LOGIN"Kau dari mana? Kupikir kau pulang," gumamnya penuh selidik.
Aku menghela napas pelan. Sangat lega dia tak menyinggung soal semalam. Mungkin dia memang benar-benar tak sadar. "Tadi ibuku datang menjenguk, kami mengobrol di luar," jelasku. Tak mau dia berpikir aku meninggalkannya. Meski dari raut wajahnya, dia justru terlihat ingin aku tak kembali. Dia kembali bergerak dengan tertatih. Berusaha menegakkan tubuh. Aku dengan sigap menopang tubuhnya. “Mau kuambilkan kursi roda?” tanyaku cepat, mencoba menawarkan sesuatu yang kupikir perlu. Sam mengernyit ringan, lalu tertawa hambar. “Tidak. Aku masih bisa melakukannya sendiri. Kau juga tak perlu menemaniku.” “Aku tidak keberatan, sungguh,” kataku lagi, sedikit mencondongkan tubuh seolah memastikan tawaranku tulus. Dia menghela napas, kali ini lebih panjang. “Bukan masalah keberatan atau tidak. Aku hanya tidak ingin merepotkanmu dengan hal semacam itu.” "Paman," seruku dengan nada lebih tinggi. "Beberapa jam lalu kau demam tinggi, kondisimu jelas belum pulih. Kau butuh bantuan!" Belum sempat dia menjawab, pintu kamar terbuka. Seorang perawat masuk dengan membawa catatan di tangannya, matanya langsung menyapu kami dengan tatapan menyelidik. “Kau masih di sini?” tanyanya kepadaku, nadanya agak datar. “Ya,” jawabku singkat. Tatapannya pindah ke Sam, lalu kembali padaku. Ada seulas senyum yang tidak bisa kutebak maksudnya. “Kalau begitu, semoga cepat pulang. Pasien butuh istirahat.” Aku mematung, nada itu terdengar seolah dia ingin memastikan aku tidak di sini terlalu lama. Begitu perawat pergi, Sam kembali menatapku. “Kau dengar sendiri, kan? Pulanglah. Kau sudah melakukan lebih dari cukup.” Aku menggeleng cepat. “Tidak, aku sudah terlanjur membawa barang-barangku ke sini," tunjukku ke arah kantong di atas meja. Sam mendesah. Seperti biasa, dia lebih memilih menyerah dan berjalan pelan ke kamar mandi. Aku berkacak pinggang dengan wajah kesal. Sorenya, aku kembali menawarkan bantuan. "Paman butuh sesuatu? Katakan sebelum aku pergi." Wajah Sam spontan terangkat menatapku. "Kau mau pulang?" Ada raut terkejut di sana. Yang anehnya membuatku merasa senang. Seakan dia takut aku pergi. "Hanya pulang berganti pakaian. Aku tidak akan lama." Dia terdiam sejenak lalu mengangguk. "Pergilah, aku bisa mengurus diriku sendiri.” Baru selesai mengucapkan itu, ponselnya di atas meja berdering. Kami meliriknya bersamaan. Aku tersenyum penuh kemenangan karena posisi ponsel itu berada di sisi tangannya yang dibebat. Kulihat Sam berusaha bergerak memutar badan sambil menahan nyeri. Tapi aku bergerak lebih cepat meraihnya. Benda itu kuserahkan pada Sam lengkap dengan ekspresi yang seolah berkata, "lihat, aku berguna, kan?" Sam menerima ponselnya dari tanganku tanpa bicara. Namun aku bisa melihat gurat senyum samar di bibirnya. Dengan sopan aku menjauh, membiarkannya bicara tanpa terganggu. Samar-samar kudengar dia membicarakan tawaran menangani proyek di luar negeri. Hatiku mendadak gamang. Tiba-tiba takut ditinggalkan. Ini konyol. Aku bahkan tidak sekhawatir ini melepas Sean. "Jernihkan pikiranmu, Audrey!" bentakku pada diri sendiri. Lekas kuraih tasku