Alice menyeruput teh hijau kesukaannya dengan nikmat.
Tapi nikmatnya teh ini tidak senikmat biasanya karena suasana hatinya yang tidak tenang memikirkan kesehatan ibunya.Dokter mengatakan bahwa penyakit ibunya sudah semakin parah, dan harusnya dirawat di rumah sakit saja. Tapi Alice tak memiliki biaya untuk membayar pengobatan ibunya itu.Belum lagi Alice juga harus membayar hutang yang dia pinjam pada rentenir demi ibunya agar bisa sembuh kembali.Tapi memikirkan tentang penyakit kanker paru-paru stadium akhir, tentu mendengarnya saja sudah tahu bahwa penyakit itu tidak dapat di sembuhkan. Juga beresiko tinggi akan kematian.Alice menghembuskan napas panjang untuk mengurangi sesak di dadanya. Alice masih belum siap jika ibunya itu pergi meninggalkannya.Banyak hal yang belum Alice lakukan untuk ibunya termasuk itu menikah.Harus bagaimana Alice sekarang?Tak bisa dia memaksakan kehendak ibunya, menikah dengan orang yang tidak dicintainya. Tapi kalau dia tidak kunjung menikah, ibunya hanya akan menjadi sedih."Sial," lirih Alice pelan.Alice menyalakan komputernya dan bersiap mulai bekerja. Hari ini sengaja dia datang lebih cepat dari biasanya."Kau cepat sekali, Alice," komentar Ashley yang baru datang dan langsung menarik kursi di sebelah Alice.Alice menghela napas lagi. Dia tidak sedang mengeluh, tapi ya hanya ingin menghela napas."Kenapa? Kau terkejut aku bisa datang secepat ini?" sindir Alice bergurau.Mendengar itu, Ashley melempar kesal sebuah kertas catatan kecil di mejanya kearah Alice."Huh. Kalau kau tau, kenapa tidak dari kemarin-kemarin seperti ini," balas Ashley ngotot sambil melotot menatap garang pada Alice.Alice menyengir lebar, memperlihatkan giginya yang kecil-kecil, dan juga gingsulnya, membuatnya terlihat sangat manis."Hei. Kau tau sendiri, jika aku malas datang cepat, untuk apa?"Alice sendiri tak habis pikir kenapa orang-orang suka berangkat pagi-pagi untuk ke kantor, padahal kalau Alice sendiri lebih suka berangkat diakhir waktu, yang ujungnya beberapa kali membuatnya terlambat."Sialan. Apa kau masih belum jera mendapatkan hukuman ketika kau terlambat. Cobalah gunakan waktumu sebaik mungkin," cecar Ashley panjang lebar tapi matanya menatap layar komputer yang sedang memproses itu.Ashley memang pantas mendapatkan jabatan sebagai wakil ketua divisi. Dia begitu bertanggung jawab dan bisa menggunakan waktunya dengan sebaik-baiknya."Ya, ya, ya. Terserah kau saja," Alice mendengus mendengar ocehan Ashley ini.Ashley hendak melempar lagi clip yang ada di dekatnya sebelum sebuah suara keras mengejutkan mereka berdua."Alice," teriak orang itu dengan wajah yang terlihat kesal.Brilley John. Lagi, Alice menghela napas. Drama apa lagi ini.Tapi pasti Brilley akan menanyakan tentang kejadian kemarin malam ketika di rumah sakit."Ada apa, Ketua Divisi Brilley?" tanya Alice sopan, santun dan tersenyum manis.Brilley masih menatap garang pada Alice yang matanya seolah mengatakan tak-perlu-pura-pura-tidak-tau"Ada apa sih, Brilley? Santai sajalah," timpal Ashley mencegah Brilley memarahi Alice."Apa yang kau lakukan tadi malam di rumah sakit. Saya memanggilmu, tapi kau hanya acuh saja," katanya meninggi seolah tidak terima dengan kelakukan Alice yang mengacuhkannya.Alice hanya terkekeh kecil. Mana mungkin dia dengan santai menjawab melarikan diri dari atasannya ini."Ta-tapi saya tidak melihat Ketua Divisi ada di sana," ucap Alice datar.Brilley mengernyit, alis matanya yang lebat, kini bertaut membuatnya terlihat mengerikan."Kau dengan jelas melihat saya. Jelaskan apa yang kau lakukan di rumah sakit dan siapa pria yang bersamamu itu,"Brilley yang sepertinya sengaja berbicara dengan keras itupun tak pelak menarik perhatian satu ruangan yang anggota lain sudah pada berdatangan.Mereka pasti kaget mendengar Brilley mengatakan 'pria yang bersama Alice'.Ashley yang duduk di sebelahnya pun sampai membelalakkan matanya karena