LOGINMalam ini rumah sakit terasa sangat sunyi, hanya sesekali suara roda troli perawat melintas di lorong. Aku duduk di sofa kecil yang sejak sore menjadi tempatku beristirahat, selimut tipis masih menutupi lutut. Semua tampak baik-baik saja sebelum rasa kantuk yang tak tertahankan membuatku terlelap.
Namun, suara lirih itu membangunkanku. Suara yang memecah hening. Samar, tapi jelas memanggil. Aku langsung tersentak, melirik ke arah ranjang pasien. Sam menggeliat gelisah. Keringat dingin membasahi pelipisnya, napasnya berat, dan rintihannya membuat bulu kudukku meremang. “Jangan pergi…” gumamnya berulang kali, suaranya pecah dan serak. “Paman?” Aku cepat bangkit, menghampirinya dengan jantung berdegup kencang. Jemariku menyentuh lengannya. Panas, sangat panas. Dia pasti demam. Panik langsung merayap ke dadaku. Aku menekan tombol darurat sambil terus memeriksa kondisinya. “Paman, kau dengar aku? Buka matamu, katakan sesuatu,” ucapku pelan, meski tahu mungkin dia tak benar-benar sadar. Tak lama kemudian, dokter jaga datang bersama dua perawat. "Kapan dia mulai begini?" Aku menggeleng panjang, menelan ludah menahan gugup. “Aku… aku sempat tertidur. Saat bangun, dia sudah seperti ini,” suaraku bergetar. Mereka bergerak cepat, memeriksa suhu tubuh, tekanan darah, hingga kondisi infusnya. Sepuluh menit itu sungguh membuatku sulit bernapas. “Ini reaksi normal dari lukanya,” jelas dokter setelah memastikan tidak ada komplikasi lain. “Jangan khawatir, hanya perlu dipantau. Kalau ada tanda-tanda aneh lagi, segera lapor.” Kuanggukkan kepalaku yang terasa berat. Perawat memberi obat melalui infus dan mengedukasiku sebelum pergi. Aku menarik napas panjang. Kali ini aku tidak berani kembali ke sofa. Kutarik kursi kecil ke dekat ranjang, memperbaiki selimutnya dengan tangan gemetar. Perlahan, napasnya mulai teratur kembali. Rintihannya berhenti. Demamnya masih terasa, tapi setidaknya wajahnya tak lagi sekusut tadi. Aku duduk diam menatapnya dengan pikiran berkecamuk. Siapa sangka pria setangguh Sam Arsen, yang biasanya tegar di hadapan banyak orang, kini terbaring seperti ini. Sendirian. Tanpa istrinya, tanpa putranya. Hanya aku. Orang luar yang tak seharusnya ada di sini, tapi memilih untuk tetap tinggal. Pikiranku melayang pada Cindy Arsen. Seharusnya, wanita itu yang duduk di kursi ini, bukan aku. Tapi dia justru memilih abai, bahkan sempat menantangku mengurus suaminya. Dadaku kembali bergemuruh mengingat sikapnya yang menyebalkan itu. Kupandangi wajah Sam lekat-lekat. Meski pucat, garis wajahnya tetap tampan dan memancarkan kharisma yang berbeda. Rasanya tidak adil pria sebaik ini dibiarkan menderita tanpa perhatian dan cinta yang seharusnya dia dapatkan. Tanpa sadar, jemariku terulur. Menyentuh pipinya perlahan, mengusap keringat yang masih tersisa. “Kau pasti sangat menderita…” bisikku sendu. Sebelum logika sempat menarikku kembali, tubuhku sudah condong mendekat. Bibirku mengecup pelan bibir pucatnya. Sekejap. Momen yang membuat jantungku hampir melompat keluar. Aku tahu itu salah. Sangat salah. Tapi aku tidak bisa menahan diri. Sam tetap diam. Tak ada reaksi. Itu membuatku lebih berani. Aku melakukannya lagi. Kali ini lebih lama. Bibirku menempel lembut, lebih meresapi kehangatan samar yang muncul dan siap menenggelamkan. Jantungku berdentum keras. Ruangan tetap sunyi. Tapi dunia di dalam dadaku baru saja bergetar hebat. Di tengah ciuman yang kucuri-curi itu, seluruh tubuhku menegang