Share

BAB 6. TEROR

Setelah kejadian itu hari-hari Panji terasa menyedihkan sekali. Panji tidak menyangka, ternyata ada orang lain yang mengetahui rahasia besarnya itu. Dan kini orang tersebut mencoba menerornya habis-habisan.

"Aku heran sebenarnya siapa orang itu? Apa kita ada salah dengannya? Kenapa dia mencoba mengusik hidup kita?" tanya bu Sita.

"Panji juga bingung Bu. Panji sudah mencoba mencaritahu tapi sampai detik ini belum juga mendapatkan jawabannya. Aku sempat berpikir apakah orang itu adalah Mahira? Tapi jika memang benar orang yang meneror kita adalah Mahira, lalu kenapa sampai detik ini dia tidak marah kepadaku? Tidak mempertanyakan semua yang diketahuinya? Setiap hari sikapnya masih sama. Yang membedakan hanyalah dia ingin bekerja dan menghandle semua usahanya sendiri. Tapi sikapnya padaku masih sama, tidak ada yang berubah Bu," ucap Panji.

"Apa mungkin kamu punya musuh?"

"Tidak Bu. Selama ini Panji tidak pernah mempunyai musuh. Panji tidak pernah ribut dengan orang lain," sahutnya.

"Bagaimana denganmu Dara, Hendra. Apa kalian punya musuh?" tanya bu Sita.

"Tidak punya Bu," sahut serentak Hendra dan Dara.

"Lagian jika kami berdua punya musuh. Itupun nggak ada hubungannya dengan teror ini Bu. Apa Ibu lupa bagaimana bunyi tulisan yang tertera di karangan bunga itu. Jelas-jelas disana tertulis nama kak Panji dan mbak Irma. Nggak ada nama Dara atau nama kak Hendra. Jadi masalah ini hanya fokus kepada kak Panji dan mbak Irma. Jika kak Panji tidak merasa mempunyai musuh, bisa jadi mbak Irma yang diam-diam punya musuh. Karena selama ini mulut mbak Irma itu terlalu lebar kalau ngomongin orang," celetuk Dara.

"Woi! Barusan kamu bilang apa? Aku suka ngomongin orang? Helo ..., kamu ini sedang ngomongin diri sendiri atau bagaimana? Sana ngaca, kalau perlu bercermin dulu supaya kamu cepat tobat dan belajar ilmu tahu diri!" sahut Irma sedikit ngegas.

"Waduh, gitu aja langsung ngegas. Benar-benar nggak bisa dikontrol itu mulut," sahut Dara.

"Kamu ini bisa diam nggak sih? Mentang-mentang kamu adiknya mas Panji, lalu dengan seenaknya menghinaku seperti itu!" sentak Irma.

"Iya, kenapa? Nggak terima?" Dara mulai tersulut emosi.

"Stop! Kalian ini apa-apaan sih. Kenapa malah ribut sendiri? Keadaan sedang tidak baik-baik saja. Bukannya mencari solusi tapi kalian malah ribut nggak jelas," sentak Panji sembari mengibas kasar rambutnya yang mulai acak-acakan.

"Maaf Kak, habisnya aku kesal sama mbak Irma. Dia 'kan paling tua, sudah seharusnya ngalah sama aku yang masih muda,"

"Ehh, ya nggak gitu juga konsepnya Ferguso. Dimana-mana yang muda itu lebih sopan dan menghargai yang lebih tua. Bukan sebaliknya. Makanya belajar tata krama mumpung kamu belum menikah. Nanti kalau kamu sudah menikah, kamu pasti akan merasakan sendiri bagaimana rasanya tinggal satu atap dengan adik ipar yang super bawel dan juga super julid kaya kamu," celetuk Irma.

"Sudah, sudah. Perang sudah berakhir, jangan dilanjut lagi. Dara, ayo masuk ke kamarmu. Irma, kamu juga ya, masuk ke kamarmu sekarang juga," titah bu Sita.

"Tapi Bu,"

"Nggak ada tapi-tapian. Telingaku rasanya panas mendengar kalian selalu ribut seperti itu," sahut bu Sita dengan tegas.

Ditengah perdebatan mereka, disaat itu pula suara ketukan pintu terdengar nyaring di telinga. Panji meminta semua orang untuk diam sejenak.

Tok tok tok

Mendengar suara ketukan pintu, membuat bu Sita dan yang lainnya merasa was-was. Merasa ragu ketika ingin membukakan pintu. Merasa takut kalau yang datang adalah musuh yang sedang memakai topeng.

"Dara, cepat buka pintunya," titah Panji.

"Ihh, nggak mau. Kenapa nggak mbak Irma saja,"

"Aku juga nggak mau. Kenapa bukan Hendra saja yang pergi bukain pintu," protes Irma.

"Lho, kok jadi aku sih," sahut Hendra.

"Astaga kalian ini ribut terus kerjaannya. Disuruh bukain pintu saja pada nggak mau. Giliran di kasih uang pada gercep larinya," celetuk Panji.

