LOGINSetelah dua hari di kampung, kami memutuskan kembali ke kota. Masa cuti sudah habis, dan aku semakin yakin, Ayah memang sengaja bermain api. Buktinya, satu jam sebelum berangkat tadi, dia masih sempat membawa Tante Nanda keliling entah ke mana.
Kalau memang suka sekali berkeliling, kenapa tidak sekalian jadi bagong keliling kota? Setidaknya itu bisa menghasilkan rupiah. Ada faedahnya. Tadi malam aku ikut mereka, menemani Tante Nanda jualan obat herbal. Hebat. Sekarang pelakor itu sudah punya klien sendiri di kampung dan kemungkinan besar akan dijadikan alasan untuk ikut pulang ke kampung bersama Ayah. Saat ada yang check-up, Ayah juga minta diperiksa. Aku tersenyum miring melihat gelagat mereka. Kalau memang tidak ada apa-apa, kenapa Ayah harus duduk di antara aku dan Tante Nanda? Dan kenapa perempuan sialan itu tak bergeser barang sejengkal pun? Ayah menatap hasil analisis lalu mengarahkan kursor ke angka 22—tentang kualitas sperma. Masih hijau, bagus, normal. "Nan, lihat ini." Ayah menyentuh lengan Tante Nanda dengan cara yang terlalu akrab untuk disebut wajar. "Masih bagus, Mas. Masih kuat banget," jawab wanita itu dengan suara lembut yang menjijikkan. Ayah tersenyum bangga, lalu mengarahkan kursor ke grafik fungsi hati. Hijau sempurna. Aku mendengarkan sambil pura-pura menatap ponsel. "Ternyata aku masih punya hati," kata Ayah. Dan si perempuan itu menimpali, "Tentu. Masih sangat romantis." Romantis? Bahasan mereka seperti lelucon murahan yang tak lucu. Rasanya seperti disiram air got. Kalau bukan karena Bunda memintaku tetap berpura-pura tidak tahu, sudah kuhancurkan semua sandiwara menjijikkan itu. Tapi biar saja. Biarkan mereka mempermalukan diri sendiri karena apa yang mereka lakukan memang pantas untuk dipermalukan. Aku ingin meneriakkan semua umpatan yang mengendap di dada, tapi kutahan. Kukunyah dalam hati dengan getir. Tante Nanda, wanita tanpa malu yang pandai bersandiwara. Di balik senyum sopannya ada racun yang perlahan membunuh. Dia seperti duri yang diselipkan dalam bunga. Tampak wangi dari luar, tapi tajam dan menyakitkan jika disentuh. Dan untuk Tante Nanda, perempuan yang duduk santai di sebelah suami orang, tertawa kecil atas pujian murahan. Seakan-akan menjadi pengganggu rumah tangga adalah hal yang layak dibanggakan. Dasar pelakor tak tahu diri. Semoga cermin rumahnya pecah agar bisa melihat wajahnya yang sebenarnya. Kalau aku bisa, aku ingin menyemburkan semua kata-kata hina ke wajahnya. Biar dia tahu, bukan hanya Bunda yang jadi korban, tapi kami semua, anak-anak yang melihat ibunya diam, padahal sedang berdarah dari dalam. "May nanti mau makan siang di mana?" tanya Ayah memecah lamunanku. Aku duduk di kursi belakang. Helaan napas panjang meluncur tanpa bisa kutahan. Sekitar empat jam lagi kami sampai di rumah. Aku bisa menahan lapar, tapi tidak bisa menahan rasa muak setiap melihat tingkah menjijikkan mereka. "Nannan mau makan apa?" tanya Ayah lagi. "Makan apa aja, Mas. Kamu?" "Sosis dong." "Sosis makan sosis?" "Karena gak ada pukis." Aku ingin muntah di tempat. Mereka benar-benar tidak tahu malu. Bisa-bisanya berbicara seperti itu di depanku. Apa mereka pikir aku tidak tahu maksud dari ‘sosis’ dan ‘pukis’? Aku bukan anak kecil. Dadaku serasa terbakar. Amarah naik ke ubun-ubun. Sungguh aku tak tahu harus merasa