ketika merasakan jemarinya bergerak. Seketika mataku membulat lebar, jantungku seolah berhenti berdetak saat genggaman tangan Sam tiba-tiba menguat, membelit jemariku erat. Napasku ikut tercekat. Dia… terbangun? Aku refleks menarik wajah menjauh. Pikiran panik menyerbu. Apa yang harus kukatakan jika dia membuka mata sekarang? Bagaimana aku menjelaskan tindakanku yang begitu lancang, mencuri ciuman saat dia sedang tak berdaya? Rasa bersalah langsung membanjiri dadaku. Namun, beberapa detik berlalu tanpa ada reaksi berarti. Mata Sam tetap terpejam rapat, napasnya kembali teratur, seolah-olah tak terjadi apa pun. Hanya genggaman tangannya yang tetap menguat, tak melepaskanku sedikit pun. Jemarinya seakan bicara dalam diam, memohon agar aku tetap berada di sisinya, tidak pergi lagi. Aku menatap wajahnya yang pucat dengan perasaan bergejolak. Antara lega, bersalah, dan entah apa lagi. Genggaman itu terasa hangat, begitu manusiawi di tengah dinginnya ruangan itu. Tanpa sadar, aku justru mengeratkan balasan genggaman itu. "Aku di sini," bisikku hampir tanpa suara, takut mengusik ketenangannya yang rapuh. ** Pagi ini, aroma makanan hangat menyeruak begitu ibu muncul di depan pintu ruang rawat. Tangannya sibuk menenteng kantong besar berisi makanan, beberapa camilan dan barang-barang pribadiku. Aku menyambutnya dengan mata berbinar dan berlari keluar. “Kau sendirian menjaganya di sini?” tanya ibu begitu matanya selesai menyapu seisi ruangan, lalu beralih padaku yang duduk di kursi tunggu koridor. Memeriksa kantong yang dia bawa. "Ibu tidak membawakanku perlengkapan mandi?" tanyaku terkejut mengaduk isi kantong. "Kau gila? Untuk apa kau mandi di kamar pasien? Dia itu bukan ayahmu!" Ibu melotot padaku dengan ekspresi aneh. "Pulang ke rumah kalau ingin mandi dan berganti pakaian." Aku mendengkus kesal. Tapi tak bisa membantah. Tanganku beralih membuka wadah bubur. "Kenapa Irish tidak menemanimu?" Nada heran ibu membuatku refleks menggeleng cepat. “Aku dilarang memberitahunya. Kubilang padanya aku sibuk sepekan ini membantu ibu. Kalau sampai dia tahu, Sean juga bisa tahu,” jelasku sambil menyuap bubur yang masih mengepul. Perutku sejak tadi protes, jadi aku makan dengan lahap meski buru-buru. Ibu menghela napas berat, duduk di kursi sebelahku dengan wajah cemas. “Betul juga, Sean pasti akan sangat khawatir,” gumamnya pelan, seperti menimbang sesuatu. Aku hanya mengangguk sambil terus mengunyah. Di sela suapan, aku mendengar pertanyaannya lagi. “Tapi… di mana ibu Sean? Bukannya dia dokter?” Pertanyaan itu membuatku hampir tersedak. Aku buru-buru meraih botol air minum, meneguknya dalam-dalam untuk meredakan sensasi terbakar di tenggorokan. Emosiku langsung tersulut mendengar wanita itu disebut. “Dia sibuk dengan pasiennya yang lain,” jawabku dengan nada yang lebih ketus dari yang kuinginkan. “Dia tak pernah punya waktu untuk anaknya… apalagi suaminya.” "Bagaimana kau tahu?" Ibu menatapku tajam, seperti tak percaya pada kata-kataku. Pandangannya seolah menyelidik, menuduhku membesar-besarkan masalah. Aku berpaling, enggan memperpanjang pembahasan. “Putra mereka sungguh beruntung punya sahabat yang seperhatian dirimu,” ucap ibu akhirnya, suaranya mulai melunak. “Ya, sudah. Aku mau menyapa Tuan Arsen dulu sebelum pergi.” Refleks aku berdiri, menghentikan langkahnya. “Jangan, Bu. Dia masih tidur,” cegahku cepat, hampir terdengar seperti permohonan. “Beberapa jam lalu dia demam, akan kusampaikan