"Sudahlah nanti, pasti ada cara!" imbuh Grace seraya turun dari ranjang.
Di ruang makan, Lucas telah selesai dengan sarapannya. Dia melirik jam di tangannya. Lalu melihat ke arah pintu masuk. Tapi, orang yang ditunggu tidak kunjung masuk. Lucas menoleh ke jendela besar tinggi di ruang makan, dia melihat Grace mengendarai mobil dan melaju meninggalkan Villa. "Dia mau ke mana sepagi ini!" Lucas berdiri dan meninggalkan Villa juga tak lama setelah Grace pergi. Sementara itu di toko kain, Paman Henry sudah mulai mengemas kain-kain sulam berharga buatan Grace. Begitu gadis itu tiba, semua sudah siap. "Paman Henry terima kasih karena sudah banyak membantu. Budi ini akan selalu ku ingat!" Paman Henry mengangguk seraya berkata, "Jangan lupa lihat keadaan ayahmu di Rumah sakit!" Grace memegang keningnya seraya berkata, "Setelah urusan ini selesai, aku akan menjenguknya!" Grace sekali lagi mengecek kain tenun sulamnya. Lalu segera membawanya ke hotel Imperial. Di sana Vivian telah menunggunya. "Ayo cepat! Tuan Ma tidak punya banyak waktu. Kau langsung saja ke kamarnya. Biar aku bantu bawakan ini!" Grace mengangguk dan mengikuti langkah asisten Tuan Ma langsung berjalan menuju kamar. Pada saat ini di hotel yang sama, Lucas juga mengadakan pertemuan dengan kolega bisnisnya. Dia melihat Grace dan mengikutinya. Lucas melihat Grace memasuki kamar suite. Teringat dengan permintaan tadi pagi, "Apa yang sedang dia lakukan di sini!" Pikirnya "Jangan... jangan dia!" Pikir Lucas lagi. Lucas berdiri di sudut lorong hotel dengan ekspresi dingin, matanya tajam menatap sosok ramping Grace yang melangkah masuk ke dalam kamar suite mewah. Tangannya mengepal tanpa sadar, rahangnya mengeras. "Jadi begini cara dia mendapatkan uang? Sebuah tawa sinis nyaris lolos dari bibirnya. Dia masih ingat dengan jelas bagaimana tadi pagi gadis itu memohon padanya, wajahnya penuh keputusasaan, meminta pinjaman uang. Lucas menolaknya mentah-mentah. "Cari tahu siapa yang menginap di kamar itu!" Perintah Lucas kepada asistennya. Di dalam kamar suite, Grace disambut oleh Tuan Ma. Duda setia yang memutuskan enggan menikah lagi setelah istrinya meninggal. Dia banyak mengkoleksi kain tenun sulam karena istrinya sangat menyukai jenis kain sulaman tradisional. "Tuan, terima kasih karena telah menjadi pelanggan setia toko kain kami!" imbuh Grace sedikit membungkukan badannya memberi hormat. "Silakan duduk Nona Grace!" balas Sapa Tuan Ma dengan sopan. "Nah, semoga cek ini cukup!" kata Tuan Ma sembari meletakan cek itu diatas meja. Grace mengambil selembar cek itu, "Terima kasih Tuan, jika ada permintaan desain khusus dengan senang hati akan aku buatkan!" Tuan Ma mengangguk seraya berkata, "pasti! Mereka berbincang beberapa saat, lalu Grace pun pergi meninggalkan suite dengan senyuman sedikit merekah. "Tinggal mencari sisanya, maka secepatnya aku akan mengembalikan mahar itu!" Grace terlihat mencium senang selembar cek yang sedang dia pegang sekarang, dan memasukannya dengan hati-hati ke dalam tas-nya. Dia mengeluarkan ponselnya. "Kau ada di mana?" tanya pada Vivian "Ada hal yang harus segera aku urus, jadi aku pergi dulu, aku pinjam mobilmu ya! Oh ya traktir aku di lain hari ok!" jawab Teman