LOGINTubuhku menabrak seseorang dengan cukup keras. Aku kehilangan keseimbangan dan jatuh terpental, ponselku hampir terlepas dari genggaman. Tas selempangku pun melorot hingga ke siku.
“Maaf!” suara berat yang begitu kukenal itu menyusul. Aku mendongak refleks. Sam. Dia meminta maaf untukku pada orang yang kutabrak. Sebelum aku sempat meraih tasku, tangan kokohnya sudah menarik lenganku. Dia menatap dengan mata yang masih menyimpan sisa emosi dari percakapan telepon tadi, tapi kini ada guratan cemas di sana. “Kau terluka?” tanyanya, suaranya jauh lebih lembut dibanding beberapa detik lalu. Aku tergagap. “T-tidak apa-apa. Hanya… terkejut.” Tangannya masih di sana, menahan lenganku seolah memastikan aku tidak akan jatuh lagi. Hangat. Kali ini, aku tidak yakin siapa yang lebih gugup. Aku yang kepergok mengintip percakapannya, atau dia yang tak menyadari telah memamerkan sisi rapuhnya tepat di hadapanku. "Soal tadi…" katanya pelan, nadanya seperti menyelidik. "Tenang saja, aku tidak dengar apa-apa," jawabku cepat, mungkin terlalu cepat hingga terdengar memaksa. Sam menatapku datar, jelas dia sadar aku bohong. Da tidak bicara sesaat, hanya membiarkan jeda itu menggantung seperti tali yang siap menjerat leherku kapan saja. Aku berusaha terlihat santai, padahal jantungku berdebar tak karuan. "Apapun itu, jangan beri tahu Sean," katanya tegas. Nada suaranya mengunci, tak memberi ruang tawar. Aku pun hanya mengangguk pelan. ** Pesawat yang ditumpangi Sean akhirnya lepas landas, meninggalkan jejak tipis di langit yang perlahan memudar. Aku masih bisa merasakan pelukan eratnya saat kami berpisah di gerbang keberangkatan, seolah pelukan itu hendak menahan semua kata-kata yang tak terucap. Bahkan saat kami berjalan menuju area parkir, sensasi itu masih melekat di pikiranku. “Ah... sial! Kenapa sekarang?” umpat Irish saat memeriksa ban mobilnya yang mendadak kempis, wajahnya cemberut saat berbalik menatapku. "Aku bisa pulang naik taksi," ucapku mencoba menenangkannya. “Tinggalkan saja di sini, panggil tukang derek. Aku akan mengantar kalian pulang,” suara Sam terdengar tenang dari belakang kami. “Siap, Paman!” sahut Irish tanpa berpikir dua kali. Bukannya sedih, dia justru terlihat seperti mendapat keberuntungan besar. Dengan cepat dia berjalan riang menuju mobil Sam sambil berjingkrak kecil. Aku mengikuti langkahnya dengan senyum yang berusaha keras kusembunyikan. Jantungku mulai berulah lagi. Entah karena kelelahan setelah mengantar Sean, atau karena kenyataan bahwa aku akan satu mobil lagi dengan Sam. Perjalanan dimulai dengan riuh suara Irish. Dia bercerita tentang berbagai hal termasuk rencananya mengambil jurusan desainer. Aku hanya sesekali menimpali, lebih sering mengangguk atau tertawa kecil di sela-sela obrolan. Di depan, Sam hanya sesekali merespons, suaranya tenang dan tidak pernah kehilangan intonasi yang mapan. Matanya tetap fokus ke jalan, tetapi aku bisa merasakan setiap kali ia sedikit melirik ke spion tengah, memastikan kami baik-baik saja. Waktu berjalan tanpa terasa. Pemandangan kota berganti menjadi jalanan perumahan yang lebih sepi. Irish akhirnya turun di rumahnya dengan lambaian tangan yang masih riang. Pintu mobil tertutup dan suasana mendadak berubah. Sunyi. Hanya suara mesin yang terdengar, pelan, nyaris menjadi latar bagi degup jantungku yang kini makin sulit kukendalikan. Aku duduk tegak di kursi belakang, memandang punggung Sam yang kokoh dari balik sandaran. Sesekali sinar matahari yang mulai tinggi memantul di kaca depan, menyinari sebagian wajahnya yang tegas. Aku menelan ludah. Tak ada yang bicara. Untuk sekadar bernapas pun aku harus pelan-pelan, khawatir suaranya akan terdengar terlalu keras di ruang senyap itu. Perjalanan mendadak terasa lebih panjang daripada yang seharusnya, seolah waktu sengaja mempermainkan kami berdua. Di titik ini, aku tidak yakin mana yang lebih sulit, mengendalikan pikiranku, atau menyembunyikan perasaan yang diam-diam mulai tumbuh setiap kali berada di dekatnya. Keheningan di dalam mobil akhirnya pecah ketika Sam bertanya dengan suara tenang, “Kau sudah memutuskan akan melanjutkan kuliah ke mana?” Aku menoleh sekilas, berusaha mencari jawaban yang