Share

Satu sama

Penulis: Rafasya
last update Terakhir Diperbarui: 2023-12-25 21:58:33

"Mbak, Mbak Winda!" Firman menjentikkan jari di depan mataku. Aku langsung tersentak, tersadar dari lamunan.

"Em, a—apa?" ucapku gugup.

"Aku tanya, Kak Hendra sering berbuat kasar seperti ini? Eh mbak malah melamun." tanya nya. Menatap wajahku.

Jadi yang barusan kami lakukan itu hanya hayalanku? Ah, aku langsung menyentuh bibirku. Benar, kering.

"Mbak kenapa? Bi bir nya masih sakit?"

"Bukankah kita tadi—" ucapannku terjeda, aku tak jadi melanjutkannya.

"Tadi apa Mbak, wah jangan-jangan Mbak mikir yang enggak-enggak ya." Firman mengejekku.

Aku langsung menggeleng. "Tidak, Mbak gak mikir yang aneh-aneh kok."

"Terus itu kenapa, kok megangin bibir aja, apa Mbak Winda mau Firman ci um, biar cepat sembuh?!"

Seketika mataku langsung membulat mendengar penawarannya. Aku langsung mencubit pinggang Firman. "Kamu ya!"

"Aw, sakit Mbak. Ampun Mbak!" Firman mengg3linjang sambil terkekeh. Aku ikut tertawa bersamanya.

Kemudian napas kami terengah, tawa kami pun terhenti.

"Nah, kalo ketawa gini kan Mbak Winda keliatan cantik." ujar Firman menatapku lekat.

Pipiku tiba-tiba saja terasa memanas, aku tersipu.

Aku bangun dari ranjang, berniat pergi dari sana. "Sudahlah, Mbak mau masak dulu."

"Biar Firman bantu ya Mbak." pinta Firman, mengiringi langkahku.

"Tidak perlu, kamu istirahat saja, ini kan hari libur." tolakku.

"Tidak apa-apa, Mbak. Firman janji gak bakal merepotkan Mbak."

Langkahku terhenti, kemudian melirik ke arahnya. "Benar ya?"

"Iya," Firman mengangguk, kemudian tersenyumlah manis.

***

Kami mulai memasak bersama di dapur, aku menjadi sedikit risih dengan kehadiran Firman. Aku mengupas bawang sambil terus memperhatikan Firman yang sedang sibuk memotong bahan masak dengan cekatan. Aku tertegun, Firman bisa melakukan semua itu padahal itu pekerjaan perempuan.

"Kenapa Mbak? Kaget ya, ngeliat aku bisa melakukan semua ini?"

Aku sedikit malu, ternyata Firman menyadari rasa penasaranku terhadapnya.

"Aku kan dulu merantau, Mbak. Jadi melakukan semua ini sendiri. Awalnya aku juga nggak bisa, tapi lama-lama jadi terbiasa."

"Ma-maaf Mbak tidak tau banyak hal tentang kamu."

"Gimana mau tau, semenjak Mbak menikah dengan Kak Hendra, kita kan jarang bertemu. Sekalinya bertemu Mbak Winda selalu menghindar. Jadinya ya, kita gak sempet ngobrol seintim ini."

Aku mengangguk, membenarkan ucapan Firman.

Aku mulai mengambil bahan masakan kemudian membawanya ke arah keran mencucinya.

Firman mendekat ke arahku yang tengah berdiri di wstafel. "Mbak bukan begitu cara mencucinya." tegur Firman padaku.

Aku sedikit tersentak. "Oh benarkah? Aku biasa mencuci dengan menggoyangkan wadahnya." ujarku.

"Jika cara mencucinya seperti itu. Maka kotorannya tidak akan hilang. Itu sama saja tidak higenis. Sini biar aku ajari."

Firman mendekat ke arahku, aku jadi terhimpit karenanya. Tangannya meraih tanganku, kemudian membawanya ke arah keran yang menyala.

"Begini Mbak." ujarnya dengan wajah serius mengajariku.