baiknya itu. "Ok!" jawab Grace sembari keluar dari lobi hotel. Baru saja keluar, jalannya malah sudah dihalang oleh Alex. "Nona , Tuan Smith telah menunggu di mobil!" "Hah, apa! Maksudmu dia ada di sini?" imbuh Grace sedikit terbata. "Silakan!" imbuh Alex sembari menunjukan jalan ke mobil. Grace pun masuk ke mobil, Di dalam kabin mobil mewah yang hening, Lucas duduk dengan anggun di kursi belakang, sorot matanya tajam menatap layar tabletnya. Wajahnya yang tampan semakin memancarkan aura karismatik saat ekspresi serius menghiasi paras sempurnanya. Rahang tegasnya mengeras setiap kali dia menganalisis data yang terpampang di layar, jari-jarinya yang panjang dan kokoh sesekali mengetuk layar, memastikan setiap pergerakan bisnisnya berjalan sesuai rencana. Cahaya dari layar tablet memantul lembut di wajahnya, mempertegas garis hidungnya yang sempurna dan tatapan penuh ambisi yang tak tergoyahkan. Seolah tenggelam dalam pikirannya, alisnya sedikit berkerut, menambah pesona maskulin yang begitu alami. Setiap gerakannya mencerminkan ketenangan dan kendali penuh pria yang tidak hanya tampan, tetapi juga berbahaya dalam dunia bisnis. Bahkan dalam diam, Lucas mampu menarik perhatian. Ketampanannya bukan hanya soal rupa, tetapi juga aura dominasi yang membuat siapa pun tak bisa mengalihkan pandangan. Sesekali, Lucas menghela napas pelan, matanya menyipit saat menemukan angka-angka yang kurang sesuai dengan ekspektasinya. Dengan sekali geser, dia membuka laporan keuangan terbaru, lalu jari-jarinya mengetuk layar tablet, mengirim perintah kepada timnya untuk segera menindaklanjuti. Tidak ada ruang untuk kesalahan dalam dunianya setiap keputusan harus tepat, cepat, dan tanpa celah. Kehadiran Grace di sebelahnya, tak mengganggu fokus Lucas Wajahnya tetap serius, rahangnya sedikit mengencang saat berpikir, menambah daya tarik yang hampir tak tertahankan. Ada sesuatu yang begitu menawan dalam caranya bekerja keseriusan yang dingin, ketenangan yang mutlak, dan kepercayaan diri yang tak tergoyahkan. Assitennya di depan melirik lewat kaca spion, tak bisa menahan kekaguman pada pria muda itu. Lucas bukan hanya tampan, tetapi juga memiliki aura seseorang yang dilahirkan untuk memimpin. Bahkan tanpa berkata-kata, dia sudah memancarkan pesona yang sulit diabaikan. Saat akhirnya dia menutup tabletnya, senyum tipis terukir di bibirnya senyum yang begitu mematikan, sekaligus penuh arti. Seolah-olah dia baru saja memenangkan sesuatu, atau mungkin, dia memang selalu menang. "Jalan!" imbuh Lucas kepada Alex seraya menoleh kepada Grace yang duduk sedikit gugup. "Jadi kau sangat membutuhkan uang ya!" Imbuh Lucas seraya berpkir bukankah kemarin dia baru saja memberi banyak untuk biaya rumah sakit ayahnya. "Bukan urusanmu!" jawab ketus Grace. Lucas tidak puas dengan jawaban Grace Dia pun dengan paksa mengambil tas gadis itu. "Ei... kau mau apa?" Lucas sangat marah ketika mendapatkan laporan bahwa yang ada di kamar suite itu adalah seorang laki-laki bernama Tuan Ma. Tadi dia memilih menunggu di koridor untuk mengetahui berapa lama Grace di dalam suite itu bersama Tuan Ma. Dan, secara kebetulan malah tadi dia melihat gadis itu dengan penuh kecerian mencium selembar cek yang