Share

5. Jadi Orang Ketiga

Author: ReyNotes
last update Last Updated: 2025-10-30 15:33:08

Belva menggigit bibir bawahnya gelisah. Namun, ragu-ragu, ia naik ke ranjang.

Belva tidur memunggungi Alvin yang sudah memejamkan mata. Meski begitu, tangan Alvin masih memegang tangannya.

Saat akan menutup mata, Belva kembali terkejut. Lengan Alvin memeluk pinggangnya. Embusan napasnya terasa di leher belakang Belva.

Tubuh mereka rapat. Belva mengatur napasnya perlahan. Matanya menatap tangan Alvin. Perlahan, Belva malah melapisi tangan tersebut dan memejamkan mata.

Tidak seperti malam sebelumnya yang sulit tidur, kali ini Belva tidur lelap dengan senyum di wajahnya.

Ia sadar telah jatuh cinta untuk pertama kalinya.

Pagi hari, Belva menemukan sisi ranjangnya kosong. Ia meraih ponsel di meja nakas dan membuka kotak pesan.

“Aku ada praktek pagi. Jangan lupa sarapan sebelum baking.”

Belva berjalan ke dapur. Di meja makan ada piring berisi roti panggang keju dan teh camomile yang masih hangat.

Sambil makan, Belva tersenyum-senyum sendiri. Semalam, ia sempat berpikiran buruk kala melihat kondom di plastik apotek. Tetapi, dugaan negatif itu tidak terjadi.

Bagaimana kalau Alvin mengajaknya bercinta? Ia sudah sangat baik. Belva jadi membayangkan jika ia berbagi peluh di ranjang dengan Alvin.

Semalam, ia merasakan bagaimana didekap dokter tampan itu. Hangat dan nyaman. Belva memeluk dirinya begitu sadar ia bergairah.

Suara ponselnya membuyarkan lamunan Belva. Saat mengangkat telepon, wajahnya merah karena khayalannya.

“Arumi!” jerit Belva pada teleponnya.

“Aku mau pulang nih. Sebentar lagi boarding. Kirim alamatmu sekarang, ya.”

Arumi, sahabatnya, sedang kuliah di luar negeri. Hati Belva begitu senang mendengarnya akan kembali. Arumi lah yang membuatnya mantap untuk segera resign dari hotel dan berbisnis kuliner.

Malamnya, Belva sedang menata makanan di meja makan. Alvin bilang akan mampir untuk makan malam. Lelaki itu datang dengan wajah letih.

Saat berbincang, tatapan Alvin seringkali terhenti di wajah Belva, lalu beralih lagi ke piringnya, seolah ingin mengungkapkan sesuatu.

Setelah piring-piring dicuci dan meja dibereskan, Belva duduk di balkon, memandangi lampu kota. Alvin datang membawa dua gelas teh hangat, duduk di sebelahnya.

Sesaat keduanya terdiam. Hanya ada suara lalu lintas di bawah.

“Aku harus jujur padamu.” Suara Alvin tiba-tiba berat.

“Ada apa?” Deg-degan, Belva menunggu.

“Kamu pantas tahu sebelum semuanya semakin salah.”

Alvin menatap mata Belva. Pandangan yang tajam tapi sarat penyesalan. “Aku sudah menikah, Belva. Aku punya istri… dan seorang anak.”

Kata-kata itu menghantam Belva seperti badai. Ia terdiam, matanya melebar. Dada terasa sesak seolah udara tiba-tiba menghilang.

“Dokter… sudah menikah?” suaranya serak, hampir tak terdengar. “Kenapa baru bilang sekarang?”

Alvin menunduk. “Karena aku takut kehilangan kenyamanan yang baru kutemukan ini. Beberapa hari ini, kamu sudah mengisi kesepianku.”

Air mata mulai menggenang di mata Belva. “Jadi selama ini aku hanya perempuan bodoh yang dibiarkan berharap?”

Alvin refleks mendekat, tapi Belva berdiri, menyingkirkan tangannya.

“Kamu tahu? Setiap perhatianmu… setiap tatapanmu… aku pikir itu berarti sesuatu. Aku pikir… kamu juga merasakan hal yang sama.” Suaranya pecah. Ia berbalik, menutup wajahnya dengan tangan, bahunya bergetar.

