Share

BAB 2. BELANG ABU-ABU

Melihat semua itu Mahira memutuskan pulang ke rumah dan berpura-pura seakan tak terjadi apa-apa.

Tepat pukul satu malam terdengar suara deru mobil milik Panji yang berhenti di garasi depan rumah. Mahira memperhatikan lewat jendela lalu kembali masuk ke dalam kamar dan pura-pura tidur. Panji menyusul ke dalam kamar lalu mendekati Mahira yang sudah tertidur pulas diatas ranjang.

Panji memutuskan pergi mandi, berganti pakaian lalu merebahkan tubuhnya disebelah Mahira. Merasa belum mengantuk Panji kembali melirik ponselnya karena tiba-tiba Irma menelpon. Panji menjauh dari Mahira menuju balkon kamar untuk menganggkat telepon dari Irma.

"Ada apa sayang? Aku sudah sampai di rumah. Tolong jangan telpon-telpon lagi. Nanti kalau terdengar Mahira bisa bahaya," ujar Panji dengan nada berbisik.

Mahira mencoba mendekat untuk mendengarkan obrolan keduanya.

"Iya sayang aku tahu. Tapi aku tidak bisa tidur. Anak di dalam kandunganku minta di dongengin dulu sama papanya," balas Irma dengan nada manja.

"Tapi ini sudah malam. Lebih baik kamu pergi tidur ya? Aku takut Mahira terbangun. Kalau sampai dia tahu hubungan kita bisa-bisa semua fasilitas yang saat ini kita nikmati akan ditariknya kembali. Karena dia tidak lagi mempercayaiku. Apa kamu mau kita hidup susah seperti dulu?"

"Tidak sayang. Aku tidak mau hidup susah seperti dulu. Pokoknya kamu harus secepatnya mengambil alih seluruh harta kekayaan Mahira. Kalau perlu minta semua aset miliknya atas namamu. Dengan begitu kita tidak perlu terpisah lagi. Dan secepatnya kita bisa tinggal bersama, setelah itu baru kita tendang Mahira keluar dari rumahnya," ucap Irma.

"Iya sayang aku tahu. Tapi semua itu harus dilakukan dengan hati-hati. Jangan gegabah yang ujung-ujungnya malah menyusahkan diri sendiri,"

"Iya, iya. Aku bicara seperti ini karena aku sudah merasa lelah. Karena sampai detik ini aku terus berpura-pura menjadi adikmu. Padahal aku ini adalah istri pertamamu, sedangkan Mahira hanya istri kedua," ucap Irma.

Deg!

Bagai disambar petir, tubuh Mahira mulai sempoyongan. Dadanya terasa sesak seakan kesulitan bernafas. Sulit rasanya tidak ingin menangis mendengar kebenaran itu. Tega sekali Panji mempermainkannya padahal selama ini Mahira tulus mencintainya.

Tidak ingin diketahui oleh Panji. Bergegas Mahira kembali merebahkan tubuhnya di atas ranjang dan pura-pura tertidur.

"Yasudah, besok kita bahas lagi soal ini. Sekarang pergilah tidur. Aku sendiri juga ingin tidur disebelah Mahira. Aku tidak mau dia sampai curiga,"

"Iya, iya. Selamat malam sayang. Besok jangan lupa mampir ke rumah ya?"

"Iya, aku pasti mampir ke rumah untuk menemuimu,"

Panji buru-buru menutup teleponnya dan ikut tidur disebelah Mahira. Tangan Panji memeluk tubuh mahira dari belakang. Ingin rasanya Mahira mengibas tangan Panji supaya menjauh darinya. Namun demi memuluskan rencananya Mahira membiarkan tangan Panji tetap melingkar dipinggangnya seperti biasa. Seakan tidak terjadi apa-apa.

***

Keesokan paginya Mahira bangun lebih dulu untuk mempersiapkan sarapan seperti biasanya. Panji menyusulnya dan memeluknya dari belakang. Namun kali ini Mahira menampakkan wajah tidak senang. Karena yang dirasakannya saat ini hanyalah rasa jijik kepada Panji.

"Selamat pagi sayangku. Pagi ini kamu masak apa? Baunya harum sekali," celetuk Panji

"Aku cuma masak udang mentega, tumis sayur kangkung, goreng ikan tuna dan juga semur jengkol," sahut Mahira dengan jutek.

