FAZER LOGINKoridor rumah sakit itu terlalu dingin untuk hari yang masih siang.
Aroma antiseptik menusuk hidung, dingin AC menusuk kulit, serta langkah kaki perawat lalu-lalang tanpa henti dari ruang IGD. Aku baru saja selesai menelepon ibuku yang masih di tempat kerja, menjelaskan dengan terbata-bata tentang kecelakaan yang menimpa Sam ketika mengantarku pulang. Ibuku kaget bukan main. “Astaga, Audrey… kau tidak apa-apa? Bagaimana dia?” suaranya panik di seberang, sampai aku harus meyakinkannya berulang kali bahwa aku baik-baik saja. Kecelakaan itu, kata polisi yang menghubungiku lebih dulu, terjadi begitu cepat. Sam membanting setir hingga menabrak tembok. Dia berusaha menghindari seekor anak anjing yang tiba-tiba berlari ke tengah jalan. Tapi lebih dari itu, aku yakin pikirannya sedang tidak fokus. "Seharusnya aku menolak diantar pulang," sesalku tiada henti. Aku mengusap ujung mata yang basah ketika dokter keluar dari ruang IGD. “Keadaannya tidak buruk. Hanya sedikit benturan, beberapa goresan dan lengannya harus dibebat. Dia mungkin butuh istirahat total beberapa hari,” jelasnya tenang. Meski kata-kata itu seharusnya menenangkan, dadaku tetap penuh cemas. Aku buru-buru memasuki bangsal, langkahku berderap riuh di lantai dingin itu. Langsung menuju ke ranjang Sam yang tak jauh dari pintu masuk. Pria itu bersandar lemah di ranjang pasien, wajahnya pucat dengan rambut sedikit acak. Namun senyum itu… senyum yang jelas sedang dipaksakan, tetap hadir di bibirnya. “Hei, kau belum pulang?” tanyanya lirih, seolah tak ingin menambah beban siapa pun di ruangan itu. Aku merasakan perih di dada. “Maaf… aku…” suaraku tercekat. Dia mengangkat tangannya pelan, lengan yang lain tampak terbungkus perban. “Jangan merasa bersalah. Ini bukan salahmu.” Aku menggeleng cepat, mataku panas lagi. “Kalau bukan karena aku, Paman tidak akan ada di jalan itu.” Sam hanya menghela napas dan kembali tersenyum samar. “Kau tidak perlu memikul yang bukan tanggung jawabmu.” Tapi aku tak bisa berhenti memikirkan Sean. Bagaimana aku akan menjelaskan ini? Dia bahkan belum sampai ke tempat tujuannya dan sudah ada kejadian besar seperti ini. Seolah mengerti arah pikiranku, Sam berbisik, “Jangan beritahu Sean. Juga jangan ke Irish. Kau tahu dia tidak pandai menyimpan rahasia.” Aku hanya bisa mengangguk, meski hati kecilku ragu. Aku duduk di kursi di sampingnya, berusaha menahan tangis yang kembali menggenang. Perlahan tanganku terulur, menyentuh lembut perban yang membungkus lengannya. Dia tampak rapuh, tidak seperti sosok tegas yang biasa kulihat. Suara langkah tergesa tiba-tiba memecah kebisuan kami. “Di mana dia?” Aku spontan menoleh. Cindy Arsen berdiri di ambang pintu dengan wajah campuran cemas dan marah. Snellinya masih terpakai dengan rapi, rambutnya hanya diikat seadanya. Tanpa menyapaku, dia langsung menghampiri ranjang Sam, menyilangkan tangan di dada. “Bagaimana mungkin kau seceroboh ini?” semprotnya tanpa basa-basi. Aku terperanjat menatapnya. Bukan pertanyaan tentang keadaan sang suami yang pertama keluar, melainkan kemarahan. Aku sontak bangkit dan melangkah mundur, memberi jarak. Rasa tidak enak segera merambati dadaku. Seharusnya dia bertanya bagaimana keadaan suaminya. Seharusnya dia memastikan Sam baik-baik saja, bukannya langsung menghakimi. Akhirnya keputuskan keluar untuk memberi mereka privasi. Meski begitu, langkahku