kalau ibu datang menjenguknya.” Ibu berdecak kecewa, tapi tak membantah. Dia merapikan tas di bahunya lalu menepuk pundakku pelan. “Berhati-hati di sini, jaga kesehatanmu juga. Jangan sampai kau ikut tumbang.” Aku hanya mengangguk, menatap punggungnya yang perlahan menjauh di lorong rumah sakit yang mulai ramai. Dalam hati, aku tahu tugasku di sini belum selesai dan kebohongan kecilku baru saja dimulai. Begitu masuk ke ruang perawatan, Sam sudah terbangun. Wajah tampannya terkejut melihatku muncul tiba-tiba saat dia berjuang turun dari tempat tidur. "Biar kubantu," seruku bergegas menghampiri setelah meletakkan semua barang. Saat tanganku meraih lengannya, kurasakan tatapan Sam menghujam padaku. Aku meliriknya perlahan. Benar, dia menatapku. Sangat lekat. Entah apa arti tatapan itu. Tapi pikiranku langsung tertuju pada kecupan semalam. Wajahku jadi menghangat. Apa dia menyadarinya? Apa dia akan membahasnya? **Sam tidak ada di sana.Yang duduk di sofa dengan tangan bersedekap justru Cindy.Senyum sinis langsung terbit di wajahnya saat melihat keterkejutanku. Seolah momen ini telah dia tebak akan terjadi.“Silakan masuk,” katanya santai. “Atau kau mau berpura-pura salah ruangan?”Aku terpaku, baru menyadari kecerobohanku. Seharusnya aku bertanya pada Sarah siapa yang memanggilku. Namun keyakinanku tadi terlalu bulat, terlalu bodoh. Sekarang pintu telah tertutup di belakangku, sedangkan Cindy memberi isyarat singkat ke arah sofa di seberangnya agar aku duduk.Aku menghempaskan napas. Memilih tetap berdiri.“Ada apa?” tanyaku akhirnya, berusaha menjaga wajah tetap datar.“Duduk,” perintahnya dengan suara tegas. “Aku tidak punya banyak waktu.”Ingin membantah, namun kulihat Sarah mengamati kami dari seberang ruangan. Dia tampak sama penasarannya denganku. Dia pasti cemas karena tahu aku dan Cindy tidak akur. Sementara Sam sedang tidak ada di sini.Aku menarik napas dalam sebelum menurut. Ruanga
“Apa katamu?” suaranya bergetar oleh amarah. “Berani sekali kau mengajariku menjadi ibu! Bocah sepertimu?!”Aku menatapnya lurus, jantungku berdebar keras tapi kakiku tak goyah. “Terserah Anda menangkapnya seperti apa. Tapi memang, sejauh yang terlihat... Sean tidak pernah menjadi prioritas.”Wajah Cindy memerah. “Gadis tak tahu diri!” bentaknya. “Kau pikir siapa dirimu sampai berani bicara seperti itu padaku?”Aku tidak menjawab. Tidak ada gunanya. Aku memilih melangkah masuk ke dalam rumah dan menutup pintu secepat yang kubisa.Brak!Suara gedoran langsung menghantam dari luar.“Keluar, Audrey!” teriak Cindy sambil menggedor pintu berkali-kali. “Jangan sembunyi! Dasar gadis tidak tahu malu! Kau perusak keluarga orang!”Aku menahan pintu dengan sekuat tenaga, kedua lenganku menempel pada kayu yang bergetar tiap kali dia menghantamnya.Kugigit bibirku mendengar makian Cindy. Dia mengataiku perusak keluarga bahkan sebelum tahu aku ada main dengan suaminya. Bagaimana jika nanti dia suda
"Akhirnya kau muncul juga."Suara itu membuatku langsung menahan napas. Semakin meyakinkan aku kalau dia pasti sedang merencanakan sesuatu. Entah apa, tapi ini pasti cukup mendesak karena wanita sepertinya rela mendatangi dan menungguku.Irish menyapa Cindy lebih dulu. Sikapnya sopannya sangat kaku dengan jejak segan yang jelas tak bisa dia sembunyikan.“Selamat malam, Tante Cindy,” ucapnya hati-hati.Aku bisa menebak apa yang melintas di kepalanya. Ingatan terakhir mereka jelas bukan kenangan manis. Tapi hari ketika Cindy memarahinya habis-habisan karena Sean menghilang setelah acara fashion show itu.Irish berdiri di sana sekarang bukan sebagai kenalan, tapi seperti terdakwa yang kebetulan kembali ke ruang sidang. Suasananya jadi sangat canggung.“Ada perlu apa tante sampai datang ke sini?” lanjut Irish, berusaha terdengar biasa. Meski sorot matanya terlalu waspada untuk disebut santai. “Apa ini ada hubungannya dengan Sean?”Cindy menoleh sekilas padanya. Hanya sekilas. Tatapan sing
