Mas Ifan menenteng tas pakaianku, saat berjalan melewati ruang makan, Tiba-tiba terdengar suara cempreng Ibu memanggilnya."Fan!" panggil Ibu. Keningnya berkerut, melihat Mas Ifan menenteng tas pakaian."Loh, kamu mau kemana?" tanya Ibu."Ifan mau antar Tika pulang ke Bandung, Bu," jawab Mas Ifan."Loh, emang nya kenapa lagi kamu Tik?" tanya Ibu sambil melotot ke arahku."Ibu kan nggak mau kalau orang-orang tau kalau Tika ini istri kedua ku. Jadi, biar Ifan antar dia pulang." "Jadi kamu tersinggung Tik, dengan ucapan ibu?" Ibu bertanya sambil melotot kepadaku.Aku hanya menunduk. Ingin marah tapi ku tahan, karena biar bagaimana pun Ibu adalah mertuaku. "Lha terus, Riska gimana, Fan?" tanya Ibu."Aku tetap disini, Bu." jawab Mbak Riska "Ya, sudah, aku pamit Bu,Ris," pamit Mas Ifan sambil menyalami Ibu."Ya, sudah, habis itu langsung balik kemari ya, besok akad nikahnya jam sembilan," kata Ibu ketus.Mas Ifan melirik ke arahku. Aku mengangguk."Nggak, Bu. Malam ini Ifan nginap. Beso
Mas Ifan membuka matanya, kemudian tersenyum. Kami saling menatap. Mas Ifan mendekatkan wajahnya, refleks aku meremas gaun tidur dan menutup kedua mataku. Kurasakan bibirnya menyentuh telingaku dan berbisik."Sholat dulu, yuk," bisiknya lalu tersenyum geli melihatku. Aku bengong dengan kening berkerut."Aku sudah sholat isya kok, Mas," jawabku bego."Hahaha ...," Mas Ifan tertawa renyah.Kemudian kembali mendekat dan berbisik."Sholat dua rakaat, sayang," bisiknya lembut, kemudian tersenyum sambil berlalu ke kamar mandi. "Ya Allah ...," ucapku lirih sambil menutup wajah dengan kedua tanganku. Malunya ....Kami melaksanakan sholat dua rakaat. Ini sholat pertamaku bersamanya. Setelah sholat. aku menyalami Mas Ifan mencium tangannya penuh takzim. Dan kembali merasa gugup setelahnya. Kali ini benar-benar gugup sampai bingung harus berbuat apa. Melipat mukena yang biasanya hanya tergantung di dinding. Kemudian berjalan menuju lemari dan menyimpannya. Saat berbalik, kulihat Mas Ifan s
Pemuda berlesung pipi itu mengerutkan keningnya sambil memperhatikanku dari puncak kepala hingga ke ujung kaki."Terus, kamu siapanya dong? Nggak mungkin kamu istrinya. Istrinya kan, Mbak Riska," tanyanya lagi. Astaga ... kurang asem ini orang, dia pikir aku adiknya Mas Ifan?"Ayo ... buruan bayar. Masih banyak nih, pesanan yang mau diantar," omelnya mengagetkanku."Berapa?" tanyaku."Dua puluh lima ribu," jawabnya ketus.Kurogoh saku celanaku, hanya ada uang dua puluh ribu disana. Seingatku, di dompet pun kosong, karena belum sempat ke ATM buat narik lagi."Em, ini." kusodorkan selembar dua puluh ribuan."Uangnya kurang." "Tapi, aku cuma pegang uang segitu, besok sisanya, ya?" pintaku."Ya, sudahlah. Kamu berutang lima ribu, ya?" Lain kali aja aku kemari lagi. Salam sama Mas Ifan." Aku langsung berlari ke kamar, dan mengambil ponselku. Kucari nomor Mas Ifan dan menelpon nya."Assalamualaikum," suara Mas Ifan terdengar di seberang sana."Wa'alaikumsalam warohmatullah." jawabku."
Bahan makanan di kulkas sudah kosong. Terus mau makan apa nanti malam. Aku segera berganti pakaian, celana jeans hitam, atasan kaos lengan panjang berwarna cream dan jilbab langsung, hitam polos sebatas dada. Setelah belanja, aku merasa malas untuk balik ke rumah. Jam baru menunjukkan pukul empat lewat tiga puluh menit. Aku putuskan mampir di kedai yang ada di seberang jalan.Sampai di kedai kuambil tempat duduk persis menghadap ke jalan, agar bisa melihat lalu lalang kendaraan yang lewat. Kiranya bisa sedikit mengusir kebosanan. Tak sampai lima menit pesanan pun datang, Aku mulai sibuk dengan ponsel dan menyeruput minumanku. Sebelum akhirnya di kagetkan oleh sebuah suara, yang sudah tak asing lagi bagiku."Assalamualaikum, cantik!" ucap suara tersebut."Wa'alaikumsalam, warohmatullah," hampir saja aku keselek."Sendirian aja," ucapnya, langsung duduk di kursi yang ada di depanku."Kamu buntutin aku, ya?" tanyaku menatapnya penuh selidik."Enak aja. Kamu suudzon terus sih, sama aku.
