Share

bab. 5 : Melepaskan

Pemuda itu menyipit saat melihat seorang pria tua yang tengah berbelanja, dia menurunkan caping yang dipakainya untuk menyembunyikan wajah, lalu perlahan menyingkir dan menjauh.

Pak tua itu keliatan baik-baik saja, dia terlihat begitu tenang seakan tidak terjadi sesuatu, apa rencananya tidak berhasil? Dia menggigit bibir gelisah.

Sebuah anak panah melesat, pria bercaping waspada dan menghindar, lalu berlari menuju tempat sepi.

"Sial. Apa pasukan lembah hitam sudah mengetahui keberadaanku. Baru 3 hari yang lalu aku mengelabui mereka dan sekarang mereka sudah menemukanku. Ck. Merepotkan."

Dia mengeluarkan pedang dari tangannya lalu bersiap sedia dengan serangan yang akan diterimanya.

Pria berkepala botak menebaskan pedangnya, pria muda itu menangkis lalu menendangnya hingga terpental.

Tiga orang maju serentak mengayunkan kapak, dia berkelit, menangkis serangan di tengah dan menendang serangan dari kanannya.

Lalu dia melompat, berlari terbang menendang orang-orang yang berlarian menyerbunya. Sebagian terpental dan terguling, namun kembali bangkit dan mengejarnya.

Pertempuran tak terelakkan, walau pasukan yang mengejarnya tidak memiliki kemampuan yang tinggi, pemuda itu cukup kewalahan meladeni mereka semua.

Terlebih dengan tubuh yang belum pulih akibat pertempuran sebelumnya, beberapa kali dia memegang dadanya yang masih terasa nyeri saat terbentur serangan.

"Sialan. Tenagaku mulai melemah." gumamnya gusar menatap puluhan lelaki dengan pakaian hitam kelam kembali datang menyerangnya.

Sepertinya tidak ada pilihan lain saat ini selain kabur, pemuda itu mengambil sesuatu dari balik bajunya, lalu melemparkan pada pasukan lembah hitam.

Benda itu meledak lalu mengeluarkan asap pekat yang panas.

Mereka kocar kacir, merasakan pedih di mata dan pernafasan mereka. Masing-masing menutup hidung dengan tangan atau pakaian mereka, setelah asap menghilang tubuh pemuda yang mereka kejar pun telah lenyap.

***

Arumi memikirkan hal aneh yang menimpanya, bagaimana dia bisa melihat sesuatu benda yang bahkan tidak bisa di lihat Lien Hua.

Apa ini kekuatannya? Dia tersenyum-senyum sendiri. Tidak rugi juga dia jatuh di Wangliang kalau dia bisa memiliki kekuatan seperti orang-orang di tempat ini.

Dia bisa tahu keberadaan uang simpanan mama atau kartu kreditnya yang di sita mama. Gadis itu tertawa geli membayangkan hal konyol yang akan dia lakukan dengan kemampuannya ini.

Kenapa tidak dari dulu saja dia memiliki mata yang tajam. Tentu dia tidak akan dibodohi Ryan dan terluka seperti ini.

Dia menghela nafas panjang, tiba-tiba dadanya terasa sesak seakan tertimbun bongkahan batu besar. Tanpa sadar air mata menggelinding dari sudut mata lalu mengalir deras.

Bodoh ... untuk apa punya kekuatan ini sekarang. Hanya sia-sia.

Dia merosot terduduk dan bersandar di dinding lalu menekuk kaki, menjatuhkan kepala berbantal lengannya yang saling bertaut.

Ternyata dia tidak sekuat itu. Ternyata dia sangat mencintai Ryan. Salahkan saja lelaki itu, kenapa membuatnya sangat bergantung sehingga dia tak bisa lepas dan begitu merindukannya.

Bahkan di saat ini, saat dia tau lelaki itu melukainya. Tubuhnya lalu berguncang dengan isakan tangis yang keras.

Lien Hua yang berdiri di luar hanya sanggup mengintipnya dari jendela. Selama ini dia tidak pernah berteman dengan wanita.

Hanya sesekali bergaul dengan orang yang datang untuk berobat, jadi melihat Arumi menangis seperti kesetanan membuatnya bingung harus berbuat apa.

