Share

7

"Ashley, ayo kita makan di kafetaria kantor saja. Aku malas ingin keluar," ajak Alice setelah menyelesaikan setengah pekerjaannya.

Setengahnya lagi akan dia kerjakan setelah makan siang. Perutnya pun sudah tak tahan lagi menahan keroncongan yang menggeram di tubuhnya.

"Tunggu, aku selesaikan ini dulu," jawab Ashley acuh masih memandangi layar komputernya dengan serius.

Alice mendesis kemudian mengambil ponselnya dari dalam tas. Memeriksa apakah ada pesan masuk atau mungkin panggilan tak terjawab.

Selama bekerja Alice memang tidak memeriksa ponselnya, karena tak ingin fokusnya jadi terpecah.

Alice membuka sebuah aplikasi pesan yang dia gunakan untuk berkomunikasi dengan orang lain.

Membuka salah satu forum kerja tapi lebih seperti grup mengobrol biasa dan ini seluruh karyawan ada di satu grup yang sama. Berbagai divisi kumpul menjadi satu. Tujuannya agar mereka bisa akrab dengan rekan lainnya. Grup ini tentu juga diawasi oleh pihak yang memang berwenang jadi tidak ada siapapun yang bisa memecah belah atau melakukan tindakan provokatif.

Kecuali satu, membicarakan Ethan Hill.

Alice biasanya hanya jadi pembaca saja tanpa berniat untuk menimpali atau nimbrung obrolan di grup tersebut. Ya, karena Alice juga tidak begitu mengenal antar rekan divisi lainnya. Jadi ya takutnya ketika dia ikut bicara, suasananya malah jadi berubah.

Alice membaca satu persatu pesan. Mereka seperti tengah membicarakan sesuatu.

Seketika matanya menangkap satu kalimat yang membuat Alice jadi syok bukan kepalang.

'Kemarin aku seperti melihat Direktur Utama Ethan Hill ada di rumah sakit. Tapi sepertinya itu bukan rumah sakit di mana kakeknya dirawat'

Sial. Ternyata ada lagi yang melihat Ethan berada di rumah sakit. Eh tapi dikatakan di situ jika dia hanya melihat Ethan saja, tidak melihat Alice juga.

Grup ini memang tidak ada Ethan Hill di dalamnya, ya karena untuk apa juga Direktur Utama seperti dia masuk ke dalam grup obrolan karyawan biasa.

Tapi kadang orang-orang yang berada di grup ini tidak tahu sopan santun, membicarakan Ethan seenaknya. Walaupun ada yang menegur, tapi tetap saja keesokan harinya akan terulang kembali.

Wah, sepertinya topik Ethan Hill ini memang tidak ada habisnya.

Alice membaca lagi isi dalam grup itu, banyak yang mempertanyakan keabsahan berita itu. Ada yang percaya begitu saja, ada yang mentah-mentah menolaknya, ada juga yang iseng mengatakan jika itu hanya jadi-jadian Ethan saja. Dalam artian mirip dengan Ethan.

Alice masih tetap bisa bernapas dengan lega karena tak ada satupun yang menyebutkan tentang dirinya ketika bersama Ethan di rumah sakit.

"Ayo, nanti keburu habis waktu makan siang,"

Ashley sudah selesai dengan urusannya. Ketika Ashley dan Alice keluar dari ruangan, mereka berpapasan dengan Ella dan Agatha yang baru saja selesai makan siang.

"Apa menu hari ini?" tanya Ashley

Alice mengangkat bahunya, "Aku tak tahu. Kau pikir aku yang menjadi kokinya?"

Biasanya di kafetaria tersedia berbagai macam menu, tapi tak jarang menu yang ada tidak sesuai dengan selera Alice.

Sampai di kafetaria, mereka segera mengambil nasi beserta lauknya lalu mengambil tempat didekat jendela, agar mereka bisa melihat pemandangan luar.