lalu melesat keluar. Sejam kemudian aku kembali dengan langkah ringan, membawa sekantong buah yang kupilih dengan hati-hati di toko sebelah rumah sakit. Aku bahkan sempat membayangkan ekspresi Sam yang mungkin pura-pura datar namun diam-diam senang menerimanya. Namun begitu pintu kamar itu kudorong, senyum yang sudah terbit di wajahku langsung runtuh seketika. Kamar itu… kosong. Ranjang itu kini hanya menyisakan lipatan sprei yang rapi. Aku terdiam beberapa detik, seolah otakku menolak mencerna pemandangan yang ada di depan mata. Dengan langkah gugup aku keluar, mencari siapa pun yang bisa kutanyai. Seorang perawat lewat, dan buru-buru kutahan. “Permisi, pasien yang di kamar tadi… ke mana, ya?” tanyaku terbata. “Oh, keluarga Arsen sudah datang. Mereka membawa Tuan Sam pulang. Dokter sudah memberi izin, perawatannya akan dilanjutkan di rumah,” jawabnya santai, seolah berita itu bukan apa-apa. Aku termangu. Jantungku seperti dijatuhkan dari ketinggian. Hanya satu jam aku pergi dan dalam satu jam itu segalanya berubah. Tidak ada pesan, tidak ada pemberitahuan, tidak ada kesempatan sekadar mengucapkan selamat tinggal. Rasanya seperti mimpi buruk yang terlalu nyata. Satu jam itu… mungkin akan menjadi penyesalan terbodoh sepanjang hidupku. ** Waktu berlalu cepat. Siang itu, aku melangkah gontai memasuki sebuah kafe kecil di pusat kota, aroma kopi dan kue hangat langsung menyergap hidungku. Di sudut yang agak sepi, Irish sudah duduk sambil memainkan ponselnya. Begitu melihatku, ia melambaikan tangan lebar-lebar. "Wah, selamat datang, Nona Arsitek! Sekarang kau sibuk sekali sampai susah dihubungi," sapanya setengah bercanda, setengah menggerutu. Aku hanya tersenyum lelah dan duduk di sampingnya. "Aku harus mengejar dosenku hanya untuk bisa setor tugas. Itu pun belum tentu diliriknya." Irish menggeleng dramatis. "Kedengaran berat sekali. Siapa sangka kau dan Sean malah masuk jurusan yang sama. Aku curiga kalian sudah merencanakan ini di belakangku." Aku terkekeh ringan, mencoba menutupi sesuatu yang hanya aku sendiri yang tahu. "Rencana apanya? Kebetulan saja aku lolos di jurusan itu," kilahku santai. Padahal keputusan itu sama sekali bukan kebetulan. Tiga tahun lalu, aku memilih jurusan itu dengan satu harapan sederhana. Yakni, bisa bertemu lagi dengan seseorang yang hingga kini bayangnya masih menempel di pikiranku. Sam Arsen. Sejak kecelakaan itu, sejak dia menghilang begitu saja dari rumah sakit, kami tak pernah lagi bertemu. Sean hanya pernah bilang di grup chat kami, ayahnya menerima tawaran proyek di luar negeri. Dan setelah itu, tak ada kabar. Padahal awalnya aku memilih jurusan ini dengan satu alasan konyol. Aku berharap suatu hari bisa melihatnya berdiri di depan seminar kampus, atau sekadar menatap punggungnya di pameran arsitektur. Tapi sampai sekarang? Nihil. Seolah keputusanku yang nekat ini hanya jadi lelucon tak berguna. “Tahun ini aku harap Sean benar-benar pulang untuk reuni. Cukuplah tahun-tahun kemarin dia batal pulang karena sibuk,” ucap Irish sambil menggulir layar ponselnya. “Kudengar, ayahnya juga akan pulang setelah proyeknya selesai.” Aku hanya mengangguk, lemah. Aku