sedang dia pegang. "Berapa banyak dia membayarmu!" imbuh Lucas sambil membuka tas Grace. "Lucas kembalikan tasku!" hardik marah Grace sembari mencoba merebut tas yang saat ini di pegang oleh pria itu. Tangan Grace kurang cepat, selembar cek itu saat ini sudah ada di tangan Lucas. "Murahan!" hardik sarkas pria itu. "Hanya demi uang sekecil ini, dia bersedia jual diri ke pria tua!" pikir Lucas. "Menjijikan," pikirnya lagi.Grace hampir tersedak mendengar ucapan itu. Dia menoleh cepat pada Lucas, menatapnya seolah baru saja mendengar sesuatu yang asing. “Alric?” ulang Grace, suaranya sedikit meninggi. “Kau… sudah memikirkan itu sejauh ini?” katanya lagi sambil memberi tatapan serius kepada suaminya itu.Lucas mengangkat bahu, bibirnya melengkung tipis. “Bukankah kau bilang tadi malam kita akan bicara tentang masa depan? Aku serius, Alric berhak merasakan keluarga yang utuh.”Grace bersedekap tangan. “Keluarga utuh? Lucas, kita baru saja melewati malam paling gila dalam hidup kita. Kau pikir aku bisa langsung memikirkan anak?”"Melahirkan dan menyusui?" yang benar saja. Lucas mendekat, duduk lebih rapat. “Justru karena itu. Kita sudah hancurkan masa lalu kita malam ini. Bukankah wajar jika memulai membangun sesuatu yang baru? Sesuatu yang... hidup?”Grace menatap laut, bibirnya bergetar. “Kau bicara seolah semuanya bisa diperbaiki hanya dengan satu keputusan.”Lucas menghela napas panjang, menatap Grace
Huru hara hari ini telah usai, Mobil pun melaju meninggalkan kompleks gudang, melewati jalan yang masih basah oleh embun malam. Di kursi belakang, Grace menyandarkan kepalanya di bahu Lucas. Matanya terbuka lebar, tetapi pandangannya kosong, seolah pikirannya masih tertinggal di gudang.“Lucas…” suaranya lirih, hampir tak terdengar di atas suara mesin.Lucas menoleh. “Ya?”“Kenapa aku merasa... ini belum selesai? Seperti masih ada yang mengintai.”Lucas menarik napas panjang. “Karina sudah di tangan kita. Jaringannya lumpuh. Yang tersisa hanya sisa-sisa kecil yang akan diburu dalam beberapa hari.”Grace menggeleng pelan. “Bukan itu. Rasanya seperti... aku baru saja membuka luka lama. Semua kemarahan itu keluar, tapi yang tertinggal hanya rasa hampa.”Lucas meraih tangannya, menggenggam erat. “Kemarahan itu yang membuatmu bertahan sejauh ini. Tapi mulai sekarang, kau tidak perlu menyimpannya lagi. Kita bisa mulai saling menyembuhkan.”Grace menatap jendela, melihat langit yang di ufuk
Villa kembali sepi setelah mobil yang membawa Karina pergi. Namun Lucas tidak bergerak dari tempatnya. Ponselnya bergetar, tanda pesan terenkripsi masuk.Lucas menatap layar sebentar, lalu mendesah. “Kita belum selesai. Gudang di pelabuhan barat sudah aman, tapi laporan terakhir bilang masih ada perlawanan di kompleks pergudangan utara.”Grace menoleh, matanya masih sembab. “Kita akan ke sana?”Lucas mengangguk. “Ya. Kita harus selesaikan malam ini. Kalau tidak, mereka akan memindahkan semua barang bukti.”Pak Tua ikut mendekat. “Aku sudah siapkan mobil. Tim kedua sudah menunggu di titik pertemuan.”Grace menelan ludah, lalu menghapus air matanya. “Aku ikut.”Lucas menatapnya ragu. “Kau yakin? Ini bisa berbahaya.”Grace mengangguk tegas. “Aku ingin melihat semua ini berakhir dengan mataku sendiri.”Konvoi mereka melaju cepat melewati jalanan gelap menuju utara kota. Di dalam mobil, Alex membuka peta digital dan menunjuk salah satu gudang. “Ini pusat distribusi terakhir. Jika kita lump
