Share

BAB 5. CURANG

Merasa kesal karena terus dihina, bu Sita mengambil gagang kayu dan ingin memukul satu-persatu orang yang saat ini masih berdiri didepan rumahnya.

"Diam kalian semua! Cepat pergi dari sini! Mendengar kabar belum jelas saja kalian sudah pada heboh. Seharusnya kalian tanya dulu baik-baik sama saya bukan malah ikutan menghina!" sentak bu Sita dengan amarah berapi-api.

"Lho, bukannya tadi kami sudah tanya baik-baik sama bu Sita. Tapi kenapa bu Sita malah marah? Jika memang anaknya tidak seperti itu seharusnya bu Sita bersikap biasa saja. Tapi nyatanya emosi bu Sita langsung meledak-ledak. Itu artinya tulisan pada karangan bunga itu ada benarnya. Anak bu Sita bernama Fahri diam-diam menikah lagi tapi mengaku lajang supaya mendapatkan istri kaya raya. Pantas saja sekarang kehidupan bu Sita adem ayem. Rumah bagus, punya mobil, uangnya banyak, tidak susah seperti dulu lagi," sahut bu Dias.

"Iya, sekarang hidupnya serba kecukupan. Semua anaknya punya mobil satu-satu. Coba mas Fahri tidak menikah dengan anak orang kaya. Palingan hidupnya masih susah seperti dulu," sahut bu Sri.

"Sudah ah. Yuk kita pergi dari sini. Ngapain ngurusin keluarga bu Sita. Lagian nggak penting juga. Sekarang kita pulang kerumah sambil memantau komenan dari pengikut akun tiktok ku. Karena sewaktu bu Sita belum merusak karangan bunganya tadi, aku sempat mengambil videonya lho," celetuk bu Desi.

"Wah, diam-diam bu Desi gercep juga. Sudah ah kita pergi dari sini yuk. Takut di terkam sama harimau buas," sahut bu Ita.

Merasa geram bu Sita langsung mengambil air satu ember lalu melemparkannya ke arah ibu-ibu tukang rumpi itu. Mereka semua lari terbirit-birit meninggalkan rumah bu Sita.

Dara, Hendra dan juga Irma ikut keluar ketika mendengar bu Sita berteriak lantang kepada ibu-ibu komplek.

"Ada apa sih Bu? Kok gaduh sekali?" tanya Hendra.

"Kenapa ibu teriak-teriak seperti itu sama mereka?" sambung Dara.

"Harusnya ibu bisa lebih sopan sama ibu-ibu kompleks. Takutnya mereka akan sakit hati dengan sikap Ibu dan ikut gibahin keluarga kita," sambung Irma yang tak tahu apa permasalahannya.

"Sskarang saja kita sudah menjadi bahan gibahan mereka kok," sahut bu Sita sedikit sewot.

"Tapi kenapa Bu?"

"Tuh lihat. Kalian baca sendiri tulisan di karangan bunga yang sudah aku hancurkan di tong sampah," sahut bu Sita sembari pergi masuk ke dalam.

Irma, Dara dan Hendra berlari kecil mencoba melihat karangan bunga yang sudah rusak tercecer di dalam bak sampah.

Ketika membaca tulisan pada karangan bunga itu, seketika pula membuat darah Irma langsung mendidih. Dadanya bergetar hebat, kedua tangannya mengepal penuh emosi.

"Siapa yang berani melakukan semua ini? Jika aku menemukan siapa pelakunya, aku tidak akan pernah melepaskannya!" ancam Irma dengan nada lantang, berharap sang pelaku mendengarnya dan merasa takut padanya.

"Mbak Irma ngapain pakai teriak-teriak begitu? Lagian disini tidak ada siapa-siapa," ujar Dara.

"Iya nih. Mbak Irma ada-ada saja. Nanti orang-orang disekitar sini mengira mbak Irma tidak waras," sahut Hendra.

"Apa kamu bilang, aku tidak waras? Kalian tu yang tidak waras. Aku tidak peduli dengan mereka semua. Aku hanya ingin tahu perbuatan siapa ini? Selebihnya aku tidak peduli," balas Irma.

Setelah berujar demikian Irma memilih pergi begitu saja meninggalkan Dara dan Hendra.

"Lama-lama dia bakalan stress beneran," gumam Dara.

