LOGINMataku membelalak mendengar kalimat konyol Irish barusan. Sedangkan Sean hanya menatap datar pada Irish lalu berkata, "kau bilang apa?"
"Jujur saja pada kami, apa Sam Arsen itu benar-benar ayahmu?" tanya Irish dengan mata memindai Sean dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Maksudmu?" Sean langsung memicingkan mata, jelas merasa tersinggung. "Kalau kau benar putranya, kenapa kau tidak mewarisi separuh saja dari ketampanan dan pesonanya?" Sean berdecak kesal. "Irish, kau tahu pintu keluarnya, kan? Kau bisa pulang sekarang!" Irish langsung tertawa lebar. Dia merangkul Sean tanpa rasa bersalah. "Astaga, baby… aku cuma bercanda. Tetap kau yang paling tampan di sini, tak ada duanya." Keduanya kemudian sibuk berdebat kecil dan saling ejek, membuatku menghempaskan napas dan punya kesempatan untuk mengalihkan pandangan ke kolam. Seperti tertarik oleh magnet, mataku selalu saja kembali ke sana. Spot itu selalu jadi favoritku setiap kali datang ke rumah keluarga Arsen. Dari sini, aku bisa membayangkan sosok suami ideal yang kuinginkan di masa depan. Bukan hanya tampan dan cerdas, tapi juga memiliki tubuh berotot yang menunjukkan stamina luar biasa. Sosok yang percaya diri, santun serta punya kemampuan bersosialisasi yang membuat orang merasa nyaman di dekatnya. Semua kriteria itu… sudah terang-terangan terpampang pada satu nama, Sam Arsen. Bisakah aku menemukan pria sesempurna dirinya? ** Musik berdentum ringan di halaman belakang rumah keluarga Arsen malam itu. Lampu-lampu taman berkilauan, memantulkan cahaya hangat di permukaan kolam renang yang biru jernih. Kini pesta kami berpindah tempat. Aroma barbeku bercampur dengan wangi champagne memenuhi udara. Semua orang terlihat bersenang-senang. Gelas-gelas diangkat tinggi. “Untuk Sean! Sang calon arsitek!” teriak salah satu teman laki-laki kami, memancing sorak-sorai menggema. Aku ikut tersenyum, meski dalam hati tahu betul Sean bukan tipe yang bermimpi menggambar bangunan seumur hidupnya. Dia lebih suka membongkar mesin motor dan mobil, tangannya selalu kotor oli. Tapi siapa aku? Aku hanya sebatas sahabat, bukan keluarga, apalagi orang yang bisa ikut menentukan hidupnya. Sean menatapku sebentar di tengah kerumunan. Senyumnya tipis, tapi matanya berbicara "Kau tahu, kan?" Aku mengangguk pelan padanya. Berharap dia tetap menikmati pesta. Ini mungkin terakhir kalinya kami berkumpul, meski Sean berjanji tiap tahun kami akan reuni di sini. Pesta berjalan normal… sampai seorang temanku—yang entah dapat ide dari mana—berteriak, “Hei, bukannya kita juga harus merayakan lulusan terbaik tahun ini? Audrey!” Aku mencibir. Begitu melihat beberapa teman lelaki berjalan ke arahku, aku sontak bangkit menjauh, mengangkat kedua tangan. "Stop! Jangan coba-coba!" “Masa, sih? Tradisinya, pemenang dilempar ke kolam!” “Tidak kali ini! Aku tidak—” Terlambat. Dua tangan kuat mencekal lenganku dari belakang, dan sebelum aku sempat berteriak, seseorang sudah mengangkatku. Aku meronta, tertawa gugup, tapi jelas tidak ingin ini terjadi. “Lepas! Aku tidak mau basah!” protesku. Sean langsung melangkah cepat ke arahku. “Hei, lepaskan! Dia tak mau—” Tapi Irish tiba-tiba menghadangnya dengan tawa lebar. “Oh, ayolah, Sean! Ini cuma seru-seruan. Dia kan pintar berenang.” Aku mencoba kabur, tapi genggaman mereka terlalu kuat. Detik berikutnya, tubuhku melayang, lalu… BYUR! Air dingin menyelimuti seluruh