Share

BAB 3. BERMAIN CANTIK

"Baiklah sayang, aku ikuti semua keinginanmu. Apapun keputusanmu aku akan menyetujuinya," Mahira mengulas senyum.

"Begitu dong. Terima kasih sayang, karena kamu sudah mendukung keputusanku. Apa aku boleh minta tolong lagi?"

"Boleh sayang, apa itu?" sahut Panji.

"Tolong sampaikan semua itu kepada Irma, Dara dan juga Hendra ya? Supaya tidak terjadi kesalahpahaman diantara kita. Mas bilang, kita ini keluarga bukan? Mas Panji juga harus bisa menengahi jika ibu serta adik-adikmu tidak setuju dengan keputusan yang sudah kubuat,"

"Ba-baiklah sayang. Apapun itu Mas akan menuruti semua keinginanmu,"

"Ihh, Mas Panji so sweet deh," Mahira menghampiri Panji lalu memeluknya sembari mengulas senyuman licik.

Panji juga melakukan hal sama. Berpura-pura legowo menerima keputusan Mahira. Padahal saat ini hati Panji sedang merasa dongkol setengah mati. Bahkan ingin rasanya Panji mencekik Mahira saat ini juga.

Mahira melepas pelukannya lalu memilih duduk dikursi sambil memainkan ponselnya. Diliriknya Panji masih berdiri mematung namun dengan tatapan berbeda ke arah Mahira.

"Kenapa Mas Panji masih berdiri situ? Apa Mas nggak mau sarapan dulu?"

"Oh iya, Mas sampai lupa. Hari ini aku ada janji dengan salah satu klien di kantor. Kami janji bertemu disalah satu kafe sekalian sarapan bersama. Jika Mas tidak sarapan dulu di rumah apa kamu nggak keberatan sayang?" Mahira menatap ke arah Panji dengan tatapan tajam.

"Jika memang waktunya mendesak aku pikir tidak apa-apa. Apalagi berhubungan dengan bisnis perusahaan. Aku tidak masalah kok Mas," sahut Mahira.

"Terima kasih sayang," Mahira mengangguk.

Panji mencium kening Mahira lalu menenteng tas kerja miliknya dan buru-buru masuk ke dalam mobil. Panji mengemudikan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Mahira memperhatikan mobil Panji dari kaca jendela sambil menelpon seseorang.

"Apa kamu sudah siap?" tanya Mahira dari seberang telepon.

"Kami sudah siap sejak tadi Nyonya," sahut orang itu.

"Bagus, lakukan tugas kalian dengan baik. Jika pekerjaan kalian berhasil maka aku akan membayar kalian semua dua kali lipat,"

"Baik Nyonya. Kami akan melakukan yang terbaik," sahut lelaki itu.

Tut tut tut

Panggilan pun berakhir. Mahira meletakkan ponselnya di atas meja dan kembali menikmati sarapannya sembari tersenyum

kecut

*** DIRUMAH PANJI ***

Sejak tadi Irma mencoba menghubungi nomor Panji, namun Panji tidak meresponnya sama sekali.

"Uuh ..., kemana sih Mas Panji? Kenapa teleponku sejak tadi tidak direspon?" keluh Irma merasa kesal.

"Sabar Irma. Mungkin Panji sedang sibuk," ucap Bu Sita, yang tak lain adalah ibu kandung Panji.

"Iya nih. Mbak Irma hobinya marah-marah terus," sahut Hendra.

"Iya, dikit-dikit mikirnya yang jelek-jelek terus sama mas Panji," sambung Dara adik Panji yang paling kecil.

"Kalian bisa diam nggak? Nggak usah ikut campur. Kalian itu masih kecil nggak tahu apa-apa. Bisanya cuma minta uang sama ngabisin uang doang," umpat Irma sedikit ngegas.

"Yee, jangan asal ngomong Mbak Irma. Aku ini sudah besar. Umurku sudah 17 tahun. Aku bukan anak kecil lagi. Aku juga sering membantu mas Panji untuk menjaga toko grosir milik istri keduanya. Kan sudah menjadi kebiasaan Mbak Irma sukanya marah-marah nggak jelas," sahut Dara nggak mau kalah.

"Sekarang kamu berani ya sama Mbak?" Irma semakin meninggikan suaranya.

"Kan mbak Irma duluan yang mulai,"

"Heh, sudah-sudah. Kalian ini malah pada ribut. Kita tunggu saja kedatangan Panji kerumah. Mungkin ada hal penting yang ingin dibicarakan dengan kita. Aku merasa Panji sedang ada masalah dengan Mahira. Jika iya, itu sangat berbahaya. Mahira bisa saja menarik semua fasilitas yang selama ini diberikan kepada kita," ujar bu Sita.

"Aduh, kalau kak Mahira sampai marah siapa yang akan membiayai kuliahku?" celetuk Dara.

"Makanya cari kerjaan sana. Jangan bisanya cuma minta-minta terus," celetuk Irma.