apa. Jijik, marah, kecewa, semuanya campur aduk menjadi satu gumpalan besar yang mengganjal di tenggorokan. Mereka bermain-main dengan kata cabul, menertawakannya, seolah dunia ini milik berdua. Sementara aku duduk di belakang, memendam gejolak yang tak bisa ditumpahkan. "Tante Nanda dipanggil Nannan emang?" tanyaku, mencoba mengalihkan pikiran dari bahasan mesum mereka tadi. "Iya, May. Tante Nanda itu emang dipanggil Nannan," jawab Ayah. "Kenapa? Siapa aja yang manggil gitu?" "Cuma orang terdekatnya aja, May." "Iya, kayak suami Tante." Suara wanita itu menyelusup di antara jeda percakapan. Jadi Ayah termasuk orang terdekat sampai bisa memanggilnya 'Nannan'? Haha. Menarik. Sekalian saja panggil ‘Sayang’ lagi sekalian di depanku. Aku mengangguk sambil membiarkan mereka mengobrol tentang pekerjaan. Pura-pura tidak curiga. Pura-pura tak tahu. Tapi dalam hati, aku tertawa. Satu-satunya yang membuat mereka merasa aman adalah karena aku berpura-pura. Silakan, umumkan pada dunia kalau selingkuh itu hal yang wajar. Kalau perlu, aku bantu umumkan! Waktu berjalan cepat. Setelah mengantar Tante Nanda ke rumahnya, Ayah ikut turun, katanya mau numpang toilet. Tak ada yang bisa kusebut wajar dari semua itu. Tapi kami tetap diam, kami tetap berpura-pura. Saat sampai rumah, Bunda menyambut dengan senyum lembut. Kedua adikku, yang sangat mirip denganku, ikut berdiri di sampingnya. "Capek, May?" Aku menatap mata Bunda dan mengangguk cepat. "Capek banget, Bun. Di sepanjang jalan rasanya pengen muntah. Di kampung nyaman banget. Aku yakin Ayah bakalan pulang kampung lagi dalam waktu dekat. Kalau bisa, Bunda ikut ya. Tante Husna kangen banget sama Raya dan Risa." "Bunda!" panggil Ayah setelah mengeluarkan barang dari bagasi. Mereka berpelukan. Ayah masih bisa memeluk Bunda dengan wajah hangat seperti tidak terjadi apa-apa. Aktor ulung. Masih bisa bersikap manis, seolah tak ada yang disembunyikan. Aku harus belajar dari Bunda. Tenang dalam badai, sabar dalam luka. Dan juga belajar dari Ayah tentang cara berpura-pura paling hebat. Kini pria itu menggendong Risa dan menggandeng tangan Raya masuk rumah. Mereka dibawakan oleh-oleh dan mainan yang dibeli ... tentu saja oleh Tante Nanda. "Nanda kenapa gak ikut sampai ke sini dulu, Yah? Apa langsung diantar pulang?" tanya Bunda, suaranya datar tapi penuh isyarat. "Bunda tahu kita satu mobil?" Ayah terdengar gugup. "May bilang tim Nanda nggak jadi berangkat. Malah bagus, kalian jadi rame di jalan. Bunda yakin, Nanda pasti bisa cairin suasana," ujar Bunda sambil tersenyum. Aku mengepalkan tangan. Muak sampai ke tulang. Azan berkumandang. Ayah segera ke masjid. Ternyata masih ingat Tuhan, meski tadi baru selesai bersenda gurau dengan wanita yang bukan istrinya. Aku dan Bunda duduk di ruang keluarga. Kami sendiri dalam masa libur, jadi bisa duduk santai di depan TV. Lauk sudah tersedia, siap disantap nanti selepas salat. "Jadi, Bunda ada rencana apa? Aku kayaknya gak bisa bersabar lebih lama. Aku muak liat mereka mesra," kataku lirih. Bunda menoleh. "Besok pagi, Ayah pasti panik." "Kenapa gitu?" "May lihat aja nanti. Jangan ikut campur, apalagi ngomel-ngomel ke Ayah. Bunda senang karena keluarga Ayah ternyata memihak kita. Kalau tidak, mereka pasti masuk dalam rencana Bunda." Aku menyipitkan mata. Rencana apa lagi ini? Bunda memang sulit ditebak. Tapi belum