"Sayang, kok tumben sih nggak mau senyum. Kamu marah ya gara-gara semalam aku tinggal pergi?" Mahira menatap sesaat ke arah Panji lalu mengulas senyum tipis.

"Tidak kok, lagian untuk apa aku marah? Selagi mas Panji merasa nyaman dengan apa yang Mas lakukan, bagiku is oke. Aku tidak akan mempermasalahkannya,"

"Maksud ucapanmu apa? Terus kenapa wajahmu ditekuk seperti itu? Tidak biasanya kamu memasang wajah seperti itu sayang," protes Panji.

"Itu hanya perasaan Mas saja. Setiap hari wajahku juga seperti ini kok. Kecuali, tiba-tiba wajahku berubah menjadi wajah wanita lain. Itu baru masuk akal Mas. Dan kamu boleh mempertanyakan. Karena beda perempuan beda juga sifat dan juga karakternya," celetuk Mahira.

Deg!

"Kenapa kamu tiba-tiba bicara seperti itu sayang? Maksudnya apa? Kenapa wajahmu harus berubah menjadi wajah wanita lain?" Panji merasa bingung.

"Maksudnya adalah, barusan mas Panji bilang wajahku sedikit berbeda bukan? Tapi aku tidak merasa seperti itu. Penampakan wajahku setiap harinya juga seperti ini. Mungkin mas Panji sedang membayangkan wajah perempuan lain. Jadi ketika mas Panji menatapku, Mas mengira seakan sedang menatap wajah perempuan lain," sahut Mahira.

Mendengar Mahira berkata seperti itu, tiba-tiba wajah Panji memerah bagai kepiting rebus.

"Sayang, kenapa kamu bicara seperti itu? Mas tidak mungkin mau memandang wajah wanita lain selain dirimu. Mas hanya mencintai seseorang,"

Preet

Mendengar Panji berkata demikian ingin rasanya Mahira muntah detik ini juga. Bahkan Mahira tidak tersenyum sekalipun.

"Kenapa kamu tidak merasa bahagia mendengar kata-kata romantisku sayang? Biasanya kamu selalu tersenyum jika Mas mengucapkan kata romantis seperti itu. Apa kamu marah? Apa Mas mempunyai salah? Bicaralah sayang. Mas tidak mau membuatmu menangis atau pun bersedih," Mahira menatap tajam ke arah Panji dengan tatapan benci.

"Kata-katamu sangat puitis sekali Mas. Tapi maaf aku tidak bodoh. Aku tidak akan terjatuh ke dalam lubang yang sama jika akhirnya hanya dimanfaatkan semata. Dulu aku sangat mempercayaimu tapi sekarang tidak akan lagi. Kamu mencoba menipuku dengan memberiku harapan palsu. Aku sempat mengira setelah menikah denganmu hidupku akan bahagia karena akan diratukan olehmu. Tapi ternyata aku salah, kamu justru menikamku dari belakang demi kepentinganmu sendiri. Kamu lelaki licik yang hanya mencintai hartaku saja. Setelah menikah denganmu bukannya diratukan tapi diriku malah kau jadikan istri kedua. Kamu benar-benar jahat Mas," batin Mahira sembari mengepalkan kedua tangan.

"Sayang, kenapa kamu diam saja? Kamu masih marah ya karena semalam Mas tidak mengajakmu pergi?" Panji mencoba melambai-lambaikan tangannya di depan mata Mahira.

"Aku tidak marah kok, aku hanya merasa sedikit jenuh saja. Sepertinya aku butuh udara segar," sahut Mahira.

"Bagaimana kalau hari ini kita pergi jalan-jalan? Mas akan meluangkan waktu untukmu,"

"Tidak perlu Mas. Aku hanya merasa jenuh karena hampir setiap hari, waktuku aku habiskan untuk berdiam diri di rumah. Sepertinya aku mulai bosan dengan aktivitasku sekarang. Aku sudah memutuskan mulai hari ini akan menghandle butik dan juga usahaku yang lainnya. Jadi Mas Panji cukup menghandle perusahaanku saja. Tapi kemungkinan juga aku akan sering pergi ke kantor untuk melihat perkembangan perusahaanku disana. Aku pikir Mas Panji tidak akan keberatan bukan?"

Deg!

Mendengar hal itu Panji benar-benar dibuat terkejut.

