Share

TAS 8

Penulis: Sidney Fellice
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-23 16:16:46

Aku berdiri kaku. Memperhatikan wanita itu menarik diri dariku dengan gaya elegan. Apa dia pikir kesehatan suaminya sebuah permainan?

Cindy mengangkat alis melihatku bergeming. "Kenapa? Sekarang kau jadi ragu?" Nada ejekan itu sangat memprovokasi.

"Aku bisa melakukannya lebih baik darimu," suaraku akhirnya pecah, meski sedikit bergetar, aku berusaha menatap balik matanya. "Peduli pada orang yang kau sayangi bukanlah hal sulit, Bu Dokter. Apalagi jika itu keluargamu sendiri. Hanya orang bodoh yang tidak bisa melakukannya."

Sekelebat amarah tampak jelas berkilat di matanya. Hanya sepersekian detik, tapi cukup untuk membuatku tahu bahwa kata-kataku menusuk balik. Namun, seperti biasa, Cindy Arsen terlalu pandai menutupinya. Dia hanya mengangkat dagunya sedikit, bibirnya melengkung dalam senyum tipis yang manis. Manis seperti racun.

"Aku benar-benar tak sabar melihat itu... Audrey," ujarnya ringan.

Setelah itu, dia berbalik, langkahnya cepat. Meninggalkan aroma persaingan mendadak di antara kami.

Aku hanya berdiri di sana, kedua tanganku masih mengepal, tubuhku bergetar menahan ledakan emosi yang rasanya sudah menggedor-gedor dadaku, ingin keluar kapan saja. Meski ujung-ujungnya aku hanya bisa tertawa pahit serta bergumam lirih.

"Aku akan membuatmu menyesal sudah menantangku!"

**

Aku kembali ke bangsal dengan napas yang belum sepenuhnya stabil setelah adu argumen dengan Cindy Arsen di koridor. Tatapan beberapa perawat masih mengikuti langkahku, seolah ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aku memilih tak mengindahkan mereka. Yang penting sekarang hanya satu: memastikan Sam baik-baik saja.

Saat masuk, aku mendengar dua perawat berbincang pelan tentang perpindahan Sam ke ruang rawat. Aku langsung menawarkan diri untuk membantu. Namun Sam, dengan wajah tenangnya yang khas, menolak.

“Aku bisa sendiri,” katanya pendek. Seolah-olah luka di pelipis, perban di lengan, dan wajah yang pucat tak ada artinya.

Aku mengembuskan napas kesal, kemudian tanpa basa-basi meminta kursi roda pada salah satu perawat. “Tolong, ambilkan. Dia tidak perlu memaksakan diri,” ujarku tegas. Sam sempat menatapku tajam, mungkin merasa harga dirinya direnggut. Aku balas menatapnya dengan sorot tak kalah tegas.

“Duduk,” pintaku kali ini, lebih seperti perintah. Aku bukan Cindy yang tak punya empati. Aku di sini karena peduli. Dia boleh keras kepala, tapi aku lebih keras kepala ketika menyangkut kesehatannya.

Perawat yang semula tampak ragu kini justru menatap heran melihatku memaksa pria itu. Tak ingin memperpanjang keributan yang bisa menarik perhatian pasien lain, Sam akhirnya menyerah. Dia duduk dengan wajah datar, tangan bersedekap di pangkuan, sementara aku mendorong kursi rodanya menuju ruang rawat. Dalam diam, hatiku masih mendidih.

**

"Pulanglah, kau tak perlu menungguiku di sini."

Suara Sam terdengar lagi, kali ini lebih pelan, seolah mencoba mengulur kesabaran yang tak pernah ia miliki sebelumnya. Entah untuk keberapa kalinya dia mengucapkan hal yang sama sejak sore tadi. Namun, aku tetap duduk di kursi plastik yang sudah mulai dingin karena pendingin ruangan. Tak ada niat untuk beranjak meski malam terus merambat naik.

Aku sudah membulatkan tekad. Aku akan merawatnya sampai sembuh.

"Pria sebaik ini tidak pantas ditelantarkan begitu saja. Jika istrinya tidak mau peduli, aku yang akan memperhatikannya. Lagi pula, wanita itu sendiri yang memberiku semacam lampu hijau untuk 'mengurus' suaminya. Bukankah itu semacam izin tak resmi?" pikirku penuh tekad.