sempat bertanya lebih jauh, Bunda malah berdiri. Katanya ingin lanjut menulis novel. Aku mengangguk, tapi pikiranku terus berputar. Apa yang bisa membuat Ayah panik? * "Bunda! Bunda!" Suara Ayah memekakkan pagi yang sepi. Aku mengucek mata dan keluar kamar. Ayah sudah rapi, siap kerja. Tapi kenapa panik? Apa Bunda pergi diam-diam? "May, Bunda ke mana?" Ayah menatapku dengan gelisah. "Bunda di sini. Tadi habis anter Risa beli camilan. Raya udah nungguin Ayah tuh di depan, katanya bentar lagi telat. Ayah, kok, lama banget di kamar sampai gak sempat sarapan?" Aku melirik jam. Sudah pukul tujuh. Lalu Ayah berkata dengan suara kacau." Nanda ... Nanda ada masalah, Bun."Udara siang menembus kisi besi penjara, membawa aroma besi tua dan keringat. Hanan duduk di sudut ruang tahanan, membungkuk di atas meja kecil yang catnya mulai terkelupas. Kertas lusuh di tangannya berisi huruf-huruf yang tak lagi terbaca jelas—surat yang tak pernah sempat dikirim untuk Ida.Suara rantai bergemerincing di lorong panjang. Petugas memanggil, “Tahanan nomor 207, ada tamu.”Langkah Hanan terhenti sesaat. Matanya menatap kosong ke arah pintu. Siapa yang mau datang menemuinya setelah semua ini? Dia berdiri pelan, tubuhnya tampak lebih kurus, rambut mulai memutih di sisi pelipis. Wajah yang dulu selalu percaya diri kini tampak layu, seperti pohon tua kehilangan akar.Di ruang kunjungan, kaca tebal memisahkan dunia yang masih hidup dan yang sudah setengah mati. Hanan duduk di kursi logam, menunggu. Lalu, pintu terbuka.Seorang wanita muda masuk, diikuti seorang pria dengan jas abu-abu. Langkah mereka tenang, berwibawa. Hanan menegakkan tubuhnya, tapi napasnya tercekat saat m
Langit pagi masih bersih tanpa awan dan mentari menyorot lembut ke Gedung Bimasena, sebuah bangunan megah bergaya kolonial yang hari itu bertransformasi menjadi taman surga sementara. Fasadnya dihiasi dengan karangan bunga melati, mawar putih jenis Avalanche, dan anyelir segar yang disusun sedemikian rupa sehingga menjuntai indah dari pilar-pilar tinggi. Aroma lembut floral berpadu dengan wangi khas lilin aromaterapi yang diletakkan tersembunyi, menciptakan lapisan wangi yang elegan.Di dalam, suasananya adalah perwujudan kesempurnaan sosial. Setiap sudut ruangan memancarkan kebahagiaan yang dipoles dengan baik. Lantai marmer mengilap memantulkan cahaya kristal dari lusinan lampu gantung, dan di tengah ruang, karpet merah membentang menuju pelaminan yang dihiasi dengan instalasi bunga raksasa.Tawa pelan para tamu, yang kebanyakan adalah wajah-wajah penting dari kalangan bisnis dan politik, bercampur dengan denting gelas sampanye kristal dan lantunan musik lembut dari orkes kecil di p
Saat kertas itu kembali terselip rapi di dalam laci, kegembiraan dingin merayap ke dada May. Lampu kamar meredup jadi latar. Dia berdiri, menutup mata, lalu menari pelan di antara bayangan. Langkahnya ringan, senyum samar melengkung di bibir. Di dalam kepalanya, kenangan dua bulan lalu berputar seperti potongan film lama di masa ketika semuanya mulai bergerak sesuai rencana. Hari itu, di taman kota yang sepi dan jarang dilalui orang, bangku panjang dekat kolam menjadi saksi. Hanan duduk di sana, bahunya sedikit menunduk, kemeja abu-abu yang dia kenakan tampak kusut di bagian siku. Dari kejauhan, bayangan seorang gadis muncul perlahan. “May.” Suara Hanan terdengar berat, seperti menahan sesuatu yang lama mengganjal. “Aku cuma punya waktu sebentar, Yah. Bunda lagi tidur,” jawab May sambil duduk di sampingnya. Gerakannya tenang, tatapannya lembut, tapi penuh hitungan. Mereka diam sejenak. Angin menyentuh permukaan air, memantulkan wajah keduanya yang sama-sama menanggung sisa luka la
