Home / Romansa / TAKLUK DI PELUKANNYA / BAB 6 - LANGKAH MENUJU JERAT

Share

BAB 6 - LANGKAH MENUJU JERAT

Author: awaaasky
last update Huling Na-update: 2025-03-22 23:12:53

Pagi itu, Auryn bangun lebih awal dari biasanya. Matanya terasa berat akibat kurang tidur, tapi pikirannya tetap tajam. Semalaman ia berpikir tentang tawaran Lucien—tentang betapa berbahayanya permainan ini dan bagaimana sekali melangkah, ia tidak akan bisa mundur.

Di tangannya, ponselnya masih menampilkan pesan terakhir dari Lucien.

"Pikirkan baik-baik, sayang. Dunia ini lebih menyenangkan jika kau ada di dalamnya."

Auryn mengehela napas, lalu meletakkan ponselnya di atas meja. Ia bangkit dari tempat tidur, berjalan ke dapur untuk membuat kopi.

Tapi saat ia membuka kulkas, sesuatu yang kecil namun mencolok menarik perhatiannya.

Sebuah amplop merah.

Auryn mengernyit. Ia tidak ingat meletakkan amplop itu di sana. Dengan ragu, ia mengambilnya, lalu membuka isinya.

Hanya ada satu lembar kertas di dalamnya, bertuliskan pesan singkat dalam huruf miring yang rapi:

"Jangan menerima tawarannya. Kau tidak tahu apa yang sedang kau hadapi."

Auryn merasa jantungnya berdegup lebih cepat.

Siapa yang meletakkan ini di kulkasnya? Bagaimana bisa seseorang masuk ke apartemennya tanpa ia sadari?

Dengan cepat, ia berbalik, matanya menyapu seluruh ruangan. Tidak ada tanda-tanda ada orang lain di sana.

Tapi tetap saja, keberadaan amplop itu cukup untuk membuatnya waspada.

Lucien bilang permainan ini tidak bisa ditinggalkan. Tapi seseorang di luar sana jelas tidak ingin ia terlibat.

DI KANTOR LUXCORP

Saat Auryn melangkah ke dalam gedung Luxcorp, ia langsung bisa merasakan atmosfernya yang dingin dan penuh tekanan. Ini bukan sekadar perusahaan biasa—ini adalah kerajaan bisnis yang memiliki tangan di berbagai industri, dari real estate, teknologi, hingga politik.

Dan di pusat kekuasaan itu ada Lucien Morant.

Saat Auryn masuk ke dalam ruangannya, pria itu sedang duduk di balik meja, tampak sibuk dengan beberapa dokumen.

Tanpa mengangkat kepala, Lucien berkata, "Kau datang lebih cepat dari yang kuduga."

Auryn mendekat dan menjatuhkan amplop merah di atas meja. "Ada yang meninggalkan ini di apartemenku."

Lucien akhirnya mengangkat pandangannya, menatap amplop itu dengan ekspresi datar sebelum mengambil kertas di dalamnya.

Mata hitamnya menyapu tulisan di atas kertas, lalu ia tersenyum tipis. "Menarik."

Auryn menyilangkan tangan di dadanya. "Siapa yang mengirimnya?"

Lucien melipat kertas itu dengan tenang sebelum menjawab, "Seseorang yang ingin menjauhkanmu dariku."

"Siapa?" desak Auryn.

Lucien menatapnya, ekspresinya tidak terbaca. "Banyak orang tidak menyukaiku, Auryn. Dan mereka tahu aku tertarik padamu."

Auryn mengepalkan tangannya. "Jadi, ini peringatan?"

"Lebih tepatnya, ancaman halus."

Auryn menghela napas. "Kenapa aku?"

Lucien berdiri dari kursinya, berjalan mendekat hingga jarak di antara mereka menyempit.

"Karena kau berbeda," katanya pelan. "Dan karena kau bisa menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar bidak dalam permainan ini."

