Rencana"Bentar, Fik. Kita berhenti dulu di sini," ucapku."Mama mau ngapain? Beli pulsa? " ucap Fika sambil menepikan mobilnya.Untung saja, saat itu jalanan sedang sepi, jadi dengan mudah Fika menepikan mobilnya."Ya mau beli nomor handphone yang baru dong, Sayang. Untuk mempermulus rencana baru kita itu. Kamu mau ikut, atau tunggu di mobil saja?""Mama aja deh, aku tunggu di sini," jawab Fika seperti biasa sambil tersenyum.Segera, aku pun masuk ke toko handphone itu, membeli sebuah nomor baru untuk mengerjai Mas Hasan. Biarlah, sekalian saja kuhabiskan semua uangnya.Aku sebenarnya, tak begitu percaya, saat dia bilang tak lagi punya uang, dan kini hanya memakai uang dari Investor. Tapi ya sudahlah, terserah dia saja. Toh intinya, saat uang habis berarti dia sudah ada di ambang kehancuran. Dan akan lebih baik lagi, jika memang benar itu adalah uang investor, maka kemungkinan besar, suamiku itu akan berakhir di penjara.Saat melihat-lihat, ternyata counter ini juga menjual beberapa
Dia Mulai Cemas"Gimana, Ma? Apa sudah ada tanda-tanda hilal?" tanya Fika saat kami telah memasuki pekarangan rumah."Hilal? Hahaha apa kamu fikir ini mau masuk bulan puasa? Ada-ada aja kamu itu, Fik," ucapku sembari mencubit kecil pipinya."Habisnya, aku tuh sudah nggak sabar nerima uang yang banyak lagi dari Papa, Ma, hahaha.""Sabar, Sayang. Ini masih step satu, mama ingin membuat papamu itu, bingung dan khawatir dulu saat ini. Dan satu juga yang pasti, saat ini kita sudah mengacaukan malam indahnya dengan wanita muda itu!" ucapku sembari keluar dari mobil."Kok, Mama bisa seyakin itu sih?" tanya Fika dengan wajah tak percayanya.Kami pun kemudian mengambil semua belanjaan dari bagasi, dan berjalan beriringan sambil membawa banyak barang."Kok Mama diaam aja sih? Malah senyam-senyum sendiri," ucap Fik lagi sambil menyikut lenganku."Hahaha...mama tadi sudah mengiri dua foto yang berhasil mama ambil sebelum kita makan tadi!"Kami pun kemudian tertawa bersama, sembari membayangkan b
Kecemasanmu, Kebahagianku"Kena nih, Ma! Jangan lupa nanti kalau bisa peras Papa yang banyak ya, hahaha," ucap Fika setelah Mas Hasan menutup panggilannya."Siap! Doakan saja ya, semoga Papamu itu masih memiliki banyak simpanan uang, sehingga kita masih bisa dapat banyak jarahan, hihihi," jawabku.Jika orang melihat kami berdua, mungkin orang yang tidak tahu, akan mengira kami ini pasangan ibu dan anak yang kurang ajar, karena menipu suaminya."Semoga besok kita juga mendapat kabar tentang Adelia ya, Ma. Biar semua semakin jelas, dan kita bisa hidup tenang. Aku mau bobok dulu, capek banget deh, hari ini benar-benar menguras segalanya.""Iya, cepat istirahat, besok kita mulai petualangan yang lebih menegangkan dari pada hari ini. Mama juga capek, ingin nyelonjorin kaki nih."Malam itu, kami pun akhirnya masuk ke kamar masing-masing. Kubaringkan Lio disampingku, di atas kasur bayi kecil yang tadi kubeli. Kasur bayi yang dilengkapi dengan kelambu ini, bisa menjaganya dari nyamuk dan debu
Jangan Main Api Denganku, MasKeputusanku berubah, biarlah malam ini suamiku itu menghabiskan waktu dulu dengan selingkuhannya, karena rasanya besok malam, dia tak akan lagi bisa melakukan hal itu.Jangan tanya, apa aku tak terbakar cemburu? Apa aku tak sakit hati? Membiarkan suami bermesraan dengan wanita muda simpanannya? Jawabannya tentu satu, sakit!Tapi, rasa sakit itu seakan hilang, sirna dan memudar bersama dengan kesakitan yang diberikan oleh Mas Hasan. Jadi biarlah, saat ini sampah-sampah itu bergumul menuntaskan n***u binatangnya. Doaku, semoga saja Allah turunkan penyakit kelamin maha dasyat pada mereka.[Oke...besok saat aku sudah ada di bank, kamu akan kuhubungi! Tapi ingat kamu harus tutup mulut, dan tidak mengusik anak dan istriku!]Ternyata, Mas Hasan masih juga dilanda kecemasan, buktinya dia mengirimuku satu pesan chat lagi.'Baru segitu saja kamu sudah kelimpungan, Mas. Hahahha...masih ada hari esok yang pastinya membuatmu makin mati kutu,' gumamku dalam hati.Tak