Hanya saja, aku punya agenda sendiri. Akan kubuat wanita itu menyesal karena telah menyia-nyiakan pria seperti Sam Arsen.

Sam hanya menghela napas, lalu menatapku dari ranjang rumah sakit dengan wajah yang entah harus aku artikan sebagai pasrah atau malas berdebat. Selang infus terpasang di tangannya. Aroma antiseptik samar-samar bercampur dengan wangi buah yang tadi dibawa sekretarisnya saat menjenguk sebentar.

Aku sengaja menyibukkan diri dengan mengupas buah itu, mengirisnya rapi, lalu menatanya di piring plastik kecil yang disediakan pihak rumah sakit. Jemariku sedikit gemetar saat meletakkan piring itu di meja samping ranjang, bukan karena gugup, melainkan karena aku terlalu berusaha menahan diri agar tidak terlihat terlalu perhatian.

"Silakan dimakan, Paman," ucapku singkat, berusaha menjaga nada tetap netral.

Sam menatap buah itu, lalu menatapku lagi, seolah hendak mengatakan sesuatu tetapi memilih diam.

Apa dia tak senang aku berada di sana?

Keheningan itu membuatku gelisah. Aku pun memberanikan diri bertanya, meski sudah bisa menebak jawabannya.

"Mau kuambilkan sesuatu di rumah? Mungkin pakaian, peralatan mandi, atau apa pun yang Paman butuhkan?"

Dia menggeleng. "Sekretarisku bisa melakukannya kalau aku butuh."

Jawaban itu sederhana, bahkan terdengar wajar. Tapi kalimatnya terasa seperti dinding tak kasatmata yang kembali didirikan di antara kami.

Aku terdiam, menelan kekecewaan yang tiba-tiba mengganjal di tenggorokan. Sungguh, aku tidak punya hak untuk marah. Namun di saat yang sama, aku juga tak bisa berhenti bertanya-tanya, apakah sikap dinginnya itu karena dia benar-benar tidak ingin merepotkan, atau karena kehadiranku memang tidak diinginkan?

Aku hanya bisa duduk kembali, meremas jemari sendiri di atas pangkuan, menatap sosoknya yang kini lebih memilih memejamkan mata.

Luka di pelipisnya sudah diperban rapi, namun kulit pucatnya jelas menunjukkan betapa tubuh itu sedang berjuang memulihkan diri.

“Kenapa kau sekeras kepala ini, hm?” tanyanya dengan suara yang lebih lembut, berbeda dari biasanya. “Tidakkah kau punya urusan lain?”

Aku menatapnya, sedikit kesal karena dia seolah tak mengerti. “Paman, aku di sini bukan karena tidak punya kegiatan. Aku memilih untuk ada di sini. Kalau bukan aku, siapa lagi? Apa kau menunggu istrimu?"

Sontak mata Sam terbuka.

Pria itu menatapku penuh tanda tanya.

"Kita sama-sama tahu dia tidak akan datang, bagaimana aku bisa membiarkan Paman berjuang sembuh sendirian? Bahkan tahu Paman sekarat pun dia masih tidak peduli."

Tatapan pria itu berubah jadi sebuah peringatan.

“Audrey…” suaranya merendah, nyaris seperti desisan yang menahan sesuatu, entah marah atau kaget. “Jangan asal bicara.”

Aku menelan ludah. Hanya satu kalimat, tapi entah mampu membuat suasana kamar itu seketika menegang.

“Sean akan sedih kalau tahu Paman seperti ini,” lanjutku, mencoba menutupi rasa gugup yang diam-diam merayap. “Dokter bilang, Paman setidaknya butuh istirahat total beberapa hari ke depan. Itu tidak akan mudah—”

“Audrey!” sergahnya kali ini, nadanya sedikit meninggi. Tapi aku tak melihat amarah di sana, justru semacam kepanikan. Seolah aku baru saja menyentuh sesuatu yang tidak seharusnya kusentuh.

Aku balas menatapnya, jantungku ikut-ikutan berpacu. “Apa? Aku hanya bicara yang sebenarnya.”

Sam memejamkan mata sebentar, mengembuskan napas berat. Jemarinya yang bebas dari infus tampak mengepal. “Kau tidak mengerti dunia orang dewasa,” ucapnya lirih. “Dan sudah kubilang… jangan memikul beban yang bukan tanggunganmu.”

