseorang yang cukup kuat untuk menghadapi tekanan, cukup pintar untuk membaca situasi, dan cukup berani untuk tidak lari ketika keadaan menjadi sulit."

Auryn menatap pria itu, mencoba mencari kebohongan di wajahnya.

Namun, yang ia temukan hanyalah keyakinan yang kuat.

Lucien serius.

Dan itu membuat Auryn sedikit ragu.

Ia memang tidak pernah takut menghadapi tantangan, tapi menjadi bagian dari dunia Lucien berarti menyerahkan sebagian dari kebebasannya.

"Aku bukan orang yang suka dikendalikan," kata Auryn akhirnya.

Lucien tersenyum. "Aku tidak ingin mengendalikanmu, Auryn. Aku ingin bekerja sama denganmu."

Auryn terdiam sejenak, mempertimbangkan kata-kata Lucien.

"Kalau aku setuju," katanya akhirnya, "apa yang aku dapatkan?"

Lucien menyandarkan punggungnya ke kursi dengan ekspresi puas. "Kekuasaan, perlindungan, dan kesempatan untuk memiliki dunia ini dalam genggamanmu."

Auryn tertawa kecil. "Kedengarannya seperti tawaran mafia."

Lucien tersenyum miring. "Mungkin saja."

Auryn menatapnya tajam. "Dan jika aku menolak?"

Lucien tidak segera menjawab. Ia hanya menatap Auryn dengan cara yang membuat bulu kuduknya berdiri.

"Lalu, aku akan memastikan kau tetap berada dalam permainan ini, dengan caraku sendiri."

Auryn merasa napasnya sedikit tercekat.

Lucien tidak mengatakannya dengan nada ancaman, tapi Auryn tahu pria ini bukan seseorang yang terbiasa menerima penolakan.

"Baiklah," katanya akhirnya. "Aku akan mempertimbangkannya."

Lucien mengangguk kecil. "Itu sudah cukup untuk sekarang."

Auryn berdiri, merapikan pakaiannya. "Kalau begitu, aku pergi dulu."

Namun, sebelum ia bisa melangkah keluar dari ruangan, suara Lucien menghentikannya.

"Auryn."

Auryn menoleh.

Lucien menatapnya dengan tatapan yang sulit ditebak.

"Ingat ini—aku tidak pernah menawarkan sesuatu dua kali."

Auryn tersenyum tipis. "Kalau begitu, pastikan tawaran pertamamu cukup menarik."

Dengan itu, ia berbalik dan keluar dari ruangan, meninggalkan Lucien dengan senyum samar di wajahnya.

DI RUMAH AURYN

Malam itu, Auryn duduk di balkon apartemennya, menatap langit malam yang penuh bintang.

Pikirannya terus berputar, mencoba mencerna semua yang terjadi hari ini.

Lucien Morant bukan pria biasa.

Dan ia tahu, jika ia menerima tawaran Lucien, maka tidak akan ada jalan kembali.

Tapi di sisi lain, ia tidak bisa menyangkal bahwa ada sesuatu dalam dirinya yang tertarik pada permainan ini.

Ia menghela napas, lalu mengambil ponselnya.

Jarinya melayang di atas layar, ragu untuk mengetik sesuatu.

Namun, sebelum ia bisa mengambil keputusan, sebuah pesan masuk.

Lucien Morant: "Pikirkan baik-baik, sayang. Dunia ini lebih menyenangkan jika kau ada di dalamnya."

Auryn menatap pesan itu, lalu tersenyum kecil.

Mungkin, ia memang sudah melangkah terlalu jauh.

Dan mungkin, tidak ada jalan pulang.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • TAKLUK DI PELUKANNYA   BAB 35

    Matahari belum sepenuhnya terbit ketika suara pintu rumah sakit terbuka pelan. Auryn duduk di sisi ranjang Lucien yang masih terbaring lemah, selang infus tergantung di sisi ranjang, dan beberapa alat medis masih memantau kondisinya. Namun wajahnya yang teduh terlihat jauh lebih damai dari malam-malam sebelumnya. Rambut cokelatnya berantakan, tapi Auryn tetap memandanginya dengan tatapan yang tak pernah berubah: penuh cinta."Kamu tidur nyenyak?" tanya Auryn pelan sambil membelai tangan Lucien.Lucien membuka matanya perlahan, pupilnya menyesuaikan diri dengan cahaya samar dari jendela. Senyumnya lemah tapi tulus. "Aku mimpi kamu. Tapi ternyata kamu nyata."Auryn tertawa kecil. "Aku selalu nyata buat kamu. Dan nggak akan ke mana-mana."Mereka terdiam sejenak. Suara mesin pemantau detak jantung yang tenang menjadi satu-satunya irama yang mengisi ruangan. Hening itu tidak menakutkan. Justru terasa hangat, seperti tempat paling aman di dunia."Kamu tahu, kita udah nyaris mati lebih dari

  • TAKLUK DI PELUKANNYA   BAB 34

    Auryn dan Lucien berjalan cepat di sepanjang lorong gelap itu, keringat dingin mengalir di wajah mereka. Auryn menuntun Lucien, yang masih limbung akibat suntikan dari Hilman. Walaupun tubuhnya sudah bisa bergerak, matanya masih tampak kabur dan ia kesulitan untuk berdiri tegak."Tahan, Lucien. Lo bisa bertahan sedikit lagi," bisik Auryn, sambil merangkulnya untuk memberi dukungan.Lucien mengangguk, meski tubuhnya terasa berat dan penuh rasa sakit. "Kita harus keluar dari sini, Auryn... secepatnya."Namun, mereka baru saja melangkah lebih jauh ketika suara berat dan penuh kebencian itu kembali terdengar di belakang mereka."Kalian pikir kalian bisa kabur dari sini? Tidak ada yang bisa kabur dari gue."Auryn menoleh cepat, mengeluarkan semprotan lada lagi, siap jika Hilman muncul. Namun, yang dia lihat justru sebuah bayangan besar, yang bergerak cepat mendekat.Hilman, dengan tubuhnya yang tampak lebih kuat dari sebelumnya, melangkah perlahan. Matanya bersinar dengan kebencian yang me