Akhirnya Panji sendiri yang membukakan pintu. Kepalanya mulai celingukan ke kanan dan ke kiri, memastikan keadaan disekitarnya.

"Di luar tidak ada siapa-siapa. Lho, kok ada bungkusan tergeletak di depan pintu. Punya siapa ya? Aku jadi penasaran dengan isinya. Tapi tunggu dulu deh, jangan-jangan ini adalah jebakan," gumam Panji yang mengurungkan niatnya untuk membuka bungkusan itu.

"Siapa yang bertamu Mas?" tanya Irma.

"Tidak ada siapa-siapa. Tapi ada bungkusan tergeletak di depan pintu rumah kita,"

"Bungkusan?" seru semua orang.

Bergegas mereka menyusul Panji ke depan.

"Kira-kira bungkusan ini isinya apa ya?" tanya Dara ingin tahu.

"Memangnya ada yang tahu," sahut Irma.

"Kan cuma nanya doang Mbak,"

"Mungkin ini paket milik seseorang. Dan kebetulan pak kurirnya salah mengirim," celetuk Hendra.

"Sepertinya bukan salah kirim, soalnya ada nama mbak Irma dan nama mas Panji yang tertera di pembungkusnya,," ujar Dara.

"Mana?" Dara memperlihatkan tulisan yang menempel di pembungkus itu.

"Oh iya, ada nama mbak Irma dan nama kak Panji. Itu berarti bungkusan ini memang untuk kalian berdua,"

"Ayo cepetan dibuka Kak, aku sudah penasaran pengen lihat apa isi kotak ini," seru Dara.

"Sabar dong. Masalahnya aku takut membuka bungkusan ini. Kalau ternyata isi didalamnya bukan sesuatu yang baik bagaimana?"

"Maksud Kakak seperti bom begitu?"

"Jangan jauh-jauh mikirnya Dre. Kamu bicara begitu malah bikin takut kami semua," protes bu Sita.

"Ya maaf. Kan cuma nebak doang,"

"Sudah-sudah. Sini biar aku saja yang buka pembungkusnya," celetuk Irma sembari mengambil kotak yang dibungkus rapi itu.

Irma mulai melucuti semua pembungkus yang menempel di kotak. Di dalam hati kecilnya Irma berharap isi di dalam kotak itu adalah sesuatu yang menguntungkan untuknya.

"Aduh, aku nggak sabar pengen lihat apa isi kotak ini," gumam Irma yang langsung membuka kotak itu tanpa ada rasa takut seperti Panji.

Uhuk uhuk uhuk

"Apa-apaan ini? Kenapa baunya anyir sekali?" Irma mulai menjauh dan rasanya ingin muntah.

"Ihh, bau sekali. Apa isinya sih?" tanya Hendra penasaran.

Hendra langsung membuka kotak itu dan ternyata isi di dalamnya adalah bangkai ayam yang dilumuri darah. Disana juga ada selipan kertas yang bertuliskan ( BANGKAI YANG TERSIMPAN LAMA-LAMA AKAN TERCIUM JUGA. To Irma dan Panji.) Begitulah bunyi tulisannya.

"Kerjaan siapa ini? Berani- beraninya mencoba meneror keluargaku!" sentak Panji mulai tersulut emosi.

"Iya, kenapa dia tega sekali mengirim bangkai ke rumah kita. Salah kita apa sih?" bu Sita mulai ketakutan.

"Sudah, buang saja semuanya ke tong sampah. Kunci semua pintu dan juga jendela. Sekarang kita masuk ke dalam lalu pergi tidur," titah Panji.

Semua orang mengangguk dan melakukan perintah Panji.

***

Dert dert dert

Tiba-tiba ponsel Mahira bergetar, bergegas dia mengangkat panggilan itu.

"Halo Alex, ada kabar apa?"

"Maaf mengganggu waktunya Nona. Saya mau menyampaikan kalau rencana kita sudah berhasil. Saat ini mereka semua merasa ketakutan. Bahkan saking takutnya mereka mengunci semua pintu termasuk pintu gerbangnya,"

"Kerja bagus Alex. Saya suka dengan cara kinerjamu yang tak pernah mengecewakanku. Kamu terus pantau mereka dari jauh dan jangan lupa terus kabari saya,"

"Baik Nona,"

"Selamat malam," seru Mahira.

"Selamat malam juga Nona,"

Panggilan pun terputus, kini Mahira meletakkan ponselnya kembali. Mahira memilih berdiri di dekat jendela sembari memperhatikan pemandangan disekitarnya.

"Aku tidak menginginkan hal ini terjadi mas Panji. Tapi kamu dan juga keluargamu telah tega membohongiku. Kalian mencoba menusukku dari belakang. Kebaikanku kalian salah gunakan. Kurang apa aku selama ini? Apapun yang aku punya sebisa mungkin aku bagi dengan kalian. Tapi balasannya apa? Kalian justru membohongiku demi kepentingan kalian sendiri," gumam Mahira sembari meremas dadanya yang terasa sakit.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status