Aku merasakan sesuatu yang aneh di dadaku. Seperti api yang sengaja disulut. Kenapa dia masih berpura-pura kuat, padahal jelas-jelas rapuh? Aku merunduk sedikit, membiarkan jemariku menyentuh pinggiran ranjangnya. “Lalu kenapa?" tanyaku lebih lembut kali ini. “Apa sulitnya membiarkan seseorang… peduli?”

“Karena kalau dibiarkan… kau mungkin tidak akan pernah rela melepasnya lagi,” gumamnya mengalihkan pandangan.

Aku terdiam, napasku tercekat. Detik itu, aku benar-benar tak tahu siapa yang seharusnya lebih takut. Dia yang berusaha menjaga jarak, atau aku yang justru semakin ingin mendekat?

Dia mengembuskan napas panjang lalu berkata, “Pulanglah. Ibumu pasti cemas.”

Aku menggeleng cepat. “Sudah kuberitahu padanya. Aku izin menginap di sini.”

Sam sontak menoleh padaku. Sorot matanya berubah. Ada keterkejutan yang tak bisa dia sembunyikan, tapi tak satu kata pun keluar setelahnya. Mungkin dia tak menyangka aku akan bertindak sejauh ini.

**

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • TERGODA AYAH SAHABATKU   TAS 88

    'Apa maksudmu?''Bukannya kita sudah sepakat?'Pesan itu kukirim tergesa pada Irish.Irish: 'Memang, tapi ini di luar kendaliku.'Alisku bertaut rapat tak mengerti. 'Aku butuh penjelasan.' Irish: 'Aku kehabisan alasan. Semua persiapan sudah rampung. Aku juga berusaha memintanya menemaniku memeriksa ulang setiap kostum, tapi dia kukuh mau ke rumah sakit.'Aku terdiam sejenak. Kurasa memang tak mungkin Irish melepaskan Sean begitu saja jika bisa menahannya. Kuhela napasku dengan berat lalu mengetik balasan.'Baiklah.''Terima kasih untuk semua bantuanmu sejauh ini.'Mataku kembali beralih pada Sean yang kini sibuk bermain dengan ibu. Tampaknya, aku memang tak punya pilihan.Satu-satunya cara agar semua gangguan ini berakhir adalah dengan mengukuhkan hubunganku bersama Sam. Sayangnya, itu butuh waktu lebih lama.Denting ponsel membuatku tersentak. Kutelan napas dalam-dalam sebelum membuka pesan yang masuk.Pesan dari Sam.Dan seketika, senyumku merekah. Penuh harapan yang selama ini ter

  • TERGODA AYAH SAHABATKU   TAS 87

    Aku sangat membutuhkan kehadirannya untuk menenangkanku. Tapi malam ini, aku benar-benar ditinggal sendirian. Pagi itu, sinar matahari menembus tirai tipis kamar rawat, menyilaukan mataku yang baru saja terpejam lagi setelah malam panjang penuh kegelisahan. Tubuhku terasa lemah saat aku mencoba duduk. Kepalaku pun sedikit pening karena menangis hingga tertidur. Namun sebelum aku sempat menarik napas panjang, suara lembut tapi tergesa memecah keheningan. “Sayang, kau sudah bangun?” Suara Ibu. Aku mendongak dan mendapati ibu telah berdiri di ambang pintu dengan wajah cemas. Penampilannya menyita perhatianku. Dia mengenakan baju asal-asalan, warna yang kontras dengan celana dan sweater yang dia pakai. Rambutnya bahkan belum sempat disisir rapi. “Ibu?” suaraku parau. “Kenapa Ibu di sini pagi sekali?” Ibu segera masuk menaruh tas kecil di kursi, lalu duduk di tepi ranjang sambil meraba dahiku. “Katanya kau jatuh kemarin. Perawat yang menelepon Ibu tadi malam. Ibu pikir kau bai

  • TERGODA AYAH SAHABATKU   TAS 86

    Aku masih terbuai dalam mimpi ketika samar-samar telingaku mendengar pintu diketuk pelan.Mataku memicing, berusaha menyesuaikan pandangan pada cahaya temaram ruangan. Seorang perawat senior berusia sekitar empat puluhan berjalan masuk dengan clipboard di tangan. Seperti biasa, dia bertugas malam ini untuk mengecek kondisiku.Namun langkahnya mendadak terhenti tiga meter dari tempat tidur. Matanya membelalak, nyaris menjatuhkan alat di tangannya.Aku mengerjap, mencoba memahami ekspresi terkejutnya. Hingga saat hendak bangun, gerakanku tertahan oleh sesuatu yang hangat di pinggangku. Itu membuatku tersadar ada lengan kokoh yang melingkar di sana.Nafasku tercekat. Aku baru ingat jika Sam ada di sini, dan dia tertidur bersamaku. Di ranjang. Dengan posisi yang jelas bisa disalahartikan siapa pun. Dan kini, perawat itu memergoki kami.“Oh Tuhan...” bisik si perawat, matanya membelalak tak percaya.Aku langsung duduk panik, menarik selimut menutupi tubuhku meski masih mengenakan pakaian