begitu kagetnya. Tapi kekagetan Ashley ini berbeda karena pria yang ada dipikiran Ashley adalah Ethan Hill."Hei. Apa yang kau lakukan memangnya di rumah sakit. Kau tidak menceritakannya padaku," Ashley bicara sambil melotot marah."Nanti ku ceritakan," balas Alice berbisik.Rekan kerjanya pun mulai mengerubungi meja Alice ingin mendengar cerita yang baru saja dikatakan oleh Brilley."Benarkah itu Alice? Aku tidak tahu jika kau sedang dekat dengan seseorang," ucap Agatha Clark, dengan mata berbinar seolah ini berita yang sangat menggemparkan.Alice mengusap pelan wajahnya, lalu menatap Agatha yang tadi berbicara, kemudian menatap Brilley, lalu berakhir menatap Ella Foster yang juga menunggu penjelasan Alice."Kupikir Ketua Divisi salah lihat. Aku memang berada di rumah sakit. Tapi aku sendirian, tidak bersama seseorang apalagi seorang pria," bantah Alice dengan serius.Dia harus meyakinkan para rekannya ini bahwa yang dikatakan Brilley adalah salah. Bisa gawat jika terbongkar kenyataan Alice bersama Ethan."Tidak, tidak, tidak. Aku yakin melihatmu dengan seorang pria. Dan sepertinya aku mengenal siapa pria itu. Seperti tidak asing," gumam Brilley sambil mengingat-ngingat kejadian tadi malam, jarinya mengetuk-ngetuk di dagunya, bibirnya manyun memikirkan hal itu.'Jelas saja kau tidak asing. Yang kau lihat itu adalah Ethan Hill,' gumam Alice dalam hati."Siapa sih, Ketua Divisi. Coba tolong ingat lagi. Jarang-jarang Alice dekat dengan pria. Malah kupikir jika dia tidak tertarik dengan pria," celoteh Ella dengan begitu antusiasnya.'Heh sialan. Sembarangan saja bicara. Aku ini masih normal,' teriak Alice dalam hati sambil matanya memandang sengit kearah Ella yang tampak polos. Seperti yang dikatakannya tadi bukan hal yang salah."Hehehe, maafkan aku, Alice. Santai saja melihatku," cengir Ella setelah Alice memperlihatkan tatapan garangnya.Alice menarik napasnya dan dengan santai dia berbicara, "Mungkin Ketua Divisi salah lihat. Bisa jadi ada yang mirip dengan saya. Lagipula saya di rumah sakit itu untuk menemani ibu saya. Mana bisa saya meninggalkannya," dalih Alice menatap Brilley yang terlihat malu. Malu karena dia telah salah menuduh."Baiklah. Saya minta maaf," ucap Brilley akhirnya."Jadi itu hanya salah lihat. Yahh,"Ungkapan kekecewaan itu datang dari Agatha dan Ella, yang terlihat sangat kecewa karena tidak mendapatkan informasi yang mereka inginkan."Sudah, sudah sana bubar kembali ke meja masing-masing," sambar Ashley menengahi sebelum mereka menanyakan lebih lanjut.Brilley pun berbalik dan bergumam pelan, "Aku yakin sekali jika memang dia yang kulihat,"Tapi Agatha dan Ella tidak ada yang meresponnya. Mereka pun duduk di tempat mereka masing-masing dengan wajah yang masih penasaran.Alice tertawa dalam hati. Tentu tak akan dia biarkan seseorang mengetahui hubungannya dengan Ethan kecuali Ashley."Hei. Jelaskan padaku sekarang," pinta Alice berbisik.Mereka berbicara pelan agar tidak menarik perhatian ketiga rekannya yang lain."Ceritanya panjang sekali. Nanti saja sepulang kerja aku akan memberitahumu," jawab Alice ikut berbisik.PTAAKKKK!!!"Aduhhh. Apa yang kau lakukan, sialan," umpatnya sambil memegangi kepalanya yang tadi dipukul oleh Ashley."Terus saja kau beralasan," ujar Ashley lalu kembali menatap layar komputernya.Alice ingin menjambak rambut sebahu milik Ashley itu tapi dia sadar jika Ashley ini adalah teman baiknya jadi dia mengurungkan niat kurang baik itu.Alice melihat rekannya yang sepertinya sudah sibuk dengan pekerjaannya, terlihat tidak memperhatikan Alice yang tadi bersuara keras.Alice menghela napas lega.Alice pun juga menyibukkan dirinya dengan pekerjaannya tapi baru beberapa menit bisa fokus, pikirannya kembali melayang ke waktu tadi malam.Setelah Alice dan Ethan menghindari Brilley, mereka pun masuk ke sebuah pintu yang ternyata adalah tangga darurat.Mereka bersembunyi di situ sampai Brilley tak lagi