Auryn menatapnya tajam. "Apa yang kau rencanakan, Lucien?"

Lucien menyentuh dagunya, mengangkat wajahnya sedikit. "Aku ingin melihat seberapa jauh kau bisa melangkah, sayang."

Auryn merasa napasnya tertahan sejenak. Lucien tidak berbicara seperti pria biasa yang sedang menawarkan kerja sama bisnis. Ini lebih dari itu.

Ini tentang kendali. Tentang kekuasaan.

Dan mungkin… tentang obsesi.

MALAM ITU

Auryn duduk di atas sofa apartemennya, menatap amplop merah yang sekarang sudah kosong.

Ia memainkannya di antara jari-jarinya, pikirannya dipenuhi dengan kemungkinan-kemungkinan yang berbahaya.

Lucien bukan pria biasa. Ia tahu itu sejak awal.

Tapi yang lebih mengkhawatirkan, adalah fakta bahwa seseorang mengawasinya.

Jika ia menerima tawaran Lucien, apakah ia baru saja masuk ke dalam perang yang lebih besar?

Atau…

Apakah ia sudah ada di dalamnya sejak awal?

Malam semakin larut, tapi Auryn masih terjaga. Ia duduk di sofa, menatap layar ponselnya dengan ekspresi kosong. Pesan dari Lucien masih terbuka, tapi pikirannya terus berputar pada satu hal—siapa yang meninggalkan amplop merah itu?

Apakah ini peringatan? Ancaman? Atau sesuatu yang lebih dalam?

Ia memijat pelipisnya, mencoba mengusir rasa lelah. Sejak bertemu dengan Lucien, hidupnya terasa seperti berjalan di atas benang tipis.

Namun, jauh di dalam dirinya, ada sesuatu yang menggelitik rasa ingin tahunya.

Sisi dirinya yang menikmati permainan ini.

Auryn akhirnya berdiri, berjalan ke dapur untuk menuang segelas air. Tapi baru saja ia hendak minum, ponselnya bergetar di meja.

Nama Lucien Morant muncul di layar.

Ia ragu sejenak, tapi akhirnya mengangkatnya.

"Kau belum tidur," suara Lucien terdengar di seberang.

Auryn melirik jam di dinding. Hampir pukul satu pagi. "Kau juga belum."

Lucien terkekeh. "Tebakan bagus. Kau memikirkan surat itu?"

Auryn tidak langsung menjawab. "Ada seseorang yang tidak ingin aku terlibat denganmu."

"Banyak," kata Lucien santai. "Aku punya lebih banyak musuh daripada teman."

"Dan sekarang aku masuk dalam pusaran itu?"

"Kau sudah ada di dalamnya sejak kau menarik perhatianku, sayang."

Dada Auryn menghangat mendengar panggilan itu. Tapi ia cepat-cepat mengabaikan perasaan aneh yang merambat di tubuhnya.

"Jadi apa yang harus kulakukan?"

"Jangan takut."

"Kau yakin?"

"Takut hanya akan membuat mereka semakin tertarik untuk mengincarmu. Jadilah lebih kuat, Auryn. Jika kau tetap bersamaku, aku tidak akan membiarkan siapapun menyentuhmu."

Napas Auryn tersendat. Kata-kata itu terdengar seperti janji, tapi juga sebuah jebakan.

Dan anehnya, ia tidak ingin menolak.

Lucien terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, "Aku ingin bertemu denganmu sekarang."

Auryn mengernyit. "Sekarang?"

"Kau pikir aku bisa membiarkan seseorang mengganggumu tanpa mengambil tindakan? Berikan aku alamat apartemenmu, Auryn."

Hatinya berdetak lebih cepat. "Aku bisa mengurus diriku sendiri."

"Aku tahu. Tapi bukan berarti aku akan membiarkanmu sendirian."

Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuat Auryn mengalah.