  • TERGODA AYAH SAHABATKU   TAS 85

    Aku memandangi layar ponsel yang terus bergetar di atas kasur. Nama Sean berkedip di sana, membuat hatiku ikut berdebar tak karuan. Jemariku sempat bergerak, tapi akhirnya berhenti di atas tombol hijau. Napasku memburu secara instan. Aku sadar, tak sanggup mengangkatnya. Dengan satu sentuhan, kupilih mematikan panggilan itu lalu kembali menatap Sam. Namun beberapa detik kemudian, nada dering yang sama kembali terdengar. Sam yang kini duduk di sisi ranjang menoleh tajam. “Siapa?” tanyanya terlihat curiga. Aku tertunduk menatap layar yang sudah gelap. “Kenapa tidak kau angkat?” suaranya meninggi sedikit karena penasaran. Aku menggigit bibir, lalu akhirnya berbisik, “Sean.” Sam terdiam. Pandangannya menelisik wajahku, seolah mencoba membaca isi kepalaku. Belum sempat aku bicara lagi, notifikasi pesan masuk terdengar. Sean: 'Bagaimana keadaanmu? Kau bersama siapa di sana? Mau kutemani malam ini?' Mataku membulat panik. Dia tak boleh ke sini. Aku segera mengetik balasan

  • TERGODA AYAH SAHABATKU   TAS 84

    Kulihat Sam tak berkedip menatap punggung Cindy yang menghilang di balik lorong taman. Dia pun mungkin tak menyangka Cindy akan memintanya bicara secara pribadi. Aku tahu, pertemuan itu bukan hal mudah baginya.Tanganku bergerak pelan menyentuh tangannya hingga dia teralihkan kembali padaku. Bibirku tak berucap apapun, meski begitu, aku berharap Sam paham apa yang kupertanyakan dalam kepalaku."Jangan khawatir, semua akan baik-baik saja," kata Sam tersenyum. Aku menggigit bibir. Yang kucemaskan bukan kecurigaan Cindy, melainkan kepergian Sam menemui wanita itu. Bermacam hal berputar di kepalaku. Kecemasan, ketakutan, juga sedikit rasa tak rela.Bagaimanapun, Cindy bukan sekadar istri di atas kertas. Dia juga bagian dari masa lalu yang masih menggenggam erat.Jujur saja, aku tak rela melepas tangannya saat ini. Meski wanita yang ingin dia temui adalah istrinya sendiri.**Aku gelisah menunggu Sam kembali. Sudah hampir setengah jam sejak dia meninggalkanku di kamar sendirian demi menem

  • TERGODA AYAH SAHABATKU   TAS 83

    Sam membawaku berkeliling di taman rumah sakit yang cukup luas. Sore jelang senja itu, aku menghirup udara segar dengan puas. Rasanya dadaku begitu ringan terlebih aku melewati waktu ini bersama dengan orang yang begitu penting bagiku. Cahaya matahari yang keemaasan membentuk siluet-silut panjang dari tiap pohon bunga yang bermekaran. Sam mendorong kursi rodaku sambil bercerita tentang suasana kantor, kesibukan rapat dan jadwal peserta magang lain. "Aku minta maaf karena tertinggal," ujarku pelan. Sam tersenyum kecil. "Tak masalah. Kau hanya perlu bersiap menerima tugas tambahan setelah keluar dari sini." Aku mendongak cepat. "Itu ancaman?" Dia terkekeh, suaranya hangat. "Kalau begitu, kita ubah jadi... tugas pengganti." Aku bergeleng pelan. "Aku harusnya diberi kompensasi, bukan tugas." Segera kuacungkan jam tangan yang sejak tadi kugenggam. “Ini milikmu, kan?” Alis Sam terangkat dan meraih benda itu dariku. “Ah, iya! Aku buru-buru pergi dan lupa kalau ini tertinggal." “Hm.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status