Alvin berdiri diam, wajahnya menegang antara rasa bersalah dan keinginan untuk menenangkan.

“Aku tidak pernah berniat mempermainkanmu, Belva. Karena... aku juga merasakan semua yang kamu rasakan.”

“Lalu kenapa kamu biarkan semua ini terjadi?”

“Karena aku lelaki normal…” suaranya hampir berbisik. “Aku sudah cukup lama hidup tanpa gairah.”

Keheningan panjang menyelimuti mereka. Hanya suara tangisan Belva yang pecah di antara dinginnya malam. Belva segera menghapus air matanya.

Aku tidak boleh menangisi suami orang! Belva memaki dirinya sendiri.

“Aku dan istriku sudah lama pisah ranjang. Hubungan itu hanya tersisa di atas kertas.”

Pernyataan Alvin membuat Belva menoleh sedikit. Wajah Alvin sendu dan terlihat semakin datar.

“Aku akan bercerai, Belva.”

Belva tidak berkomentar. Air matanya menetes lagi, tapi kali ini bukan karena marah—melainkan campuran iba dan perih.

Pelan, Alvin bercerita tentang kehidupan pribadinya. Jujur, ia mengatakan bahwa ia kagum pada Belva. Di saat istrinya berselingkuh demi naik jabatan, Belva malah menjaga harga dirinya.

“Aku tidak ingin jadi orang ketiga.” Belva menggeleng tegas.

“Kamu bukan. Kamu datang ketika semuanya memang sudah hancur.”

“Tetap saja kita harus mengakhiri ini.” Belva menutup mata sejenak kala ia sadar, hubungannya dengan Alvin memang belum benar-benar dimulai.

“Iya… bertahanlah sebentar. Setidaknya sampai aku menyelesaikan masalah dan menata lagi hidupku.”

Dalam hati, Belva tahu dirinya seharusnya juga menjauh. Tapi di sisi lain, ada sesuatu yang enggan ia lepaskan—kehangatan, perhatian, dan rasa aman yang terlalu berharga untuk ditinggalkan begitu saja.

“Tinggallah di sini selama yang kamu mau. Aku tidak akan datang lagi sampai semuanya benar-benar selesai.”

Belva mendongak menatap wajah Alvin. Lelaki itu tersenyum lembut. Perlahan Alvin merentangkan kedua tangannya dan merengkuh tubuh Belva dalam pelukan.

“Sementara kita berpisah dulu. Jangan lupa makan. Tetaplah sehat dan buat dirimu bahagia. Jangan berjalan sendirian di malam hari.”

Mendengar pesan-pesan Alvin, Belva terisak. Hatinya sakit dan tidak rela semuanya berakhir. Alvin menjauhkan wajah Belva dan menatapnya dalam-dalam.

“Maafkan aku.”

Lalu dengan kesadaran penuh, Alvin memagut bibir Belva.

Ciuman itu seharusnya jadi awal kisah yang manis, tapi justru terasa seperti luka yang semakin dalam. Belva menutup mata, membiarkan air matanya mengalir di bawah sentuhan itu.

Sebelum keduanya berhenti, terdengar suara terkejut dari arah pintu.

“Pa-Papa? Belva?”

Keduanya serentak menoleh.

Di ambang pintu, berdiri seorang gadis muda dengan mantel panjang dan koper di tangan. Tatapannya menghunus tajam membuat dada Belva langsung terasa nyeri.

“Papa?” gumam Belva. Raut wajahnya mendadak seputih kertas.

“Arumi....” Suara Alvin nyaris tidak keluar.

“Kalian berdua....”

Keheningan yang memekakkan melingkupi mereka.

Belva kaku di tempat, nyaris tak bisa bernapas. Sementara Alvin berdiri menatap wanita muda di depannya, tak tahu harus menjelaskan dari mana.

Tatapan Arumi berganti antara papanya dan wanita yang selama ini ia panggil sahabat.

Detik berikutnya, ia membalik tubuh dan berlari keluar.

