Share

Bab 7

Penulis: Bintu Hasan
last update Terakhir Diperbarui: 2025-05-23 09:33:23

Setelah dua hari di kampung, kami memutuskan kembali ke kota. Masa cuti sudah habis, dan aku semakin yakin, Ayah memang sengaja bermain api. Buktinya, satu jam sebelum berangkat tadi, dia masih sempat membawa Tante Nanda keliling entah ke mana.

Kalau memang suka sekali berkeliling, kenapa tidak sekalian jadi bagong keliling kota? Setidaknya itu bisa menghasilkan rupiah. Ada faedahnya.

Tadi malam aku ikut mereka, menemani Tante Nanda jualan obat herbal. Hebat. Sekarang pelakor itu sudah punya klien sendiri di kampung dan kemungkinan besar akan dijadikan alasan untuk ikut pulang ke kampung bersama Ayah.

Saat ada yang check-up, Ayah juga minta diperiksa. Aku tersenyum miring melihat gelagat mereka. Kalau memang tidak ada apa-apa, kenapa Ayah harus duduk di antara aku dan Tante Nanda? Dan kenapa perempuan sialan itu tak bergeser barang sejengkal pun?

Ayah menatap hasil analisis lalu mengarahkan kursor ke angka 22—tentang kualitas sperma. Masih hijau, bagus, normal.

"Nan, lihat ini." Ayah menyentuh lengan Tante Nanda dengan cara yang terlalu akrab untuk disebut wajar.

"Masih bagus, Mas. Masih kuat banget," jawab wanita itu dengan suara lembut yang menjijikkan.

Ayah tersenyum bangga, lalu mengarahkan kursor ke grafik fungsi hati. Hijau sempurna. Aku mendengarkan sambil pura-pura menatap ponsel.

"Ternyata aku masih punya hati," kata Ayah.

Dan si perempuan itu menimpali, "Tentu. Masih sangat romantis."

Romantis? Bahasan mereka seperti lelucon murahan yang tak lucu. Rasanya seperti disiram air got. Kalau bukan karena Bunda memintaku tetap berpura-pura tidak tahu, sudah kuhancurkan semua sandiwara menjijikkan itu. Tapi biar saja. Biarkan mereka mempermalukan diri sendiri karena apa yang mereka lakukan memang pantas untuk dipermalukan.

Aku ingin meneriakkan semua umpatan yang mengendap di dada, tapi kutahan. Kukunyah dalam hati dengan getir.

Tante Nanda, wanita tanpa malu yang pandai bersandiwara. Di balik senyum sopannya ada racun yang perlahan membunuh. Dia seperti duri yang diselipkan dalam bunga. Tampak wangi dari luar, tapi tajam dan menyakitkan jika disentuh.

Dan untuk Tante Nanda, perempuan yang duduk santai di sebelah suami orang, tertawa kecil atas pujian murahan. Seakan-akan menjadi pengganggu rumah tangga adalah hal yang layak dibanggakan. Dasar pelakor tak tahu diri. Semoga cermin rumahnya pecah agar bisa melihat wajahnya yang sebenarnya.

Kalau aku bisa, aku ingin menyemburkan semua kata-kata hina ke wajahnya. Biar dia tahu, bukan hanya Bunda yang jadi korban, tapi kami semua, anak-anak yang melihat ibunya diam, padahal sedang berdarah dari dalam.

"May nanti mau makan siang di mana?" tanya Ayah memecah lamunanku.

Aku duduk di kursi belakang. Helaan napas panjang meluncur tanpa bisa kutahan. Sekitar empat jam lagi kami sampai di rumah. Aku bisa menahan lapar, tapi tidak bisa menahan rasa muak setiap melihat tingkah menjijikkan mereka.

"Nannan mau makan apa?" tanya Ayah lagi.

"Makan apa aja, Mas. Kamu?"

"Sosis dong."

"Sosis makan sosis?"

"Karena gak ada pukis."

Aku ingin muntah di tempat. Mereka benar-benar tidak tahu malu. Bisa-bisanya berbicara seperti itu di depanku. Apa mereka pikir aku tidak tahu maksud dari ‘sosis’ dan ‘pukis’? Aku bukan anak kecil.

Dadaku serasa terbakar. Amarah naik ke ubun-ubun. Sungguh aku tak tahu harus merasa apa. Jijik, marah, kecewa, semuanya campur aduk menjadi satu gumpalan besar yang mengganjal di tenggorokan.