"Menurutmu siapa yang akan menjadi karyawan terbaik tahun ini?"

Alice mengangkat sebelah alisnya ketika mendengar seseorang melontarkan kalimat itu kepada temannya.

Tapi Alice tak bisa mendengar jawaban temannya itu karena mereka sudah pergi meninggalkan tempat yang tadi mereka tempati.

"Hei. Memangnya sudah dimulai untuk penentuan kandidatnya siapa saja?" tanya Alice yang jadi penasaran.

Setiap tahun memang perusahaan induk akan mengadakan survei karyawan terbaik, lalu menjadikan beberapa yang terbaik itu sebagai kandidat dan akhirnya dipilih siapa yang benar-benar terbaik.

"Entahlah, menurutmu siapa saja kandidatnya?" ucap Ashley

"Cih. Aku bertanya tapi kenapa kau malah balas bertanya juga," dengus Alice kesal.

Ashley terkikik kecil sembari mengunyah makanannya itu dengan nikmat.

"Aku yakin yang masuk dalam kandidat hanya itu-itu saja," gumam Ashley

Alice mengangguk membenarkan kalimat Ashley tadi. Benar, yang masuk dalam kandidat ya paling hanya itu-itu saja sama seperti tahun sebelumnya. Dan kemungkinan yang menang adalah orang itu juga.

"Hei, hei, hei. Apakah kalian sedang membicarakan saya?"

Simsalabim. Orang yang tadi sempat disinggung Alice dalam hati, kini muncul dihadapan mereka.

"Hahaha. Apakah Ketua Divisi juga sudah menduganya,"

Brilley menarik kursi di samping Ashley, lalu melipat tangannya di atas meja dan mencondongkan tubuhnya. Berbicara dengan gaya penuh keangkuhan.

"Menurut kalian siapa lagi. Tentu saya harus mempertahankan gelar karyawan terbaik ini," ucapnya dengan raut wajah meninggi.

Siapa yang tidak tahu. Karyawan terbaik selama tiga tahun berturut-turut ini adalah Brilley John, Ketua Divisi Perencanaan dan Pengembangan Hill's Group.

Tapi itu semua tidak terlepas dari usaha dan kerja keras Brilley sendiri, secara dia sangat berdedikasi akan pekerjaannya. Rasa-rasanya, Brilley ini lebih mencintai pekerjaannya daripada dirinya sendiri.

"Ta-tapi, apa Ketua Divisi Brilley tak pernah dengar tentang desas-desus salah satu karyawan dari Divisi Penjualan dan Pemasaran?" pancing Alice

Alice sendiri juga hanya pernah dengan gosipnya saja, bahwa salah satu karyawan divisi tersebut memiliki kinerja yang hampir setara dengan Brilley John. Jika begitu maka Brilley John memiliki saingan yang kuat dan sebanding dengannya.

"Memangnya siapa yang dimaksud?" tanya Ashley yang sepertinya juga tidak tahu.

"Entahlah, aku hanya dengar dari orang lain," jawab Alice cuek, lalu menyantap susu kotaknya yang tadi dia ambil dari mesin pendingin.

Seketika Brilley mengetuk kepala Alice dengan map biru yang dibawanya.

"Kau ini. Bisa jangan menakuti saya tidak," ujar Brilley sedikit tinggi.

Alice cekikikan dalam hati. Bahkan Brilley saja takut bergeser posisinya.

"Saya sarankan agar Ketua Divisi Brilley tetap bekerja keras dan jangan mau kalah dari orang lain. Maka dengan begitu, Ketua Divisi Brilley bisa tetap mendapatkan trofi kebanggan sebagai karyawan terbaik lagi,"

Brilley ingin memukul lagi kepala Alice, tangannya sudah dia angkat, namun seketika gerakannya terhenti saat melihat Daniel Lambert menghampiri meja mereka.