Tanpa berpikir panjang, ia mengirim alamatnya.

30 MENIT KEMUDIAN

Ketukan halus terdengar dari pintu apartemen. Auryn berjalan perlahan, mengintip dari lubang pintu sebelum akhirnya membukanya.

Lucien berdiri di sana, mengenakan jas hitam yang masih rapi meskipun sudah larut malam. Rambutnya sedikit berantakan, seolah ia datang dengan terburu-buru.

Tatapannya langsung mengunci mata Auryn. "Boleh masuk?"

Auryn mengangguk, lalu membuka pintu lebih lebar.

Begitu masuk, Lucien langsung mengamati sekeliling ruangan, matanya tajam seperti sedang menganalisis sesuatu. Ia berjalan ke dapur, mengambil amplop merah yang tadi ditinggalkan di meja.

"Mereka bisa masuk tanpa kau sadari."

Auryn bersedekap. "Aku juga tidak menyadarinya."

Lucien menatapnya lama sebelum akhirnya berkata, "Mulai sekarang, kau akan memiliki pengawal."

Auryn mengernyit. "Tunggu. Apa?"

Lucien menyandarkan diri ke meja dapur. "Aku tidak suka ketika ada yang menyentuh sesuatu yang sudah kuanggap milikku."

Jantung Auryn melompat ke tenggorokan.

"Aku bukan milikmu, Lucien."

Lucien tersenyum tipis, lalu melangkah mendekat, membuat Auryn tanpa sadar mundur hingga punggungnya menabrak dinding.

"Tapi kau akan jadi milikku," bisiknya, mata hitamnya berkilat dengan sesuatu yang berbahaya.

Auryn menelan ludah. "Kau terlalu percaya diri."

Lucien menatapnya seakan menantang. "Bukan percaya diri, sayang. Aku hanya tahu apa yang kuinginkan."

Mereka saling bertatapan dalam diam. Auryn tahu ia seharusnya merasa takut, atau setidaknya menjaga jarak. Tapi anehnya, ia tidak bisa berpaling dari Lucien.

Permainan ini semakin berbahaya.

Dan ia sudah terlanjur masuk ke dalamnya.

KEESOKAN PAGINYA

Saat Auryn bangun, ia mendapati secangkir kopi panas sudah tersedia di meja dapurnya.

Lucien masih ada di sana, duduk dengan santai sambil membaca koran.

"Kau masih di sini?" tanyanya sambil mengucek matanya.

Lucien melirik ke arahnya. "Aku ingin memastikan kau baik-baik saja."

Auryn mendengus. "Aku bukan anak kecil."

Lucien hanya tersenyum sebelum berkata, "Mulai hari ini, ada beberapa perubahan dalam hidupmu."

Auryn mengernyit. "Seperti?"

Lucien melipat korannya, lalu menatapnya serius.

"Satu, kau akan selalu memiliki seseorang yang mengawasi keberadaanmu."

"Dua, kau tidak akan keluar sendiri tanpa sepengetahuanku."

Auryn menyipitkan mata. "Lucien—"

"Tiga," potong Lucien, "kau tidak akan menolak perintahku."

Auryn tertawa sinis. "Dan jika aku menolak?"

Lucien mendekat, lalu menelusuri dagunya dengan ujung jarinya.

"Aku akan membuatmu tidak punya pilihan selain patuh, sayang."

Auryn bisa merasakan bulu kuduknya meremang.

Ia tahu Lucien berbahaya.

Tapi yang lebih menakutkan adalah fakta bahwa ia tidak ingin lari dari bahaya itu.

