Share

TAS 3

Penulis: Sidney Fellice
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-23 16:11:17

Mataku membelalak mendengar kalimat konyol Irish barusan. Sedangkan Sean hanya menatap datar pada Irish lalu berkata, "kau bilang apa?"

"Jujur saja pada kami, apa Sam Arsen itu benar-benar ayahmu?" tanya Irish dengan mata memindai Sean dari ujung kepala hingga ujung kaki.

"Maksudmu?" Sean langsung memicingkan mata, jelas merasa tersinggung.

"Kalau kau benar putranya, kenapa kau tidak mewarisi separuh saja dari ketampanan dan pesonanya?"

Sean berdecak kesal. "Irish, kau tahu pintu keluarnya, kan? Kau bisa pulang sekarang!"

Irish langsung tertawa lebar. Dia merangkul Sean tanpa rasa bersalah. "Astaga, baby… aku cuma bercanda. Tetap kau yang paling tampan di sini, tak ada duanya."

Keduanya kemudian sibuk berdebat kecil dan saling ejek, membuatku menghempaskan napas dan punya kesempatan untuk mengalihkan pandangan ke kolam. Seperti tertarik oleh magnet, mataku selalu saja kembali ke sana.

Spot itu selalu jadi favoritku setiap kali datang ke rumah keluarga Arsen. Dari sini, aku bisa membayangkan sosok suami ideal yang kuinginkan di masa depan. Bukan hanya tampan dan cerdas, tapi juga memiliki tubuh berotot yang menunjukkan stamina luar biasa. Sosok yang percaya diri, santun serta punya kemampuan bersosialisasi yang membuat orang merasa nyaman di dekatnya.

Semua kriteria itu… sudah terang-terangan terpampang pada satu nama, Sam Arsen.

Bisakah aku menemukan pria sesempurna dirinya?

**

Musik berdentum ringan di halaman belakang rumah keluarga Arsen malam itu. Lampu-lampu taman berkilauan, memantulkan cahaya hangat di permukaan kolam renang yang biru jernih.

Kini pesta kami berpindah tempat. Aroma barbeku bercampur dengan wangi champagne memenuhi udara. Semua orang terlihat bersenang-senang.

Gelas-gelas diangkat tinggi. “Untuk Sean! Sang calon arsitek!” teriak salah satu teman laki-laki kami, memancing sorak-sorai menggema.

Aku ikut tersenyum, meski dalam hati tahu betul Sean bukan tipe yang bermimpi menggambar bangunan seumur hidupnya. Dia lebih suka membongkar mesin motor dan mobil, tangannya selalu kotor oli.

Tapi siapa aku? Aku hanya sebatas sahabat, bukan keluarga, apalagi orang yang bisa ikut menentukan hidupnya.

Sean menatapku sebentar di tengah kerumunan. Senyumnya tipis, tapi matanya berbicara "Kau tahu, kan?"

Aku mengangguk pelan padanya. Berharap dia tetap menikmati pesta. Ini mungkin terakhir kalinya kami berkumpul, meski Sean berjanji tiap tahun kami akan reuni di sini.

Pesta berjalan normal… sampai seorang temanku—yang entah dapat ide dari mana—berteriak, “Hei, bukannya kita juga harus merayakan lulusan terbaik tahun ini? Audrey!”

Aku mencibir. Begitu melihat beberapa teman lelaki berjalan ke arahku, aku sontak bangkit menjauh, mengangkat kedua tangan. "Stop! Jangan coba-coba!"

“Masa, sih? Tradisinya, pemenang dilempar ke kolam!”

“Tidak kali ini! Aku tidak—”

Terlambat. Dua tangan kuat mencekal lenganku dari belakang, dan sebelum aku sempat berteriak, seseorang sudah mengangkatku.

Aku meronta, tertawa gugup, tapi jelas tidak ingin ini terjadi.

“Lepas! Aku tidak mau basah!” protesku.

Sean langsung melangkah cepat ke arahku. “Hei, lepaskan! Dia tak mau—”

Tapi Irish tiba-tiba menghadangnya dengan tawa lebar. “Oh, ayolah, Sean! Ini cuma seru-seruan. Dia kan pintar berenang.”

Aku mencoba kabur, tapi genggaman mereka terlalu kuat.

Detik berikutnya, tubuhku melayang, lalu…

BYUR!

Air dingin menyelimuti seluruh tubuhku.

