Share

TAS 9

Penulis: Sidney Fellice
last update Terakhir Diperbarui: 2025-09-23 16:17:42

Malam ini rumah sakit terasa sangat sunyi, hanya sesekali suara roda troli perawat melintas di lorong. Aku duduk di sofa kecil yang sejak sore menjadi tempatku beristirahat, selimut tipis masih menutupi lutut. Semua tampak baik-baik saja sebelum rasa kantuk yang tak tertahankan membuatku terlelap.

Namun, suara lirih itu membangunkanku. Suara yang memecah hening. Samar, tapi jelas memanggil. Aku langsung tersentak, melirik ke arah ranjang pasien. Sam menggeliat gelisah. Keringat dingin membasahi pelipisnya, napasnya berat, dan rintihannya membuat bulu kudukku meremang.

“Jangan pergi…” gumamnya berulang kali, suaranya pecah dan serak.

“Paman?” Aku cepat bangkit, menghampirinya dengan jantung berdegup kencang. Jemariku menyentuh lengannya. Panas, sangat panas. Dia pasti demam.

Panik langsung merayap ke dadaku. Aku menekan tombol darurat sambil terus memeriksa kondisinya. “Paman, kau dengar aku? Buka matamu, katakan sesuatu,” ucapku pelan, meski tahu mungkin dia tak benar-benar sadar.

Tak lama kemudian, dokter jaga datang bersama dua perawat.

"Kapan dia mulai begini?"

Aku menggeleng panjang, menelan ludah menahan gugup. “Aku… aku sempat tertidur. Saat bangun, dia sudah seperti ini,” suaraku bergetar.

Mereka bergerak cepat, memeriksa suhu tubuh, tekanan darah, hingga kondisi infusnya. Sepuluh menit itu sungguh membuatku sulit bernapas.

“Ini reaksi normal dari lukanya,” jelas dokter setelah memastikan tidak ada komplikasi lain. “Jangan khawatir, hanya perlu dipantau. Kalau ada tanda-tanda aneh lagi, segera lapor.”

Kuanggukkan kepalaku yang terasa berat. Perawat memberi obat melalui infus dan mengedukasiku sebelum pergi. Aku menarik napas panjang. Kali ini aku tidak berani kembali ke sofa. Kutarik kursi kecil ke dekat ranjang, memperbaiki selimutnya dengan tangan gemetar.

Perlahan, napasnya mulai teratur kembali. Rintihannya berhenti. Demamnya masih terasa, tapi setidaknya wajahnya tak lagi sekusut tadi. Aku duduk diam menatapnya dengan pikiran berkecamuk.

Siapa sangka pria setangguh Sam Arsen, yang biasanya tegar di hadapan banyak orang, kini terbaring seperti ini. Sendirian. Tanpa istrinya, tanpa putranya. Hanya aku. Orang luar yang tak seharusnya ada di sini, tapi memilih untuk tetap tinggal.

Pikiranku melayang pada Cindy Arsen. Seharusnya, wanita itu yang duduk di kursi ini, bukan aku. Tapi dia justru memilih abai, bahkan sempat menantangku mengurus suaminya. Dadaku kembali bergemuruh mengingat sikapnya yang menyebalkan itu.

Kupandangi wajah Sam lekat-lekat. Meski pucat, garis wajahnya tetap tampan dan memancarkan kharisma yang berbeda. Rasanya tidak adil pria sebaik ini dibiarkan menderita tanpa perhatian dan cinta yang seharusnya dia dapatkan.

Tanpa sadar, jemariku terulur. Menyentuh pipinya perlahan, mengusap keringat yang masih tersisa. “Kau pasti sangat menderita…” bisikku sendu.

Sebelum logika sempat menarikku kembali, tubuhku sudah condong mendekat. Bibirku mengecup pelan bibir pucatnya. Sekejap. Momen yang membuat jantungku hampir melompat keluar.

Aku tahu itu salah. Sangat salah. Tapi aku tidak bisa menahan diri.

Sam tetap diam. Tak ada reaksi.

Itu membuatku lebih berani. Aku melakukannya lagi. Kali ini lebih lama. Bibirku menempel lembut, lebih meresapi kehangatan samar yang muncul dan siap menenggelamkan.

Jantungku berdentum keras. Ruangan tetap sunyi. Tapi dunia di dalam dadaku baru saja bergetar hebat.