tubuhku. Aku tenggelam beberapa detik sebelum akhirnya muncul ke permukaan dengan terengah. Hidungku perih dimasuki air. Rambutku basah kuyup menempel di wajah. Sorakan dan tawa meledak di sekitarku. Aku sungguh kesal dan mencoba menegakkan diri. Namun, seketika semuanya berubah. "Audrey..." Tatapan teman-teman yang semula riang kini membelalak. Beberapa mulut terbuka lebar. Aku menunduk dan darahku serasa berhenti mengalir. Mini dress putih yang kupakai, kini menempel ketat pada kulit. Kain tipisnya menjadi transparan hingga lekukan tubuh dan pakaian dalamku terlihat jelas. Tawa keras kembali terdengar, tapi kali ini terasa seperti panah yang menusuk telingaku. Aku merapatkan kedua tangan di dada, tubuhku bergetar, entah karena dingin atau malu. Sean tampak panik. Dia berlutut di tepi kolam, mengulurkan tangan. “Audrey, sini! Cepat!” Irish juga ikut mengulurkan tangan, wajahnya cemas. “Ayo, kita bantu naik.” “Aku… aku tidak bisa…” suaraku nyaris hilang. “Aku…” Aku tidak sanggup bergerak. Semua mata menatapku. Rasanya aku telanjang di depan mereka. Pipiku panas meski seluruh tubuhku menggigil. Lalu, suara berat dan tegas memotong semua kegaduhan itu. “Ini tidak lucu, anak-anak!" Langkah-langkah berderap mendekat. Semua orang menoleh. Sam Arsen. Tatapannya menusuk, wajahnya gelap. Bahkan suara musik pun seolah mengecil. Tanpa ragu, dia berjalan menuju tepi kolam. Tangannya menyambar sebuah jaket yang tergeletak di kursi santai. Entah milik siapa. Dalam dua langkah, dia sudah menuruni tangga kolam. Air membasahi celana panjangnya, tapi dia tidak peduli. “Ayo,” ucapnya pelan, suaranya tetap dingin. Dia menyampirkan jaket itu di bahuku, menutupi seluruh tubuhku dengan hati-hati. Kehangatan jaket kulit itu membuatku ingin menangis. Jemarinya yang besar dan hangat menggenggam lenganku dengan kuat, menarikku perlahan hingga aku keluar dari kolam. “Candaan kalian ini bisa berbahaya,” ocehnya sambil menatap tajam ke arah sekelompok teman kami dan Sean. “Jangan pernah lakukan ini lagi pada teman kalian!” Tidak ada yang berani menjawab. Bahkan Sean pun hanya tertunduk diam di tepi kolam. Begitu kakiku menginjak lantai kering, tubuhku menggigil hebat. Sam tetap memegangku erat. “Kau kedinginan. Kita ke dalam.” Aku hanya bisa mengangguk, tidak berani menatap siapa pun. Sepanjang perjalanan masuk ke dalam rumah, aku bisa merasakan tatapan-tatapan penuh rasa bersalah, heran, bahkan iri, menancap di punggungku. Sam membawaku ke sebuah kamar tamu di lantai bawah. Dia membuka pintu, menuntunku masuk. Saat aku duduk di tepi tempat tidur, dia keluar dari kamar mandi dengan sebuah handuk. “Keringkan dirimu dulu." Suaranya terdengar tenang, tapi di baliknya ada nada yang membuatku yakin, dia marah besar. Dan entah kenapa, di tengah rasa malu yang luar biasa ini, jantungku berdebar kencang karena satu hal. Untuk pertama kalinya, Sam Arsen memelukku… walau hanya melalui jaket. Tanganku masih gemetar halus saat mengusap handuk ke wajah dan leher. Pria itu menyetel suhu ruangan agar lebih hangat lalu berbalik menatapku. "Kenapa kau biarkan mereka melakukan itu padamu?" Aku terdiam. Insiden tadi tak ada apa-apanya dibandingkan situasi yang kuhadapi kini. Berdua saja di dalam kamar dengan pria yang selalu mengisi mimpi-mimpiku, justru jauh lebih membuatku canggung. Kalau boleh jujur, aku merasa sedikit beruntung. Dia ternyata mengamati pesta kami, bahkan