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • TAKLUK DI PELUKANNYA   BAB 25

    Langit malam seperti menyimpan sejuta rahasia, sama seperti dada Auryn yang kini bergemuruh. Hatinya penuh tanda tanya—tentang liontin mawar, tentang pesan-pesan yang ia temukan di balik surat lama, dan tentang Lucien… pria yang begitu ia benci sekaligus ia rindukan dalam satu tarikan napas.Langkahnya cepat menyusuri lorong rumah tua itu. Udara dingin menyelimuti tubuhnya, tapi hatinya terbakar oleh rasa penasaran. Ia ingat betul, di balik rak buku perpustakaan tua, ada ruang tersembunyi yang dulu pernah dibicarakan ibunya. Ruang rahasia yang tak pernah boleh dibuka. Tapi malam ini, semuanya akan dibongkar.Tangannya gemetar saat mendorong rak itu. Dengan sedikit tenaga, rak kayu itu bergeser perlahan, menyingkap dinding abu-abu yang penuh debu. Ia mengetuknya pelan, lalu terdengar bunyi ‘klik’. Sebuah pintu rahasia terbuka.Dan di dalamnya…“Ini…” Auryn menelan ludahnya. Ruangan kecil itu dipenuhi foto-foto, catatan tangan, dan peta-peta tua. Semuanya berpusat pada satu nama: Lucien

  • TAKLUK DI PELUKANNYA   BAB 24

    Langit malam memayungi kota seperti jubah hitam tak berbintang, dan di balik gelapnya, suara langkah kaki menyusuri lorong sempit gedung tua di pinggiran distrik yang sudah lama ditinggalkan. Auryn menggenggam ponselnya erat, matanya menatap layar yang baru saja menampilkan pesan tak dikenal: “Jangan percaya siapa pun. Bahkan Lucien.”Pesan itu muncul hanya dua menit setelah ia meninggalkan rumah persembunyian mereka. Awalnya ia kira itu peringatan kosong, tapi ketika ia menyadari seseorang mengikutinya sejak keluar dari taksi, degup jantungnya langsung menggila.Ia bersembunyi di balik tembok, menahan napas. Langkah itu berhenti. Lalu menghilang.Tak ingin membuang waktu, Auryn segera masuk ke dalam gedung tua yang disebut-sebut sebagai tempat penyimpanan berkas lama dari organisasi tempat ayah angkatnya bekerja dulu—berkas yang mungkin menyimpan alasan kenapa pria itu diculik, dan siapa Raynard sebenarnya.Senter kecil di tangannya menyusuri barisan rak berdebu. Bau lembap dan jamur

  • TAKLUK DI PELUKANNYA   BAB 23

    Lucien berdiri di ambang pintu rumah tua itu, tubuhnya kaku dan matanya menatap lurus ke dalam. Napasnya tertahan ketika suara-suara dari masa lalu seakan bergaung di setiap sudut ruangan. Tempat itu adalah kenangan, luka, dan rahasia. Auryn menyentuh lengannya pelan, menyadarkannya dari kekosongan sesaat yang menyergap."Kamu siap?" suara Auryn lembut, namun penuh ketegasan.Lucien mengangguk perlahan. "Kita harus tahu apa yang sebenarnya terjadi."Mereka melangkah masuk, dan lantai kayu berderit di bawah kaki mereka. Udara di dalam rumah begitu lembap dan bau debu menyengat. Di ruang tamu, masih tergantung sebuah lukisan keluarga tua yang retak bagian kacanya. Di bawah lukisan itu, sebuah piano tua tertutup kain lusuh. Lucien menyibak kain itu dan membuka tutup piano. Jemarinya menyentuh tuts piano, lalu memainkan satu nada lirih.Suara itu menggema, dan dari lantai atas terdengar suara langkah kaki. Spontan keduanya menegang."Itu bukan hantu, kan?" bisik Auryn, setengah bercanda n