sudah berhenti berharap banyak. Mungkin rasa itu tak sepenuhnya padam, tapi kini hanya jadi bara kecil yang kubiarkan meredup perlahan. Malam-malamku kadang masih ditemani bayangannya, namun aku mulai berdamai. Belajar menerima kenyataan bahwa kekaguman itu hanya sepihak dan mungkin selamanya akan tetap begitu. “Audrey.” Suara Irish membuatku tersentak dari lamunan. “Penampilanmu banyak berubah, kupikir masuk jurusan arsitektur akan membuatmu makin tomboy,” godanya, cekikikan. Aku tersenyum tipis. Sedikit getir. Dia pasti tertawa keras jika tahu, aku mengubah gaya rambut, cara berpakaian, bahkan caraku berjalan karena seseorang yang kini entah di mana. Dan lucunya, aku mulai merasa seperti orang bodoh. Ponselku bergetar di meja, notifikasi pesan masuk dari ketua tingkat. Refleks aku bangkit dari kursi, membuat Irish menatapku heran. "Kau mau ke mana lagi?" tanyanya dengan nada separuh protes. "Dosenku ada di sekitar sini. Aku harus menemuinya sebelum dia pergi lagi," jawabku terburu-buru sambil meraih tas. "Hei! Kau bahkan belum memesan makanan," seru Irish, wajahnya berkerut cemberut. "Maaf, kalau masih sempat aku akan balik lagi," kataku sekilas, sebelum benar-benar melesat keluar. Aku tahu ekspresi manyunnya pasti belum hilang di belakang sana. Bukan pertama kalinya aku meninggalkannya begitu saja demi urusan kampus. Dia sudah mulai kebal, tapi tetap saja selalu menggerutu. Tak terima aku lebih sibuk dari dirinya. Langkahku berpacu menaiki tangga melingkar yang berderit halus di museum tua itu. Sebuah bangunan bersejarah yang kabarnya akan segera direnovasi. Udara lembap bercampur aroma kayu tua memenuhi paru-paruku. Entah apa yang dosenku lakukan di tempat seperti ini. Yang jelas, aku sangat membutuhkan nilainya. Aku tidak boleh lagi mendapat B di semester ini. “Itu dia. Aku tidak akan melepasnya kali ini,” gumamku, mempercepat langkah menuju pria berkacamata yang sedang asyik menelepon di dekat jendela besar yang kusam. Aku berhenti tepat di belakangnya, menunggu dengan sabar sampai dia selesai. Saat dia berbalik, sorot matanya memindai wajahku dengan raut heran. “Sedang apa kau di sini?” tanyanya datar. Aku segera menyodorkan laporan tebal yang sudah berkali-kali kurevisi hingga larut malam. “Ini, Pak… tugas saya. Maaf kalau saya sampai mengikuti Anda ke sini. Di kampus Anda hampir tidak pernah terlihat.” Dosen itu mendengus pelan, seperti menahan komentar pedas yang sudah nyaris keluar dari bibirnya. Reputasinya sebagai dosen killer di kalangan mahasiswa senior memang tidak berlebihan. Namun sebelum dia sempat mengucap satu kata lagi, langkah-langkah lain terdengar mendekat. “Oh, Tuan Arsen!” seru seorang staf museum menyambut tamu baru yang muncul di balik pilar. Deg! Tubuhku refleks menegang. Nama itu… masih begitu melekat di ingatanku. Hanya disebut saja sudah membuat napasku tercekat. Nama yang selama ini hanya ada dalam potongan kenangan yang tak pernah tuntas kupahami. Aku ikut menoleh, mataku langsung menangkap sosok pria berkemeja biru dengan kacamata hitam, dikelilingi beberapa orang. Untuk sesaat, rasanya seperti melihat Sam Arsen sungguhan. Pria itu