"Astaga. Ada apa dengan mereka di sana? Kenapa sekretaris Direktur Utama Ethan Hill mendatangi mereka?" bisik salah satu yang masih ada di kafetaria.

Ini sepertinya pemandangan langka, karena baik Daniel Lambert ataupun Ethan Hill tak pernah menampakkan dirinya di kafetaria kantor.

"Alice Winsley, Direktur Utama ingin menemui Anda," ucapnya kalem pada Alice. Raut wajahnya yang datar namun tidak menyeramkan, matanya menatap lurus pada Alice.

Alice menelan ludah dengan susah payah. Ada apa Ethan ingin menemui Alice?

"Ap-apakah sekarang?" tanya Alice jadi gugup.

Ashley menarik-narik ujung kemeja berwarna putih Alice memberikannya isyarat untuk menjelaskan apa yang sebenarnya sudah terjadi.

Tapi Alice hanya menggeleng-geleng samar, juga tak mengerti akan kondisi apa ini.

"Ya," balasnya lantang.

Brilley yang masih ada di sana juga sangat tercengang, seolah rasanya tidak masuk akal Ethan Hill ingin menemui Alice Winsley. Jika ada pekerjaan maka harusnya melalui Brilley dulu sebagai Ketua Divisi.

Tapi kalau bukan tentang pekerjaan, maka mengenai hal apa? Brilley memberikan pandangan bertanya dan sangat mengharapkan jawaban dari Alice.

Namun, Alice hanya memberikan senyuman datar, menandakan bahwa dia juga bingung harus menjawab apa.

"Cih, bukankah itu anggota Divisi Perencanaan dan Pengembangan," sinis salah satu dari mereka, kali ini seorang wanita dengan rambut panjang sebahu dan juga poni yang menutupi keningnya, rasanya gayanya mirip dengan Ella Foster.

"Tolong ikut dengan saya sekarang," pinta Daniel Lambert lagi, kali ini seperti tidak sabaran, karena sepertinya ingin hal seperti ini saja menyita waktu begitu lama.

"Ba-baiklah,"

Alice berdiri dari duduknya dan meninggalkan Ashley juga Brilley, yang masih berusaha untuk mendapatkan jawaban dari Alice.

'Maafkan aku, Ashley,' batin Alice.

Alice dan Daniel berjalan keluar dari kafetaria sembari menerima bisikan-bisikan menjengkelkan. Ah padahal Alice tidak ingin terlihat mencolok, tapi karena kejadian ini pasti akan membuatnya jadi bahan pembicaraan.

"Huh, dasar manusia menyebalkan," umpat Alice kesal tepat setelah mereka berhasil keluar dari kafetaria.

Sedangkan Daniel hanya melirik Alice dari sudut matanya saja. Dirinya sangat terkejut ketika diminta oleh Ethan Hill untuk membawa Alice Winsley dari Divisi Perencanaan dan Pengembangan ini.

Entah ada perlu apa dengan wanita ini.

Ruang kerja Ethan berada di lantai paling atas, dan dekat dengan atap gedung Hill's Group ini.

Sebenarnya Alice begitu penasaran bagaimana rasanya berada di atap itu, tapi tak pernah bisa dia lakukan mengingat jika dia harus melewati lantai di mana ada ruangan Ethan Hill.

"Kau tahu saya?"

Suara berat dan dewasa itu bertanya pada Alice ketika mereka berada di elevator.

"Ya. Tidak ada yang tidak tahu Anda, sebagai sekretaris Direktur Utama Ethan Hill, Daniel Lambert"

Daniel berdehem pelan, "Jadi sebenarnya ada hubungan apa kau dan dia?"

'Dia?' batin Alice.

Apakah hubungannya sudah sedekat itu dengan Ethan? Ta-tapi kan tidak sopan memanggil Ethan begitu.

"Tidak ada hubungan apapun. Saya juga tidak mengerti mengapa beliau ingin menemui saya," balas Alice berdalih.

