"Sayang, Mas pergi dulu sebentar. Ada kebakaran di gudang bahan baku," ujar Mas Rangga sambil mencium keningku . Dia tampak terburu-buru mengambil jaket dan kunci mobilnya.
"Gak ada lagi yang bisa handle selain kamu, Mas?" tanyaku sambil mengekor. Dia menoleh.
"Kamu kan tau sendiri, Papi seperti itu kondisinya. Lalu anak berandalan itu, mana mungkin dia mau mengurusi," ucapnya sambil memakai jaket. Aku membetulkan letak kerahnya.
"Ya, udah, Mas hati-hati, ya."
"Iya, Sayang. Ada-ada saja, harusnya aku ngelonin kamu, malah harus ngurusin beginian," ucapnya lagi dengan tatapan menggoda. Aku tertawa kecil.
"Ya sudah, sana. Biar cepet pulang lagi," usirku, walaupun merasa sedikit kesal.
Mas Rangga melepaskan pelukannya. Aku mengekor sampai ke ambang pintu. Sebelum pergi, dia mencium dan memelukku dengan erat.
"Tunggu, Mas gak akan lama." Mas Rangga berlalu sambil melambaikan tangannya. Aku membalas lambaian itu dengan sebuah senyuman.
Lelaki itu, orang yang baru tadi siang sah menjadi suamiku. Seorang lelaki idaman setiap wanita. Tampan, baik dan juga mapan. Beruntungnya aku.
Aku segera menutup pintu. Badan ini rasanya lelah setelah seharian duduk di pelaminan dan bersalaman dengan ratusan tamu.
Sebuah lingerie hitam aku kenakan malam ini. Aku ingin menyambut kedatangan Mas Rangga dengan istimewa.
Aku matikan lampu utama, dan hanya menyalakan lampu spot yang temaram. Aku empaskan tubuh ke atas peraduan yang sudah ditata sedemikian rupa. Namun, keindahan malam pertama harus sedikit tertunda karena urusan yang tak bisa dibiarkan. Tak apa, lagi pula masih ada esok hari, dan malam-malam berikutnya, aku akan menikmati malam sebagai istrinya Mas Rangga. Aku tersenyum sendiri membayangkan semua itu.
Mataku teramat berat, karena kemarin malam mata ini sulit terpejam menantikan hari pernikahan. Tanpa terasa aku jatuh tertidur. Entah berapa lama aku terlelap. Saat terasa sebuah tangan menarik paksa baju tipis yang kukenakan.
Sreet! Sreett!
Setengah sadar aku membuka mata. Gelap. Tidak ada cahaya sedikit pun, padahal seingatku tadi menyalakan lampu spot. Tangan itu bergerilya makin hebat. Mungkinkah Mas Rangga sudah kembali?
"Mas?" ucapku lirih.
Tak ada jawaban. Hanya desahan napas memburu yang terdengar di telinga. Rasa perih menjalari tubuh. Aku tersentak dan mendorong tubuh itu.
"Mas, sakiiit," ucapku lirih. Masih tak ada jawaban. Dia semakin melancarkan serangannya yang membabi buta. Aku pasrah. Setitik air jatuh dari pelupuk saat mata ini kembali kupejamkan.
Sesaat kemudian, sebuah ketukan terdengar. Pintu terbuka dan lampu menyala. Aku tersentak kaget melihat ke arah sana. Di mana Mas Rangga tengah berdiri menatap tajam ke arahku yang sedang ....
Apa? Mas Rangga di sana? Lalu siapa?
Aku menoleh pada orang yang tengah berada di atasku. Rimba? Aku kembali mengalihkan pandangan ke arah pintu. Mas Rangga berjalan cepat dan menarik tubuh adiknya. Aku beringsut karena kaget dan juga takut.
Kenapa Rimba? Astagfirullah ya Allah. Aku menarik selimut dan menutupi tubuhku.
"Apa yang kau lakukan, hah?! Dia itu istriku. Kakak iparmu! Berani-beraninya kau merampas semuanya!" Terdengar suara Mas Rangga menggelegar di ruangan ini. Sebuah tinju bersarang di wajah sang adik, disusul tinju yang lain. Aku lihat Rimba bangkit dari lantai dan membalas tinju Mas Rangga.
Ya Tuhan ... apa yang terjadi? Tolong, siapa pun, bangunkan aku. Aku berharap semua ini hanya mimpi.
"Rangga, ada apa?" Terdengar jeritan Mami dan melerai perkelahian itu.
