Compartilhar

TAS 2

last update Última atualização: 2025-09-23 16:10:14

Aku spontan berdiri, menghadap ke arah ibu Sean yang masih menatap kami. Tangannya menenteng snelli, jelas ia baru pulang dari rumah sakit. Wanita hebat ini seorang dokter spesialis kandungan yang karirnya sedang menanjak.

Cindy mendekat dengan langkah mantap.

Aku tahu, dia jarang sekali ada di rumah. Sean pernah bilang ibunya terlalu sibuk, bahkan sekadar menyapanya pun sulit. Tapi tiba-tiba akhir pekan ini dia muncul?

"Selamat sore, Tante," sapaku cepat, mencoba mengatur napas dan tampak ramah.

Cindy mengangguk, tersenyum tipis. "Apa kabar, cantik? Tidak terasa kalian sudah beranjak dewasa."

Aku tersipu. "Baik… seperti yang Tante lihat. Tante sendiri bagaimana? Kelihatannya makin sibuk."

"Yah, begitulah... banyak tanggung jawab yang harus kau selesaikan jika jadi seorang dokter," jawabnya datar meski senyumnya tak memudar sedikitpun. Tatapannya yang penuh perhatian seolah menusuk. "Oh ya, Audrey... kau mau kuliah di mana nanti?"

Aku menggaruk leher, tersenyum malu. Sejujurnya aku belum punya rencana apapun setelah lulus ini. "Aku... masih mempertimbangkan beberapa pilihan."

"Kudengar kau termasuk yang terpintar di angkatan Sean. Masuklah di kedokteran, kau pasti cocok di sana."

Aku tercekat. Semua tahu kedokteran itu mahal. Bahkan dengan beasiswa, aku yang hanya hidup dari tunjangan pensiun mendiang ayah akan tetap kesulitan.

Sebelum aku menjawab, Sam tiba-tiba menyela. Suaranya dalam dan tegas. "Kedokteran bukan satu-satunya jalan untuk orang cerdas. Dia bisa memilih yang lain sesuai passion-nya."

Cindy Arsen mengangkat bahu. "Aku hanya menyarankan. Sayang jika kecerdasannya terbuang sia-sia karena salah pilih." Wanita itu lalu menoleh padaku. "Jangan seperti Sean yang asal memilih jurusan."

Aku membeku, sementara Sam menatap istrinya dengan tatapan menajam serta rahang mengeras. Saat Cindy melangkah pergi, udara di antara kami mendadak terasa berat. Otakku langsung terkoneksi.

Apa mereka berselisih paham soal jurusan kuliah yang Sean ambil?

Setahuku, Sean mengikuti jejak ayahnya. Dia telah dipilihkan kampus ternama di luar negeri untuk kuliah arsitekturnya. Tujuannya tentu saja meneruskan perusahaan sang ayah.

Tadinya kupikir dia sungguh beruntung. Namun, sepertinya aku sedikit keliru. Ada ketegangan yang tak terucapkan di sana dan aku bisa melihatnya dengan jelas.

"Abaikan saja ucapan ibu Sean, dia memang sedikit... ambisius," ucap Sam setelah beberapa detik berlalu dalam keheningan.

Aku mengangguk pelan, ingin berterima kasih saat teriakan lain mengejutkan kami.

"Audrey!"

Irish datang dengan wajah setengah marah setengah khawatir. “Kau sedang apa di sini?”

“Dia terjatuh,” jelas Sam mewakiliku.

Irish meliriknya sejenak lalu menatapku. “Pestanya di belakang, bukan di sini.” Lalu sambil mengangguk ramah pada ayah Sean, dia menarikku mendekat. “Maaf, Paman… dia memang kadang linglung.”

Aku mendelik kesal padanya. Tapi Irish tak peduli. Matanya sudah tertancap di wajah tampan Sam Arsen, tak berkedip menatap bahu kokoh yang siap menopang segala beban hidup itu. Dada bidang yang akan jadi sandaran ternyaman. Serta bibir seksi yang entah senikmat apa jika mencium.