"Husst, jangan bicara sembarangan. Maklumi saja, kamu ingat kata ibu bukan? Mbak Irma suka marah-marah karena bisa jadi bawaan anak yang sedang dikandungnya,"

"Halah, nggak semua ibu hamil bar-bar kaya gitu Kak,"

"Kakak tahu. Tapi kemungkinan yang diucapkan ibu benar. Mbak Irma sering marah-marah karena bawaan bayi. Dulu dia sangat baik kepada kita. Bahkan jarang membentak atau bicara kasar,"

"Kenapa Kakak malah belain mbak Irma? Jika Kakak ingin memaklumi ya terserah. Kalau aku mah ogah," sahut Dara sembari mencebikkan bibir.

"Jangan ngambek gitu dek. Nanti cantiknya hilang lho,"

"Bodo amat," Dara melenggang masuk meninggalkan Hendra sendirian.

Hendra mengeluarkan ponselnya lalu mengabadikan karangan bunga yang telah dirusak oleh ibunya. Namun tulisan dipapan itu masih bisa dibaca. Setelah menyimpan gambar itu Hendra langsung mengirimnya kepada Panji melalui aplikasi berwarna hijau.

Klunting

Panji yang tengah sibuk bekerja diruangannya merasa terkejut ketika membuka pesan dari Hendra. Dadanya bergemuruh hebat bercampur rasa cemas yang luar biasa.

Bruag

"Siapa yang telah berani mengirim karangan bunga seperti itu dirumahku? Pokoknya aku harus segera mencaritahu supaya rahasiaku tetap aman. Aku tidak mau sampai Mahira mengetahui semua ini. Atau kalau tidak aku akan kehilangan semuanya," gumamnya menahan rasa kesal.

Panji mengambil ponselnya lalu menelpon Irma. Sebelum Panji menelpon ternyata Irma lebih dulu mengirim pesan untuk mengadu kepadanya mengenai karangan bunga yang dikirim oleh orang misterius itu.

"Halo Mas. Kamu dimana sekarang?"

"Aku sedang dikantor. Ada apa?"

"Kok ada apa sih? Kamu sudah baca pesan dariku belum? Bagaimana, apa kamu sudah mencaritahu siapa pengirim karangan bunga itu?"

"Kamu tahu sendiri aku sedang bekerja. Gimana caraku mencari tahu siapa pengirimnya? Kenapa bukan kamu saja yang pergi mencaritahu? Lagian kamu menganggur juga, tidak punya kerjaan. Mintalah bantuan sama Hendra atau Dara. Supaya kita bisa menemukan siapa pelakunya,"

Huff

"Aku malas dengan mereka. Kenapa bukan Mas yang meminta mereka untuk membantuku," sahut Irma.

"Baiklah. Biar aku yang minta tolong sama mereka,"

Setelah berujar demikian panggilan langsung diakhiri oleh Panji.

"Halo Mas. Halo mas Panji ...," seru Irma.

Tut tut tut

"Sialan, kenapa main matikan aja sih. Benar-benar ngeselin dia," gumam Irma.

Lima menit kemudian Panji mencoba menghubungi Dara dan Hendra. Panji meminta tolong supaya keduanya mau membantu Irma mencaritahu siapa yang telah mengirim karangan bunga di rumahnya.

Panji menghela nafas berat merasa lelah dengan semua ini. Panji menyandarkan kepalanya disandaran kursi.

"Kira-kira siapa yang ingin merusak rencanaku ya? Apa mungkin orang itu Mahira? Tapi itu tidak mungkin. Jika Mahira mengetahui semuanya lalu kenapa sampai detik ini dia masih terlihat biasa saja. Aku yakin jika Mahira mengetahui kalau aku sudah punya istri dan anak, dia pasti marah dan langsung minta cerai dariku. Tapi sampai detik ini dia tidak melakukan hal itu," gumam Panji sembari memilin kening yang terasa penat.

"Kalau bukan Mahira lalu siapa? Aku tidak pernah punya musuh. Aku bahkan jarang berseteru dengan orang. Tapi kenapa diam-diam ada yang ingin mencari masalah denganku,"

"Pokoknya aku harus mencaritahu siapa dalang dibalik pengirim karangan bunga itu. Kini semua orang jadi tahu kalau aku sudah mempunyai istri dua. Ini benar-benar kabar buruk. Mau ditaruh dimana wajahku ini jika sampai semua orang di kompleks percaya dengan tulisan itu dibanding denganku," keluh Panji.

Panji benar-benar merasa tersudutkan. Emosinya kini tak bisa terkontrol lagi. Panji merasa beban hidupnya semakin bertambah. Hidupnya semakin sulit, membuat Panji tak bisa berpikir apa-apa lagi.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status