sigap menolong saat aku butuh. Itu berarti dia memperhatikan, bukan? Sebuah perasaan aneh, hangat sekaligus menegangkan, menyelinap di dadaku. Melihatku hanya diam, Sam menghela napas dan berkata, “Istirahatlah sebentar. Aku akan minta Sean membawa minuman hangat untukmu.” Dia berbalik, hendak pergi. Tanpa sadar aku berdiri, langkahnya berhenti ketika jemariku mencengkeram pergelangan tangannya tiba-tiba. “Tunggu…” suaraku terdengar lebih lembut dari yang kuinginkan. Dia menoleh, jelas terkejut. Mata hazelnya membeku menatapku, lalu bergeser ke titik di mana tanganku masih menahan langkahnya. Jemarinya hangat, denyut nadinya terasa di kulitku. Aku tahu aku harus melepaskannya. Tapi entah kenapa, tubuhku menolak. Rasanya seperti… jika aku melepaskan sekarang, sesuatu yang penting akan hilang begitu saja. **Sam tidak ada di sana.Yang duduk di sofa dengan tangan bersedekap justru Cindy.Senyum sinis langsung terbit di wajahnya saat melihat keterkejutanku. Seolah momen ini telah dia tebak akan terjadi.“Silakan masuk,” katanya santai. “Atau kau mau berpura-pura salah ruangan?”Aku terpaku, baru menyadari kecerobohanku. Seharusnya aku bertanya pada Sarah siapa yang memanggilku. Namun keyakinanku tadi terlalu bulat, terlalu bodoh. Sekarang pintu telah tertutup di belakangku, sedangkan Cindy memberi isyarat singkat ke arah sofa di seberangnya agar aku duduk.Aku menghempaskan napas. Memilih tetap berdiri.“Ada apa?” tanyaku akhirnya, berusaha menjaga wajah tetap datar.“Duduk,” perintahnya dengan suara tegas. “Aku tidak punya banyak waktu.”Ingin membantah, namun kulihat Sarah mengamati kami dari seberang ruangan. Dia tampak sama penasarannya denganku. Dia pasti cemas karena tahu aku dan Cindy tidak akur. Sementara Sam sedang tidak ada di sini.Aku menarik napas dalam sebelum menurut. Ruanga
“Apa katamu?” suaranya bergetar oleh amarah. “Berani sekali kau mengajariku menjadi ibu! Bocah sepertimu?!”Aku menatapnya lurus, jantungku berdebar keras tapi kakiku tak goyah. “Terserah Anda menangkapnya seperti apa. Tapi memang, sejauh yang terlihat... Sean tidak pernah menjadi prioritas.”Wajah Cindy memerah. “Gadis tak tahu diri!” bentaknya. “Kau pikir siapa dirimu sampai berani bicara seperti itu padaku?”Aku tidak menjawab. Tidak ada gunanya. Aku memilih melangkah masuk ke dalam rumah dan menutup pintu secepat yang kubisa.Brak!Suara gedoran langsung menghantam dari luar.“Keluar, Audrey!” teriak Cindy sambil menggedor pintu berkali-kali. “Jangan sembunyi! Dasar gadis tidak tahu malu! Kau perusak keluarga orang!”Aku menahan pintu dengan sekuat tenaga, kedua lenganku menempel pada kayu yang bergetar tiap kali dia menghantamnya.Kugigit bibirku mendengar makian Cindy. Dia mengataiku perusak keluarga bahkan sebelum tahu aku ada main dengan suaminya. Bagaimana jika nanti dia suda
"Akhirnya kau muncul juga."Suara itu membuatku langsung menahan napas. Semakin meyakinkan aku kalau dia pasti sedang merencanakan sesuatu. Entah apa, tapi ini pasti cukup mendesak karena wanita sepertinya rela mendatangi dan menungguku.Irish menyapa Cindy lebih dulu. Sikapnya sopannya sangat kaku dengan jejak segan yang jelas tak bisa dia sembunyikan.“Selamat malam, Tante Cindy,” ucapnya hati-hati.Aku bisa menebak apa yang melintas di kepalanya. Ingatan terakhir mereka jelas bukan kenangan manis. Tapi hari ketika Cindy memarahinya habis-habisan karena Sean menghilang setelah acara fashion show itu.Irish berdiri di sana sekarang bukan sebagai kenalan, tapi seperti terdakwa yang kebetulan kembali ke ruang sidang. Suasananya jadi sangat canggung.“Ada perlu apa tante sampai datang ke sini?” lanjut Irish, berusaha terdengar biasa. Meski sorot matanya terlalu waspada untuk disebut santai. “Apa ini ada hubungannya dengan Sean?”Cindy menoleh sekilas padanya. Hanya sekilas. Tatapan sing