Di tengah ciuman yang kucuri-curi itu, seluruh tubuhku menegang ketika merasakan jemarinya bergerak. Seketika mataku membulat lebar, jantungku seolah berhenti berdetak saat genggaman tangan Sam tiba-tiba menguat, membelit jemariku erat. Napasku ikut tercekat.

Dia… terbangun?

Aku refleks menarik wajah menjauh. Pikiran panik menyerbu. Apa yang harus kukatakan jika dia membuka mata sekarang? Bagaimana aku menjelaskan tindakanku yang begitu lancang, mencuri ciuman saat dia sedang tak berdaya?

Rasa bersalah langsung membanjiri dadaku. Namun, beberapa detik berlalu tanpa ada reaksi berarti. Mata Sam tetap terpejam rapat, napasnya kembali teratur, seolah-olah tak terjadi apa pun. Hanya genggaman tangannya yang tetap menguat, tak melepaskanku sedikit pun. Jemarinya seakan bicara dalam diam, memohon agar aku tetap berada di sisinya, tidak pergi lagi.

Aku menatap wajahnya yang pucat dengan perasaan bergejolak. Antara lega, bersalah, dan entah apa lagi. Genggaman itu terasa hangat, begitu manusiawi di tengah dinginnya ruangan itu.

Tanpa sadar, aku justru mengeratkan balasan genggaman itu. "Aku di sini," bisikku hampir tanpa suara, takut mengusik ketenangannya yang rapuh.

**

Pagi ini, aroma makanan hangat menyeruak begitu ibu muncul di depan pintu ruang rawat. Tangannya sibuk menenteng kantong besar berisi makanan, beberapa camilan dan barang-barang pribadiku. Aku menyambutnya dengan mata berbinar dan berlari keluar.

“Kau sendirian menjaganya di sini?” tanya ibu begitu matanya selesai menyapu seisi ruangan, lalu beralih padaku yang duduk di kursi tunggu koridor. Memeriksa kantong yang dia bawa.

"Ibu tidak membawakanku perlengkapan mandi?" tanyaku terkejut mengaduk isi kantong.

"Kau gila? Untuk apa kau mandi di kamar pasien? Dia itu bukan ayahmu!" Ibu melotot padaku dengan ekspresi aneh. "Pulang ke rumah kalau ingin mandi dan berganti pakaian."

Aku mendengkus kesal. Tapi tak bisa membantah. Tanganku beralih membuka wadah bubur.

"Kenapa Irish tidak menemanimu?" Nada heran ibu membuatku refleks menggeleng cepat.

“Aku dilarang memberitahunya. Kubilang padanya aku sibuk sepekan ini membantu ibu. Kalau sampai dia tahu, Sean juga bisa tahu,” jelasku sambil menyuap bubur yang masih mengepul. Perutku sejak tadi protes, jadi aku makan dengan lahap meski buru-buru.

Ibu menghela napas berat, duduk di kursi sebelahku dengan wajah cemas. “Betul juga, Sean pasti akan sangat khawatir,” gumamnya pelan, seperti menimbang sesuatu.

Aku hanya mengangguk sambil terus mengunyah. Di sela suapan, aku mendengar pertanyaannya lagi. “Tapi… di mana ibu Sean? Bukannya dia dokter?”

Pertanyaan itu membuatku hampir tersedak. Aku buru-buru meraih botol air minum, meneguknya dalam-dalam untuk meredakan sensasi terbakar di tenggorokan. Emosiku langsung tersulut mendengar wanita itu disebut.

“Dia sibuk dengan pasiennya yang lain,” jawabku dengan nada yang lebih ketus dari yang kuinginkan. “Dia tak pernah punya waktu untuk anaknya… apalagi suaminya.”

"Bagaimana kau tahu?" Ibu menatapku tajam, seperti tak percaya pada kata-kataku. Pandangannya seolah menyelidik, menuduhku membesar-besarkan masalah. Aku berpaling, enggan memperpanjang pembahasan.

“Putra mereka sungguh beruntung punya sahabat yang seperhatian dirimu,” ucap ibu akhirnya, suaranya mulai melunak. “Ya, sudah. Aku mau menyapa Tuan Arsen dulu sebelum pergi.”

Refleks aku berdiri, menghentikan langkahnya. “Jangan, Bu. Dia masih tidur,” cegahku cepat, hampir terdengar seperti permohonan. “Beberapa jam lalu dia demam, akan kusampaikan kalau ibu datang menjenguknya.”