Aku tenggelam beberapa detik sebelum akhirnya muncul ke permukaan dengan terengah. Hidungku perih dimasuki air. Rambutku basah kuyup menempel di wajah. Sorakan dan tawa meledak di sekitarku.

Aku sungguh kesal dan mencoba menegakkan diri. Namun, seketika semuanya berubah.

"Audrey..."

Tatapan teman-teman yang semula riang kini membelalak. Beberapa mulut terbuka lebar. Aku menunduk dan darahku serasa berhenti mengalir. Mini dress putih yang kupakai, kini menempel ketat pada kulit. Kain tipisnya menjadi transparan hingga lekukan tubuh dan pakaian dalamku terlihat jelas.

Tawa keras kembali terdengar, tapi kali ini terasa seperti panah yang menusuk telingaku.

Aku merapatkan kedua tangan di dada, tubuhku bergetar, entah karena dingin atau malu.

Sean tampak panik. Dia berlutut di tepi kolam, mengulurkan tangan. “Audrey, sini! Cepat!”

Irish juga ikut mengulurkan tangan, wajahnya cemas. “Ayo, kita bantu naik.”

“Aku… aku tidak bisa…” suaraku nyaris hilang. “Aku…”

Aku tidak sanggup bergerak. Semua mata menatapku. Rasanya aku telanjang di depan mereka. Pipiku panas meski seluruh tubuhku menggigil.

Lalu, suara berat dan tegas memotong semua kegaduhan itu.

“Ini tidak lucu, anak-anak!"

Langkah-langkah berderap mendekat. Semua orang menoleh.

Sam Arsen.

Tatapannya menusuk, wajahnya gelap. Bahkan suara musik pun seolah mengecil.

Tanpa ragu, dia berjalan menuju tepi kolam. Tangannya menyambar sebuah jaket yang tergeletak di kursi santai. Entah milik siapa.

Dalam dua langkah, dia sudah menuruni tangga kolam. Air membasahi celana panjangnya, tapi dia tidak peduli.

“Ayo,” ucapnya pelan, suaranya tetap dingin. Dia menyampirkan jaket itu di bahuku, menutupi seluruh tubuhku dengan hati-hati. Kehangatan jaket kulit itu membuatku ingin menangis.

Jemarinya yang besar dan hangat menggenggam lenganku dengan kuat, menarikku perlahan hingga aku keluar dari kolam.

“Candaan kalian ini bisa berbahaya,” ocehnya sambil menatap tajam ke arah sekelompok teman kami dan Sean. “Jangan pernah lakukan ini lagi pada teman kalian!”

Tidak ada yang berani menjawab. Bahkan Sean pun hanya tertunduk diam di tepi kolam.

Begitu kakiku menginjak lantai kering, tubuhku menggigil hebat. Sam tetap memegangku erat. “Kau kedinginan. Kita ke dalam.”

Aku hanya bisa mengangguk, tidak berani menatap siapa pun. Sepanjang perjalanan masuk ke dalam rumah, aku bisa merasakan tatapan-tatapan penuh rasa bersalah, heran, bahkan iri, menancap di punggungku.

Sam membawaku ke sebuah kamar tamu di lantai bawah. Dia membuka pintu, menuntunku masuk.

Saat aku duduk di tepi tempat tidur, dia keluar dari kamar mandi dengan sebuah handuk. “Keringkan dirimu dulu."

Suaranya terdengar tenang, tapi di baliknya ada nada yang membuatku yakin, dia marah besar. Dan entah kenapa, di tengah rasa malu yang luar biasa ini, jantungku berdebar kencang karena satu hal.

Untuk pertama kalinya, Sam Arsen memelukku… walau hanya melalui jaket.

Tanganku masih gemetar halus saat mengusap handuk ke wajah dan leher. Pria itu menyetel suhu ruangan agar lebih hangat lalu berbalik menatapku.

"Kenapa kau biarkan mereka melakukan itu padamu?"

Aku terdiam. Insiden tadi tak ada apa-apanya dibandingkan situasi yang kuhadapi kini. Berdua saja di dalam kamar dengan pria yang selalu mengisi mimpi-mimpiku, justru jauh lebih membuatku canggung.

Kalau boleh jujur, aku merasa sedikit beruntung. Dia ternyata mengamati pesta kami, bahkan sigap menolong saat aku butuh.

Itu berarti dia memperhatikan, bukan?

