Baru saja kami selesai bicara, suara gerendel pagar terdengar. Tiba-tiba udara dalam kamar terasa berat. Jantungku berdebar, instingku langsung menangkap kemungkinan terburuk.
Tante Tiara refleks berdiri. “Itu—”Aku mengangguk cepat. “Bunda.”Tanpa perlu perintah, dia melompat ke belakang lemari lalu bergerak ke jendela. Kami seolah sudah membiasakan skenario semacam ini, seperti latihan rahasia yang tak pernah kami akui sebagai bagian dari hidup. Dia akan menunggu di luar pagar atau bersembunyi di gang kecil jika keadaan mendesak.Aku buru-buru menarik napas, menenangkan diri sebelum keluar dari kamar dengan ekspresi semirip mungkin dengan anak yang baru saja bangun tidur.Bunda membuka pintu. Wajahnya basah oleh keringat, alisnya sedikit berkerut. Tatapannya langsung menyapu ruangan, seperti sedang mencari sesuatu. Atau seseorang.“Kamu ngapain aja di rumah?” tanya Bunda tajam.“Cuma istirahat. Nggak ke mana-mana, kan?“Setelah mikir-mikir, kayaknya aku tahu deh kenapa selalu kalah kalau main catur sama Bunda.” May berjalan mendekati meja makan lalu menarik kursi di seberang bundanya yang sedang menyeruput teh hangat sambil sesekali menyuap pisang goreng. Di sudut ruangan, Risa sedang membongkar lego, sedangkan Raya sudah berangkat sekolah sejak pagi.“Kenapa coba?” tanya Bunda sambil menoleh sekilas.“Aku terlalu sibuk ngincer raja, ngatur serangan, bikin skak-mat yang megah sampai lupa kalo bentengku udah dimakan dari tadi. Kuda dan gajahku udah dipojokin, dan pionku habis satu per satu tanpa aku sadari.”“Itu karena kamu cuma fokus nyerang, padahal catur itu bukan soal gebuk duluan, tapi soal sabar nunggu lawan salah langkah.”May mengangguk pelan. “Iya, dan biasanya aku baru sadar udah dikepung pas Bunda geser menteri pelan-pelan ke pojok. Tinggal satu langkah, habis aku.”“Catur itu soal ngatur napas. Kamu bisa punya pasukan lengkap, tapi kalau pikiranmu ribut, kamu tetap kalah.”“Padahal aku p
“Dewasa, iya. Tapi bukan berarti nggak menyimpan luka masa kecil. Apalagi kalau selama ini dia merasa ibunya mati karena Bunda.”May menegang. Jantungnya berdetak lebih cepat. “Dia tahu alamat rumah baru kita, namaku, bahkan nomor Whats.App-ku. Bunda sadar, kan, itu nggak main-main?”“Bunda tahu, May. Justru karena itu Bunda curiga. Dia bukan anak bodoh dan dia nggak kerja sendirian.”“Jadi, menurut Bunda, dia dibantu Om Adam?” May menatap bundanya lekat-lekat.“Bunda masih mencoba mengurai semuanya, May. Dan kalau tebakan Bunda benar, mereka bukan cuma pengirim papan catur. Mereka lagi mainin kita.”“Tapi aku rasa Om Adam nggak punya alasan buat balas dendam,” gumam May sekali lagi menyentuh papan catur itu."Pokoknya kamu tenang aja. Bunda pastikan satu hal, Bunda bakal selalu selangkah di depan dia. Kamu tinggal bales aja tuh chat dia, seolah-olah kamu percaya dia emang ayah kamu."May menggertakkan gigi pelan. “Bunda mikir nggak, kalau dia beneran Ayah? Gimana kalau semua ini cuma
“Bun, Bunda!” panggil May dengan nada tergesa saat mendengar suara pintu depan dibuka. Dia segera menghampiri, melihat bundanya berdiri dengan napas sedikit terengah, satu tangan menjinjing dua kantong plastik yang tampaknya berisi nasi ayam hangat. “Kenapa, May? Kamu tumben sepanik itu lagi?” tanya Ida sambil meletakkan kantong di atas meja, “ada chat ayahmu?” May mengangguk cepat. Tanpa sepatah kata, dia langsung menggenggam tangan Ida dan menariknya lembut, tapi penuh desakan menuju kamar. Sementara itu, sang bunda mengikut meskipun matanya menatap penuh tanya. Begitu tiba, May meraih ponselnya dari atas kasur dan menunjukkannya dengan tangan gemetar. “Dia kirim papan catur sama pesan-pesan ini,” bisiknya. "Papan catur?" gumam Ida sambil meneliti setiap sudut benda itu. Matanya menyipit saat melihat ukiran kecil di salah satu sudut papan, sebuah huruf A yang nyaris tak terlihat jika tidak diperhatikan betul. "Inisial A?" lanjutnya pelan. Tatapannya berubah tajam. May spo