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (2)
goodnovel comment avatar
happyface
kasihan belva ah
goodnovel comment avatar
Hanum Layla
kirain single beneran, ternyata.... jangan gitu dong dok, jangan buat Belva seolah-olah jadi pelakor, nih banyak modelan pria kayak gini sekarang, beresin dulu masalahnya baru deketin wanita lain untung jauh dekat kena hih dariku...
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • TERBUAI PERHATIAN DOKTER TAMPAN   97. Rumah Baru

    “Apa kata Mamamu? Kok kamu matikan teleponnya?” Belva bertanya pada Arumi yang sudah menurunkan ponsel dari telinganya.Arumi menatap Belva, lalu menunduk. “Mama cuma langsung bilang minta dibayar tebusannya biar bisa keluar dari penjara.”Belva dan Edo saling bertatapan sejenak, lalu mengembuskan napas berat. Mereka membiarkan Arumi yang termangu sendiri menatap ke luar jendela.Hingga akhirnya mereka tiba di apartemen, Arumi segera minta waktu bicara dengan Alvin berdua saja. Belva meninggalkan mereka dan masuk ke kamarnya. Sementara Edo pun langsung berpamitan.“Ada apa, Arumi?”Selama putrinya bercerita, Alvin menatapnya dengan ekspresi datar. Hingga akhirnya Arumi berhenti dan memeluk Alvin sambil terisak.“Aku nggak tau harus bagaimana, Pa?”Sejenak Alvin hanya diam. Lalu perlahan, tangannya mulai mengelus punggung sang putri. Ia mengurai pelukan Arumi dan menatap wajahnya.“Kenapa Mama bisa sampai seperti ini?” Arumi balas menatap mata Alvin.Sebelum menjawab, Alvin menghela na

  • TERBUAI PERHATIAN DOKTER TAMPAN   96. Anak Baik

    Musim semi menyambut keluarga yang berkumpul lengkap di luar negeri untuk menghadiri wisuda Arumi dan Edo yang hanya selisih satu hari.Di halaman kampus yang luas, toga-toga hitam bergerak seperti gelombang kecil. Fredy dan Yarra berdiri berdampingan, wajah mereka dipenuhi senyum yang tidak dibuat-buat. Belva berdiri di sisi Alvin, tangannya sesekali merapikan kerah jas suaminya—kebiasaan kecil yang kini terasa wajar.“Papa, Belva,” panggil Arumi dari kejauhan.Ia melangkah mendekat dengan senyum lebar, toga membingkai wajahnya yang matang. Di sampingnya, Edo berjalan dengan langkah tenang. Mereka berhenti tepat di depan keluarga.“Selamat, Rumi,” ucap Fredy, suaranya berat namun hangat.Yarra memeluk cucunya lama. “Kami bangga sekali.”Belva tersenyum bahagia lalu menggenggam kedua tangan Arumi. “Gimana? Sudah lega?”Arumi tertawa kecil dan mengangguk. “Aku akhirnya selesai.”Edo menunduk sopan. “Terima kasih sudah datang.”Alvin menepuk bahu Edo singkat. Tidak banyak kata, tapi isy

  • TERBUAI PERHATIAN DOKTER TAMPAN   95. Restu

    Saat semua orang bergembira dan menjabat tangan Edo dan Arumi bergantian. Alvin terdiam sambil menatap Edo tanpa berkedip. Lalu, perlahan, ia menyeret Edo ke pojok ruangan.“Sejak kapan?” Alvin melipat kedua yang tangannya di perut sambil menatap Edo tanpa jeda.“Umm... maaf, Om. Kami semakin dekat saat kembali bersama ke luar negeri. Karena satu kampus juga, kami jadi sering bertemu.” Edo menjelaskan.“Kenapa kalian diam-diam? Belva tau?”Edo menggeleng. “Arumi bilang, kalau Belva tau, ia akan langsung cerita pada Om. Arumi mau ini menjadi kejutan.”“Oh yaa.” Alvin mendelik. “Aku memang sangat terkejut.”Edo menunduk santun. “Maaf, Om.”Lalu, Alvin teringat sesuatu. “Belva pernah bilang kamu sudah memiliki kekasih.”“Kami tidak berjodoh.” Edo menghela napas. “Kami sudah putus sebelum aku memutuskan sekolah lagi.”“Begitu.”“Aku minta restu, Om.”Alvin mendekat ke telinga Edo dan mengancam, “Kupatahkan lehermu kalau sampai menyakiti putriku!”Setelahnya, Alvin bergabung pada keluargan