"Yaelah, aku minta uang sama abangku sendiri kok. Itu uang juga uangnya mbak Mahira, bukan uangmu. Lalu kenapa mbak Irma yang sewot?"

"Berani-beraninya kamu menyebut nama wanita brenges*k itu didepanku!" protes Irma.

"Kenapa? Mbak Mahira juga istrinya mas Panji. Dan menurutku mbak Mahira lebih baik daripada mbak Irma. Sadar diri Mbak, kamu juga ikut menikmati uangnya mbak Mahira dengan cara menjaga toko butiknya. Itu artinya kita sama-sama menikmati kekayaan mbak Mahira dan seharusnya mbak Irma tahu diri," umpat Dara panjang lebar.

"Cukup! Sekali lagi kamu berani bicara seperti itu maka aku akan menampar mulutmu!" sahut Irma.

"Silahkan saja Mbak. Aku nggak takut. Lagian apa yang aku ucapkan adalah fakta,"

"Stop! Kenapa kalian berdua malah ribut sendiri? Irma, jika kamu masih ingin tinggal disini tolong jaga bicaramu kepada anak-anakku. Kamu sedang hamil, pamali jika bicara sembarangan. Jangan bersikap seolah-olah kamu adalah ratu di rumah ini! Dan kamu Dara, tolong jaga emosimu. Lebih baik pikirkan saja kuliahmu dan jangan ikut campur urusan kakakmu," sahut bu Sita.

"Baik Bu. Maaf ...," setelah berkata demikian Dara memilih pergi namun kedua matanya masih menaruh rasa benci kepada kakak iparnya.

Irma juga melakukan hal sama, memilih pergi begitu saja tanpa berbicara sesuatu kepada ibu mertuanya. Hendra sendiri memilih diam. Namun dalam hati kecilnya Hendra merasa heran dengan para wanita di rumahnya. Yang hobinya suka ribut.

Lima menit kemudian mobil yang dikemudi oleh Panji berhenti tepat didepan rumahnya. Panji turun dari mobil lalu buru-buru masuk ke dalam rumah yang kebetulan tidak dikunci.

"Assalamualaikum," seru Panji dari ambang pintu.

"Waalaikumsalam," balas Sita dan Hendra.

Mendengar suara Panji bergegas Irma dan Dara ikut keluar untuk menemuinya di ruang tamu.

Melihat wajah Panji sedikit memerah seakan menahan rasa kesal. Sita tahu bahwa saat ini putranya sedang ada masalah.

"Ada apa Nak? Apa semuanya baik-baik saja?" Panji hanya menatap ke arah ibunya lalu tangannya mencoba melepas dasi yang menempel di kerah kemejanya.

"Ada masalah apa sayang?" Irma ikut mendekat ke arah Panji.

"Ada masalah serius Ma," Panji mengibas kasar rambutnya.

"Msalahnya apa Nak? Cepat ceritakan kepada kami," pinta bu Sita.

"Sepertinya Mahira mulai mencurigaiku. Hari ini dia bersikap aneh sekali," sahut Panji.

"Memangnya apa yang dilakukan Mahira?" tanya bu Sita.

"Tiba-tiba dia ingin menghandle butik dan juga semua usaha tokonya sendiri,"

Deg!

"Apa? Mahira ingin menghandle butik dan toko grosirnya sendiri? Lalu bagaimana dengan Hendra dan Dara?" sahut bu Sita.

"Panji juga tidak tahu Bu,"

"Kak, coba kamu rayu kak Mahira. Supaya dia mempercayakan tokonya lagi padaku. Kalau soal butik sih aku pikir nggak masalah seandainya mbak Mahira ingin menghandlenya. Aku pikir itu wajar," celetuk Dara.

"Wajar kamu bilang? Jika butik itu diambil alih oleh Mahira, lalu bagaimana dengan aku?" protes Irma.

"Mbak Irma bisa cari kerjaan lain bukan? Jangan maunya nyari gratisan terus. Lagian itu memang butiknya mbak Mahira, jadi wajar dong jika dia ingin mengambil alih butiknya sendiri," celetuk Dara membuat Irma merasa geram.

"Kamu ya? Benar-benar menyebalkan," sahut Irma dengan amarah menggebu.

"Sudah, sudah. Jika memang Mahira ingin mengambil alih semua usahanya, ya mau tidak mau kita harus menerima keputusannya. Atau kalau tidak Mahira akan menendangku keluar dari rumahnya dan kita bakalan hidup susah seperti dulu," sahut Panji.

Deg!

"Oh tidak. Aku tidak mau hidup susah lagi Kak," keluh Dara.

"Ibu juga, sudah nggak mau hidup susah seperti dulu lagi. Pokoknya kita harus melakukan sesuatu supaya Mahira bisa kembali mempercayaimu Panji,"

"Itu benar Kak, kita harus melakukan sesuatu supaya kak Mahira tidak menarik semua fasilitas yang selama ini sudah diberikan kepada kita," sambung Hendra.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status