  • TAKLUK DI PELUKANNYA   BAB 22

    Malam itu, kota masih dibalut dingin yang menusuk tulang. Di balik jendela apartemen mewah yang lampunya sengaja diredupkan, Auryn berdiri memandangi kerlip lampu kota dengan mata kosong. Kepalanya dipenuhi suara-suara dari masa lalu, teriakan-teriakan yang terkubur di ingatan, dan wajah-wajah yang pernah menyakitinya. Semua itu kembali muncul saat dia tak sengaja menemukan foto lama di laci meja kerja Lucien.Foto itu... bukan sembarang foto. Itu adalah foto ibunya, jauh sebelum tragedi yang menimpa keluarganya. Tapi yang membuat Auryn terpaku bukan hanya wajah ibunya—melainkan sosok pria di sebelahnya. Pria itu bukan ayah kandungnya."Kenapa foto ini ada di sini?" gumamnya pelan.Tak butuh waktu lama bagi Auryn untuk menghubungi kontak yang tersimpan dalam ingatannya: Kairo. Seseorang dari masa lalu yang dulu sempat mengawasi keluarganya diam-diam. Seorang informan bayaran yang tahu lebih banyak dari yang seharusnya."Kita perlu bicara," ujar Auryn melalui sambungan telepon. Suarany

  • TAKLUK DI PELUKANNYA   BAB 21 - LUKA MAWAR

    Malam itu hujan mengguyur deras, seperti ikut menangis bersama luka yang makin dalam di hati Auryn. Di kamar kecil yang hanya diterangi lampu temaram, ia terduduk di lantai dengan tubuh menggigil. Bukan karena dingin semata, tapi karena kebenaran yang baru saja terungkap. Lucien—satu-satunya tempatnya berpulang—ternyata menyimpan rahasia besar.Pesan suara dari ponsel itu berulang kali diputar Auryn. Suara perempuan lain, menyebut nama Lucien dengan nada manja dan memohon agar dia tidak meninggalkan rumah mereka yang telah mereka bangun bersama. Suara tangis itu membuat Auryn merasa seolah seluruh dunia menjatuhkan beban di dadanya. 'Rumah mereka?' kalimat itu berputar-putar di kepala Auryn.Lucien tidak ada di apartemen saat itu. Entah ke mana dia pergi. Tapi yang jelas, Auryn tidak bisa tinggal diam. Dia butuh jawaban.Dengan langkah berat, Auryn keluar ke jalan. Hujan membasahi tubuhnya, tapi ia tak peduli. Ia mencari Lucien, mengunjungi semua tempat yang pernah mereka datangi bers

  • TAKLUK DI PELUKANNYA   BAB 20 - API YANG MEMBARA

    Malam itu, hutan di sekitar rumah tua terasa lebih dingin dari biasanya. Angin berbisik di antara ranting, membawa aroma tanah basah dan bahaya yang mengintai. Auryn berjongkok di sudut gelap, matanya tajam mengawasi pintu depan. Tangan kanannya memegang pistol dengan erat, sementara tangan kirinya terus menggenggam liontin kecil yang selalu dia pakai—sebuah pengingat kecil tentang alasan kenapa dia harus bertahan. Lucien tak jauh darinya, berdiri di belakang tembok retak dengan senjata siap tembak. Napas mereka tenang, penuh konsentrasi. Mereka sudah menyiapkan segala kemungkinan. Semuanya. Tiba-tiba, ada suara derit pelan dari jendela samping. Auryn menahan napas. Dia menoleh sekilas ke arah Lucien, yang mengangguk kecil sebagai sinyal: musuh sudah datang. Langkah kaki mendekat. Perlahan. Hati Auryn berdebar kencang, bukan karena takut—tapi karena adrenalin. Ini saatnya. Ini akhir dari semua pengejaran dan ketakutan itu. Bayangan hitam muncul di jendela. Sesosok pria bertop