berhenti tak jauh dari pintu. Samar-samar kudengar suara Cindy yang semakin meninggi. “Kalau Sean tahu kau kecelakaan, bagaimana? Dia mungkin akan kembali sebelum tiba di sana karena panik.” “Sean tidak akan tahu… kecuali kau yang memberitahunya,” jawab Sam dingin. “Kau sengaja, ya? Kau sengaja membuat masalah hanya untuk menunjukkan protes bahwa aku salah karena tidak datang ke bandara?” Sam terdengar menarik napas panjang, mencoba meredam nada suaranya. “Cindy, jangan mulai lagi. Aku tidak sengaja. Menurutmu hal seperti ini bisa kurencanakan?” “Apa yang tidak bisa kau rencanakan, Sam? Kau pikir aku tidak tahu pikiran apa yang kau tanamkan di kepala Sean hingga dia menurut padamu?" "Sudah kubilang itu keputusannya sendiri!" Cindy terdengar mendengus kecut. "Meskipun kau tak suka keputusannya, sebagai ibu harusnya kau tidak egois. Kapan kau akan lebih mengutamakan putramu dibanding pekerjaan?" "Jangan terus menerus menyalahkan pasienku. Aku juga punya tanggung jawab,” sela Cindy tak sabar. “Aku tidak memperdebatkan tanggung jawabmu sebagai dokter. Tapi Sean juga membutuhkan ibunya. Dia butuh dukungan kita sekarang." Kudengar suara Sam melemah. "Dia pergi untuk pertama kalinya ke luar negeri. Baginya itu berat. Bukannya hadir, kau justru—” Telepon tadi di bandara kini semakin jelas dalam ingatanku. Perdebatan mereka rupanya belum berakhir. Malah berlanjut di situasi seperti ini. “Jangan balikkan ini seolah aku yang salah sepenuhnya. Aku sudah melakukan banyak hal, Sam. Kau hanya mencari kesempatan untuk mencuci otaknya dan membuatku terlihat buruk.” Aku mengernyit. Tak habis pikir dengan cara berpikir Cindy Arsen. Aku tahu dia wanita yang gila kerja, sibuknya luar biasa, tapi aku tidak menyangka dia seorang istri yang sedingin itu. Dia bahkan belum menanyakan keadaan suaminya dengan sungguh-sungguh, seperti istri pada umumnya. Dia lebih memilih bertengkar. Ada apa sebenarnya di antara mereka? Tidak mungkin semua ini hanya karena keputusan kuliah Sean. "Kau sendiri yang membuat dirimu terlihat buruk. Coba tanya dirimu, berapa kali kau ada untuknya saat dia butuh? Haruskah kuingatkan kembali?" “Jangan melewati batas, Sam. Ingat kesepakatan kita,” suara Cindy kali ini terdengar menahan amarah. Lalu kudengar kalimat yang membuat keningku makin berkerut rapat. “Aku sungguh tidak sabar menunggu Sean wisuda agar semua bisa selesai secepatnya. Aku mau mengakhiri ini.” Selesai? Mengakhiri apa? Aku menahan napas di balik tembok, menajamkan pendengaran, namun setelah itu perdebatan mereda menjadi gumaman yang tak jelas. Beberapa menit kemudian, Cindy keluar dengan wajah tak puas. Aku langsung menghadangnya. Sebuah keberanian yang entah datang dari mana. “Tante…” panggilku hati-hati. Dia mengangkat alis. “Apa?" Aku menelan ludah, lalu mengucapkan kalimat yang sejak tadi mengganjal. "Kejadian ini bukan salah Paman, tolong jangan salahkan dia." Cindy menatapku tajam, lalu tiba-tiba tertawa hambar. “Oh, jadi sekarang kau membelanya juga?” “Aku tidak di pihak siapa pun. Hanya… aku tidak mau dia merasa sendirian,” jawabku jujur. "Jadi? Apa yang kau inginkan dariku?" “Bisakah… tante sedikit lebih peduli pada Paman? Dia baru saja kecelakaan, dia butuh dukungan dan perhatian." Cindy mendekat, menunduk sedikit hingga wajahnya sejajar denganku. Senyum tipisnya lebih dingin daripada AC koridor ini. “Kenapa aku