Sebuah perasaan aneh, hangat sekaligus menegangkan, menyelinap di dadaku.

Melihatku hanya diam, Sam menghela napas dan berkata, “Istirahatlah sebentar. Aku akan minta Sean membawa minuman hangat untukmu.”

Dia berbalik, hendak pergi. Tanpa sadar aku berdiri, langkahnya berhenti ketika jemariku mencengkeram pergelangan tangannya tiba-tiba.

“Tunggu…” suaraku terdengar lebih lembut dari yang kuinginkan.

Dia menoleh, jelas terkejut. Mata hazelnya membeku menatapku, lalu bergeser ke titik di mana tanganku masih menahan langkahnya. Jemarinya hangat, denyut nadinya terasa di kulitku.

Aku tahu aku harus melepaskannya. Tapi entah kenapa, tubuhku menolak.

Rasanya seperti… jika aku melepaskan sekarang, sesuatu yang penting akan hilang begitu saja.

**

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
nikmah mawadati
hhhhh bug bng hvghb
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • TERGODA AYAH SAHABATKU   TAS 88

    'Apa maksudmu?''Bukannya kita sudah sepakat?'Pesan itu kukirim tergesa pada Irish.Irish: 'Memang, tapi ini di luar kendaliku.'Alisku bertaut rapat tak mengerti. 'Aku butuh penjelasan.' Irish: 'Aku kehabisan alasan. Semua persiapan sudah rampung. Aku juga berusaha memintanya menemaniku memeriksa ulang setiap kostum, tapi dia kukuh mau ke rumah sakit.'Aku terdiam sejenak. Kurasa memang tak mungkin Irish melepaskan Sean begitu saja jika bisa menahannya. Kuhela napasku dengan berat lalu mengetik balasan.'Baiklah.''Terima kasih untuk semua bantuanmu sejauh ini.'Mataku kembali beralih pada Sean yang kini sibuk bermain dengan ibu. Tampaknya, aku memang tak punya pilihan.Satu-satunya cara agar semua gangguan ini berakhir adalah dengan mengukuhkan hubunganku bersama Sam. Sayangnya, itu butuh waktu lebih lama.Denting ponsel membuatku tersentak. Kutelan napas dalam-dalam sebelum membuka pesan yang masuk.Pesan dari Sam.Dan seketika, senyumku merekah. Penuh harapan yang selama ini ter

  • TERGODA AYAH SAHABATKU   TAS 87

    Aku sangat membutuhkan kehadirannya untuk menenangkanku. Tapi malam ini, aku benar-benar ditinggal sendirian. Pagi itu, sinar matahari menembus tirai tipis kamar rawat, menyilaukan mataku yang baru saja terpejam lagi setelah malam panjang penuh kegelisahan. Tubuhku terasa lemah saat aku mencoba duduk. Kepalaku pun sedikit pening karena menangis hingga tertidur. Namun sebelum aku sempat menarik napas panjang, suara lembut tapi tergesa memecah keheningan. “Sayang, kau sudah bangun?” Suara Ibu. Aku mendongak dan mendapati ibu telah berdiri di ambang pintu dengan wajah cemas. Penampilannya menyita perhatianku. Dia mengenakan baju asal-asalan, warna yang kontras dengan celana dan sweater yang dia pakai. Rambutnya bahkan belum sempat disisir rapi. “Ibu?” suaraku parau. “Kenapa Ibu di sini pagi sekali?” Ibu segera masuk menaruh tas kecil di kursi, lalu duduk di tepi ranjang sambil meraba dahiku. “Katanya kau jatuh kemarin. Perawat yang menelepon Ibu tadi malam. Ibu pikir kau bai

  • TERGODA AYAH SAHABATKU   TAS 86

    Aku masih terbuai dalam mimpi ketika samar-samar telingaku mendengar pintu diketuk pelan.Mataku memicing, berusaha menyesuaikan pandangan pada cahaya temaram ruangan. Seorang perawat senior berusia sekitar empat puluhan berjalan masuk dengan clipboard di tangan. Seperti biasa, dia bertugas malam ini untuk mengecek kondisiku.Namun langkahnya mendadak terhenti tiga meter dari tempat tidur. Matanya membelalak, nyaris menjatuhkan alat di tangannya.Aku mengerjap, mencoba memahami ekspresi terkejutnya. Hingga saat hendak bangun, gerakanku tertahan oleh sesuatu yang hangat di pinggangku. Itu membuatku tersadar ada lengan kokoh yang melingkar di sana.Nafasku tercekat. Aku baru ingat jika Sam ada di sini, dan dia tertidur bersamaku. Di ranjang. Dengan posisi yang jelas bisa disalahartikan siapa pun. Dan kini, perawat itu memergoki kami.“Oh Tuhan...” bisik si perawat, matanya membelalak tak percaya.Aku langsung duduk panik, menarik selimut menutupi tubuhku meski masih mengenakan pakaian