mengejar mereka.Saat itu Alice bahkan tidak sadar jika dia berada sangat dekat dengan tubuh Ethan, bahkan bisa dikatakan jika Alice berada dalam pelukan Ethan."Jika kita terus begini, itu sama saja membuktikan bahwa kita memang ada hubungan," ucap Ethan dengan napas yang berat.Jantung Alice justru melompat-lompat saking gugupnya berada dekat dengan Ethan. Juga takut jika Brilley tadi melihat mereka."Bukan saatnya untuk memikirkan itu pak," jawab Alice sambil mendorong tubuh Ethan untuk menjauh.Ethan terlihat seperti keberatan. Tapi dia tak punya pilihan.Sedangkan Alice masih berusaha untuk meredam detakan jantungnya, harap-harap Ethan tidak mendengarnya."Benarkan? Padahal seharusnya cukup saya saja yang pergi, kau tidak perlu. Jadi besoknya dia tidak akan mencurigaimu,"Rupanya benar yang dikatakan oleh Ethan. Brilley langsung menanyakannya pada Alice.Di tangga darurat itu kebetulan hanya ada mereka berdua, Alice tetap saja merasa canggung.Ethan pun mengusap keringatnya yang bercucuran dan Alice terpesona lagi. Terpesona akan ketampanan Ethan.Setelah memastikan keadaan aman, mereka berjalan keluar dari tangga darurat dan cepat-cepat menuju pelataran rumah sakit tempat mobil Ethan terparkir.Yang membekas bagi Alice itu adalah saat Ethan tanpa sengaja dan juga tanpa dia sadari memeluk Alice. Tubuhnya yang besar begitu melindungi Alice dan entah bagaimana Alice jadi menyukainya.Seolah tubuh Ethan itu tercipta untuk bisa memeluk Alice. Alice merasa begitu hangat dan juga nyaman.Ahh Alice jadi frustasi sendiri dan tidak bisa menghilangkan bayangan Ethan saat malam itu di tangga darurat rumah sakit."Aku bisa gila," lirih Alice pelan,Ashley yang mendengar lirihan itu pun sontak melihat Alice dengan penuh kecurigaan. Batinnya mengatakan bahwa ada sesuatu terjadi dengan Alice.Sangat sangat sangat mewah.Kesan pertama Alice ketika melihat rumah besar Ethan yang ada di hadapannya, sampai membuatnya tanpa sadar menahan napas dan membuka mulut lebar-lebar. Begitu takjub melihat kemegahan rumah Ethan Hill ini. Mata Alice tak bisa berpaling dari campuran desain klasik dan modern dan di dominasi warna putih ini. Begitu elegan dan tampak sangat mewah. "Astaga, Alice. Ini bukan saatnya kau mengagumi rumah ini" lirihnya pelan sembari memukul kepalanya untuk menyadarkan diri. Sambil menelan ludah, Alice hendak menekan tombol bel rumah Ethan. Eh tapi, tiba-tiba pintunya membuka dengan sendirinya bahkan sebelum Alice sempat menekan bel tersebut. Hal pertama yang ada di dalam benaknya adalah betapa kerennya rumah Ethan yang pintunya bisa membuka sendiri. Alice celingak-celinguk melihat ke sekelilingnya apakah ada mata-mata atau tidak. Bagaimana bisa pintunya terbuka sendiri sedang dia belum memberikan tanda akan keberadaannya. Seperti orang bodoh, Alice memutar k
Lelah. Satu kata yang cukup menggambarkan kondisinya saat ini. Namun bukan lelah fisik karena nyatanya fisiknya baik-baik saja. Pekerjaannya juga tidak banyak hingga tak perlu terlalu membuang tenaga. Tapi ya begitulah dia lelah. Alice menghempaskan tubuh rampingnya ke atas ranjangnya yang nyaman. Meregangkan seluruh otot-otot tubuhnya yang menegang. Setelah mandi rasanya sangat menyegarkan. Dalam pikirannya terus berputar-putar tentang pertanyaan Ashley yang sampai saat ini belum bisa dijawabnya. Apakah dirinya mencintai Ethan Hill?Kenapa Ethan justru hadir dalam hidupnya. Jawabannya hanya satu. Takdir!Takdir Tuhan yang membawa Alice bertemu Ethan, dan terlibat dengan pria itu. Semakin Alice menjauhi pria itu, maka mereka akan semakin terikat. Semakin banyak hal terjadi yang melibatkan keduanya. Tentu ini merupakan takdir yang sudah digariskan untuk Alice. Satu hal yang Alice harapkan jika takdir yang sedang dia jalani ini merupakan takdir yang baik. Bertemu dengan Ethan ada