harus melakukan itu?” Tercekat. Aku sungguh tak menyangka dia akan menjawab seperti ini. “Tante… kau istrinya, kau yang harusnya…” “Kalau kau sangat peduli padanya... silakan urus dia dengan baik untukku,” potong Cindy datar. Tanpa emosi. Tanpa belas kasih. Aku terhenyak. Dia sama sekali tidak marah, tidak mengusirku, hanya… menantang. Seolah mengatakan, "Kalau kau mau jadi penanggung jawabnya, ambil saja." "Bagaimana bisa Tante berkata begini?" gumamku mulai kesal. Cindy tertawa singkat. "Menurutmu?" Perlahan dia makin mendekat hingga jarak kami nyaris tak ada. "Audrey... kau terlihat begitu perhatian pada suamiku." Aku tertegun saat bibirnya mendekat ke telingaku dan berbisik tajam, "Mari kita lihat, sebaik apa kau bisa merawatnya." **Sam tidak ada di sana.Yang duduk di sofa dengan tangan bersedekap justru Cindy.Senyum sinis langsung terbit di wajahnya saat melihat keterkejutanku. Seolah momen ini telah dia tebak akan terjadi.“Silakan masuk,” katanya santai. “Atau kau mau berpura-pura salah ruangan?”Aku terpaku, baru menyadari kecerobohanku. Seharusnya aku bertanya pada Sarah siapa yang memanggilku. Namun keyakinanku tadi terlalu bulat, terlalu bodoh. Sekarang pintu telah tertutup di belakangku, sedangkan Cindy memberi isyarat singkat ke arah sofa di seberangnya agar aku duduk.Aku menghempaskan napas. Memilih tetap berdiri.“Ada apa?” tanyaku akhirnya, berusaha menjaga wajah tetap datar.“Duduk,” perintahnya dengan suara tegas. “Aku tidak punya banyak waktu.”Ingin membantah, namun kulihat Sarah mengamati kami dari seberang ruangan. Dia tampak sama penasarannya denganku. Dia pasti cemas karena tahu aku dan Cindy tidak akur. Sementara Sam sedang tidak ada di sini.Aku menarik napas dalam sebelum menurut. Ruanga
“Apa katamu?” suaranya bergetar oleh amarah. “Berani sekali kau mengajariku menjadi ibu! Bocah sepertimu?!”Aku menatapnya lurus, jantungku berdebar keras tapi kakiku tak goyah. “Terserah Anda menangkapnya seperti apa. Tapi memang, sejauh yang terlihat... Sean tidak pernah menjadi prioritas.”Wajah Cindy memerah. “Gadis tak tahu diri!” bentaknya. “Kau pikir siapa dirimu sampai berani bicara seperti itu padaku?”Aku tidak menjawab. Tidak ada gunanya. Aku memilih melangkah masuk ke dalam rumah dan menutup pintu secepat yang kubisa.Brak!Suara gedoran langsung menghantam dari luar.“Keluar, Audrey!” teriak Cindy sambil menggedor pintu berkali-kali. “Jangan sembunyi! Dasar gadis tidak tahu malu! Kau perusak keluarga orang!”Aku menahan pintu dengan sekuat tenaga, kedua lenganku menempel pada kayu yang bergetar tiap kali dia menghantamnya.Kugigit bibirku mendengar makian Cindy. Dia mengataiku perusak keluarga bahkan sebelum tahu aku ada main dengan suaminya. Bagaimana jika nanti dia suda
"Akhirnya kau muncul juga."Suara itu membuatku langsung menahan napas. Semakin meyakinkan aku kalau dia pasti sedang merencanakan sesuatu. Entah apa, tapi ini pasti cukup mendesak karena wanita sepertinya rela mendatangi dan menungguku.Irish menyapa Cindy lebih dulu. Sikapnya sopannya sangat kaku dengan jejak segan yang jelas tak bisa dia sembunyikan.“Selamat malam, Tante Cindy,” ucapnya hati-hati.Aku bisa menebak apa yang melintas di kepalanya. Ingatan terakhir mereka jelas bukan kenangan manis. Tapi hari ketika Cindy memarahinya habis-habisan karena Sean menghilang setelah acara fashion show itu.Irish berdiri di sana sekarang bukan sebagai kenalan, tapi seperti terdakwa yang kebetulan kembali ke ruang sidang. Suasananya jadi sangat canggung.“Ada perlu apa tante sampai datang ke sini?” lanjut Irish, berusaha terdengar biasa. Meski sorot matanya terlalu waspada untuk disebut santai. “Apa ini ada hubungannya dengan Sean?”Cindy menoleh sekilas padanya. Hanya sekilas. Tatapan sing