Walaupun Daniel adalah sekretaris yang paling dipercaya oleh Ethan, tapi Alice tak akan sembrono menceritakan hubungannya dengan Ethan.

TING!!!

Pintu elevator terbuka, seketika terlihat ruang kerja Ethan yang begitu mewah dan terlihat seperti dirinya.

"Kita ke atap gedung,"

Untuk sampai ke atap, mereka perlu melewati tangga yang ada di sudut lantai ini, dan taraaaa, Alice pun sampai di atap gedung Hill's Group sebagaimana keinginannya yang belum terwujud.

"Temuilah. Saya akan meninggalkan kalian berdua. Sepertinya Ethan percaya denganmu. Apapun hubungan kalian, saya harap tidak akan ada yang mengetahuinya," pesan Daniel sebelum melangkah turun meninggalkan Alice.

Jantung Alice jadi berdetak kencang, Alice memutar kenop pintu dan melangkahkan kakinya masuk.

Pertama-tama Alice ingin mengagumi tempat ini, karena begitu asri.

Banyak bunga-bunga dalam pot yang semakin menambah keasrian tempat ini.

"Kau sudah datang," sambut Ethan.

Alice mengangguk canggung, "Ada apa ya bapak ingin menemui saya?"

Ethan tersenyum, lalu menarik tangan Alice. Alice tak sanggup melepaskannya karena begitu terkejutnya.

Mereka akhirnya berdiri di tepian dinding pembatas, melihat hamparan gedung-gedung tinggi lainnya juga berbagai kepadatan yang mengisi setiap sudut kota.

"Wah. Ini pertama kalinya saya datang kesini,"

Ethan tersenyum senang. "Saya membawamu kesini karena berpikir jika kau mungkin masih sedih mengingat bahwa ibumu masuk rumah sakit. Berbagai ide yang saya pikirkan untuk membuatmu merasa tenang walaupun mungkin sulit, tapi ya hanya ini yang menurut saya paling aman. Kau pasti tidak akan mau jika saya mengajakmu cari angin di luar kantor," jelas Ethan panjang.

Alice merasa terharu, usaha Ethan ini begitu mengena di hatinya.

"Tapi tindakan bapak ini memicu kecurigaan orang lain. Jika begini, mereka mungkin akan menyadari bahwa saya memiliki suatu hubungan dengan bapak,"

Memang, Ethan tahu bahwa ini akan memercik kehebohan para karyawannya.

Untuk yang satu ini, Ethan memang lalai.

Karena di dalam kepalanya hanya terpikirkan bagaimana cara agar Alice tidak sedih lagi.

"Maaf. Saya tidak memikirkannya dengan matang," ujarnya menyesal.

"Tidak apa, pak. Terima kasih karena sudah memperhatikan saya,"

Alice memandang lagi pemandangan di depannya, rasanya sangat menyenangkan dan benar saja, Alice sudah tidak sedih lagi.

Suasana ini membuatnya merasa tenang dan juga membuatnya lupa akan rasa sakit yang dia rasakan sebelumnya.

Alice melirik Ethan yang juga tersenyum sambil melihat-lihat sekitarnya.

"Terima kasih, pak," gumam Alice pelan. Ethan yang mendengar itu seketika memutar wajahnya dan menatap Alice tepat di manik mata.

Tidak ada yang mereka lakukan, hanya saling menatap satu sama lain.

Semilir angin mengibarkan rambut Alice yang hari ini di kepang biasa dan tidak disanggul. Beberapa anak rambut Alice jatuh dan menutupi wajahnya karena tertiup angin.

Entah ada dorongan apa, tapi tangan Ethan bergerak sendiri menyapu anak rambut di wajah Alice agar tidak menghalangi pandangan wanita itu.

Alice terdiam membeku. Waktu terasa berhenti berputar, memberikannya kesempatan untuk menikmati momen ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status