Dalam posisi begini, bisa kurasakan hembuskan napasnya menyentuh leherku. Aku merasa gugup. Degup jantungku berdebar kencang.

Wajah Firman mendekat hampir menyentuh pipiku. Jantungku semakin jumpalitan saja.

"Mbak..." bisiknya pelan di telingaku. Membuat tu bu h ini berdesir.

"A—apa?" jawabku. Posisi kami masih sama, dengan tangan yang mengaduk-aduk di dalam wadah.

"Mbak Winda wangi banget." tukasnya. Kemudian mengendus tengkukku, membuatku sedikit mendesis.

Aku menggigit bibir bawahku. "Fi—Firman...." lirihku.

Firman tersentak kemudian langsung menjauh. "Ah maaf Mbak. Aku terbawa suasana."

Aku menunduk. "Ah tidak apa-apa." balasku.

"Baiklah, aku akan mengerjakan yang lain saja."

Kami melanjutkan memasak bersama, sesekali Firman membuat kelakar sehingga aku tertawa, melupakan kesedihan yang baru beberapa jam yang lalu akibat perlakuan kakaknya padaku.

Aku menatap punggung Firman yang masih tertawa, pria dewasa yang lemah lembut. Seandainya saja Mas Hendra seperti Firman mungkin aku akan bahagia. Kami menikah karena cinta. Tapi semenjak tak kunjung di karuniai kehadiran seorang anak, sikapnya yang semula manis berubah, apalagi kakak iparku Mbak Santi, terus memprovokasi Mas Hendra agar menceraikanku.

Aku mencicipi masakan yang di buat olehku dan juga Firman. "Hem, rasanya pas. Sangat enak." ujarku.

"Tapi masakan yang di buat oleh Mbak Winda sendiri jauh lebih enak. Aku suka." sahutnya.

Deru langkah kaki yang mendekat membuat aku dan Firman menoleh ke arah sumber suara. Dan kini berdiri seorang lelaki yang beberapa jam yang lalu telah menamparku.

Mas Hendra menatapku dan juga Firman. Aku membuang pandangan ke arah lain. "Kalian sedang apa?"

"Aku sedang membantu Mbak Winda memasak Kak. Kasian dia, sepertinya suasana hatinya kurang membaik. Aku pergi dulu." jawab Firman tersenyum sambil menepuk pundak Mas Hendra.

Kini hanya ada aku dan Mas Hendra di dapur.

"Win, bisa kita bicara sebentar?"

"Bicaralah."

"Jangan disini, ada Firman. Aku tidak enak. Sepertinya dia mendengar pertengkaran kita tadi."

"Lalu dimana?" jawabku tanpa menoleh ke arahnya.

"Di kamar saja. Ayo." Mas Hendra berjalan mendahuluiku.

"Baiklah." kataku. Aku berjalan mengekorinya dari belakang.

Sesampai di dalam kamar mas Hendra langsung bersimpuh di kakiku. Aku sedikit terkejut dengan perubahan sikapnya yang tiba-tiba.

"Win maafkan Aku, aku khilaf. Aku tak sengaja telah menyakitimu. Maafkan aku Win." lirihnya.

"Mas, kau kenapa?"

"Maafkan aku Win. Jangan tinggalkan aku. Aku sangat mencintaimu. Kau benar, aku terlalu mendengarkan ucapan Kak Santi."

Aku menyentuh pundaknya. "Mas, ayo bangun."

Mas Hendra menggeleng. "Aku tidak akan bangun sebelum kau memaafkanku."

"Aku memaafkanmu." kataku tersenyum. Mas Hendra mendongak. Aku menuntunnya untuk berdiri.

"Aku sangat mencintaimu Win." ujarnya kemudian mengecup keningku.

Entahlah Mas Hendra selalu begini setiap kali membuat kesalahan. Dia aka pergi sebentar, setelah itu memohon maaf. Besoknya di ulangi lagi. Aku sedikit lelah menghadapi sikapnya.

***

Pukul 9 malam.

Aku ketiduran sore hari dan baru terbangun. Aku menoleh ke samping. Dan ternyata Mas Hendra sudah terlelap di sampingku.