Ugh! Aku sungguh-sungguh tak bisa menahan pikiran liarku tiap melihatnya. Bahkan tanpa provokasi Irish seperti biasa.

“Gaun yang cantik,” puji Sam disertai senyum menawannya pada Irish. Namun entah mengapa seolah hatiku yang meleleh.

“Terima kasih, Tuan Arsen… mata Anda memang jeli.” Irish balas tersenyum senang sambil menyenggol bahuku.

Aku masih terdiam. Menunduk. Meski ikut tersenyum.

“Kau memotong rambutmu?”

Aku mendongak saat ayah Sean kembali bersuara. Entah bertanya pada siapa. Tapi saat melihat semua mata tertuju padaku, aku terkejut. Bagaimana dia bisa tahu?

Aku hanya mengikis sedikit di bagian depan agar beberapa helai menjuntai jadi poni tipis yang menutup pipi. Karena pipiku mudah merona seperti saat ini.

Aku mengangguk dengan senyum kaku. Tak tahu harus menjawab apa.

“Sangat manis, cocok dengan wajahmu.”

Ya, itu hanya sebuah pujian basa-basi. Tapi bagiku, itu sebuah perhatian luar biasa yang membuat detak jantungku berpacu lebih cepat, seakan habis berlari ratusan kilometer. Pria ini memang sangat paham cara menyenangkan orang lain.

Terutama, wanita.

“Oke, selamat bersenang-senang anak-anak. Nikmati pesta perpisahan kalian.” Sam pamit sambil melambaikan tangan.

"Sampai jumpa, Paman!" Saat dia menjauh, Irish berbisik padaku, “Kau benar-benar licik, Audrey Adams. Kau mengambil kesempatan bertemu Sam Arsen saat aku lengah…”

Mata sahabatku itu menyipit menatapku penuh curiga.

Aku menelan ludah, berusaha menjelaskan. “Ini tidak seperti yang kau pikir, aku tak tahu dia di sini. Dia muncul tiba-tiba dari dalam air dan mengejutkanku.”

“Aha?” Kulihat senyum smirk terlintas di wajah Irish. Jelas dia tak percaya alasanku. Tapi kemudian, dia malah menyenggol lenganku sambil berbisik, “Jadi apa saja yang kau dapat lima menit bersamanya?”

Aku tergagap dengan pipi yang kembali merona.

Apa yang kudapat?

Entahlah.

Selain pertemuan dengan ibu Sean, pemandangan Sam di hadapanku tadi terlalu memukau. Aku tak bisa memikirkan hal lain apa pun selain terpesona.

Padahal ini bukan yang pertama kali.

Kami menghabiskan tiga tahun akhir pekan untuk mengintip arsitek sukses itu berenang. Namun tiap kali berhadapan dengannya, lidahku seperti membeku, sementara otakku menjelajah ke hal-hal yang tak seharusnya.

“Dia terlihat seperti kuda pejantan liar yang sulit untuk ditaklukkan, tapi begitu menantang.” Irish kembali berbisik dengan gemas. Seolah tahu apa yang kupikirkan. Sementara sosok Sam semakin menjauh, meninggalkan jejak air di lantai batu yang berkilau terkena lampu senja.

"Berhenti menatapnya seperti itu, air liurmu nyaris menetes," tegur Sean yang tiba-tiba muncul dari belakang kami. Suaranya membuatku sedikit terlonjak. Teguran itu jelas dia tujukan pada Irish, tapi entah kenapa aku yang malah refleks mengatupkan mulut, seakan aku tertangkap basah.

"Ayo, teman-teman sudah menunggu dibelakang." Sean menjentikkan jari untuk mengalihkan perhatian kami ke dunia nyata.

"Sean, tunggu!" ucap Irish tiba-tiba menghentikan langkah kami.

"Aku tahu sebuah rahasia keluarga kalian," lanjutnya membuat aku dan Sean saling melirik heran.

"Kau bukan putra Sam Arsen!"