Mereka bermain-main dengan kata cabul, menertawakannya, seolah dunia ini milik berdua. Sementara aku duduk di belakang, memendam gejolak yang tak bisa ditumpahkan.

"Tante Nanda dipanggil Nannan emang?" tanyaku, mencoba mengalihkan pikiran dari bahasan mesum mereka tadi.

"Iya, May. Tante Nanda itu emang dipanggil Nannan," jawab Ayah.

"Kenapa? Siapa aja yang manggil gitu?"

"Cuma orang terdekatnya aja, May."

"Iya, kayak suami Tante." Suara wanita itu menyelusup di antara jeda percakapan.

Jadi Ayah termasuk orang terdekat sampai bisa memanggilnya 'Nannan'? Haha. Menarik. Sekalian saja panggil ‘Sayang’ lagi sekalian di depanku.

Aku mengangguk sambil membiarkan mereka mengobrol tentang pekerjaan. Pura-pura tidak curiga. Pura-pura tak tahu. Tapi dalam hati, aku tertawa. Satu-satunya yang membuat mereka merasa aman adalah karena aku berpura-pura.

Silakan, umumkan pada dunia kalau selingkuh itu hal yang wajar. Kalau perlu, aku bantu umumkan!

Waktu berjalan cepat. Setelah mengantar Tante Nanda ke rumahnya, Ayah ikut turun, katanya mau numpang toilet. Tak ada yang bisa kusebut wajar dari semua itu. Tapi kami tetap diam, kami tetap berpura-pura.

Saat sampai rumah, Bunda menyambut dengan senyum lembut. Kedua adikku, yang sangat mirip denganku, ikut berdiri di sampingnya.

"Capek, May?"

Aku menatap mata Bunda dan mengangguk cepat. "Capek banget, Bun. Di sepanjang jalan rasanya pengen muntah. Di kampung nyaman banget. Aku yakin Ayah bakalan pulang kampung lagi dalam waktu dekat. Kalau bisa, Bunda ikut ya. Tante Husna kangen banget sama Raya dan Risa."

"Bunda!" panggil Ayah setelah mengeluarkan barang dari bagasi.

Mereka berpelukan. Ayah masih bisa memeluk Bunda dengan wajah hangat seperti tidak terjadi apa-apa. Aktor ulung. Masih bisa bersikap manis, seolah tak ada yang disembunyikan.

Aku harus belajar dari Bunda. Tenang dalam badai, sabar dalam luka. Dan juga belajar dari Ayah tentang cara berpura-pura paling hebat.

Kini pria itu menggendong Risa dan menggandeng tangan Raya masuk rumah. Mereka dibawakan oleh-oleh dan mainan yang dibeli ... tentu saja oleh Tante Nanda.

"Nanda kenapa gak ikut sampai ke sini dulu, Yah? Apa langsung diantar pulang?" tanya Bunda, suaranya datar tapi penuh isyarat.

"Bunda tahu kita satu mobil?" Ayah terdengar gugup.

"May bilang tim Nanda nggak jadi berangkat. Malah bagus, kalian jadi rame di jalan. Bunda yakin, Nanda pasti bisa cairin suasana," ujar Bunda sambil tersenyum.

Aku mengepalkan tangan. Muak sampai ke tulang.

Azan berkumandang. Ayah segera ke masjid. Ternyata masih ingat Tuhan, meski tadi baru selesai bersenda gurau dengan wanita yang bukan istrinya.

Aku dan Bunda duduk di ruang keluarga. Kami sendiri dalam masa libur, jadi bisa duduk santai di depan TV. Lauk sudah tersedia, siap disantap nanti selepas salat.

"Jadi, Bunda ada rencana apa? Aku kayaknya gak bisa bersabar lebih lama. Aku muak liat mereka mesra," kataku lirih.

Bunda menoleh. "Besok pagi, Ayah pasti panik."

"Kenapa gitu?"

"May lihat aja nanti. Jangan ikut campur, apalagi ngomel-ngomel ke Ayah. Bunda senang karena keluarga Ayah ternyata memihak kita. Kalau tidak, mereka pasti masuk dalam rencana Bunda."

Aku menyipitkan mata. Rencana apa lagi ini? Bunda memang sulit ditebak.