Aku tidak tau dimana Firman, dia sudah pulang atau belum?

sejak selesai masak siang tadi Firman tak kunjung pulang. Entah dimana dia?

Aku turun dari ranjang saat merasa ingin buang air kecil. Ku segera langkahkan kaki karena sudah tak tahan.

Sesampai disana aku segera mendorong pintunya sebab tak terkunci.

BRAK!

Mataku terbelalak saat melihat Firman yang sedang mandi di dalamnya. Firman pun sama! tak kalah terkejut dariku. Disana dia tengah menggosok gigi dengan keadaan tanpa busana.

Aku hendak berteriak "A—" namun Firman mendekat kemudian membekap mulutku.

Aku tak bisa bersuara, mataku bergerak liar melihat belalai gajah di bawahnya. Firman segera menutup pintu dengan kakinya. Menyelesaikan mandinya. Kemudian mengambil handuk di castok. Dan segera memakainya.

Firman melepaskan tangannya dari mulutku. Aku diam mematung, sampai Firman hendak pergi dari sana. Namun sebelum itu dia berbisik, membuatku diam membisu. "Satu, sama."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • TERGODA IPAR   —SELESAI—

    Hari demi hari, bulan demi bulan berlalu ... Aku dan anak-anak terus mencoba untuk menghibur Winda. Jangan sampai dia sedih dan terus memikirkan Farah. Ternyata, tidak ada usaha yang menghianati hasil. Winda yang tadinya menangisi Farah setiap malam. Kini sedikit berkurang. Hari ini adalah hari jadi pernikahan kami yg ke 6 tahun, tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Aku berencana mengajaknya liburan di bali sekaligus merayakan anniversary kami. Anak-anak sengaja kutitipkan pada Kak Santi selama aku liburan di bali.Kami sampai di resort Bali setelah sebelumnya naik pesawat selama 2 jam. Winda langsung merebahkan diri di kamar hotel. Aku tau dia pasti kelelahan.Setelah memasukan isi koper ke dalam lemari, aku langsung membuka tirai jendela. Terlihat deburan ombak yang sangat kencang di sertai dengan pemandangan yang sangat cantik. Aku sengaja memilih resort yang menghadap langsung dengan laut. Jadi, saat berdiri di jendela seperti yang kulakukan i

  • TERGODA IPAR   Mencoba Ikhlas

    “Bagaimana? Apa ada perkembangan?” itu suara Kak Santi. Aku segera menoleh ke arah nya. Kemudian menggeleng, “Belum, Winda masih belum sadar.” jawabku. Aku menatap ke arah ranjang di mana ada Winda yang tengah berbaring dengan luka perban di kepalanya. Kejadian dua hari yang lalu membuatnya tak berdaya di rumah sakit ini. “Anak-anak bagaimana, mereka sama siapa?” Aku menghela napas sejenak, “Bersama asisten rumah tangga kami.” “Kakak ke rumahmu ya, kasian keponakanku. Dua kali ibu mereka masuk rumah sakit.” Aku mengangguk,“Terima kasih, Kak.” “Ya sudah. Kakak pamit ingin menemui mereka. kamu jangan terus bersedih, doakan saja istrimu cepat pulih.“ “Oh iya, bagaimana dengan pelaku yang menyebabkan Winda begini?” “Aku sudah melaporkannya kepada pihak berwajib, biarkan mereka yang mengurusnya.” Kak Santi tersenyum, “Aku tau, adikku tau apa yang harus di lakukan.”

  • TERGODA IPAR   Tolong, panggilkan ambulans!