  • TAKLUK DI PELUKANNYA   BAB 33

    Malam menua dalam diam yang memekakkan telinga. Hujan telah reda, tapi udara tetap lembap. Seolah dunia menahan napasnya, menunggu badai lain yang akan datang.Auryn tak bisa tidur. Mata dan tubuhnya lelah, tapi pikirannya menolak berhenti. Setiap bayangan, setiap rekaman yang muncul di flashdisk tadi siang masih terpatri kuat. Rasanya seperti kulitnya dibuka paksa, dipajang, ditertawakan.Dia memeluk lutut di atas ranjang. Lampu tidur menyala redup. Lucien duduk di kursi, tepat di depan pintu kamar. Dada bidangnya naik-turun perlahan, namun tatapan matanya tak pernah lepas dari sekeliling.Dia berjaga.Bukan karena tidak percaya pada sistem keamanan, tapi karena kini dia tahu—musuh mereka sudah lebih dari sekadar ancaman virtual. Dia hadir. Nyata. Bernapas di udara yang sama. Mungkin... bahkan lebih dekat dari yang mereka pikirkan.“Lu tidur aja,” bisik Auryn pelan, suaranya nyaris tak terdengar.Lucien menggeleng. “Nggak bisa. Gue nggak akan bisa tidur kalau lo belum aman sepenuhnya

  • TAKLUK DI PELUKANNYA   BAB 32

    Setelah Sasha diamankan oleh pihak keamanan apartemen dan ditangani oleh pihak berwenang, suasana di antara Auryn dan Lucien sempat terasa lega. Tapi rasa lega itu tak berlangsung lama.Lucien duduk di ruang kerja, memandangi layar laptop yang menunjukkan rekaman CCTV dari sekitar apartemennya. Sejak kejadian surat ancaman, dia meningkatkan keamanan, menambah kamera tersembunyi, dan meminta timnya untuk mengecek semua gerak-gerik yang mencurigakan.Namun ada satu hal yang tidak dia perkirakan—bahwa seseorang lain, di luar Sasha, telah mengikuti gerakan mereka jauh sebelum ancaman itu datang.“Auryn…” panggilnya pelan.Auryn yang tengah mengganti baju di kamar tidur langsung menghampirinya. “Kenapa?”Lucien menunjuk layar. “Lihat ini.” Dia memutar rekaman dari seminggu lalu. Terlihat seorang pria berjaket hitam, mengenakan hoodie dan masker, berdiri di seberang jalan tepat menghadap apartemen mereka. Si pria berdiri diam selama 15 menit, lalu pergi tanpa jejak.“Itu bukan Sasha,” gumam

  • TAKLUK DI PELUKANNYA   BAB 31

    Auryn duduk mematung di kursi kayu ruang tamu, jemarinya gemetar menggenggam ponsel. Kata-kata terakhir dari penelepon tadi masih terngiang di telinganya: “Kalau kamu masih berani deket-deket Lucien, kamu bakal tahu rasanya kehilangan segalanya.”Itu bukan sekadar ancaman biasa. Ada nada serius, familiar, dan penuh kebencian dalam suara itu. Auryn tahu, permainan ini mulai masuk ke level yang jauh lebih berbahaya. Tapi bukan Auryn Vale kalau dia mundur.Langkah kaki berat terdengar dari arah dapur. Lucien muncul dengan hoodie kelabu dan rambut sedikit basah, tanda baru saja mencuci wajah. Tatapannya langsung jatuh pada wajah pucat Auryn.“Ada apa lagi?” tanya Lucien serak. “Wajah kamu kayak baru ketemu hantu.”Auryn menoleh, berusaha tersenyum, tapi matanya tak bisa menyembunyikan kekalutan. “Cuma kecapekan,” jawabnya pelan. “Aku tidur dulu ya.”Lucien menghalangi jalannya sebelum Auryn sempat berdiri. Tangannya menggenggam pergelangan tangan Auryn. “Jangan bohong lagi. Kali ini, aku

  • TAKLUK DI PELUKANNYA   BAB 30

    Langit malam menurunkan hujan gerimis yang menampar pelan jendela apartemen Auryn. Di dalam ruangan yang temaram, ia berdiri di depan jendela, menatap lampu kota yang berpendar redup di balik tirai air. Wajahnya tanpa ekspresi, tapi matanya menyiratkan badai yang tak berhenti berkecamuk.Lucien belum pulang. Biasanya dia akan mengirim pesan setiap dua jam, setidaknya, tapi sejak tadi pagi—tidak ada satu pun kabar. Auryn menahan desakan rasa khawatir yang perlahan menjelma jadi amarah. Bukan karena dia cemas, tapi karena dia tahu… Lucien sedang menyembunyikan sesuatu.Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Bukan dari Lucien, tapi dari nomor tak dikenal.“Kalau kamu ingin tahu di mana Lucien, datanglah ke tempat pertama kalian bertemu.”Nada suara di seberang terdengar datar dan penuh ancaman.Auryn menatap layar ponsel dengan tatapan dingin. Dia menutup ponselnya, mengambil jaket kulit dan pisau lipat kecil yang selalu dia simpan di laci meja. Hatinya sudah waspada, tapi langkah kakinya mantap.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status