Kepala Sam menunduk hingga dahinya menyentuh rambutku. Suara beratnya bergetar halus. “Aku sungguh takut kau akan terluka lebih dalam jika tetap di sisiku.”Aku mendongak, memaksa mataku bertemu dengannya. “Aku sudah terluka, Sam. Bukan oleh hal yang kau takuti, tapi karena kau menjauh.”Aku melihat air mukanya yang mengeruh setelah mendengar kata-kataku. Cara bahunya jatuh dan cara matanya memerah kini jelas berarti penyesalan.Saat ini dia tidak sedang menjadi ayah, suami, atau pria yang bertanggung jawab atas segalanya. Dia hanya pria yang takut kehilangan perempuan yang dia cintai. Dan itu membuatku sangat bersyukur. “Aku bisa menunggu,” kataku mantap. “Kita bisa berhati-hati. Kita bisa menyembunyikan ini sampai waktunya tepat. Aku tidak akan lagi memaksamu memilih.”Tanganku naik ke tengkuknya, ibu jariku menyentuh kulitnya yang hangat. Gerakan kecil, intim, penuh keputusan.“Tapi satu hal,” lanjutku, menatapnya tanpa berkedip. “Kau tidak boleh mengabaikanku lagi.”Sam menahan
Apa yang terjadi? Kenapa dia malah menahan kepergianku dengan pelukan ini? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar liar di kepalaku, saling bertabrakan tanpa jawaban. Tubuh Sam masih menempel di punggungku, lengannya melingkar kuat. Tak membiarkan aku melarikan diri. Hangat tubuhnya menyusup melalui kain tipis kemejaku, kontras dengan dinginnya keputusan yang baru saja kuambil beberapa detik lalu. Aku kaku. Tidak membalas. Tidak mendorong. Aku hanya berdiri, membiarkan pelukan itu terjadi, sementara pikiranku terbelah antara ingin menyerah dan ingin memberontak. Entah dia menyesal. Entah dia kehabisan daya tahan. Atau ini hanya bentuk perpisahan yang paling pengecut. Aku tidak tahu. Kepala Sam terkulai di bahuku. Lalu suaranya muncul, penuh beban. “Maafkan aku… aku benci diriku sendiri karena meskipun ini salah, aku tetap tidak bisa membiarkanmu pergi.” Kalimat itu membuat dadaku berdenyut sakit. Ini jelas bukan kalimat romantis, melainkan kejujuran yang datang terlambat. Aku
“Kau mau ke mana?” Suara berat pria itu menyadarkanku dari kebingungan panjang yang sejak tadi berputar di kepalaku. “Aku… aku mau pulang,” gumamku masih dalam keadaan tercekat. Kalimat itu keluar lebih lemah dari yang kuinginkan, tapi kakiku sudah bergerak. Naluri segera mengambil alih tubuhku sebelum perasaanku sempat menahan. Ketika tanganku baru saja menyentuh gagang pintu, Sam menahan. “Tunggu sampai pengarmu hilang. Aku sudah memesan sarapan.” Aku terhenti. Bukan karena perintahnya, melainkan karena nada suaranya. Tenang, terkendali, seperti dulu. Selayaknya suara yang selalu membuatku merasa aman tanpa perlu bertanya apa pun. Dadaku jadi bergetar tak karuan dan aku sangat benci kenyataan ini. Aku beralih menatapnya dengan linglung. Kata-kata sederhana darinya masih memiliki efek yang sanggup menekan tepat di bagian diriku yang paling rapuh. Aku terdiam dengan jari meremas gagang pintu. Sedangkan Sam masih menatapku dengan sorot yang sama. Itu membuatku jadi ki