Suami Tukang Bohong"Oh, iya, Ma. Kita pagi ini 'kan mau ke kantor polisi, apa sekarang Lio langsung diajak saja?" ucap Fika saat kami akan berangkat."Ya ampun, mama sampai lupa. Boleh deh, sekalian sama Bik Nur. Untung saja kita sudah sarapan semua pagi ini. Ya sudah, sekarang kamu bilang pada Bik Nur, agar bersiap-siap."Sambil menunggu Bik Nur bersiap, aku pun kemudian mencoba menelepon Mas Hasan, kali ini dengan menggunakan nomor lamaku. Tujuanku ada dua, satu untuk menambah kecemasanya, dengan berbohong lagi. Dua, untuk mengecek apa dia sudah bangun. Karena aku khawatir, jika dia mengawasi kami juga, meski dari kamera pengintai, tak ada yang mencurigakan sama sekali.Tiga kali percobaan meneleponku ternyata tak mendapat respon. Fixs! Berarti saat ini dia sedang tidur, karena semalam begadang."Ayuk, Ma. Kita sudah siap. Semoga nanti Lio nggak rewel ya. Biar aku saja yang menyetir lagi," ucap Fika sambil menunjukkan kunci mobil padaku."Nanti kita mampir dulu ke depan situ ya, F
Ulat BuluSetelah menghancurkan isi lemari dan mengambil barang berharganya, kini aku dan Fika pun pergi dari rumah itu. Inginnya sih, tadi kami akan menghancurkan semua isi rumah itu, tapi kami urungkan. Karena jika itu dilakukan, maka bisa-bisa gagal rencana kami berikutnya, hahaha.Tetap wajib sabar terlebih dahulu, untuk mendapatkan kemenangan yang gemilang di belakangnya. Tinggal tunggu hitungan jam, maka aku kan bisa melihat sebuah parodi yang memalukan."Bagaimana, Ma? Apa Papa sudah mengirimkan uangnya?" tanya Fika, yang saat itu tengah menyandarkan kepalanya di jok mobil.Saat ini, kami masih berada di dalam mobil, dan tetap parkir di depan rumah yang ditempati Mas Hasan dan selingkuhannya itu."Belum, ada nih. Sabar Sayang, sebentar lagi mungkin," ucapku yang sedang dalam posisi sama seperti Fika."Ya sudahlah, kita ngadem di sini dulu ya, Ma. Oh...iya, apa Mama nggak punya rencana, mau bikin toko atau usaha apa gitu? Soalnya 'kan nggak mungkin, kita terus-terusan makan dari
PenggerebekanAku dan Fika pun kini mengikuti warga yang tengah emosi, tak hanya warga kompleks, tapi terlihat ada beberapa warga kampung yamg berada di depan kompleks, mungkin tadi satpamlah yang mengajak serta."Ma, nanti ku abadikan ya, moment yang satu ini. Hahaha biar jadi kenang-kenangan," ucap Fika sambil mengedipkan sebelah matanya, dan tersenyum."Terserah kamu sajalah, Sayang. Tapi, kamu harus siap mental dulu loh. Nanti kita juga akan sedikit berakting lagi 'kan di depan Papamu itu.""Siap, Ma. Eh...boleh nggak sih, jika nanti aku menghadiahi beberapa pukulan pada si ulat bulu itu? Dari kemarin tanganku ini udah gatal banget! Mau mukul Papa kok rasanya nggak etis, jadi tangan dan emosiku ini butuh pelampiasan, Ma. Hahaha.""Terserah kamu saja ya, Sayang. Asal tak keterlaluan, mama rasa sih sah-sah saja kok. Meluapkan emosi itu penting, agar pikiran kita tetap waras! Hahaha."Meski saat ini tertawa, jujur dalam hati ini masih ada rasa sedih dan sakit. Bagaimana tidak, aku
Ini Belum BerakhirAku dan Fika, masihlah tetap duduk berdua di ruang tamu, saat warga mengarak Mas Hasan dan selingkuhannya itu ."Ma, kira-kira saat ini apa yang di rasakan Papa ya?" ucap Fika sambil melamun."Entahlah, Fik. Yang pasti amat malu dan emosi juga dia. Semua perbuatan kan ada pertanggung jawabannya, ini baru di dunia, belum nanti saat di akhirat. Mangkanya itu, kita harus selalu berhati-hati dalam bertindak, kalau bisa pikirkanlah dua kali, sebelum melakukan suatu hal," jawabku sambil bersedekap."Iya, ya Ma. Bermain air basah, bermain api terbakar, dan itulah kini yang sedang terjadi pada Papa. Kukira dulu, kita akan hidup bahagia bersama, dan bisa melihat Papa dan Mama hidup bahagia berdua di masa tua. Namun ternyata salah, semua habis dan hancur berkeping-keping." Fika masih saja terus bergumam.Sepertinya saat ini, dia amat shock, setelah melihat dengan mata kepalanya sendiri, apa yang Papanya lakukan. Aku pindah duduk di sebelahnya, dan memeluknya dari samping."S