Berita di televisi sudah berakhir, meninggalkan ruang tamu yang senyap. May, Raya, dan Risa duduk berdekatan di sofa, belum benar-benar paham seluruh arti dari kabar yang baru saja mereka dengar. Hanya tahu bahwa seseorang yang dulu mereka panggil Ayah kini berada di balik jeruji besi. Dari luar, suara mobil berhenti di depan rumah. Pintu diketuk pelan, disusul suara perempuan terisak. Ida menoleh cepat, lalu berdiri. Di ambang pintu berdirilah Hanen dengan mata bengkak, wajah pucat, dan pundak bergetar menahan tangis. “Masuklah, Nen,” ucap Ida pelan. Begitu langkah Hanen melewati ambang, suasana di ruang tamu langsung berat. Dia menutup mulutnya, menahan sesak yang tak terbendung. “Aku nggak nyangka, Mbak. Husna belum genap empat puluh hari, sekarang Mas Hanan juga harus masuk penjara.” Suaranya pecah, tubuhnya goyah. Ida meraih bahu wanita itu, menuntunnya duduk. “Aku juga nggak pernah berharap semua ini terjadi. Tapi kebenaran tetap harus ditegakkan.” Tangis Hanen pecah tanpa
Dua hari kemudian, kantor polisi semakin dipenuhi tumpukan berkas, rekaman digital, dan peta jalur CCTV. Setiap detil mulai disusun rapi oleh tim detektif. Sementara itu, sebuah telepon masuk ke meja detektif senior. “Hanan berada di lobi, ingin menyerahkan diri,” kata petugas sambil menahan napas. Detektif senior mengerutkan alis, menatap Hanan yang baru saja melangkah masuk. Wajahnya pucat, mata menunduk, tapi ada sesuatu di sana, tentang kesadaran dan ketegasan yang sebelumnya tak terlihat. Hanan menyerahkan ponsel genggamnya, tablet, dan beberapa dokumen. “Ini semua bukti yang membuktikan siapa yang mengatur semuanya. Aku yang merencanakan semuanya dan aku ingin bertanggung jawab. Aku ingin kebenaran keluar, tanpa ada yang lagi jadi korban kebohongan atau dendam orang lain.” Detektif senior mengambil satu per satu dokumen itu. Di layar ponsel, chat-chat itu membuka rahasia gelap: Hanan menyuruh Raisa menaruh sapu tangan dengan huruf N di rumah Ida agar terlihat seperti bu
Ruang penyelidikan apartemen dipenuhi layar monitor. Detektif senior menatap salah satu rekaman CCTV, matanya menyipit. “Perhatikan jam tujuh malam. Di sini, sebelum keributan mulai, ada seseorang yang menarik perhatian.” Seorang detektif muda menekan tombol pause, memperbesar layar. Di lobby, seorang gadis muda tampak sibuk menelepon. Rambutnya diikat tinggi, tas kecil tergantung di bahunya, gerak-geriknya cemas. Dia sesekali menengok ke lift dan pintu masuk, seolah menunggu seseorang. “Lihat itu,” desis detektif muda, “dia bukan penghuni, kan? Gerakannya terlalu waspada.” Senior mencondongkan tubuh. “Benar. Catat setiap detil. Posisi tasnya, arah pandang, gerakan tangannya. Bisa jadi ini orang yang menaruh racun atau bahkan yang mematikan kamera koridor.” Seorang detektif lain mengangguk. “Nomor telepon yang dia pakai bisa kita telusuri. Siapa tahu ada koneksi dengan pihak ketiga yang sengaja menjebak Tiara.” Senior menghela napas. “Timeline malam itu mulai terlihat lebih