tak kunjung matang. “Belum,” jawabku jujur, suaraku terdengar lebih pelan dari yang kuharapkan. Sam mengangguk ringan, matanya tetap fokus ke jalan. “Katakan saja kau mau lanjut ke mana, mungkin aku bisa bantu. Aku mengenal banyak akademisi karena sering mengisi acara kampus.” Dia tidak menyombong, aku tahu itu. Sam memang kerap diundang menjadi pembicara di beberapa universitas, bahkan beberapa kali menjadi tamu kehormatan. Dan kabarnya juga, dia donatur tetap di salah satu kampus besar. Namun, aku hanya mengangguk pelan dan berkata lirih, “Terima kasih… aku masih harus berdiskusi dengan ibuku.” Hening kembali turun, kali ini lebih singkat karena akhirnya Sam berucap, “Pasti menyenangkan bisa saling bertukar pikiran dengan ibumu.” Aku terkekeh kecil. “Ya, dia sangat protektif,” jawabku bangga, meski kemudian aku menyadari nada ucapannya barusan tidak sepenuhnya sebuah pujian. Ada sedikit satir yang samar, seolah menyimpan rasa iri yang tidak diucapkan. Aku merasa bersalah dan mencoba mencairkan suasana. “Tapi Sean lebih beruntung karena memiliki Paman,” ujarku lebih keras. Sam tidak langsung menjawab. Matanya tetap ke depan. Entah apa yang dia pikirkan di balik wajahnya yang tenang itu. Tanpa sadar, aku melanjutkan, “Aku pasti sangat bangga jika jadi Sean. Memiliki orang tua hebat bukan keberuntungan yang bisa dirasakan setiap anak.” Samar-samar di spion tengah, kulihat sudut bibir Sam terangkat sedikit. Senyum tipis itu membuatku sedikit lega. Ketegangan yang sejak tadi membebani dadaku perlahan menguap. Mobil akhirnya berhenti di depan rumahku. Aku menyempatkan diri berkata sebelum turun, “Jangan terlalu mengkhawatirkan Sean, dia melakukan semua ini karena ingin membanggakan kalian.” Sam mengangguk singkat. “Terima kasih.” “Aku yang harus berterima kasih, Paman sudah repot mengantarku.” “Tak masalah. Aku hanya menggantikan Sean,” guraunya ringan, membuatku tertawa kecil. Kulambaikan tangan dengan senyum seceria mungkin. Walau di dalam dada ada perih yang sulit kusembunyikan. Karena aku tahu, inilah saatnya kami berpisah. Mobilnya perlahan menjauh, menelan jarak menuju belokan di ujung jalan. Aku berbalik dengan langkah lesu, baru beberapa meter berjalan ketika suara hantaman keras memecah udara. “Kecelakaan!” teriak seorang tetangga sambil menunjuk ke arah belokan jalan. Aku terkesiap, jantungku seolah melonjak ke tenggorokan. Mungkinkah…? **Sam tidak ada di sana.Yang duduk di sofa dengan tangan bersedekap justru Cindy.Senyum sinis langsung terbit di wajahnya saat melihat keterkejutanku. Seolah momen ini telah dia tebak akan terjadi.“Silakan masuk,” katanya santai. “Atau kau mau berpura-pura salah ruangan?”Aku terpaku, baru menyadari kecerobohanku. Seharusnya aku bertanya pada Sarah siapa yang memanggilku. Namun keyakinanku tadi terlalu bulat, terlalu bodoh. Sekarang pintu telah tertutup di belakangku, sedangkan Cindy memberi isyarat singkat ke arah sofa di seberangnya agar aku duduk.Aku menghempaskan napas. Memilih tetap berdiri.“Ada apa?” tanyaku akhirnya, berusaha menjaga wajah tetap datar.“Duduk,” perintahnya dengan suara tegas. “Aku tidak punya banyak waktu.”Ingin membantah, namun kulihat Sarah mengamati kami dari seberang ruangan. Dia tampak sama penasarannya denganku. Dia pasti cemas karena tahu aku dan Cindy tidak akur. Sementara Sam sedang tidak ada di sini.Aku menarik napas dalam sebelum menurut. Ruanga
“Apa katamu?” suaranya bergetar oleh amarah. “Berani sekali kau mengajariku menjadi ibu! Bocah sepertimu?!”Aku menatapnya lurus, jantungku berdebar keras tapi kakiku tak goyah. “Terserah Anda menangkapnya seperti apa. Tapi memang, sejauh yang terlihat... Sean tidak pernah menjadi prioritas.”Wajah Cindy memerah. “Gadis tak tahu diri!” bentaknya. “Kau pikir siapa dirimu sampai berani bicara seperti itu padaku?”Aku tidak menjawab. Tidak ada gunanya. Aku memilih melangkah masuk ke dalam rumah dan menutup pintu secepat yang kubisa.Brak!Suara gedoran langsung menghantam dari luar.“Keluar, Audrey!” teriak Cindy sambil menggedor pintu berkali-kali. “Jangan sembunyi! Dasar gadis tidak tahu malu! Kau perusak keluarga orang!”Aku menahan pintu dengan sekuat tenaga, kedua lenganku menempel pada kayu yang bergetar tiap kali dia menghantamnya.Kugigit bibirku mendengar makian Cindy. Dia mengataiku perusak keluarga bahkan sebelum tahu aku ada main dengan suaminya. Bagaimana jika nanti dia suda