Villa itu sunyi sejenak, hanya suara napas yang terdengar dari setiap orang yang kini saling menodongkan senjata.Lucas melangkah maju, pistolnya tetap terarah ke kepala Karina. “Turunkan senjata kalian,” perintahnya datar.Salah satu pengawal Karina mendengus. “Kau pikir kami takut?” kata Karina dengan sedikit menyeringai.Lucas tersenyum tipis. “Kau benar. Bukan takut yang kubutuhkan darimu. Yang kubutuhkan hanya waktu.”Karina menyipitkan mata. “Apa maksudmu?”Grace berdiri di sisi Lucas, matanya tidak lepas dari Karina. “Dia tidak butuh kau menyerah sukarela. Semua jalur keluar sudah diputus. Lihat ke luar jendela.”Karina menoleh sekilas ke kaca besar yang menghadap halaman. Lampu-lampu mobil kini memenuhi jalan setapak. Beberapa bayangan bersenjata tampak bergerak cepat mengelilingi villa.Pak Tua menambahkan dengan suara rendah, “Tim kami sudah di posisi sejak sejam lalu. Semua jalur ke dermaga, jalan belakang, bahkan jalur udara dengan drone, sudah diawasi. Malam ini, kau t
Suara mesin mobil akhirnya terdengar mendekat dari jalan setapak yang mengarah ke villa. Lampu sorot menembus kegelapan, menyapu dinding kayu dan kaca besar yang menghadap laut. Semua yang berada di dalam ruangan otomatis menoleh.Grace merapatkan topeng setengah pink dan setengah hitam ke wajahnya. Napasnya terasa lebih berat daei balik topeng. Tapi dia tahu penyamaran kecil ini bisa memberi keuntungan. Lucas berdiri tidak jauh dari pintu, pistol tersembunyi di balik jasnya. Alex kembali membuka laptop, seolah-olah dia hanyalah teknisi yang sibuk dengan presentasi. Pak Tua menegakkan punggung, siap memainkan perannya.Pintu utama diketuk tiga kali.Lucas menoleh ke Grace. “Itu dia.”Grace memberi isyarat dengan anggukan.Pintu dibuka perlahan. Seorang wanita dengan mantel gelap melangkah masuk. Rambut hitam panjangnya tergerai rapi, bibirnya melukis senyum dingin. Dua pria berjas hitam mengikuti di belakang, jelas pengawal pribadi.Karina.Tatapannya langsung menyapu ruangan, berhen
Fajar berikutnya datang dengan langit kelabu. Ombak di tepi laut bergemuruh lebih keras dari biasanya, seolah memberi pertanda. Villa itu tidak lagi sekadar tempat perlindungan tapi telah berubah menjadi arena di mana setiap detik terasa seperti hitungan mundur.Grace berdiri di balkon, menatap laut dengan wajah tegang. Napasnya berat, pikirannya penuh oleh bayangan Karina yang segera datang.Lucas menghampiri dari belakang. “Kau bahkan belum sarapan,” katanya pelan.“Aku tidak lapar.” Grace masih menatap jauh. “Aku hanya memikirkan apa yang akan dia bawa. Senjata? Anak buah? Atau hanya kata-kata yang bisa menusuk lebih dalam daripada peluru?”Lucas berdiri di sampingnya. Grace menoleh, matanya menatap Lucas yang terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata dengan mantap, “Kalau itu terjadi, ingatkan aku dengan ketukan di meja. Agar aku tidak lupa diri?”Grace mengangguk pelan. “Benar. Tiga ketukan. Itu jangkar kita.”Di ruang utama, Alex sudah sibuk dengan persiapan terakhir. Kabel-kabel