  • TERGODA AYAH SAHABATKU   TAS 85

    Aku memandangi layar ponsel yang terus bergetar di atas kasur. Nama Sean berkedip di sana, membuat hatiku ikut berdebar tak karuan. Jemariku sempat bergerak, tapi akhirnya berhenti di atas tombol hijau. Napasku memburu secara instan. Aku sadar, tak sanggup mengangkatnya. Dengan satu sentuhan, kupilih mematikan panggilan itu lalu kembali menatap Sam. Namun beberapa detik kemudian, nada dering yang sama kembali terdengar. Sam yang kini duduk di sisi ranjang menoleh tajam. “Siapa?” tanyanya terlihat curiga. Aku tertunduk menatap layar yang sudah gelap. “Kenapa tidak kau angkat?” suaranya meninggi sedikit karena penasaran. Aku menggigit bibir, lalu akhirnya berbisik, “Sean.” Sam terdiam. Pandangannya menelisik wajahku, seolah mencoba membaca isi kepalaku. Belum sempat aku bicara lagi, notifikasi pesan masuk terdengar. Sean: 'Bagaimana keadaanmu? Kau bersama siapa di sana? Mau kutemani malam ini?' Mataku membulat panik. Dia tak boleh ke sini. Aku segera mengetik balasan

  • TERGODA AYAH SAHABATKU   TAS 84

    Kulihat Sam tak berkedip menatap punggung Cindy yang menghilang di balik lorong taman. Dia pun mungkin tak menyangka Cindy akan memintanya bicara secara pribadi. Aku tahu, pertemuan itu bukan hal mudah baginya.Tanganku bergerak pelan menyentuh tangannya hingga dia teralihkan kembali padaku. Bibirku tak berucap apapun, meski begitu, aku berharap Sam paham apa yang kupertanyakan dalam kepalaku."Jangan khawatir, semua akan baik-baik saja," kata Sam tersenyum. Aku menggigit bibir. Yang kucemaskan bukan kecurigaan Cindy, melainkan kepergian Sam menemui wanita itu. Bermacam hal berputar di kepalaku. Kecemasan, ketakutan, juga sedikit rasa tak rela.Bagaimanapun, Cindy bukan sekadar istri di atas kertas. Dia juga bagian dari masa lalu yang masih menggenggam erat.Jujur saja, aku tak rela melepas tangannya saat ini. Meski wanita yang ingin dia temui adalah istrinya sendiri.**Aku gelisah menunggu Sam kembali. Sudah hampir setengah jam sejak dia meninggalkanku di kamar sendirian demi menem

  • TERGODA AYAH SAHABATKU   TAS 83

    Sam membawaku berkeliling di taman rumah sakit yang cukup luas. Sore jelang senja itu, aku menghirup udara segar dengan puas. Rasanya dadaku begitu ringan terlebih aku melewati waktu ini bersama dengan orang yang begitu penting bagiku. Cahaya matahari yang keemaasan membentuk siluet-silut panjang dari tiap pohon bunga yang bermekaran. Sam mendorong kursi rodaku sambil bercerita tentang suasana kantor, kesibukan rapat dan jadwal peserta magang lain. "Aku minta maaf karena tertinggal," ujarku pelan. Sam tersenyum kecil. "Tak masalah. Kau hanya perlu bersiap menerima tugas tambahan setelah keluar dari sini." Aku mendongak cepat. "Itu ancaman?" Dia terkekeh, suaranya hangat. "Kalau begitu, kita ubah jadi... tugas pengganti." Aku bergeleng pelan. "Aku harusnya diberi kompensasi, bukan tugas." Segera kuacungkan jam tangan yang sejak tadi kugenggam. “Ini milikmu, kan?” Alis Sam terangkat dan meraih benda itu dariku. “Ah, iya! Aku buru-buru pergi dan lupa kalau ini tertinggal." “Hm.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status