Waktu terus berputar, tapi pikiran May tetap terpaku di satu titik, yakni pesan itu dan ucapan sang bunda yang terus mengiang seperti mantra gelap.Bagaimana jika orang itu memang bukan ayahnya? Bagaimana jika dia datang hanya untuk melempar May ke dalam jurang yang lebih dalam dari luka yang pernah ia alami?Siapa dia?Satu-satunya nama yang muncul pertama kali adalah Nanda. Perempuan yang pernah menjadi badai dalam rumah tangga orang tuanya. Akan tetapi, Nanda sudah meninggal. Tragis. Kalau itu dendam, bukankah semestinya ikut terkubur bersama tubuhnya?Lalu siapa?Tiara? Tidak mungkin. Meskipun penuh luka, Tiara lebih suka menjauh daripada melawan.Kiara? Gadis lugu itu justru seperti versi muda Ida yang terlalu jujur untuk bisa menyembunyikan niat jahat.Entahlah. May menggigit bibir. Dadanya mulai terasa berat. Kenapa harus sekarang? Kenapa setelah semua luka mulai mengering, tiba-tiba datang pesan-pesan aneh dengan nama "Ayah" yang bahkan tak berani bicara lewat suara?Mungkinka
“Deketin aja dulu. Kadang, musuh baru bisa dijatuhin kalau dia lagi lengah.” “Bunda mau jebak Ayah lagi?” Ida tersenyum tipis lalu menggeleng pelan. “Bukan gitu maksud Bunda. Kalau kalian udah sama-sama simpan nomor, dia bisa lihat story kamu, kan?” “Terus, Bunda pengen aku ...?” “Buka celah, biar dia ngerasa aman, baru kita tahu niat sebenarnya.” May terdiam. Kata-kata itu seperti benang kusut yang satu per satu mulai masuk akal dan menyeramkan. Dia menatap layar ponsel yang masih menampilkan panggilan tak terjawab dari nomor asing itu. Tenggorokannya terasa kering. “Kalau dia benar Ayah, kenapa nggak langsung bilang dari awal?” “Kamu pikir semua orang berani jujur saat niatnya belum tentu bersih?” Ida berbalik menatap May, kali ini tatapannya tajam dan menusuk. “Atau justru karena dia tahu kamu masih punya rasa percaya itu, dia sengaja main di balik layar.” Mendengar itu, May menunduk dengan dada yang terasa sesak; antara takut, penasaran, dan terluka. "Jadi, aku harus terus
Kedua alis May bertaut pelan saat membuka aplikasi pesan berlogo hijau dengan ikon telepon. Di antara sekian notifikasi, ada satu pesan dari nomor tak dikenal yang langsung menarik perhatiannya. Rasa penasaran membuat jempolnya bergerak, membuka isi percakapan itu. +62 821-3333-xxxx: May, apa kabar? Kamu nggak kangen? Wanita muda itu memelototi layar ponselnya. Nickname pengguna hanya titik, tanpa foto profil, dan tanpa status. Kosong, seperti upaya untuk menyembunyikan identitas. May mengusap layar pelan, jempolnya berhenti di atas pesan itu. "May, apa kabar? Kamu nggak kangen?" Dia membaca ulang kalimat itu, kali ini dengan jantung yang sedikit berdebar. Suara dalam kepalanya mulai menebak-nebak. Siapa dia? Gaya bahasanya terlalu santai untuk orang asing, terlalu personal untuk sekadar iseng, bahkan terlalu familiar untuk dilupakan begitu saja. "Kenapa, May? Bunda perhatiin dari tadi kamu kayak bingung gitu?" Ida bertanya. Dia berdiri di beranda pintu kamar si anak, bar