Ibu berdecak kecewa, tapi tak membantah. Dia merapikan tas di bahunya lalu menepuk pundakku pelan. “Berhati-hati di sini, jaga kesehatanmu juga. Jangan sampai kau ikut tumbang.”

Aku hanya mengangguk, menatap punggungnya yang perlahan menjauh di lorong rumah sakit yang mulai ramai. Dalam hati, aku tahu tugasku di sini belum selesai dan kebohongan kecilku baru saja dimulai.

Begitu masuk ke ruang perawatan, Sam sudah terbangun.

Wajah tampannya terkejut melihatku muncul tiba-tiba saat dia berjuang turun dari tempat tidur.

"Biar kubantu," seruku bergegas menghampiri setelah meletakkan semua barang. Saat tanganku meraih lengannya, kurasakan tatapan Sam menghujam padaku. Aku meliriknya perlahan. Benar, dia menatapku. Sangat lekat.

Entah apa arti tatapan itu. Tapi pikiranku langsung tertuju pada kecupan semalam. Wajahku jadi menghangat.

Apa dia menyadarinya?

Apa dia akan membahasnya?

**

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • TERGODA AYAH SAHABATKU   TAS 88

    'Apa maksudmu?''Bukannya kita sudah sepakat?'Pesan itu kukirim tergesa pada Irish.Irish: 'Memang, tapi ini di luar kendaliku.'Alisku bertaut rapat tak mengerti. 'Aku butuh penjelasan.' Irish: 'Aku kehabisan alasan. Semua persiapan sudah rampung. Aku juga berusaha memintanya menemaniku memeriksa ulang setiap kostum, tapi dia kukuh mau ke rumah sakit.'Aku terdiam sejenak. Kurasa memang tak mungkin Irish melepaskan Sean begitu saja jika bisa menahannya. Kuhela napasku dengan berat lalu mengetik balasan.'Baiklah.''Terima kasih untuk semua bantuanmu sejauh ini.'Mataku kembali beralih pada Sean yang kini sibuk bermain dengan ibu. Tampaknya, aku memang tak punya pilihan.Satu-satunya cara agar semua gangguan ini berakhir adalah dengan mengukuhkan hubunganku bersama Sam. Sayangnya, itu butuh waktu lebih lama.Denting ponsel membuatku tersentak. Kutelan napas dalam-dalam sebelum membuka pesan yang masuk.Pesan dari Sam.Dan seketika, senyumku merekah. Penuh harapan yang selama ini ter

  • TERGODA AYAH SAHABATKU   TAS 87

    Aku sangat membutuhkan kehadirannya untuk menenangkanku. Tapi malam ini, aku benar-benar ditinggal sendirian. Pagi itu, sinar matahari menembus tirai tipis kamar rawat, menyilaukan mataku yang baru saja terpejam lagi setelah malam panjang penuh kegelisahan. Tubuhku terasa lemah saat aku mencoba duduk. Kepalaku pun sedikit pening karena menangis hingga tertidur. Namun sebelum aku sempat menarik napas panjang, suara lembut tapi tergesa memecah keheningan. “Sayang, kau sudah bangun?” Suara Ibu. Aku mendongak dan mendapati ibu telah berdiri di ambang pintu dengan wajah cemas. Penampilannya menyita perhatianku. Dia mengenakan baju asal-asalan, warna yang kontras dengan celana dan sweater yang dia pakai. Rambutnya bahkan belum sempat disisir rapi. “Ibu?” suaraku parau. “Kenapa Ibu di sini pagi sekali?” Ibu segera masuk menaruh tas kecil di kursi, lalu duduk di tepi ranjang sambil meraba dahiku. “Katanya kau jatuh kemarin. Perawat yang menelepon Ibu tadi malam. Ibu pikir kau bai

  • TERGODA AYAH SAHABATKU   TAS 86

    Aku masih terbuai dalam mimpi ketika samar-samar telingaku mendengar pintu diketuk pelan.Mataku memicing, berusaha menyesuaikan pandangan pada cahaya temaram ruangan. Seorang perawat senior berusia sekitar empat puluhan berjalan masuk dengan clipboard di tangan. Seperti biasa, dia bertugas malam ini untuk mengecek kondisiku.Namun langkahnya mendadak terhenti tiga meter dari tempat tidur. Matanya membelalak, nyaris menjatuhkan alat di tangannya.Aku mengerjap, mencoba memahami ekspresi terkejutnya. Hingga saat hendak bangun, gerakanku tertahan oleh sesuatu yang hangat di pinggangku. Itu membuatku tersadar ada lengan kokoh yang melingkar di sana.Nafasku tercekat. Aku baru ingat jika Sam ada di sini, dan dia tertidur bersamaku. Di ranjang. Dengan posisi yang jelas bisa disalahartikan siapa pun. Dan kini, perawat itu memergoki kami.“Oh Tuhan...” bisik si perawat, matanya membelalak tak percaya.Aku langsung duduk panik, menarik selimut menutupi tubuhku meski masih mengenakan pakaian