"Tapi sayang, sudah ada Irma, Dara dan Hendra yang menghandle semua usahamu. Jadi kamu tenang saja ya? Kamu cukup duduk dan nikmatilah hari-harimu. Kamu tidak perlu bersusah-payah bekerja atau memikirkan semua itu. Butik sudah ada Irma adikku. Semua tokomu sudah ada Hendra dan Dara adikku. Perusahaanmu sudah ada aku yang menghandlenya. Kamu tinggal menerima hasilnya," sahut Panji.

"Mas Panji keberatan ya? Aku merasa seolah-olah mas Panji melarangku untuk menghandle usahaku sendiri. Mas Panji harus ingat, sebelum menikah denganmu aku sudah terbiasa hidup mandiri dan aku bisa menghandle semua usahaku tanpa bantuan siapapun. Tapi setelah menikah, mas Panji merengek memintaku memberikan pekerjaan kepada keluargamu. Makanya aku mempercayakan semua usahaku pada mereka. Tapi akhir-akhir ini pendapatan di toko, di butik tidak sesuai dengan jumlah pengeluaran. Laporan keuangan yang ada di butik dan juga di beberapa tokoku jumlahnya tidak sesuai dengan data yang diserahkan kepadaku. Begitu juga dengan laporan keuangan di kantor," ucap Mahira dengan tegas.

"Kamu menuduh kami mengkorupsi uangmu ya?" sahut Panji.

"Kenapa mas Panji tiba-tiba bertanya seperti itu? Apa ini artinya mas Panji sedang mengakui sesuatu?"

Deg!

Tidak ingin ribut dengan Mahira, akhirnya Panji mencoba mengalah karena takut kehilangan kemewahan yang selama ini sudah dinikmatinya.

"Wajarlah sayang. Mungkin mereka mengambil sedikit uangmu untuk membeli sesuatu. Kitakan keluarga, kenapa kamu perhitungan seperti itu?"

"Apa kamu bilang, aku perhitungan? Kapan aku pernah memperhitungkan semua itu Mas? Selama ini aku sudah sangat baik kepada keluargamu. Tolong jangan melewati batas. Semua adikmu bekerja untukku tapi mereka juga menerima gaji dariku. Lalu ke mana gaji mereka? Kenapa mereka masih harus mengambil sebagian uangku lagi?" protes Mahira.

"Sudahlah Mahira, kenapa kita harus membahasnya? Kita ini kan keluarga, jadi lebih baik jangan diributkan lagi. Ikhlaskan saja jika memang adik-adikku mengambil sebagian uangmu. Mereka juga adikmu bukan? Karena saat ini kamu sudah menikah denganku," ucap Panji.

"Oh begitu. Jadi mas Panji hanya memikirkan tentang keluargamu saja. Bahkan mas Panji tidak mempermasalahkan sikap buruk mereka begitu? Padahal jelas-jelas mereka mencoba mencuri uangku tapi kamu pura-pura buta. Baiklah kalau begitu mulai besok adik-adikmu tidak perlu bekerja lagi untukku. Karena aku sendiri yang akan menghandle nya. Soal uang yang sudah mereka ambil aku akan mengikhlaskan seperti keinginanmu dan tidak akan membahasnya lagi. Bagaimana Mas, apa kamu sudah puas?" kini wajah Panji sedikit memerah menahan rasa kesal kepada Mahira.

"Kenapa kamu diam saja? Apa kamu keberatan? Jika kamu merasa keberatan nuga tidak apa-apa. Mulai besok Mas juga tidak perlu bekerja di kantorku lagi. Aku masih bisa menghandle perusahaanku sendiri. Karena aku tahu mas Panji juga tidak jujur padaku. Mas sendiri juga melakukan hal sama seperti yang dilakukan oleh adikmu. Mengambil uangku dengan jumlah yang sangat banyak tanpa meminta izin terlebih dahulu itu namanya mencuri. Yang lebih membuatku kesal lagi adalah uang itu tidak kamu gunakan untuk keperluan kantor. Tapi uang itu kamu pergunakan untuk keperluanmu sendiri. Jujur aku sendiri juga tidak tahu kamu pergunakan untuk apa uang itu. Selama ini aku hanya diam saja, berharap mas Panji mau berbicara jujur padaku. Tapi sampai detik ini mas Panji tetap memilih diam dan terus mengulangi kesalahan yang sama," ujar Mahira.

Panji seakan kehabisan kata-kata dan hanya bisa terdiam. Karena jika dia menolak keputusan Mahira, maka siap-siap dirinya akan kehilangan posisinya sebagai direktur utama di perusahaannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status