Tapi belum sempat bertanya lebih jauh, Bunda malah berdiri. Katanya ingin lanjut menulis novel. Aku mengangguk, tapi pikiranku terus berputar. Apa yang bisa membuat Ayah panik?

*

"Bunda! Bunda!"

Suara Ayah memekakkan pagi yang sepi. Aku mengucek mata dan keluar kamar. Ayah sudah rapi, siap kerja. Tapi kenapa panik?

Apa Bunda pergi diam-diam?

"May, Bunda ke mana?" Ayah menatapku dengan gelisah.

"Bunda di sini. Tadi habis anter Risa beli camilan. Raya udah nungguin Ayah tuh di depan, katanya bentar lagi telat. Ayah, kok, lama banget di kamar sampai gak sempat sarapan?"

Aku melirik jam. Sudah pukul tujuh. Lalu Ayah berkata dengan suara kacau." Nanda ... Nanda ada masalah, Bun."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • TEMAN WANITA AYAHKU   Bab 14

    Karena aku masih ngambek pada Ayah dan dia pun belum benar-benar pulih dari amarahnya setelah kejadian tadi pagi, aku memilih untuk tidak ikut ke desa itu. Lagi pula, kehadiranku hanya akan menambah ketegangan. Mereka berangkat segera setelah Tante Hanen datang menjemput, membawa serta semua senyuman palsu yang mereka bangun sejak fajar.Rumah menjadi lengang. Hanya aku dan Nenek yang tinggal. Wanita tua itu benar-benar tulus menyayangiku, memperlakukanku seperti darah dagingnya sendiri. Bahkan tadi, di tengah panasnya suasana, beliau berkali-kali mengingatkan Ayah agar tak mengulangi kesalahan lamanya, yakni memarahi anak dengan alasan yang tak masuk akal.Saat beliau bertanya kenapa aku tahu soal kata “pinareup,” aku hanya menunduk dan menjawab seadanya. Kataku, itu sedang ramai dibicarakan di media sosial.Jawaban itu jelas kebohongan dan aku tahu berbohong pada orang sepuh adalah hal yang keji. Akan tetapi, seperti kata Bunda, belum saatnya semua terbuka. Belum waktunya.Sore itu,

  • TEMAN WANITA AYAHKU   Bab 13

    "Eh, Nanda, kamu masih kerja di kantor yang dulu?" tanya Ayah tiba-tiba, nadanya terlalu cerah untuk sore hari mendung begini."Masih, Mas. Ya gitu-gitu aja. Laporan, rapat, ketik-ketik. Kadang bantu-bantu jualan juga, herbal yang itu, cuma sampingan sih," jawab Tante Nanda, suaranya ringan, tapi terdengar dibuat-buat.Aku hanya diam. Jelas sekali mereka sedang mengalihkan perhatian, membelokkan arah pikiranku agar lupa pada pertanyaan sebelumnya tentang pinareup. Ayah takut, aku tahu itu. Dia panik dan mulai bicara hal-hal remeh tentang pekerjaan, padahal dari awal mobil melaju, tak sekalipun dia tanya bagaimana perasaanku.Aku menghela napas panjang. Musik kuputar tanpa benar-benar kudengar. Mataku terpejam, pura-pura tertidur. Andai bisa, aku ingin lenyap dari sini. Biarlah mereka mengobrol, bercanda, atau melakukan hal lain selama aku dalam dunia pura-pura mimpi. Aku tidak peduli lagi, yang penting mereka tahu rasanya hidup dalam ketidakadilan seperti yang Bunda rasakan dulu.Untu

  • TEMAN WANITA AYAHKU   Bab 12

    Sudah tiga hari berlalu, masalah Tante Nanda pun tidak lagi seheboh kemarin. Bukan karena selesai, melainkan Bunda sengaja meredamnya untuk membuat mereka lengah.Untuk menang, harus ada strategi. Taktik mundur untuk mengepung, seperti dalam perang—mengulur langkah demi jebakan yang mematikan."Ayah pulang!"Aku yang sedang menemani adik belajar langsung berdiri, menyambut seperti biasa. Begitulah, Bunda sudah mengingatkan kami berulang kali sejak tadi.Padahal dalam hati aku muak. Menyapa, duduk manis, berpura-pura tertarik mendengar obrolan orang yang sebenarnya ingin kuabaikan. Hanya saja, semua harus tetap berjalan sesuai peran."Oh iya, Jumat depan Ayah harus pulang kampung lagi. Hanen bilang, ada desa yang mau dikunjungi," katanya ringan, seolah semua baik-baik saja.Aku dan Bunda yang baru keluar dari kamar langsung saling pandang. Dalam diam, kecurigaan langsung menyelinap. Nekat sekali Ayah mencoba membohongi penulis ulung.Haha. Ulung? Tidak juga. Namun, Bunda bukan orang ya