Haruskah membawakan air? atau obat? Atau handuk ? Lien Hua menggelengkan kepala. Selama ini dia tidak pernah melihat Yeye atau Paman menangis, jadi dia tidak tahu, apa yang harus dilakukan saat seseorang menangis.

"Ada apa?" Paman ikut menilik di belakangnya, "Apa kau mengganggunya?" tanyanya menyelidik.

"Apa aku tidak punya kegiatan lain selain

mengganggu, Paman?"

Paman mengangguk, "Bukankah itu keahlianmu."

Lien Hua berdecak. "Tiba-tiba saja dia menangis seperti itu. Aku tidak tahu apa yang terjadi."

Paman mengernyitkan hidungnya tanda berfikir.

"Mungkin dia merindukan keluarganya. Cepat hibur dia. Buat dia merasa nyaman di sini."

"Kalau dia tidak ingat apa-apa, kenapa dia merasa rindu."

"Ckckck. Sifatmu itu." Paman menyentil dahi Lien Hua. "Cobalah sedikit pengertian. Bujuk dia agar berhenti menangis. Suaranya bisa memancing kecurigaan orang."

"Bagaimana caranya?"

***

"Arumi." Lien Hua membuka pintu, memang pintu kamar Arumi tidak terkunci sehingga mereka leluasa membukanya.

Arumi menengadah, matanya yang bengkak menyulitkannya menatap dengan benar, dia hanya melihat Lien Hua membawa sesuatu.

"Aku membawa teh bunga chamomile. Ini sangat bagus untuk tubuhmu yang lelah." Gadis itu meletakkan teh di atas meja, lalu dia membantu memapah Arumi berdiri dan membuatnya duduk di kursi.

Mata Arumi sembab. Kedua kelopaknya tampak membengkak, menggelembung seperti buah kolang kaling yang diberi pewarna merah.

"Aku juga membawakanmu air dingin untuk mengompres wajahmu." Lien Hua menyelupkan kain dalam mangkuk berisi air, lalu memerasnya dan mengompres mata Arumi.

"Lien Hua ... huhuhu ...." Arumi memeluk pinggangnya dan meletakkan wajahnya di sana, kembali sesengukan.

Lien Hua melemparkan kain kesal. memalingkan wajah sambil bergidik. Ingin menjambak kepala Arumi dan melemparkannya jauh-jauh. Namun gelengan kepala paman yang masih mengintip di jendela membuat lintasan fikirannya berhenti.

"Gosok kepalanya" bisik paman tanpa suara.

Setengah terpaksa dia menggosok rambut Arumi. Kalau saja tidak ada paman, mungkin dia sudah menggosok tidak hanya kepala Arumi tapi juga seluruh tubuh Arumi dengan kekuatannya sampai hancur.

Sekali lagi paman menggeleng, dia tahu betul fikiran Lien Hua yang sedikit melenceng, karenanya dia tidak beranjak dari tempatnya dan tetap mengawasi.

Setelah satu jam menangis, Arumi mulai tenang, matanya kini sudah seperti buah kesemek yang masak. Merah dan lebar.

Lien Hua menuangkan teh dan menyuruhnya minum. "Aku harap ini adalah tangisan terahirmu di sini. Aku tidak tahu masalahmu tapi sudahlah, lupakan semua."

Arumi mengangguk, "Benar. Aku akan melepaskan dan melupakan semuanya hari ini." Dia meneguk teh. "Aku akan melupakan Ryan."

Lien Hua melirik. Apa itu Ryan? Aah, terserahlah. Apa perduliku. Yang penting perempuan ini tidak menangis lagi. Hampir kram kakinya karena terlalu lama menjadi penyangga kepala Arumi.

Mengetahui paman Li sudah tidak lagi memperhatikannya dari balik jendela, diam-diam dia mengeluarkan botol kecil dari balik bajunya, dan menuangkannya ke dalam gelas.

Arumi yang masih meracau meminum berkali-kali air yang dituangkan oleh Lien Hua dari botol kecil itu. Hingga tak berapa lama kemudian dia pun tak sadarkan diri.

Lien Hua tersenyum. Ternyata minuman ini efektif.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status