  • TERGODA AYAH SAHABATKU   TAS 85

    Aku memandangi layar ponsel yang terus bergetar di atas kasur. Nama Sean berkedip di sana, membuat hatiku ikut berdebar tak karuan. Jemariku sempat bergerak, tapi akhirnya berhenti di atas tombol hijau. Napasku memburu secara instan. Aku sadar, tak sanggup mengangkatnya. Dengan satu sentuhan, kupilih mematikan panggilan itu lalu kembali menatap Sam. Namun beberapa detik kemudian, nada dering yang sama kembali terdengar. Sam yang kini duduk di sisi ranjang menoleh tajam. “Siapa?” tanyanya terlihat curiga. Aku tertunduk menatap layar yang sudah gelap. “Kenapa tidak kau angkat?” suaranya meninggi sedikit karena penasaran. Aku menggigit bibir, lalu akhirnya berbisik, “Sean.” Sam terdiam. Pandangannya menelisik wajahku, seolah mencoba membaca isi kepalaku. Belum sempat aku bicara lagi, notifikasi pesan masuk terdengar. Sean: 'Bagaimana keadaanmu? Kau bersama siapa di sana? Mau kutemani malam ini?' Mataku membulat panik. Dia tak boleh ke sini. Aku segera mengetik balasan

  • TERGODA AYAH SAHABATKU   TAS 84

    Kulihat Sam tak berkedip menatap punggung Cindy yang menghilang di balik lorong taman. Dia pun mungkin tak menyangka Cindy akan memintanya bicara secara pribadi. Aku tahu, pertemuan itu bukan hal mudah baginya.Tanganku bergerak pelan menyentuh tangannya hingga dia teralihkan kembali padaku. Bibirku tak berucap apapun, meski begitu, aku berharap Sam paham apa yang kupertanyakan dalam kepalaku."Jangan khawatir, semua akan baik-baik saja," kata Sam tersenyum. Aku menggigit bibir. Yang kucemaskan bukan kecurigaan Cindy, melainkan kepergian Sam menemui wanita itu. Bermacam hal berputar di kepalaku. Kecemasan, ketakutan, juga sedikit rasa tak rela.Bagaimanapun, Cindy bukan sekadar istri di atas kertas. Dia juga bagian dari masa lalu yang masih menggenggam erat.Jujur saja, aku tak rela melepas tangannya saat ini. Meski wanita yang ingin dia temui adalah istrinya sendiri.**Aku gelisah menunggu Sam kembali. Sudah hampir setengah jam sejak dia meninggalkanku di kamar sendirian demi menem

  • TERGODA AYAH SAHABATKU   TAS 83

    Sam membawaku berkeliling di taman rumah sakit yang cukup luas. Sore jelang senja itu, aku menghirup udara segar dengan puas. Rasanya dadaku begitu ringan terlebih aku melewati waktu ini bersama dengan orang yang begitu penting bagiku. Cahaya matahari yang keemaasan membentuk siluet-silut panjang dari tiap pohon bunga yang bermekaran. Sam mendorong kursi rodaku sambil bercerita tentang suasana kantor, kesibukan rapat dan jadwal peserta magang lain. "Aku minta maaf karena tertinggal," ujarku pelan. Sam tersenyum kecil. "Tak masalah. Kau hanya perlu bersiap menerima tugas tambahan setelah keluar dari sini." Aku mendongak cepat. "Itu ancaman?" Dia terkekeh, suaranya hangat. "Kalau begitu, kita ubah jadi... tugas pengganti." Aku bergeleng pelan. "Aku harusnya diberi kompensasi, bukan tugas." Segera kuacungkan jam tangan yang sejak tadi kugenggam. “Ini milikmu, kan?” Alis Sam terangkat dan meraih benda itu dariku. “Ah, iya! Aku buru-buru pergi dan lupa kalau ini tertinggal." “Hm.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status