"Akhirnya kau muncul juga."Suara itu membuatku langsung menahan napas. Semakin meyakinkan aku kalau dia pasti sedang merencanakan sesuatu. Entah apa, tapi ini pasti cukup mendesak karena wanita sepertinya rela mendatangi dan menungguku.Irish menyapa Cindy lebih dulu. Sikapnya sopannya sangat kaku dengan jejak segan yang jelas tak bisa dia sembunyikan.“Selamat malam, Tante Cindy,” ucapnya hati-hati.Aku bisa menebak apa yang melintas di kepalanya. Ingatan terakhir mereka jelas bukan kenangan manis. Tapi hari ketika Cindy memarahinya habis-habisan karena Sean menghilang setelah acara fashion show itu.Irish berdiri di sana sekarang bukan sebagai kenalan, tapi seperti terdakwa yang kebetulan kembali ke ruang sidang. Suasananya jadi sangat canggung.“Ada perlu apa tante sampai datang ke sini?” lanjut Irish, berusaha terdengar biasa. Meski sorot matanya terlalu waspada untuk disebut santai. “Apa ini ada hubungannya dengan Sean?”Cindy menoleh sekilas padanya. Hanya sekilas. Tatapan sing
Kepala Sam menunduk hingga dahinya menyentuh rambutku. Suara beratnya bergetar halus. “Aku sungguh takut kau akan terluka lebih dalam jika tetap di sisiku.”Aku mendongak, memaksa mataku bertemu dengannya. “Aku sudah terluka, Sam. Bukan oleh hal yang kau takuti, tapi karena kau menjauh.”Aku melihat air mukanya yang mengeruh setelah mendengar kata-kataku. Cara bahunya jatuh dan cara matanya memerah kini jelas berarti penyesalan.Saat ini dia tidak sedang menjadi ayah, suami, atau pria yang bertanggung jawab atas segalanya. Dia hanya pria yang takut kehilangan perempuan yang dia cintai. Dan itu membuatku sangat bersyukur. “Aku bisa menunggu,” kataku mantap. “Kita bisa berhati-hati. Kita bisa menyembunyikan ini sampai waktunya tepat. Aku tidak akan lagi memaksamu memilih.”Tanganku naik ke tengkuknya, ibu jariku menyentuh kulitnya yang hangat. Gerakan kecil, intim, penuh keputusan.“Tapi satu hal,” lanjutku, menatapnya tanpa berkedip. “Kau tidak boleh mengabaikanku lagi.”Sam menahan
Apa yang terjadi? Kenapa dia malah menahan kepergianku dengan pelukan ini? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar liar di kepalaku, saling bertabrakan tanpa jawaban. Tubuh Sam masih menempel di punggungku, lengannya melingkar kuat. Tak membiarkan aku melarikan diri. Hangat tubuhnya menyusup melalui kain tipis kemejaku, kontras dengan dinginnya keputusan yang baru saja kuambil beberapa detik lalu. Aku kaku. Tidak membalas. Tidak mendorong. Aku hanya berdiri, membiarkan pelukan itu terjadi, sementara pikiranku terbelah antara ingin menyerah dan ingin memberontak. Entah dia menyesal. Entah dia kehabisan daya tahan. Atau ini hanya bentuk perpisahan yang paling pengecut. Aku tidak tahu. Kepala Sam terkulai di bahuku. Lalu suaranya muncul, penuh beban. “Maafkan aku… aku benci diriku sendiri karena meskipun ini salah, aku tetap tidak bisa membiarkanmu pergi.” Kalimat itu membuat dadaku berdenyut sakit. Ini jelas bukan kalimat romantis, melainkan kejujuran yang datang terlambat. Aku
“Kau mau ke mana?” Suara berat pria itu menyadarkanku dari kebingungan panjang yang sejak tadi berputar di kepalaku. “Aku… aku mau pulang,” gumamku masih dalam keadaan tercekat. Kalimat itu keluar lebih lemah dari yang kuinginkan, tapi kakiku sudah bergerak. Naluri segera mengambil alih tubuhku sebelum perasaanku sempat menahan. Ketika tanganku baru saja menyentuh gagang pintu, Sam menahan. “Tunggu sampai pengarmu hilang. Aku sudah memesan sarapan.” Aku terhenti. Bukan karena perintahnya, melainkan karena nada suaranya. Tenang, terkendali, seperti dulu. Selayaknya suara yang selalu membuatku merasa aman tanpa perlu bertanya apa pun. Dadaku jadi bergetar tak karuan dan aku sangat benci kenyataan ini. Aku beralih menatapnya dengan linglung. Kata-kata sederhana darinya masih memiliki efek yang sanggup menekan tepat di bagian diriku yang paling rapuh. Aku terdiam dengan jari meremas gagang pintu. Sedangkan Sam masih menatapku dengan sorot yang sama. Itu membuatku jadi ki