**

Continue a ler este livro gratuitamente
Escaneie o código para baixar o App
Comentários (1)
goodnovel comment avatar
YOSSYTA S
lanjut makin seru
VER TODOS OS COMENTÁRIOS

Último capítulo

  • TERGODA AYAH SAHABATKU   TAS 139

    Sam tidak ada di sana.Yang duduk di sofa dengan tangan bersedekap justru Cindy.Senyum sinis langsung terbit di wajahnya saat melihat keterkejutanku. Seolah momen ini telah dia tebak akan terjadi.“Silakan masuk,” katanya santai. “Atau kau mau berpura-pura salah ruangan?”Aku terpaku, baru menyadari kecerobohanku. Seharusnya aku bertanya pada Sarah siapa yang memanggilku. Namun keyakinanku tadi terlalu bulat, terlalu bodoh. Sekarang pintu telah tertutup di belakangku, sedangkan Cindy memberi isyarat singkat ke arah sofa di seberangnya agar aku duduk.Aku menghempaskan napas. Memilih tetap berdiri.“Ada apa?” tanyaku akhirnya, berusaha menjaga wajah tetap datar.“Duduk,” perintahnya dengan suara tegas. “Aku tidak punya banyak waktu.”Ingin membantah, namun kulihat Sarah mengamati kami dari seberang ruangan. Dia tampak sama penasarannya denganku. Dia pasti cemas karena tahu aku dan Cindy tidak akur. Sementara Sam sedang tidak ada di sini.Aku menarik napas dalam sebelum menurut. Ruanga

  • TERGODA AYAH SAHABATKU   TAS 138

    “Apa katamu?” suaranya bergetar oleh amarah. “Berani sekali kau mengajariku menjadi ibu! Bocah sepertimu?!”Aku menatapnya lurus, jantungku berdebar keras tapi kakiku tak goyah. “Terserah Anda menangkapnya seperti apa. Tapi memang, sejauh yang terlihat... Sean tidak pernah menjadi prioritas.”Wajah Cindy memerah. “Gadis tak tahu diri!” bentaknya. “Kau pikir siapa dirimu sampai berani bicara seperti itu padaku?”Aku tidak menjawab. Tidak ada gunanya. Aku memilih melangkah masuk ke dalam rumah dan menutup pintu secepat yang kubisa.Brak!Suara gedoran langsung menghantam dari luar.“Keluar, Audrey!” teriak Cindy sambil menggedor pintu berkali-kali. “Jangan sembunyi! Dasar gadis tidak tahu malu! Kau perusak keluarga orang!”Aku menahan pintu dengan sekuat tenaga, kedua lenganku menempel pada kayu yang bergetar tiap kali dia menghantamnya.Kugigit bibirku mendengar makian Cindy. Dia mengataiku perusak keluarga bahkan sebelum tahu aku ada main dengan suaminya. Bagaimana jika nanti dia suda

  • TERGODA AYAH SAHABATKU   TAS 137

    "Akhirnya kau muncul juga."Suara itu membuatku langsung menahan napas. Semakin meyakinkan aku kalau dia pasti sedang merencanakan sesuatu. Entah apa, tapi ini pasti cukup mendesak karena wanita sepertinya rela mendatangi dan menungguku.Irish menyapa Cindy lebih dulu. Sikapnya sopannya sangat kaku dengan jejak segan yang jelas tak bisa dia sembunyikan.“Selamat malam, Tante Cindy,” ucapnya hati-hati.Aku bisa menebak apa yang melintas di kepalanya. Ingatan terakhir mereka jelas bukan kenangan manis. Tapi hari ketika Cindy memarahinya habis-habisan karena Sean menghilang setelah acara fashion show itu.Irish berdiri di sana sekarang bukan sebagai kenalan, tapi seperti terdakwa yang kebetulan kembali ke ruang sidang. Suasananya jadi sangat canggung.“Ada perlu apa tante sampai datang ke sini?” lanjut Irish, berusaha terdengar biasa. Meski sorot matanya terlalu waspada untuk disebut santai. “Apa ini ada hubungannya dengan Sean?”Cindy menoleh sekilas padanya. Hanya sekilas. Tatapan sing