**
Setelah perkelahian itu kami berkumpul di ruang keluarga di tengah malam buta. Papinya Mas Rangga yang duduk di atas kursi roda, menatap tajam pada putra bungsunya yang duduk sambil menunduk."Kamu, itu selalu saja bikin onar! Mau jadi apa kamu ini? Kuliah gak bener, kerja gak becus! Dan sekarang, kamu malah memperkosa kakak iparmu. Di mana otakmu kau taruh, hah?!" Suara Papi terdengar menggelegar. Aku duduk gemetar dipeluk maminya Mas Rangga. Sementara suamiku itu diam menahan amarahnya. Rahangnya mengeras dengan tangan yang mengepal.
"Kamu ini bisanya bikin malu papi dan mami-mu saja, Rimba. Kau taruh di dengkul otakmu itu, hah?!"
Napas Papi tampak tersengal. Rimba hanya diam. Sesekali melirik pada Mas Rangga dan tersenyum miring.
"Bagaimana sekarang, Rangga? Papi serahkan semuanya padamu. Selesaikan semua ini dengan baik. Papi yakin kamu ini bijaksana," ujar Papi, lalu berlalu dengan kursi rodanya.
"Kalian selesaikan dengan kepala dingin. Kalian ini sudah dewasa, bukan anak-anak lagi," ujar Mami, kemudian pergi mengekori suaminya.
Aku duduk diam menatap pada Mas Rangga yang berdiri menatap ke luar jendela. Sesekali dia mengusap wajah dan menyugar rambutnya. Aku tidak banyak bicara, karena aku tidak tahu harus ngomong apa.
Minta maaf? Untuk apa? Di sini aku-lah korbannya.
Rimba pun masih terdiam di tempatnya.
"Lin ...." Terdengar suara Mas Rangga memanggil namaku. Aku mendongak. Bibirku gemetar karena takut.
"Mungkin sebaiknya kita akhiri saja pernikahan ini. Hari ini, aku jatuhkan talak padamu."
DUAAARR!
Suara lirih itu bagaikan bom atom yang memekakkan telinga. Mataku membulat. Aku lihat Rimba pun sama.
"Hei, Kak!" Tiba-tiba Rimba bersuara.
"Diiaamm!! Kamu jangan ikut campur! Karena kamu, semua ini terjadi. Kamu merampas hak yang seharusnya aku jalani. Aku tidak sudi memiliki sesuatu bekasmu!" teriak Mas Rangga yang membuatku terperangah tak percaya. Napasku terasa sesak. Butiran bening luruh tanpa bisa kutahan. Aku kehilangan kata-kata.
Dia pergi meninggalkanku yang masih gemetar tak percaya. Rimba bangkit dan mendekat.
"Alin, jika lelaki itu pergi, aku akan bertanggung jawab," ucapnya lirih sambil menyentuh tanganku. Aku menepisnya kuat.
"Pergi kau, biadab! Jangankan bersama. Aku bahkan tak sudi melihatmu!" ucapku dibarengi tangis. Sebuah tamparan mendarat di pipinya.
Dia bergeming dan menatapku nanar. Aku balas tatapan itu dengan nyalang.
"Pergii!" ucapku. Dia diam.
"Pergiiiii!!! jeritku meluapkan segala emosi dan sebah di dada.
Di malam pertama pernikahanku, aku dinodai. Di malam itu pula aku kehilangan seorang suami.