Kepala Sam menunduk hingga dahinya menyentuh rambutku. Suara beratnya bergetar halus. “Aku sungguh takut kau akan terluka lebih dalam jika tetap di sisiku.”Aku mendongak, memaksa mataku bertemu dengannya. “Aku sudah terluka, Sam. Bukan oleh hal yang kau takuti, tapi karena kau menjauh.”Aku melihat air mukanya yang mengeruh setelah mendengar kata-kataku. Cara bahunya jatuh dan cara matanya memerah kini jelas berarti penyesalan.Saat ini dia tidak sedang menjadi ayah, suami, atau pria yang bertanggung jawab atas segalanya. Dia hanya pria yang takut kehilangan perempuan yang dia cintai. Dan itu membuatku sangat bersyukur. “Aku bisa menunggu,” kataku mantap. “Kita bisa berhati-hati. Kita bisa menyembunyikan ini sampai waktunya tepat. Aku tidak akan lagi memaksamu memilih.”Tanganku naik ke tengkuknya, ibu jariku menyentuh kulitnya yang hangat. Gerakan kecil, intim, penuh keputusan.“Tapi satu hal,” lanjutku, menatapnya tanpa berkedip. “Kau tidak boleh mengabaikanku lagi.”Sam menahan
Apa yang terjadi? Kenapa dia malah menahan kepergianku dengan pelukan ini? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar liar di kepalaku, saling bertabrakan tanpa jawaban. Tubuh Sam masih menempel di punggungku, lengannya melingkar kuat. Tak membiarkan aku melarikan diri. Hangat tubuhnya menyusup melalui kain tipis kemejaku, kontras dengan dinginnya keputusan yang baru saja kuambil beberapa detik lalu. Aku kaku. Tidak membalas. Tidak mendorong. Aku hanya berdiri, membiarkan pelukan itu terjadi, sementara pikiranku terbelah antara ingin menyerah dan ingin memberontak. Entah dia menyesal. Entah dia kehabisan daya tahan. Atau ini hanya bentuk perpisahan yang paling pengecut. Aku tidak tahu. Kepala Sam terkulai di bahuku. Lalu suaranya muncul, penuh beban. “Maafkan aku… aku benci diriku sendiri karena meskipun ini salah, aku tetap tidak bisa membiarkanmu pergi.” Kalimat itu membuat dadaku berdenyut sakit. Ini jelas bukan kalimat romantis, melainkan kejujuran yang datang terlambat. Aku
“Kau mau ke mana?” Suara berat pria itu menyadarkanku dari kebingungan panjang yang sejak tadi berputar di kepalaku. “Aku… aku mau pulang,” gumamku masih dalam keadaan tercekat. Kalimat itu keluar lebih lemah dari yang kuinginkan, tapi kakiku sudah bergerak. Naluri segera mengambil alih tubuhku sebelum perasaanku sempat menahan. Ketika tanganku baru saja menyentuh gagang pintu, Sam menahan. “Tunggu sampai pengarmu hilang. Aku sudah memesan sarapan.” Aku terhenti. Bukan karena perintahnya, melainkan karena nada suaranya. Tenang, terkendali, seperti dulu. Selayaknya suara yang selalu membuatku merasa aman tanpa perlu bertanya apa pun. Dadaku jadi bergetar tak karuan dan aku sangat benci kenyataan ini. Aku beralih menatapnya dengan linglung. Kata-kata sederhana darinya masih memiliki efek yang sanggup menekan tepat di bagian diriku yang paling rapuh. Aku terdiam dengan jari meremas gagang pintu. Sedangkan Sam masih menatapku dengan sorot yang sama. Itu membuatku jadi ki