  • TAKLUK DI PELUKANNYA   Bab 19 - BAYANG BAYANG TAK MAU PERGI

    Auryn terjaga dengan nafas terengah-engah. Tubuhnya berkeringat dingin meski AC di kamar hotel mewah itu menyala penuh. Dalam mimpi barusan, dia kembali melihat sosok itu—sosok dari masa lalu yang seharusnya sudah hancur bersama waktu. Tapi tidak. Kenyataannya, bayangan itu hidup, bernapas, dan kini mengejarnya tanpa ampun.Lucien yang tidur di sofa segera bangkit begitu mendengar suara resah Auryn. Dia langsung menghampiri, duduk di tepi ranjang, wajahnya cemas."Auryn... mimpi buruk lagi?" bisiknya, jemarinya menyentuh lembut pipi Auryn.Auryn mengangguk lemah. Dia menatap Lucien seolah mencari sandaran, dan tanpa banyak bicara, Lucien langsung menariknya ke dalam pelukan hangatnya."Aku di sini, nggak akan kemana-mana," gumamnya, mengecup puncak kepala Auryn.Sekuat apa pun Auryn mencoba tampak kuat, malam-malam seperti ini mengingatkannya bahwa dia tetap manusia biasa. Bahwa ada luka yang bahkan waktu pun tak sanggup sembuhkan."Aku benci ini," lirih Auryn, suaranya nyaris tenggel

  • TAKLUK DI PELUKANNYA   BAB 18 - JEBAKAN DI BALIK KETULUSAN

    Ketika malam mulai turun, hujan mengguyur pelataran apartemen tempat Auryn tinggal. Rintik-rintiknya seperti melodi pahit yang berbisik pada jendela, menciptakan suasana muram yang kontras dengan kecemasan yang membakar di dalam dadanya. Ia duduk di dekat jendela, memeluk lututnya sambil menatap kilat yang sesekali menyambar langit gelap. Kata-kata terakhir Lucien terus terngiang—tentang perlindungan, tentang bahaya yang akan datang, dan tentang seseorang dari masa lalu yang kembali mengintai mereka.Ponselnya berdering.“Hallo?”“Ry, ini aku, Rara.”Suara sahabatnya terdengar tergesa-gesa, penuh napas tercekat. “Kamu harus keluar dari sana sekarang juga.”Auryn mengernyit. “Kenapa? Apa yang terjadi?”“Ada yang membuntuti kamu. Aku enggak tahu siapa, tapi sejak kamu meninggalkan cafe siang tadi, ada orang yang ngikutin kamu. Dia juga mampir ke tempat aku. Aku takut, Ry. Dia tanya-tanya tentang kamu.”Auryn langsung berdiri, mengambil tas kecil dan menyalakan semua lampu ruangan. Dadan

  • TAKLUK DI PELUKANNYA   BAB 17 - HUJAN KENANGAN DAN LUKA LAMA

    Malam itu, hujan turun deras membasahi kota. Suara rintik-rintik air yang menabrak jendela terdengar seperti denting waktu yang terus menyeret kenangan-kenangan lama ke permukaan. Auryn berdiri di balik tirai kamar, menatap kosong ke arah luar. Pikirannya kacau. Sejak kejadian di kantor kemarin, segalanya terasa makin runyam.Lucien tidak menghubunginya. Tidak sepatah kata pun. Padahal mereka baru saja saling membuka diri. Baru saja mencoba jujur tentang apa yang mereka rasakan.Auryn mengepalkan tangannya. "Kalau kamu cuma main-main, kenapa harus sejauh ini, Lucien?"Suara notifikasi ponsel memecah keheningan. Pesan masuk dari nomor tak dikenal."Kamu pikir Lucien benar-benar mencintaimu? Dia cuma menjalankan misi."Tubuh Auryn langsung tegang. Siapa ini? Jantungnya berdegup kencang. Ia balas pesan itu dengan tangan gemetar."Siapa kamu?"Tidak ada balasan.Ponselnya berdering. Masih dari nomor yang sama. Auryn menjawabnya dengan hati-hati.“Halo?”“Halo, Yura kecil…” suara berat dan

Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status