berhenti di depan kami, menurunkan kacamatanya perlahan. Aku tertegun. Bahkan di siang terik seperti ini pun aku masih bermimpi seolah benar-benar bertemu Sam? Tatapan mata pria itu menancap dalam ke arahku. Lalu, seolah waktu berhenti, dia berseru pelan, “Audrey?” Darahku berdesir. Dia memanggil namaku? **Sam tidak ada di sana.Yang duduk di sofa dengan tangan bersedekap justru Cindy.Senyum sinis langsung terbit di wajahnya saat melihat keterkejutanku. Seolah momen ini telah dia tebak akan terjadi.“Silakan masuk,” katanya santai. “Atau kau mau berpura-pura salah ruangan?”Aku terpaku, baru menyadari kecerobohanku. Seharusnya aku bertanya pada Sarah siapa yang memanggilku. Namun keyakinanku tadi terlalu bulat, terlalu bodoh. Sekarang pintu telah tertutup di belakangku, sedangkan Cindy memberi isyarat singkat ke arah sofa di seberangnya agar aku duduk.Aku menghempaskan napas. Memilih tetap berdiri.“Ada apa?” tanyaku akhirnya, berusaha menjaga wajah tetap datar.“Duduk,” perintahnya dengan suara tegas. “Aku tidak punya banyak waktu.”Ingin membantah, namun kulihat Sarah mengamati kami dari seberang ruangan. Dia tampak sama penasarannya denganku. Dia pasti cemas karena tahu aku dan Cindy tidak akur. Sementara Sam sedang tidak ada di sini.Aku menarik napas dalam sebelum menurut. Ruanga
“Apa katamu?” suaranya bergetar oleh amarah. “Berani sekali kau mengajariku menjadi ibu! Bocah sepertimu?!”Aku menatapnya lurus, jantungku berdebar keras tapi kakiku tak goyah. “Terserah Anda menangkapnya seperti apa. Tapi memang, sejauh yang terlihat... Sean tidak pernah menjadi prioritas.”Wajah Cindy memerah. “Gadis tak tahu diri!” bentaknya. “Kau pikir siapa dirimu sampai berani bicara seperti itu padaku?”Aku tidak menjawab. Tidak ada gunanya. Aku memilih melangkah masuk ke dalam rumah dan menutup pintu secepat yang kubisa.Brak!Suara gedoran langsung menghantam dari luar.“Keluar, Audrey!” teriak Cindy sambil menggedor pintu berkali-kali. “Jangan sembunyi! Dasar gadis tidak tahu malu! Kau perusak keluarga orang!”Aku menahan pintu dengan sekuat tenaga, kedua lenganku menempel pada kayu yang bergetar tiap kali dia menghantamnya.Kugigit bibirku mendengar makian Cindy. Dia mengataiku perusak keluarga bahkan sebelum tahu aku ada main dengan suaminya. Bagaimana jika nanti dia suda
"Akhirnya kau muncul juga."Suara itu membuatku langsung menahan napas. Semakin meyakinkan aku kalau dia pasti sedang merencanakan sesuatu. Entah apa, tapi ini pasti cukup mendesak karena wanita sepertinya rela mendatangi dan menungguku.Irish menyapa Cindy lebih dulu. Sikapnya sopannya sangat kaku dengan jejak segan yang jelas tak bisa dia sembunyikan.“Selamat malam, Tante Cindy,” ucapnya hati-hati.Aku bisa menebak apa yang melintas di kepalanya. Ingatan terakhir mereka jelas bukan kenangan manis. Tapi hari ketika Cindy memarahinya habis-habisan karena Sean menghilang setelah acara fashion show itu.Irish berdiri di sana sekarang bukan sebagai kenalan, tapi seperti terdakwa yang kebetulan kembali ke ruang sidang. Suasananya jadi sangat canggung.“Ada perlu apa tante sampai datang ke sini?” lanjut Irish, berusaha terdengar biasa. Meski sorot matanya terlalu waspada untuk disebut santai. “Apa ini ada hubungannya dengan Sean?”Cindy menoleh sekilas padanya. Hanya sekilas. Tatapan sing