Aku Aline, akan menceritakan kisah kelam hidupku.Aku beranikan diri masuk ke kamar yang memang seharusnya jadi kamarku dengan Mas Rangga. Kuketuk pelan sebelum akhirnya knop itu kuputar dan terbuka. Di sana, Mas Rangga sedang duduk di pinggir ranjang dengan tatapan kosong. Aku takut untuk mendekat, tetapi kuberanikan diri. Jika tidak diselesaikan, masalah ini akan semakin membesar. Ingat, di sini aku adalah korban. Korban kebiadaban Rimba, juga korban talak dari suamiku. "Mas ...," sapaku pelan. Dia bergeming. "Ayo kita bicarakan ini baik-baik. Pernikahan kita bukan main-main," bujukku di hadapannya. Dia menatapku datar. Cinta yang biasanya kulihat dari mata itu, kini hilang entah ke mana. "Karena bukan main-main, maka dari itu aku tidak mau melanjutkannya, Lin." "Tapi, Mas ... aku—""Cukup, Aline. Aku bukan anak kecil yang bisa kamu bujuk. Dengar! Coba saja kamu bayangkan, bagaimana jika seandainya aku merasa jijik dan tidak akan pernah mau menyentuhmu seumur hidup? Apa kamu bisa bertahan? Tidak Aline, kita hanya akan saling
Rasanya kepalaku berat sekali, saat mata ini berusaha kubuka. Perlahan kubuka mata dan memindai ruangan serba putih ini."Aline?" terdengar suara Mama."Kamu sudah sadar, Sayang?" tanyanya lagi. Tak kuhiraukan. "Mereka benar-benar tidak punya perasaan," ucap Papa. "Terutama si Rangga itu. Dia pengecut," timpal Mama. "Apa sebaiknya kita lapor polisi saja, ya, Ma?" terdengar Papa bertanya. "Jangan, Pa. Kalau kita lapor polisi, nanti semua keluarga besar kita akan tau. Belum lagi jika ada orang mulut ember yang membuat viral kasus ini. Pasti Aline akan kembali jadi korban. "Dia sudah sakit hati karena perceraiannya, lalu trauma karena diperkosa. Apakah harus ditambah lagi dengan nama baiknya yang tercemar? Kita harus pikirkan semua ini baik-baik, Pa, jangan sampai Aline, terluka untuk kesekian kalinya" jawab Mama. Aku hanya bisa menitikan air mata. Benar kata Mama. Jika aku lapor polisi, semua orang akan tahu. Aibku semakin menyebar. Betapa menderitanya seorang korban perkosaan. A
Setelah beberapa hari janin ini tak juga mau keluar. Aku mulai merasa frustrasi. Apakah harus mencari klinik aborsi ilegal? Tapi di mana? Aku mondar-mandir di kamar sambil berpikir. Apa aku minum obat-obatan saja ya, biar bayi sialan ini keracunan? 'Iihh kenapa kamu gak mati saja, sih!' umpatku dalam hati. Aku mengendap keluar. Kulihat Mama sedang asik menonton acara TV kesayangannya. Aku segera ke bufet di mana obat-obatan berada. Kuambil semua yang ada dan segera mengembalikan kotaknya ke tempat semula. Berbagai obat pereda nyeri dan entah obat apalagi ýang ada di depanku. Aku mengambil beberapa butir dan menelannya bersama segelas air putih. 'Semoga kau mati bayi sialan! Aku tidak jngin terikat denganmu, apalagi dengan ayahmu.' Beberapa saat kemudian jantungku berdetak semakun kencang, mulutku terasa semakin pahit dan kesadaranku mulai hilang. Semuanya gelap, sangat gelap. **Entah apa yang terjadi, saat kubuka mata, aku kembali berada di ruangan serba putih. Aku memindai se
"Lin, aku kerja dulu ya," pamit Rimba yang kujawab dengan gumaman. Rasanya tak penting banget dia harus pamit. Mau pergi ke neraka pun aku tak peduli. Dia ulurkan tangannya padaku. Alisku bertaut."Apaan?" tanyaku ketus. "Salim. Doain supaya aku dapat rejeki yang halal buat kamu juga anak kita," ucapnya yang membuatku merasa ... entah. Selama aku pacaran dengan kakaknya, Mas Rangga bahkan tidak pernah bersikap semanis ini. Cih! Modus ini, pasti.Aku melengos."Ya sudah kalau gak mau salim. Aku pergi dulu, ya," ucapnya sambil mengelus pucuk kepalaku. Dia berlalu setelah menenteng tas besar. Entah apa isinya. Sepertinya sebuah gitar. Suami? Hah! Aku bahkan tidak tau dia bekerja di mana dan sebagai apa. Dan aku pun tak peduli. Menjelang pukul sepuluh malam orang itu baru pulang. Aku sengaja tak menghiraukannya. Saat dia mengucapkan salam pun, hanya Mama yang menjawabnya. Acara di TV rasanya lebih menarik daripada harus melihat kehadiran orang itu. Orang itu? Aku mulai menyebutnya