"Tetap saja walaupun begitu, kau juga ikut merasakan penderitaan yang sama denganku. Ayahku juga jadi melampiaskan kemarahannya padamu. Kenapa kau masih saja bertahan, Daniel? Aku tidak akan memaksamu tetap tinggal jika kau ingin pergi" Daniel tertegunRaut wajahnya mendadak berubah. Kecewa. Ah apakah hanya perasaan Ella saja ya. "Aku tidak ingin lagi membebanimu dengan perasaanku dan juga tak ingin lagi merepotkanmu atas banyak hal. Aku akan menjaga diriku sendiri. Aku menyadari selama ini, bahwa aku telah membeli kebebasanmu, yang membuatmu mungkin tidak nyaman. Selama ini mungkin bagimu, hidupmu seperti dalam kurungan. Hanya tahu untuk selalu menjaga dan melindungiku, terbebani akan tugas dari ayahku" Ella menarik napasnya. Bicaranya terlalu cepat. Semoga Daniel bisa memahaminya. "Setiap hari aku merasa bersalah telah membawamu dalam kehidupanku, yang seharusnya tak kulakukan. Tapi aku menyadari dengan cepat bagaimana perasaanku terhadapmu dan membuatmu tetap berada di samping
"Aku pulang duluan, karena ada urusan lain. Kalian nanti hati-hati di jalan," ucap Ella dengan tergesa sembari berjalan cepat meninggalkan rekan kerjanya yang terbengong-bengong. Mereka yang ada di ruangan itu saling berpandangan, bertanya apakah ada sesuatu pada Ella. Jam baru menunjukkan pukul setengah lima sore, tapi Ella sudah mencuri start untuk pulang lebih dulu. Jika dilihat dari dia yang tergesa-gesa sepertinya memang sedang ada urusan mendesak. Sudahlah biarkan saja. Ella punya sesuatu yang harus diurusnya saat ini juga. Kakinya mengetuk-ngetuk lantai elevator karena tak sabar, benda bergerak tersebut membawanya turun ke lobi perusahaan. Pekerjaannya sedikit terkendala karena dia yang tidak fokus mengerjakannya. Tapi semua sudah dia selesaikan. Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Justru yang harusnya dikhawatirkan adalah kelanjutan hubungan Ella dan Daniel. Ting!!!!Pintu elevator terbuka. Setengah berlari Ella keluar dan langsung menuju parkiran yang terletak di luar
Ella mengerjap-ngerjapkan matanya yang masih berat. Telinganya mendengar suara familiar yang biasa membangunkan tidur nyenyaknya. Berusaha untuk menyadarkan diri dan membuka mata selebar-lebarnya, sesekali menggelengkan kepala untuk benar-benar menyadarkan dirinya. Suara yang terus berdering-dering memekak telinga berasal dari ponselnya. Ella memang selalu memasang alarm otomatis, sehingga pada jam yang disetelnya akan berdering. Dengan rasa ngantuk yang masih tersisa dalam dirinya, Ella meraba-raba ranjang untuk mencari di mana ponselnya itu. Ketika menemukan benda persegi panjang dan tipis namun harganya sangat mahal itu, Ella langsung mematikan alarmnya. Tangannya dengan kasar mengucek mata, sekaligus membersihkan sisa kotoran mata. Dengan sangat terpaksa, dia pun bangkit dari tidurnya. Lalu meneguk segelas air putih di atas meja yang selalu dia sediakan.Seketika rasa yang menyegarkan langsung memenuhi dirinya. Ella meletakkan kembali gelas ke atas meja, dan mengedarkan pand
"Ayah harus minta maaf pada Daniel," ucap Ella datar. Matanya menatap wajah ayahnya yang tidak mengendurkan pandangannya yang tajam. "Atas dasar apa ayah harus meminta maaf?" Ella menghela napas. "Sampai kapanpun aku tidak akan pernah kembali ke rumah ini, jadi aku mohon dengan sangat agar ayah dan ibu tidak terus-terusan menggunakan Daniel untuk membuatku pulang. Karena ini bukan rumahku, aku tak pernah merasa tinggal di rumah ini. Rumah ini seperti neraka bagiku yang setiap harinya sangat mencekikku," ungkap Ella mengeluarkan sesuatu yang sudah ditahannya dari lama. Suaranya samar bergetar karena dia sangat emosi. Emosi yang akhirnya dia keluarkan juga. "Ella. Tapi ibu kesepian karena kau tidak ada," tegur ibunya lembut. Ella tersentak. Tapi tidak mengubah pendiriannya. "Sampai ayah menyadari semua kesalahannya, aku tidak akan pernah menginjakkan kaki lagi. Jangan membuatku terpaksa menggunakan cara-cara berontak yang lebih parah dari ini," Ella menguatkan hati, membulatkan