Kepala Sam menunduk hingga dahinya menyentuh rambutku. Suara beratnya bergetar halus. “Aku sungguh takut kau akan terluka lebih dalam jika tetap di sisiku.”Aku mendongak, memaksa mataku bertemu dengannya. “Aku sudah terluka, Sam. Bukan oleh hal yang kau takuti, tapi karena kau menjauh.”Aku melihat air mukanya yang mengeruh setelah mendengar kata-kataku. Cara bahunya jatuh dan cara matanya memerah kini jelas berarti penyesalan.Saat ini dia tidak sedang menjadi ayah, suami, atau pria yang bertanggung jawab atas segalanya. Dia hanya pria yang takut kehilangan perempuan yang dia cintai. Dan itu membuatku sangat bersyukur. “Aku bisa menunggu,” kataku mantap. “Kita bisa berhati-hati. Kita bisa menyembunyikan ini sampai waktunya tepat. Aku tidak akan lagi memaksamu memilih.”Tanganku naik ke tengkuknya, ibu jariku menyentuh kulitnya yang hangat. Gerakan kecil, intim, penuh keputusan.“Tapi satu hal,” lanjutku, menatapnya tanpa berkedip. “Kau tidak boleh mengabaikanku lagi.”Sam menahan
Apa yang terjadi? Kenapa dia malah menahan kepergianku dengan pelukan ini? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar liar di kepalaku, saling bertabrakan tanpa jawaban. Tubuh Sam masih menempel di punggungku, lengannya melingkar kuat. Tak membiarkan aku melarikan diri. Hangat tubuhnya menyusup melalui kain tipis kemejaku, kontras dengan dinginnya keputusan yang baru saja kuambil beberapa detik lalu. Aku kaku. Tidak membalas. Tidak mendorong. Aku hanya berdiri, membiarkan pelukan itu terjadi, sementara pikiranku terbelah antara ingin menyerah dan ingin memberontak. Entah dia menyesal. Entah dia kehabisan daya tahan. Atau ini hanya bentuk perpisahan yang paling pengecut. Aku tidak tahu. Kepala Sam terkulai di bahuku. Lalu suaranya muncul, penuh beban. “Maafkan aku… aku benci diriku sendiri karena meskipun ini salah, aku tetap tidak bisa membiarkanmu pergi.” Kalimat itu membuat dadaku berdenyut sakit. Ini jelas bukan kalimat romantis, melainkan kejujuran yang datang terlambat. Aku
“Kau mau ke mana?” Suara berat pria itu menyadarkanku dari kebingungan panjang yang sejak tadi berputar di kepalaku. “Aku… aku mau pulang,” gumamku masih dalam keadaan tercekat. Kalimat itu keluar lebih lemah dari yang kuinginkan, tapi kakiku sudah bergerak. Naluri segera mengambil alih tubuhku sebelum perasaanku sempat menahan. Ketika tanganku baru saja menyentuh gagang pintu, Sam menahan. “Tunggu sampai pengarmu hilang. Aku sudah memesan sarapan.” Aku terhenti. Bukan karena perintahnya, melainkan karena nada suaranya. Tenang, terkendali, seperti dulu. Selayaknya suara yang selalu membuatku merasa aman tanpa perlu bertanya apa pun. Dadaku jadi bergetar tak karuan dan aku sangat benci kenyataan ini. Aku beralih menatapnya dengan linglung. Kata-kata sederhana darinya masih memiliki efek yang sanggup menekan tepat di bagian diriku yang paling rapuh. Aku terdiam dengan jari meremas gagang pintu. Sedangkan Sam masih menatapku dengan sorot yang sama. Itu membuatku jadi ki