  • TERGODA AYAH SAHABATKU   TAS 136

    ​​Kepala Sam menunduk hingga dahinya menyentuh rambutku. Suara beratnya bergetar halus. “Aku sungguh takut kau akan terluka lebih dalam jika tetap di sisiku.”Aku mendongak, memaksa mataku bertemu dengannya. “Aku sudah terluka, Sam. Bukan oleh hal yang kau takuti, tapi karena kau menjauh.”Aku melihat air mukanya yang mengeruh setelah mendengar kata-kataku. Cara bahunya jatuh dan cara matanya memerah kini jelas berarti penyesalan.Saat ini dia tidak sedang menjadi ayah, suami, atau pria yang bertanggung jawab atas segalanya. Dia hanya pria yang takut kehilangan perempuan yang dia cintai. Dan itu membuatku sangat bersyukur. “Aku bisa menunggu,” kataku mantap. “Kita bisa berhati-hati. Kita bisa menyembunyikan ini sampai waktunya tepat. Aku tidak akan lagi memaksamu memilih.”Tanganku naik ke tengkuknya, ibu jariku menyentuh kulitnya yang hangat. Gerakan kecil, intim, penuh keputusan.“Tapi satu hal,” lanjutku, menatapnya tanpa berkedip. “Kau tidak boleh mengabaikanku lagi.”Sam menahan

  • TERGODA AYAH SAHABATKU   TAS 135

    Apa yang terjadi? Kenapa dia malah menahan kepergianku dengan pelukan ini? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar liar di kepalaku, saling bertabrakan tanpa jawaban. Tubuh Sam masih menempel di punggungku, lengannya melingkar kuat. Tak membiarkan aku melarikan diri. Hangat tubuhnya menyusup melalui kain tipis kemejaku, kontras dengan dinginnya keputusan yang baru saja kuambil beberapa detik lalu. Aku kaku. Tidak membalas. Tidak mendorong. Aku hanya berdiri, membiarkan pelukan itu terjadi, sementara pikiranku terbelah antara ingin menyerah dan ingin memberontak. Entah dia menyesal. Entah dia kehabisan daya tahan. Atau ini hanya bentuk perpisahan yang paling pengecut. Aku tidak tahu. Kepala Sam terkulai di bahuku. Lalu suaranya muncul, penuh beban. “Maafkan aku… aku benci diriku sendiri karena meskipun ini salah, aku tetap tidak bisa membiarkanmu pergi.” Kalimat itu membuat dadaku berdenyut sakit. Ini jelas bukan kalimat romantis, melainkan kejujuran yang datang terlambat. Aku

  • TERGODA AYAH SAHABATKU   TAS 134

    “Kau mau ke mana?” Suara berat pria itu menyadarkanku dari kebingungan panjang yang sejak tadi berputar di kepalaku. “Aku… aku mau pulang,” gumamku masih dalam keadaan tercekat. Kalimat itu keluar lebih lemah dari yang kuinginkan, tapi kakiku sudah bergerak. Naluri segera mengambil alih tubuhku sebelum perasaanku sempat menahan. Ketika tanganku baru saja menyentuh gagang pintu, Sam menahan. “Tunggu sampai pengarmu hilang. Aku sudah memesan sarapan.” Aku terhenti. Bukan karena perintahnya, melainkan karena nada suaranya. Tenang, terkendali, seperti dulu. Selayaknya suara yang selalu membuatku merasa aman tanpa perlu bertanya apa pun. Dadaku jadi bergetar tak karuan dan aku sangat benci kenyataan ini. Aku beralih menatapnya dengan linglung. Kata-kata sederhana darinya masih memiliki efek yang sanggup menekan tepat di bagian diriku yang paling rapuh. Aku terdiam dengan jari meremas gagang pintu. Sedangkan Sam masih menatapku dengan sorot yang sama. Itu membuatku jadi ki

Mais capítulos
Explore e leia bons romances gratuitamente
Acesso gratuito a um vasto número de bons romances no app GoodNovel. Baixe os livros que você gosta e leia em qualquer lugar e a qualquer hora.
Leia livros gratuitamente no app
ESCANEIE O CÓDIGO PARA LER NO APP
DMCA.com Protection Status