Kepala Sam menunduk hingga dahinya menyentuh rambutku. Suara beratnya bergetar halus. “Aku sungguh takut kau akan terluka lebih dalam jika tetap di sisiku.”Aku mendongak, memaksa mataku bertemu dengannya. “Aku sudah terluka, Sam. Bukan oleh hal yang kau takuti, tapi karena kau menjauh.”Aku melihat air mukanya yang mengeruh setelah mendengar kata-kataku. Cara bahunya jatuh dan cara matanya memerah kini jelas berarti penyesalan.Saat ini dia tidak sedang menjadi ayah, suami, atau pria yang bertanggung jawab atas segalanya. Dia hanya pria yang takut kehilangan perempuan yang dia cintai. Dan itu membuatku sangat bersyukur. “Aku bisa menunggu,” kataku mantap. “Kita bisa berhati-hati. Kita bisa menyembunyikan ini sampai waktunya tepat. Aku tidak akan lagi memaksamu memilih.”Tanganku naik ke tengkuknya, ibu jariku menyentuh kulitnya yang hangat. Gerakan kecil, intim, penuh keputusan.“Tapi satu hal,” lanjutku, menatapnya tanpa berkedip. “Kau tidak boleh mengabaikanku lagi.”Sam menahan
Apa yang terjadi? Kenapa dia malah menahan kepergianku dengan pelukan ini? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar liar di kepalaku, saling bertabrakan tanpa jawaban. Tubuh Sam masih menempel di punggungku, lengannya melingkar kuat. Tak membiarkan aku melarikan diri. Hangat tubuhnya menyusup melalui kain tipis kemejaku, kontras dengan dinginnya keputusan yang baru saja kuambil beberapa detik lalu. Aku kaku. Tidak membalas. Tidak mendorong. Aku hanya berdiri, membiarkan pelukan itu terjadi, sementara pikiranku terbelah antara ingin menyerah dan ingin memberontak. Entah dia menyesal. Entah dia kehabisan daya tahan. Atau ini hanya bentuk perpisahan yang paling pengecut. Aku tidak tahu. Kepala Sam terkulai di bahuku. Lalu suaranya muncul, penuh beban. “Maafkan aku… aku benci diriku sendiri karena meskipun ini salah, aku tetap tidak bisa membiarkanmu pergi.” Kalimat itu membuat dadaku berdenyut sakit. Ini jelas bukan kalimat romantis, melainkan kejujuran yang datang terlambat. Aku
“Kau mau ke mana?” Suara berat pria itu menyadarkanku dari kebingungan panjang yang sejak tadi berputar di kepalaku. “Aku… aku mau pulang,” gumamku masih dalam keadaan tercekat. Kalimat itu keluar lebih lemah dari yang kuinginkan, tapi kakiku sudah bergerak. Naluri segera mengambil alih tubuhku sebelum perasaanku sempat menahan. Ketika tanganku baru saja menyentuh gagang pintu, Sam menahan. “Tunggu sampai pengarmu hilang. Aku sudah memesan sarapan.” Aku terhenti. Bukan karena perintahnya, melainkan karena nada suaranya. Tenang, terkendali, seperti dulu. Selayaknya suara yang selalu membuatku merasa aman tanpa perlu bertanya apa pun. Dadaku jadi bergetar tak karuan dan aku sangat benci kenyataan ini. Aku beralih menatapnya dengan linglung. Kata-kata sederhana darinya masih memiliki efek yang sanggup menekan tepat di bagian diriku yang paling rapuh. Aku terdiam dengan jari meremas gagang pintu. Sedangkan Sam masih menatapku dengan sorot yang sama. Itu membuatku jadi ki