Setelah menyanyikan beberapa lagu, Rimba turun dari panggung, dan digantikan oleh personel lain. Dia sepertinya hendak menuju ke arahku, saat Cindy tiba-tiba muncul membawakan segelas besar air putih. Rimba menerimanya tanpa lupa mengucapkan terima kasih.Sepertinya perempuan itu sudah hapal betul kebiasaan Rimba setelah manggung. Terbukti, saat lelaki itu duduk di sebelahku, dia menyusul dan memberikan selembar tisu."Kamu keringetan," ucapnya. Rimba menerima tisu itu dan mengelap wajahnya yang basah karena keringat. Lalu, dia duduk di depan kami."Kamu lapar gak, Lin?" tanya Rimba.Aku menggeleng."Makanan di sini enak-enak, lho. Apalagi kalau Cindy yang masak," pujinya. Aku tersenyum datar. Cindy juga tersenyum ke arahku."Aku lagi pengen rujak sama nasi goreng rempah," ujarku."Apa? Rujak? Jam segini?" tanya Rimba. Aku mengangguk dengan wajah masam."Memangnya kenapa kalau mau rujak? Itu kan masih makanan," ucapku ketus."Ya, gak papa. Nanti aku cariin. Kalau nasi goreng rempah,
"Aline? Kamu kenapa?" Cindy terlihat makin bingung. Menyadari itu, aku langsung menjauh dari Rimba, walaupun gejolak hati ingin mendekati cangkir itu. Namun, aku tak mau menjadikan situasi ini bertambah aneh.Duh, bayi ini ada-ada saja keinginannya.Dari jauh aku menatap cangkir yang mengepulkan asap berbau wangi. Rimba menyesapnya perlahan. Aku menelan ludah saat melihatnya.Sepertinya Rimba menyadari jika sedang aku perhatikan. Dia menoleh padaku."Kamu mau?" tawarnya. Ya Tuhan, apakah wajahku menunjukkan demikian? Aku ingin menggeleng karena malu, tapi hati berkata lain. Akhirnya aku hanya diam sambil menatap cangkir itu.Rimba perlahan menyodorkan cangkir kopi itu padaku. Ya Tuhan, betapa bahagianya aku. Tanpa ba-bi-bu lagi aku langsung menyesapnya, diiringi tatapan heran dari dua orang yang berada satu meja denganku."Kalian kok, aneh, sih? Tadi rujak, sekarang kopi. Kamu juga, Rimba, tak biasanya kamu mau makan bekas orang."Aku dan Rimba saling melempar pandangan."Ah, gak pap
"Lin, cek kandungan yuk ke dokter? Mumpung aku off," ajaknya di suatu sore saat aku sedang membaca novel online."Males," jawabku."Semenjak kamu hamil, kita belum sekali pun periksa kandunganmu. Aku ingin tahu kondisinya, apa dia sehat, atau gimana," bujuknya. Hih, cerewet amat! Bikin pusing aja, nih, orang."Bener kata Rimba, Lin. Kamu harus periksa kehamilan, biar bayimu sehat, nanti," timpal Mama.Duh berasa dikelilingi dua ibu-ibu. Menyebalkan!"Mau dia sehat, kek. Mati, kek. Aku gak peduli," ucapku ketus."Aline! Jaga ucapanmu!" Rimba menarik tanganku yang sedang asik memainkan game cacing, hingga ponselku terjatuh ke lantai.Aku menoleh padanya. Aku bisa melihat tatapannya yang ... entah itu sedih atau marah.Hahaha, aku tertawa dalam hati. Aku berharap kalian mati saja!Dia bangkit dan pergi ke luar. Aku tak peduli."Aline, gak boleh berkata seperti itu. Ingat, kamu itu seorang ibu. Jangan sembarangan berucap. Setiap ucapanmu adalah doa. Doa seorang ibu itu langsung sampai ke
"Lin, beli perlengkapan bayi, yuk! Kita beli yang netral aja. Warna hijau atau kuning, biar bisa buat anak laki-laki atau perempuan. Kamu mau anak laki atau perempuan?" tanyanya di suatu pagi."Mau laki, kek. Perempuan, kek. Aku hak peduli. Urus aja sama kamu!" ucapku ketus. Semoga saja dia makin sakit hati."Kamu mau ikut gak belinya?" tanyanya lagi. Tak kujawab. Kupasang wajah masam."Takut kamu gak sesuai sama seleraku. Selera cewek sama cowok kan beda—""Terserah! Aku gak peduli kamu mau beli baju kayak gimana. Lagian emang kamu punya duit buat beli? Kalo kamu mau ngajak aku belanja, minimal di dompetmu harus ada seratus juta," potongku. Terlihat raut wajahnya berubah sendu. Hahaha. Aku puas melihatmu menderita. Semoga saja kamu menikmati saat menelan kata-kata pahit dariku. Dia menunduk dan berlalu dari hadapanku.**"Rimba, bukannya kamu mau ngajak aku belanja peralatan bayi?" tanyaku esok harinya. Dia tampak bahagia mendengar tawaranku."Beneran kamu mau beli peralatan bayi?"