  • TERBUAI PERHATIAN DOKTER TAMPAN   94. Dua Wisuda

    Pagi itu datang dengan situasi yang berbeda. Alvin memeluk dan mengelus punggung Belva yang terbuka. Wanita itu masih nyaman tidur dalam dekapan.“Sayang, aku harus siap-siap ke rumah sakit,” ucap Alvin.“Umm... aku masih mau dipeluk begini.” Belva menggumam sambil mengeratkan pelukannya.Alvin terkekeh. “Lima menit lagi. Oke?”Tidak ada jawaban. Hingga lima menit berikutnya, Alvin mengangkat tubuh Belva dan membopongnya ke kamar mandi.“Aku masih mau tiduran.” Belva merengut kala Alvin melepas pakaiannya.“Sekalian aku mandi, Sayang. Setelah aku berangkat, kamu bisa tidur lagi.”Akhirnya, Belva pasrah dimandikan sang suami. Dengan manja, Belva mengalungkan lengannya di leher Alvin saat tangan lelaki itu mengusap sabun ke seluruh tubuh istrinya. Mereka bertatapan, berciuman hingga kedua kaki Belva kini naik ke pinggang Alvin.Sambil menjaga keseimbangannya di lantai yang basah, Alvin membantu Belva bergerak di atas tubuhnya. Setelah sama-sama mendapat pelepasan, Belva menjejakkan kaki

  • TERBUAI PERHATIAN DOKTER TAMPAN   93. Mengukir Kenangan

    Dalam pesawat, Belva menggulir foto-foto bulan madunya. Ia tersenyum-senyum menatap kebersamaannya di kamar bersama Alvin.“Kita nggak bisa nunjukin foto-foto ini, lho.” Belva memperlihatkannya pada Alvin. “Bagaimana kalau ada yang tanya?”Alvin melirik layar ponsel Belva. Ia malah tertarik lalu meminjamnya. Lelaki itu tersenyum melihat dirinya dan Belva di ranjang dengan tubuh bagian atas polos, hanya tertutup selimut tipis.“Aku suka foto-fotonya. Terlihat benar-benar penampakan bulan madu.”“Iyaa. Tapi kalau Arumi tanya gimana?”“Lagian kenapa kamu selalu pakai lingerie?” Alvin menggoda sang istri. “Padahal nggak pakai apa-apa juga akan lebih bagus.”“Hei! Bukan aku yang packing. Isi koper itu sebagian dari Arumi dan Kak Estella.” Belva mencebik. “Dan memang lingerie itu percuma karena kamu selalu membukanya.”“Karena aku juga nggak pakai apa-apa.” Alvin berbisik di telinga Belva.Tangan Belva terjulur mengusap rahang Alvin yang masih sibuk menggulir foto dari ponsel Belva. “Mana m

  • TERBUAI PERHATIAN DOKTER TAMPAN   92. Bulan Madu

    Villa yang Alvin sewa berdiri terpisah dari keramaian, menghadap laut biru yang tenang. Tirai putih bergoyang pelan tertiup angin, suara ombak menjadi satu-satunya pengingat waktu yang terus bergerak.Saat tiba di kamar, Alvin langsung mendekap Belva. Memberinya ciuman di detiap inci kulit dan merayu Belva.“Aku sudah sangat menginginkan ini.” Alvin mendesah di ceruk leher Belva. “Aku ingin berbaring di sampingmu tanpa selembar benang pun di tubuh kita.”Tubuh Belva rasanya ikut terbakar mendengar rayuan Alvin. Belva membiasakan matanya dengan pemandangan Alvin yang sedang membuka pakaian.Lalu, lelaki itu kembali memagut bibir Belva. Mereka bahkan melakukannya sambil melepas semua kain yang menempel di tubuh.Sepasang tangan Alvin penuh keyakinan dan tau apa yang harus dilakukan. Sangat terarah, tidak asal jamah dan penuh perasaan.Ciumannya amat dalam, melihatkan setiap bagian dari mulut mereka. Bibir Alvin menggumamkan sesuatu sebelum menghujani dada Belva dengan sejuta ciuman.Ber

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status