  • TEMAN WANITA AYAHKU   Bab 11

    "Ayah tahu kalau Tante Nanda ada masalah?" tanyaku sengaja menekankan setiap suku kata, seolah ingin menyelam ke lubuk paling gelap dari reaksi wajahnya.Ayah mengangguk pelan, terlalu pelan untuk disebut yakin. Tatapannya berputar canggung ke arah Bunda lalu kembali ke Tante Nanda, seperti bidak catur yang mendadak sadar kalau dirinya sudah tersudut.Dia melangkah maju, tak lebih dari dua tapak, seolah setiap langkah itu menimbang dosa yang dia pikir tak terlihat. Lelaki yang dulu bahkan belum layak disebut manusia, kini berjalan seakan punya nurani yang bersih. Ah, ironis."Nan, kamu gak apa, kan? Apa rencana kamu? Aku lihat di FB, mereka nyerang kamu dan tentangga tadi ada yang bisik-bisik, malah mantau rumah ini.""Gak apa-apa, Mas. Untung Mbak Ida datang dan ngasih solusi ke aku. Mereka udah mulai berhenti kirim komentar di postingan-postingan aku," kata Tante Nanda sambil berusaha tersenyum. Usaha yang sia-sia karena senyumnya terlihat seperti lapisan bedak di wajah yang sudah t

  • TEMAN WANITA AYAHKU   Bab 10

    Kami mendekat. Bunda menyuruhku mengambil air di dalam rumah.“Percikkan ke wajahnya. Siapa tahu sadar,” kata Bunda datar.Aku membawa segayung air seperti yang Bunda minta. Langkahku pelan, tenang, tapi penuh maksud. Begitu sampai di ambang pintu, aku mengatur posisi kaki kanan sedikit ke depan, lalu dengan perhitungan yang manis, kaki kanan menabrak kaki kiri.Tubuhku oleng ringan. Gayung terguncang dan air tumpah sempurna, langsung menyiram wajah Tante Nanda. Bukan sekadar percik, tapi tumpah ruah membasahi seluruh tubuhnya. Tante Nanda terlonjak bangun, wajahnya kaget setengah mati. Make up-nya? Luntur. Mascara membentuk jalur hitam seperti air mata dosa yang akhirnya dipertontonkan ke semesta.Aku pura-pura panik, padahal dalam hati ada kepuasan yang sulit dijelaskan. Seperti mencabut duri yang selama ini tertancap di dada. Aku tidak menyesal. Tidak sama sekali. Ini bukan ketidaksengajaan. Ini kehendak. Skenario kecil yang kuperankan dengan sempurna. Aku, si anak korban, kini men

  • TEMAN WANITA AYAHKU   Bab 9

    Ayah: May, bilang sama Bunda kalau hari ini Ayah banyak kerjaan. Jadi, bakalan lembur. Kata bos, mungkin besok ke luar kota. Pakaian gak usah disiapin, nanti Ayah beli di jalan sama bos.Aku menatap pesan itu dengan senyum kecut. Lembur? Besok ke luar kota? Tanpa bawa pakaian dari rumah? Dan lebih parahnya—bukan Bunda yang dikabari langsung. Padahal sebelumnya Ayah malah menelepon Tante Tiara.Apa Bunda, ratu dalam rumah ini, sudah kehilangan kedudukannya? Apa benar kami sedang hidup di tengah drama harem, di mana selir baru perlahan menyingkirkan istri sah? Dadaku sesak membayangkan kejutan macam apa lagi yang akan Ayah hadiahkan kali ini.Aku ingin percaya ini hanya pekerjaan, tapi rasa curiga menolak pergi. Jangan-jangan alasan ke luar kota itu hanya kedok untuk bertemu istrinya yang lain. Suami sah dengan jabatan PNS seharusnya tak bisa sembarangan begitu, kan? Kalau ini sampai dilaporkan, Ayah bisa dipecat.Tapi dia pasti sudah memperhitungkan semuanya. Mungkin dia menunda menika

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status