    POV Firman Aku baru saja sampai di kantor. Berbarengan dengan aku masuk ke dalam loby, tiba-tiba saja ponselku berbunyi. Aku segera mengangkatnya karena itu berasa dari rumah. Aku sangat takut terjadi sesuatu di rumah. Apalagi itu menyangkut Winda. Kondisi nya masih belum stabil. “Halo, Bibik. Ada apa?” “Halo, Pak. Ibu ... Ibu ....” “Ada apa? Bicara yang jelas?! Winda kenapa?” bertubi-tubi pertanyaan kulontarkan, aku benar-benar merasa khawatir. “Ada apa dengan Winda?” “Tadi Ibu pamit keluar sebentar katanya, dia membawa tas.” Ah, aku meraup wajah kasar. “Sudah kuduga, dia pasti akan berpergian. Harusnya aku tetap di rumah.” Aku menyesal. Kupikir memang benar Winda hanya per

  • TERGODA IPAR   Tas biru

    Pagi hari .... Firman membuka matanya perlahan. Kepala yang semalam terasa berat, kini menghilang perlahan. Meskipun dia demam tinggi semalam, tapi dia ingat semalam Winda mengompres dirinya. Firman pikir Winda percaya pada ucapan seseorang yang mengatakan dirinya adalah penyebab kematian Hendra—kakaknya sendiri. Ternyata wanita itu masih perduli padanya. Firman mengulum senyum. Dia menoleh ke samping. Kosong! Winda tidak ada di sana. Entah semalam istrinya itu tidur di mana dia tidak tau. Sebab, setelah minum obat matanya terasa berat. Dia tertidur dan baru bangun sekarang. Firman menyibak selimut yang menutupi tubuhnya. Dia harus segera pergi ke kantor. Hari ini ada jadwal meeting pagi. Sebagai manager yang disiplin tentu saja Firman tidak ingin telat. Meskipun tubunya masih terasa tidak enak. Namun, semangatnya tidak berkurang sedikitpun. Ada wajah Fira dan Farhan, yang menjadi semangatnya ketika rasa malas itu datang. D

  • TERGODA IPAR   Merasa Khawatir

    Setelah itu Winda mendekat ke arah Firman duduk di sampingnya, dia menatap muka wajah yang tengah terlelap. Wajah yang sangat teduh, tiba-tiba saja jantungnya berdetak kencang saat menatapnya. Winda menyentuh dadanya sendiri. Deg Deg Deg!Benar, jantungnya berdebar-debar. Padahal Firman Tengah tertidur.“Perasaan apa ini? Apakah aku jatuh cinta pada Firman?”“Ah, sudahlah. Jika memang iya, bukankah tidak apa-apa. Toh, dia suamiku.” Winda mengulum senyum.Senyum di wajah Winda pudar saat melihat bibir Firman bergetar.“A—aku tidak melakukan apapun, Win. Tidak ...” gumam Firman dengan mata yang masih terpejam.Winda langsung menyentuh keningnya.“Sshh, panas!”“Ternyata Firman demam, pantas saja dia tidak turun untuk makan malam.”Winda segera bangun dari ranjang. Kemudian keluar dari kamar. Dia mengambil sesuatu kemudian kembali lagi ke dalam kamar. Sambil membawa bak berisi air hangat dan juga

  • TERGODA IPAR   Berdebat

    Firman pulang setengah jam kemudian. Setelah menyelesaikan permasalahannya di kantor. Dia segera memarkirkan mobilnya ke garasi. Sebelumnya, dia sudah mendapatkan kabar dari asisten rumah tangganya bahwa Winda sudah pulang.Dengan tergesa dia segera masuk ke dalam rumah. Terlihat Winda tengah duduk di sofa, dengan tangan bersedekap dada. Pandangannya tajam lurus ke depan.Firman tersenyum kemudian berjalan perlahan ke arah nya.“Sayang kamu dari mana saja,” ujarnya saat sudah dekat. Firman duduk di samping Winda. Jarak di antara mereka hanya satu jengkal saja.Winda melirik tajam ke arah Firman. Pria di sampingnya tanpa aba-aba langsung merangkul pundak nya.“Sejak tadi aku mencarimu. Kamu membuatku khawatir, tapi syukurlah kamu sudah pulang.”“Sayang ...”“Berhenti memanggilku dengan sebutan sayang, Firman!” Winda menepis kasar tangan Firman.“Ka—kamu kenapa?”“Aku sudah tau apa yang telah kamu lakukan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status