Kenapa? Aku nggak kenapa-kenapa, kok," jawabku semakin gugup."Kamu yakin?" tanyanya lagi. Kali ini aku bisa merasakan hembusan napasnya di wajahku."He'em," aku gugup.Sedetik kemudian Aku meremas handuk dan menutup mata, meresapi kecupan hangat Mas Ifan di keningku. Setelah itu Mas Ifan kembali menatapku sambil tersenyum nakal, lalu berjalan melewati ku, namun sebelum itu di tariknya handuk yang sedang melingkar di tubuhku tepat di bagian dada dan ..."Mas Ifan!" Aku berteriak kaget sambil menahan handuk yang hampir terlepas dari tubuhku. Untung saja tidak melorot ke lantai."Hahaha ...." Mas Ifan tertawa sambil berlari ke arah kamar mandi. Membuka pintu lalu berbalik ke arahku."Satu kosong!" ucapnya sambil mengedipkan sebelah matanya."Mas Ifan!" Aku menarik selembar baju dari atas ranjang dan melemparkannya ke arah Mas Ifan. "Eits, nggak kena," Mas Ifan mengelak lalu masuk ke kamar mandi sambil tertawa lepas."Ya Allah, dasar Mas Ifan," ucapku tersipu malu.Aku buru-buru berpak
"Minggir! Kalau kamu nggak minggir, aku teriak sekarang!" kataku dengan nada suara mulai meninggi."Siapa, namamu?" tanyanya sambil menatapku lembut."Minggir!" kataku lagi, tak menghiraukan ucapannya."Jawab dulu," pintanya dengan kening berkerut."Nggak!" aku melotot ke arahnya."Please ...." pintanya lagi, dengan wajah memelas.Aku menatapnya dengan tatapan penuh amarah. "Ok-ok, mungkin ini bukan hari keberuntunganku," kata Yuda lalu menarik kedua tangannya dari tembok."Pergilah ...," ucapnya sambil tersenyum hangat.Aku berlari secepat mungkin. Agar dia tak bisa menghadangku lagi, dalam hati mengutuk kejadian hari ini. Kenapa harus ketemu sama si modus itu lagi. Aku benar-benar takut kalau dia sampai berbuat macam-macam padaku di toilet tadi."Tik! kamu nggak, apa-apa, kan?" tiba-tiba Mas Ifan sudah ada di depan ku, mungkin dia khawatir karena itu dia menyusulku."Eh, nggak kok, Mas. Aku hanya merasa nggak enak badan." "Oh, kalau begitu kamu habiskan makan mu dulu, setelah itu
Pagi ini, setelah Mas Ifan berangkat ke kantor, aku dan Mbak Riska menjalani rutinitas kami seperti biasa. Menjelang siang aku mulai gelisah. Sama sekali tak bergairah karena mengingat makan siang hari ini, akan ke tempat si modus Yuda. Aku berharap makan siang kali ini batal."Yah, Tik. Mas Ifan nggak bisa pulang makan siang. Ada urusan mendadak katanya," Hah, doaku terkabul, Alhamdulillah ...."Yah ... batal dong Mbak, makan siang di warung Bu, Nunik," aku pura-pura sedih."Padahal Mbak lagi pengen banget, Tik." kata Mbak Riska."Oh, iya. Aku telfon aja si Yuda, biar dia yang antar ayam bakarnya kemari.""Terserah Mbak aja," kataku. Setidaknya kalau dia kemari aku bisa menghindar, biar Mbak Riska yang terima pesanannya."Tik! Mbak keluar sebentar, ya," teriak Mbak Riska dari arah dapur.Terlihat dia sudah berganti pakaian yang lebih tertutup."Iya, Mbak.""Nanti, kalau Yuda datang kamu terima dulu ya, pesanannya. Uangnya di atas kulkas." kata Mbak Riska lagi. Lah, kok aku sih?
"Kok ngelamun sih Yud, habiskan dulu makannya," tiba-tiba Ibu muncul."Iya Bu, ini juga lagi makan, kok." "Makan apanya? Makan angin, ya?" tanya Ibu sambil tersenyum."Ya, makan nasi lah Bu," aku balas tersenyum."Akhir-akhir ini, ibu perhatikan kamu banyak berubah," kata Ibu, lalu duduk di kursi tepat di depanku."Berubah? Berubah gimana sih maksud, Ibu," tanyaku senyum-senyum."Kamu jadi lebih bersemangat, lebih ceria, udah nggak uring-uringan lagi," kata Ibu sambil membelai tanganku."Masa sih, Bu. Hehehe ...," aku cengengesan."Jadi kapan rencananya, kamu balik lagi ke Hongkong, Nak?" Tanya Ibu, seketika raut wajahnya berubah sedih."Mmm entahlah Bu, Yuda belum tau. Mungkin Yuda masih akan berlama lama disini, Bu." "Oyaa, jadi anak Ibu berubah pikiran nih ceritanya," Aku hanya tersenyum."Ibu jadi penasaran, siapa yang bisa buat kamu berubah pikiran secepat ini," "Aah, Ibu. nggak ada siapa-siapa kok, Bu. ini murni keinginan Yuda sendiri," kataku, lalu menunduk malu."Kamu ngg